Bismillah.
-Refleksi Diri-
So I set this blog to private again. I don't know, for how long, probably will set it to public again after publishing this and send it back to draft. Or never send it back to draft. Probably just set it to private cause this will just make comfortable to write and express more open.
Lately been feeling... I don't know how to describe it. Stuck? Jalan ditempat? Or worse, going backward. Fall into.... let me just not end the sentence.
My mind been wandering too much on it's own, while the body is doing a numb auto-pilot routine. And at the middle at the night like this, the feeling of afraid come, as a reminder, not to live a life like this. I am getting older, but am I getting better?
***
Awal November kemarin ada yang memberanikan diri mengungkapkan keresahan dirinya yang merasa hidupnya seolah hanya untuk kerja. Sedihnya, dia sampai nge-state, She feels like there's something wrong but she didn't know what to do.
So I suggest her to write,
"Coba nulis mba. Barangkali bisa bantu mengurai yang bekelindan di kepala hehe.
Nulis ini sambil ngingetin diri juga yang udah lama gak nulis hehe" - kirei
Then she said, she even don't have time to spare for herself, seolah waktunya semua terkuras untuk pekerjaan. Sadly, she even ask, "apa hidupku yg gak berkah atau gmn gt".
Part of me want to deny her statement, please don't say that... berkah atau tidak hidup seseorang itu tidak bisa dilihat dari satu mata subjektif, apalagi mata seseorang yang perasaannya sedang merasa kosong dan hampa. But instead expressing this thought, I chose to reply on the part when she said she don't have time for herself. I said to her,
"Nah, ini (baca: waktu untuk diri sendiri) harus diagendakan. Kalau gak ada waktu buat diri sendiri emang jadi bikin hati rasanya kosong/hampa." -kirei
Kulanjutkan,
"Jadi inget Al Ashr. Emang manusia rugi banget ya kalau tentang waktu. Ada banyak banget yang nggak bisa kita kendalikan. Emang lemah dan butuh bantuan Allah untuk bisa nata hidup biar bisa balance."
Ia menjawab, "Tapi drive untuk keluar dan mulai mencari lagi itu agak susah ya kalau lagi capek."
Sejujurnya saat membaca lagi kalimat itu, karena menulis ini, aku masih belum paham. "Drive untuk keluar dan mulai mencari lagi" itu, apa untuk keluar dari pekerjaan. Atau untuk lebih ke drive untuk keluar dari rutinitas kesibukan dan mencari solusi. But I think when I write the reply to her answer, I chose to focus on the word "capek". That's why I wrote this as a closing chat that day.
"Ibarat udah masuk arus deras, susah untuk keluar. Kalau udah capek, ujung-ujungnya milih istirahat fisik aja. Padahal mind&soul kita juga butuh di-charge"
Actually she still reply, and I still want to continue the conversation. But part of me chose to end the conversation, cause I feel like I need to look at the mirror before giving suggestion, or advice about someone else's life.
Pada dasarnya ia menjelaskan ulang keresahannya yang muter-muter. She felt something is wrong, but she didn't know where and how to solve it. But then she's tired, so she's just doing her hardworking life routine. And/ it goes back, to her feeling empty.
Saat itu, dan sampai saat ini, aku sebenarnya masih bisa saja menjawab lagi. Mudah sekali rasanya memberi nasihat dan berkata-kata tentang kehidupan orang lain. Aku ingin menyarankannya berdoa kepada Allah, agar Allah nanti yang tunjukkan dimana letak salahnya, dan harus mulai darimana menyelesaikannya. Tapi untuk menulis jawaban itu, aku tahu diri untuk berkaca, dan saat melihat kaca, lidahku kelu, dan kututup bibirku rapat, sebulan, kutahan jemariku untuk menuliskan tentang ini, ah, jariku.. Bukan, jariku bukan kutahan, sebenarnya aku saja yang tenggelam dalam distraksi dan tidak bersegera menyulam hikmah dari percakapan 8 November lalu di sebuah grup WhatsApp.
Sampai saat ini, sejujurnya aku merasa tidak pantas menuliskan ini. Part of me is cursing myself, "sok tahu! Emang hidup lu udah beres? Buktinya meski udah tahu yang salah dalam hidup lu, lu masih gini-gini aja!?"
No I'm not usually talk to me with "lu", but i think that sentence describe perfectly how harsh I want to critize myself.
***
Back to the intro. Lately been feeling.stuck, jalan ditempat, or worse, going backward. And my mind knows where's the wrong side. And my brain knows what should I do, what step should I take to fix it. But days went and I see myself drowning in distraction, wandering in places and story inside my head. It's easier to daydream than to face reality. But didn't I learn before the hurt from running away from tumpukan masalah? *pardon for the switch language. It's 1.35, and i don't want to open dictionary, to search for vocabulary for "tumpukan". I might visit my old writing later. But right now, let me just write with my right brain.
***
Terakhir, untukku. Dan mungkin (semoga gak ada), untuk yang nyasar baca ini sampai bagian ini. Dapet dari Channel WhatsApp Khalid Basalamah Official.
"Perumpamaan perbedaan orang yang suka berdzikir dan tidak berdzikir seperti orang yang hidup dan mati."
Membaca kutipan itu mengingatkan aku. Mungkin, salah satu penyebab perasaan hampa dan mati rasa itu karena kita aku kurang berdzikir. Perlu banyak istighfar. Perlu banyak taubat. Barangkali yang menghalangi diriku untuk beramal adalah tumpukan karat dosa yang membuat hati makin legam. TT
Membaca kutipan itu juga mengingatkanku mindset lamaku, dulu, kalau aku membaca kutipan tersebut, yang muncul bukan keinginan untuk beramal, tapi justru perasaan putus asa. Perasaan sedih yang berlipat karena kepastian bahwa hatiku bukan hanya membatu, tapi barangkali sudah mati. Dulu, begitu. Sampai aku belajar tadabbur surat Al Hadid 16-17. Dua ayat yang mengubah cara pandangku. Dua ayat yang menjadikan aku mencintai hujan. Meski gak ada kata hujan di dua ayat itu.
Jangankan hatimu yang mati, bumi yang tadinya mati saja, bisa Allah hidupkan kembali. Kalau bumi bisa Allah hidupkan dengan hujan, kira-kira hati kita yang sekarat/mati Allah hidupkan lagi dengan apa? Dengan Al Quran. Hujan dan Al Quran, sama-sama turun dari langit, sama-sama bisa menghidupkan.
I know I should stop here, tapi karena kita semua sedang berkabung atas bencana dan musibah banjir dan longsor yang terjadi di aceh, sumatra utara, sumatra barat, dan juga berbagai daerah lain. Kalimat hujan yang bisa menghidupkan mungkin akan terkesan ironis. Sedangkan kita tahu berapa banyak korban dari bencana tersebut. Ada yang perlu kita sadari, bukan hujan yang mematikan, tapi kerusakan yang manusia lakukan, yang menyebabkan hujan yang seharusnya menjadi rahmat, justru menjadi bencana.
Terakhir, mari jangan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Berdoalah untuk diri, dan juga untuk saudara kita di luar sana yang sedang ditimpa musibah, yang sedang diuji, dengan ujian yang mungkin tidak bisa kita lalui. Every test is the right test for each of us. Mari saling bantu. Seperti yang disebutkan dalam al ashr, satu-satunya cara untuk selamat dari kerugian adalah memenuhi 4 syarat: menjadi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beramal shalih dan yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan yang saling mengingatkan dalam kesabaran.
Wallahua'lam bishowab.


No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya