Follow Me

Monday, April 30, 2018

Random: Penulis Bukan Politikus, Nomer Legenda, dan Sedikit Orang Saja

April 30, 2018 0 Comments
Bismillah.
#random

Berapa hari? Lima ada? Saya ga berhitung harinya sih. Tapi sejujurnya beberapa hari kemarin saya buka tutup dashboard blogger. Keinginan menulis itu ada, tapi dorongan untuk merangkai kata memeluk makna belum ada. Salah sih, jangan ditiru. Padahal menulis itu, kadang perlu dipancing, nulis dulu, nanti moodnya hadir. Jangan terbalik. Kalau cari mood dulu, bisa-bisa ga nulis-nulis. Sampai satu bulan, dua bulan dan bahkan satu tahun berlalu.

***

Sore ini, yang menggerakkan hati untuk menulis sebenarnya sebuah kejadian kecil, lalu rasanya ingin reaktif dan menuliskannya di sini. Tentang sebuah kontak, add akun line-ku, karena menyimpan nomerku. Masalahnya, saya ga kenal. Nama X, preview, ada alamat website. Sekilas mikir, apa ini calon bupati/gubernur? Wkwkwk. Akhirnya aku berkunjung ke website tersebut, belum lama dibuat, tahun 2016. Sengaja kutelusuri sampai page terakhir, 7 atau 8. Tulisan terlama Desember 2015.

Websitenya bagus, saat kesana ada pop up, tulisan panjang, yang ujung-ujungnya promosi buku. Setelah itu aku sadar, beliau bukan orang politik, tapi penulis buku. Lanjut googling, bukunya. Belum ada resensi, ya.. cuma ada orang jualan. Di goodreads juga belum ada ratingnya. Hm.. Yasudah.

***

Kejadian itu, ya, kejadian kecil itu sudah berhasil membuatku reaktif dan akhirnya menulis di sini.

Menyadarkanku kalau nomer hp klasik-ku sudah bukan hal rahasia. I mean, aku bergabung di banyak grup menulis, grup kulwap ini itu, pernah jadi cp juga. Yawis. Lain kali ga perlu kepo, kalau ada yang tidak dikenal add line by phone number.

Bicara tentang nomer hp. Aku pernah terkejut, saat seorang teman, sahabat SMP-SMA nyambung kontak lewat instagram, habis itu tukeran nomer wa. Eh, dia masih ingat, kalau itu nomer lamaku. Sesaat setelah baca nomerku, ia membalas, "wah masih nomer legenda ya". Kalimat singkat itu somehow begitu hebat membuatku luluh. Ya, di jaman orang dengan mudah menyimpan nomer, trus kalau hp hilang, kontak ikut hilang semua. Namun ia masih mengingat nomerku, bukan hafal, mungkin sekedar ingat kombinasi angkanya. Itu saja cukup membuatku yakin, kalau persahabatan kami istimewa. 

***

Bicara tentang teman. Berapa banyak teman SD yang masih kontak sama kamu? Bukan satu grup, beneran ngobrol dalam satu chat pribadi. Temen SMP? Temen SMA? Kuliah?

Lalu aku teringat sebuah tulisan di blog aisyafra.wordpress.com yang judulnya "Just a Few Good People" 
"You don’t need to be accepted or loved by everyone, just a few good people. People who accept and love you the way you are. Even at the times when you are hard to accept and love yourself."
- Meutia Halida
Izinkan kututup tulisan ini dengan terjemahan kutipan di atas,

Kamu ga perlu diterima atau dicintai oleh semua orang, cuma perlu beberapa orang saja. Orang-orang yang menerima dan mencintaimu apa adanya. Bahkan di waktu kamu sendiri sulit untuk menerima dan mencintai dirimu. 
Sekian. Terimakasih.

Wednesday, April 25, 2018

Tabattul

April 25, 2018 0 Comments
Bismillah.
#buku

Dari surat Al Muzammil, wadzkurisma rabbika watabattal ilaihi tabtiilaa.

وَٱذْكُرِ ٱسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًۭا
Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.

Terjemah di atas diambil dari aplikasi Lafzi. Kalau dari mushaf syamil quran:

"Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati."

***

Dari buku Madarijus Salikin, jadi tahu arti lainnya.

Tabattul artinya pemutusan/perpisahan. Dari apa? Ada tiga tingkatan, yang pertama dari makhluk-Nya, yang ada di dunia, entah itu manusia, harta, tahta, atau lain-lain.

Yang kedua perpisahan/pemutusan dari hawa nafsu.
"Ketika terputus ketergantungan jiwa dengan hawa nafsu, maka jiwa tersebut akan mendapatkan ketentraman dengan bergantung kepada Allah." - Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al Jauziyah
Level yang ketiga, saya lupa. Maaf *peace

***

Menulis ini karena sebuah kiriman whatsapp Karom, yang mau daftar, bisa kirim whatsapp ke +62 85284239760 ketik "Aku daftar KAROM ya!". Atau bisa follow ig-nya @karom_hg

Di kiriman itu, dikutip tentang lima perkara yang dapat merusak hati. Baca itu, jadi inget... pernah kepengen nulis nukil buku yang isinya itu. Tapi ragu, karena ada hambatan. Jujur takut, barangkali kelima-limanya sering aku lakukan hiks TT

***

Sekitar sebulan ada kali ya, saat aku memutuskan untuk memulai lagi hobi membaca yang pernah pudar hehe. Hubungan membaca dan menulis, yang katanya seperti kekasih itu, beneran kerasa. Tiap habis baca apa, ada dorongan untuk menulis apa yang udah dibaca. Apalagi kalau buku yang kita baca secara ga langsung bisa berkaitan, otak kita jadi ingin membuat simpulan-simpulan, belum lagi, kalau dari bacaan tersebut kita dapet insight baru. Rasanya jemari kaya ada mesin penggerak hehe.

Malas menulis, dan ingin cukup membaca saja, perasaan itu kadang hadir. Apalagi, saya termasuk penulis yang moody hehe. Tapi kalau ingat dulu, saat aku hanya hobi menulis, tapi hobi membacanya pudar, kerasa banget bedanya.

***

Tulisan ini jadi menjauh dari tema awal tentang tabattul ya? Hehe. Maaf.

Tabattul.. perlu banyak latihan, untuk bisa melakukan perpisahan/pemutusan dari hal-hal selain Allah. Tidak mudah, perlu usaha, latihan lagi dan lagi.

Menulis tentang tabattul sebenarnya membuatku takut. Karena terkadang seolah yang menulis sudah bisa mengamalkannya, padahal aslinya masih jatuh bangun, masih jauh jauh.. masih perlu banyak latihan dan belajar.

Tapi tidak menulisnya, juga takut. Takut yang dibaca dilupakan. Ya, tulisan ini, izinkan kupublish sebagai pengingat untuk diri. Bukan cuma tulisan ini, tapi semua tulisan di blog ini.
"The posts I write and share are first and foremost reminders to myself before anyone else."
Allahua'lam.

Monday, April 23, 2018

Aha Time, Pergeseran Persepsi atau Paradigma

April 23, 2018 1 Comments
Bismillah.
#buku

Malam ini, sebelum ada pesan dari Teh Mentari Pagi. Aku belum baca buku. Hehe. Bandel. Tapi setelah ada pesan dari Teh Mentari Pagi *berasa merek Teh hahaha, gatau kenapa jadi semangat. Seolah aku diingatkan, tuh bel, barangkali itu tanda bahwa meski kamu ga tidur lebih awal, harusnya lebih produktif. Akhirnya aku membuka buku 7 Habit-nya Stephen R. Covey, baca tentang pergeseran persepsi atau paradigma, yang disebut Aha Time. *Trus keinget LMD.

Ada kisah tentang betapa pergeseran persepsi/paradigma bisa mempengaruhi banyak cara kita melihat sesuatu. Yang sudah tuntas baca buku 7 Habit mungkin mengingatnya juga. Tentang situasi di kereta bawah tanah. Seorang ayah dengan anak-nya. Sang Ayah memejamkan mata. Anak-anaknya heboh sendiri, teriak, berisik, merebut koran orang lain. Sampai penumpang lain memberanikan diri menyampaikan hal tersebut ke sang Ayah yang sedari tadi hanya memejamkan mata. Sang Ayah meminta maaf karena tidak sadar anaknya mengganggu, kemudian mengungkapkan bahwa ia baru meninggalkan rumah sakit, setelah istrinya wafat. Ia tidak tahu harus melakukan apa, tidak bisa berpikir juga. Ia berkata, mungkin itu juga yang ada di pikiran anak-anaknya, mereka tidak tahu harus melakukan apa. Seketika, terjadilah pergeseran persepsi. Dang!


Yang dilihat penumpang yang bertanya, bukan lagi anak-anak yang bandel. Pandangannya kini dipenuhi rasa empati dan iba, pada sang Ayah dan anak-anaknya. Rasa kesalnya menguap dengan cepat saat persepsinya bergeser.

Itulah pentingnya memperbaiki paradigma/persepsi. Memotong semak keburukan tidak cukup, ada kalanya, yang lebih efektif adalah mencabutnya sampai ke akarnya.

***

Cuma satu, dua atau tiga halaman padahal. Tapi membaca itu.. aku kemudian teringat buku Revive Your Heart, Nouman Ali Khan. Betapa ada banyak perspektif yang berubah karena membaca buku tersebut. Tentang sedekah/memberi sesuatu pada orang lain, sebenarnya bukan yang menerima yang berterima kasih, justru yang memberi yang seharusnya berterima kasih. Uang sedekah itu mungkin hanya dipakai di dunia, tapi bagi si pemberi, itu tercatat dan berguna untuk akhirat juga.

Atau tentang definisi zann, yang ternyata maknanya sebagai sesuatu yang selalu di samping kita. Jadi perlu usaha, harus sering-sering bergerak, agar tidak terpengaruh oleh zann.

Atau tentang definisi miskin. Makna dari menebar salam, bukan cuma sering-sering mengucap salam. Tapi benar-benar engage in conversation. Jadi kita bisa kenal tetangga atau komunitas, siapa yang miskin. Bagaimana yang kita beri ke orang miskin, sebenarnya memang bukan hak kita, itu milik mereka, cuma Allah nitipinnya ke dompet kita.

Atau tentang mata', fa mata'ul hayatuddunya. Pergeseran perspektif tentang dunia, dan segala hal yang terjadi di hidup kita di dunia....

Atau tentang... apa lagi ya? Hehe. Harus baca ulang kayanya. Resensi juga belum dibuat.

***

Habis itu.. habis pergeseran persepsi, tinggal pertanyaannya, mampukah kita berjuang, dan belajar untuk mengamalkannya?

Percuma kan, kalau misal kita sudah memandang berbeda, tapi karena nafsu/ego, tetap melampiaskan kekesalan kita kepada bapak dan kedua anaknya? Jahat banget sih, kalau beneran kejadian. Ya, yang meninggal kan istri bapak, tapi ini ga ada hubungannya, ini tempat umum, harusnya bapak bisa lebih mengendalikan anak-anak bapak. Misal.. skenario terburuk. ><

***

Selamat belajar... selamat menemukan aha!
Selamat belajar... saat sudah bergeser persepsinya, sekarang coba lakukan dengan persepsi yang baru tersebut. Jangan justru merasa nyaman dengan persepsi lama. Padahal yang baru lebih baik.

Terakhir... semangat belajar, untukku terutama. Malam, mari segera tidur. Besok Hari ini senin^^

Allahua'lam.

Sunday, April 22, 2018

Jawaban dari Allah atas Doaku

April 22, 2018 0 Comments
Bismillah.

#curhatsemua

Izinkan aku curhat di sini ya... meski aku tahu, ini bukan diary. Sebentar saja, nanti mungkin akan di balikin ke draft lagi.

Malam ini... entah mengapa aku belum ingin tidur. Chat kesana kemari, dengan seorang teman SD, bertahan meski koneksi putus-putus. Seolah aku memang ditakdirkan Allah untuk tidak tidur lebih awal. Sampai sebuah pesan muncul, dari ukhti Mentari Pagi. Izinkan aku memanggilnya seperti itu, meski domain blog Ukhti tersebut sudah diubah hehe.

***

Sebuah link tulisan, lalu kubaca, mataku memanas, mrebes mili deh. Satu atau dua. Teringat ba'da magrib saat itu, teringat sore hujan saat itu.

Izinkan aku menuliskan di sini, versiku. Dari sudut pandangku.

***

3 November 2016, saat yang lain mempersiapkan hadir di acara 411, setelah kontroversi penghinaan ayat Al Quran, aku justru mempersiapkan hadir ke acara berbeda, di kota yang sama. Saat itu, rencananya, ustadz Nouman Ali Khan akan hadir, bertempat di istiqlal. Aku yang sebelumnya banyak bersembunyi dan menghilang dari peredaran, tiba-tiba seolah dapat momen untuk muncul. Aku memberanikan diri menyambung silaturahim, pada beberapa teman, pada ia, yang mengenalkanku ustadz Nouman, pada teman satu jurusan, yang tidak pernah mengalami TPB, juga pada teman berjahim putih-hitam. Rencanya, akan hadir, bertemu esok hari di Istiqlal.

Masih 3 November, sehabis magrib, aku keluar kosan, beli makan malam. Saat hendak pulang menuju arah kosan, seorang wajah familiar menyapaku. Aku tersenyum, kaget melihat wajah ukhti Mentari Pagi. Kutanya, sejak kapan di Bandung. Ternyata tetehnya lanjut S2. Sang teteh balik bertanya, ditanya progres hehe. Aku jawab bergumam, jawaban yang tidak menjawab, kemudian ingin buru-buru kabur hehe. Tapi sang Teteh yang tegas itu tidak membolehkanku pergi hehe. Masih kuingat, ia memegang pergelangan tanganku erat, agar aku tidak kabur, lalu menyampaikan wejangan, "jangan lari, hadapi".

Jangan lari, hadapi. Itu jawaban Allah atas doaku. Yang pertama. Diantarkan lewat lisan ukhti Mentari Pagi.

Saat itu.. sebelum saat itu, aku memang jatuh bangun sendiri, fighting with my own self, with my own mind, mengurung diri, cuma keluar kalau beli makan, atau kalau lagi mood untuk bertemu banyak orang, kadang suka ngebolang keluar sendirian. Saat itu, rasanya tidak tahu jalan keluar dari jurang gelap. Saat itu, aku cuma bisa meminta pada Allah, agar ditunjukkan caranya. Karena aku, hanya seorang hamba yang dina, begitu lemah. Don't know how to start walking. Ibarat kaki yang pernah patah, di gips, trus untuk jalan lagi ragu, takut, belajar lagi dari awal. Beneran dari awal, titah lagi, rembetan lagi. Ga bisa sendiri, tapi minta tolong ke orang lain ga bisa, atau ga mau entahlah.

4 November 2016. Qadarullah ustadz Nouman ga jadi ke Jakarta, karena 411 lagi rame. Rencana silaturahim di istiqlal Jakarta, pindah ke masjid Istiqomah Bandung. Berempat kami makan bersama, shalat bersama, duduk di pelataran masjid istiqomah, foto bareng, dengan kamera seorang ukhti. Aku bener-bener bahagia.

Tapi tahukah? Sebenarnya orang tuh bisa bahagia dan sedih di satu waktu. Maksudnya? Kok bisa? Iya bisa. Saat itu semacam charging, tapi aku tahu... setelah hari itu, aku bisa saja jatuh lagi, berkubang di jurang lagi, berlumur dosa lagi, lari dari masalah lagi, sibuk dengan pertarungan dengan pikiran sendiri lagi. Saat itu aku bersama mereka, tapi aku tidak bisa bohong, kalau pikiranku sebenarnya melayang-layang ke tempat lain juga.

Masih 4 November 2016. Puas "main" di Masjid Istiqomah, kami berempat berencana ke Taman Balai Kota, pengen nyobain labirinnya. Jadi deh, kami ke Masjid Balai Kota, namanya masjid apa ya? Wkwkwk. Shalat ashar di sana, lalu berniat menyebrang ke taman, cewek-cewek liat deretan pedagang jajan, akhirnya mampir beli jajan. Aku masih merasa kenyang, tapi yang lain beli, agak haus sih, akhirnya aku membeli ultra milk rasa strawberry.

Saat hendak menyebrang, tiba-tiba hujan hadir, bress, kami memutuskan balik lagi ke masjid untuk berteduh, ke tamannya kalau udah reda aja. Saat hendak ke masjid, kulihat seseorang, ia membuka payungnya. Saat itu sih, ga mikir kalau itu cara Allah menjawab doaku. Saat itu, yang dipikirkan adalah, wajahnya familiar, itu.. orang yang aku kenal kah? Aku bertanya pada teman yang di sebelahku, ia waktu itu fokus ke penjual cuanki, dan ga pakai kacamata. Jadi ia menggeleng tidak tahu.

Malamnya, setelah ngobrol dengan teman, aku bisa menyimpulkan. Barangkali, sosok berpayung itu, pengantar jawaban Allah yang kedua, "Jangan bersedih". Kok bisa? Iya, qadarullah beberapa hari sebelumnya, saya mampir di blog sosok berpayung, dan tulisannya temanya itu, la tahzan.

***

Setelah hari itu... aku melanjutkan perjuanganku. Dengan bekal dua jawaban Allah, yang dikirimkan Allah lewat dua orang, lewat lisan dan tulisan dua orang. Yang pertama, "Jangan lari, hadapi". Yang kedua, "Jangan bersedih".

***

Jumat barakah, aku menyebutnya. Karena saat aku bertemu ukhti Mentari Pagi, itu sudah terhitung hari Jumat. Begitupun sore itu. Hujan, hari jumat, doa yang kupanjat diam-diam pada Allah, jawaban doa dari Allah.

Hari itu seperti pijakan awal, hingga aku bisa sampai saat ini. Aku mengingat setiap detailnya. Termasuk, bahwa hari itu.. ada G-Camp di ITB Jatinangor. Aku melihat posternya di sosmed, ada beberapa pembicara.

***

Teteh Mentari Pagi menuliskan di link yang ia kirim beberapa menit yang lalu, bahwa ia tidak ada di sisiku. Melalui tulisan ini, izinkan aku menjawabnya. Ia ada di sisiku. Aku saja, yang tidak bisa mengeja dan mengekspresikan dalam kata. Iya, mungkin setelah pertemuan malam jumat itu.. Tiap jumat setelah itu... sore, kami bertemu, meski aku kadang bolos, atau cuma hadir tanpa persiapan. Hehe.

***

Membaca tulisan yang dikirim teh Mentari Pagi, aku kembali teringat. Bahwa aku tidak akan bisa keluar dari jurang gelap itu, aku tidak bisa melalui masa-masa kelam itu, jika bukan karena doa-doa banyak orang. Doa mamah papah mba ita aan. Doa teh Mentari Pagi. Doa teman-teman shalihah. Doa banyak orang lain yang aku tidak pernah tahu.

Alhamdulillah... Alhamdulillah bini'matihi tatimushalihaat, mujiibud da'waat..

Sungguh Allah Maha Mendengar. Bukan cuma doaku, tapi doa setiap hamba-Nya yang berdoa.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Allahua'lam.

Beda Persepsi, Beda Paradigma

April 22, 2018 0 Comments
Bismillah.

#random #hikmah

Judulnya berat ya? Isinya in syaa Allah ga berat hehe. Kemarin aku mulai baca lagi buku 7 Habit, meski dulu pernah baca berapa halaman, aku sengaja ngulang baca dari awal. Thanks to GMIB, saya jadi rajin baca buku hehe. *Meski kadang masih mikir, ini aku niat baca karena ingin lapor di grup GMIB? hehe. Gapapa lah ya? Sambil jalan, sambil benerin niat hehe. 

Jadi, sebelum masuk ke 7 kebiasaan, dijelaskan dulu tentang persepsi atau paradigma. Bagaimana orang itu memandang sesuatu ga bisa bener-bener objektif, apa yang dia alami, pengetahuan dia, itu mempengaruhi caranya melihat sesuatu.

Lalu aku teringat percakapan dengan seorang perempuan. Usianya lebih muda dariku, sebut saja dia Vanilla. Kami bertemu mengobrol tentang ini itu. Ia berulangkali menawarkan kepadaku bantuan, "Kak, aku ada kenalan yang translator juga, barangkali kakak mau freelance jadi translator." Aku menampik tawarannya, kemampuanku menerjemahkan masih dibawah standar, selain itu... sebenernya aku tidak punya motivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang. hehe. 

Hari itu, dia kembali menawarkanku bantuan. Saudaraku mau buka media kak, kata Vanilla. Kakak kan suka nulis, mau ga, aku bantu masuk, latihan jadi jurnalis. Aku? Aku menampiknya lagi, kuceritakan padanya pengalamanku magang di salmanitb.com. Aku sungguh sering pusing sendiri karena gaya menulisku jauh dari jurnalis, ga bisa maksain buat berita dengan struktur segitiga terbalik, menulis justru jadi tekanan dll. 

Vanilla berkata, "Aku harus gimana dong kak, kalau setiap tawaranku kakak tolak semua?" Aku senyum, aku jelaskan dengan Vanilla, aku sudah merasa nyaman dengan kondisi sekarang, di Purwokerto dekat dengan ortu, juga tentang kecukupan untuk sehari-hari. Aku jauh-jauh lebih tenang saat di rumah, ketimbang saat di perantauan. I mean, aku merindukan bandung, salman, qaf, dan banyak hal di sana. Tapi jika diminta memilih, bekerja di bandung atau tetap di Purwokerto dan tidak bekerja, aku pilih yang kedua. 

Vanillah terlihat bingung, ekspresi wajahnya seperti frustasi dengan responku. Tapi kan kak, apa ga malu bergantung sama orangtua, kakak kan udah sebesar ini, udah dewasa. Kalau misal kakak menikah, lalu memilih ga kerja, dan nerima nafkah dari suami, itu oke-oke aja. Jelas Vanilla, tapi kondisiku sekarang bagi Vanilla terlihat tidak baik-baik saja. Mungkin Vanilla melihatku hanya menjadi beban bagi kedua orangtuaku. Aku paham itu, persepsinya, persepsi masyarakat jaman sekarang. 

Saat itu, aku agak salah sih. Salah pilih kalimat. Aku menjelaskan padanya tentang Islam mengatur itu. Bagaimana seorang perempuan dilindungi dan diayomi orangtuanya, kalau ga ada, saudara laki-lakinya. Udah berhenti di situ. Ia, yang lebih muda dariku akhirnya memilih diam dan mengganti topik lain. 

Aku saat itu lupa menjelaskan padanya. Tentang bagaimana dua orang perempuan bekerja dan diabadikan di Qur'an, ada yang tahu? Dua orang anak perempuan, yang ayahnya sudah terlalu tua dan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. Dua perempuan yang dibantu Nabi Musa memberi minum ternaknya. 

Aku saat itu, hanya berhenti di situ. Terlalu fokus untuk menghentikan topik itu. Jujur, ga suka aja hahaha. Berasa Vanilla maksa aku pendapatnya, ya, pendapat bahwa urutannya, kalau habis kuliah ya kerja hehe. Padahal harusnya mah, aku bisa menjelaskan lebih baik, tentang bagaimana islam mengatur semuanya. Juga tidak menyalahkan siapapun yang bekerja tentunya, everyone has their own choice, their own path. Yang bekerja, yang lanjut kuliah, yang terjun di komunitas, yayasan. Atau yang seperti aku, memilih hidup di balik hijab, menulis. Terkadang terbuai dalam zona nyaman, karena draft buku ga dilanjutin hehe.

***

I know well, she just wants good for me. Vanilla, perempuan jelita itu.. Dengan kekritisan pemikirannya, semangatnya melanjutkan hidup setelah melalui badai ujian yang besar. Ya, salah satu hal yang membuatku kagum pada Vanilla, she's still standing tall, despite all things that happened in her life. Aku ga bisa ceritain sih, karena  itu privasinya. Tapi kalau aku ada di posisinya, aku mungkin ga sekuat ia. 

Percakapan dengan Vanilla itu, hadir karena perbedaan persepsi. Lewat Vanilla aku diingatkan untuk tidak mencari excuse, diingatkan untuk terus mengembangkan diri dan tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat. Lewat obrolan itu, aku diingatkan untuk tidak mendekam di zona nyaman.

***

Hikmah lainnya, aku perlu banyak belajar komunikasi, bagaimana berkomunikasi saat ada perbedaan persepsi atau paradigma. 

Sekarang, kalau inget lagi obrolan waktu itu, lucu aja. Bagaimana kami beda persepsi, beda definisi hehe. Volunteer menurut Vanilla itu ya gabung di NGO. Volunteer menurut aku? Berada di balik layar, dan berusaha membagikan manfaat.

***

Terakhir, lanjutin lagi baca bukunya ya Bell.. J

Mungkin dari situ kamu bisa keluar dari zona nyamanmu. Karena bersyukur itu, bukan cuma menerima yang Allah berikan, tapi juga mendayagunakan nikmat. Ya, mendayagunakan nikmat, yang duduk berdiri, yang berjalan berlari. Masih merasa yakin, menulis di sini saja cukup? Hehe. 

Anyway... Semoga tulisan random, campur aduk, banyak curhat ini bisa bermanfaat. Untukku terutama.

***



PS: catatan untukku. Next target, biar ga terus di zona nyama. 

Menerbitkan Buku? Aku perlu menggali lagi niatku, motivasiku. Tekadnya belum kuat, dan aku lebih menikmati menulis di sini, ketimbang di draft buku. hehe. Payah emang bella. 


Meningkatkan kemampuan bahasa Inggris-ku? Aku sedang dan masih cari cara yang cocok. Line square udah aku coret hehe. Lagi nyobain aplikasi lain. Nanti aku share ya, kalau misal udah jalan beberapa hari/pekan. 


Ada yang bilang (baca dimana gitu), ide harusnya ga perlu ditulis, kenapa? Karena seringkali kita merasa cukup dengan membagikan ide hehe. Kalau ada ide, diam, dan laksanakan saja. Tapi aku perlu pengingat hehe. Meski projek 1000 post I kelihatannya ga jalan, sebenarnya, sebagian mulai menjelma perlahan. Aku bener-bener mulai baca buku lagi hehe. Give away, belum hehe. Apa lagi ya? Kok lupa? Hehe. 


Berbenah yang Mengubah Hidup (2)

April 22, 2018 0 Comments
Bismillah.
#nukilbuku #buku

Lanjutan dari nukil buku berjudul The Life-changing Magic of Tidying Up oleh Marie Kondo. Baca bagian pertamanya di sini.

***

Latihan Memutuskan


Teknik bebenah KonMari membantu kita untuk memutuskan, apa sebuah barang perlu di buang, atau tidak. Apa barang tersebut mendatangkan kebahagiaan untuk kita atau tidak. Efeknya, kita seolah belajar untuk memutuskan, belajar mengambil pilihan.

... salah satu keajaiban berbenah adalah membuat kita percaya diri akan kemampuan kita dalam mengambil putusan. Berbenah berarti mengambil dan memegangi masing-masing barang, bertanya kepada diri sendiri apakah benda tersebut membangkitkan kegembiraan, kemudian memutuskan berdasarkan kriteria itu apakah kita hendak menyimpan atau tidak. Dengan mengulangi proses ini hingga ratusan dan ribuan kali, kita sesungguhnya secara berangsung-angsur mengasah kemampuan kita dalam mengambil putusan. Orang-orang yang meragukan penilaian pribadi mereka sejatinya tidak percaya diri. Saya dahulu juga tidak percaya diri. Kegiatan berbenahlah yang menyelamatkan saya." -Marie Kondo
Menurut Marie Kondo, jarang, dari kliennya yang menyesal telah membuang suatu barang. Jikapun ada, penyesalan. tersebut lebih baik, ketimbang saat memilih menumpuk barang. Contohnya tentang dokumen, jika ada dokumen yang terbuang, padahal beberapa saat selanjutnya dokumen tersebut dibutuhkan, maka pemiliknya tahu, bahwa dokumen tersebut tidak ada, lantas segera melakukan aksi untuk membuat ulang dokumen tersebut. Ini jauh lebih baik, dan tidak sesetress saat kita merasa memiliki dokumen namun lupa dimana meletakkannya, dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk mencarinya, dan itupun tidak pasti ketemu.




Tulisan tetang contoh tersebut seperti menyentilku, mengingatkanku, akan sebuah dokumen, yang menjadi excuse aku memilih diam, sebuah dokumen, yang entah hilang, atau sebenarnya hanya lupa dimana letaknya. Hmm.

Kenyataan bahwa mereka tidak perlu menggeledah kesana kemari justru mengurangi stres. Situasi berantakan menguras pikiran kita karena, salah satunya, kita harus menggeledah kesana kemari sekedar untuk mengetahui apakah yang kita cari benar-benar masih tersimpan atau tidak, dan sering kali sekeras apa pun kita berusaha, benda yang kita cari tidak ketemu-ketemu. 

***

Membantu Menemukan Passion


Saat selesai bebenah total, orang akan bisa melihat dan menemukan apa yang sebenarnya membangkitkan kegembiraan baginya, apa passionnya.

"Pada intinya, hal-hal yang kita sukai tidak berubah seiring berjalannya waktu. Membenahi rumah adalah cara ampuh untuk menguak apa yang kita sukai." - Marie Kondo, Life-changing Magic of Tidying Up

Contoh, tentang seorang yang pindah kerja dan menekuni bidang yang ia sukai. tentang kesejahteraan masyarakat. Atau seseorang yang makin giat dalam pekerjaannya.
"Sewaktu membenahi rumah, saya menemukan apa yang betul-betul ingin saya lakukan." Kata-kata tersebut sering saya dengar dari para klien. Bagi sebagian besar orang, pengalaman berbenah membuat mereka semakin bersungguh-sungguh dalam pekerjaan. Sebagian mendirikan perusahaan sendiri, yang lain pindah kerja, dan ada juga yang semakin berminat pada profesi mereka sekarang. Mereka kian antusias pula terhadap minat mereka yang lain, kian berdedikasi terhadap keluarga, dan kian mensyukuri hidup. Kesadaran mereka mengenai apa-apa saja yang mereka sukai otomatis kian tajam dan, hasilnya, kehidupan mereka sehari-hari menjadi lebih menggairahkan.
-Marie Kondo, Life-changing Magic of Tidying Up, hal 168
***

Jujur pada Diri, Menerima sekaligus Melepaskan Masa Lalu

Saat berbenah kita juga belajar jujur pada diri, barang yang kita temui seolah jadi cermin bagi diri, kesalahan keputusan di masa lalu, seolah dipaparkan melalui barang-barang kita. Saat kita berbenah, memilah, dan membuang benda di masa lalu, kita juga secara tidak langsung belajar menerima dan melepaskan masa lalu.


Proses mencermati dan menyeleksi barang-barang milik kita bisa saja menyakitkan. Proses itu memaksa kita untuk secara jujur menghadapi ketidaksempurnaan diri kita, kekurangan kita, dan pilihan bodoh kita di masa lalu. - Marie Kondo
***

Sebenernya, di buku ini terdapat satu bab sendiri yang memaparkan bagaimana berbenah bisa mengubah hidup. Termasuk diantaranya membuat seseorang lebih percaya diri, menjadi lebih sehat, dll, dst. Tapi di sini, izinkan aku menuliskan sebagiannya saja.

Terakhir, special thanks to GMIB^^, gerakan membaca yang menemani dan memotivasi saya untuk menyelesaikan buku ini. Kalau ga ada grup dan gerakan itu, mungkin buku ini belum selesai aku baca hehe. Terimakasih juga pada panitia RDK yang sudah mengadakan GMIB~

Semangat membaca^^

Allahua'lam.

Friday, April 20, 2018

Already Knows

April 20, 2018 0 Comments
Bismillah

-Muhasabah Diri-


Ada saatnya, kita hanya perlu jadi pendengar yang baik, tetap di sampingnya, dan tidak menggurui, tidak menghakimi. Bukan diam dan mengiyakan, benar-benar merespon, namun tidak perlu menunjukkan padanya ini apa dan itu apa. Just become friends.

***

Saat suatu hari ia bercerita, kalau ia memiliki crush dengan sepupu jauhnya, mahasiswa kampus ternama Z.

Saat suatu waktu ia berceloteh, memintaku mengenalkannya cowok mahasiswa kampus Z. Dan aku cuma bisa menjawab ringan dengan tawa kecil, kalau aku tidak punya kenalan cowok kampus Z.

Saat ia bercerita kalau ia 'berpisah' dengan gebetannya, yang mahasiswa kampus Z, anak unit Y.  Tentang ternyata cowok kampus Z ada yang suka gombal dan ga bisa dipercaya, manis di awal aja.

Aku mencoba mendengar dan tidak menghakiminya. I won't tell her about the fatwa. Cause deep inside her heart, her mind, actually she already know.

Ia sendiri, yang kemudian berbicara padaku, tentang jalan halal yang menghubungkan hawa dan adam adalah menikah. She knows, she already knows.

Ia sendiri, yang kemudian mengaku, bahwa yang membuat ia tertarik dengan sepupu jauhnya, atau dengan gebetan yang baru bertengkar dan akhirnya pisah itu, bukan karena sosok mereka lebih karena status mahasiswa kampus Z. Kesannya mungkin wow, entahlah.. Jujur saja, aku jadi mengerdil, karena pengakuannya. I really want to erase myself from that kinda title/label. I don't want people see me from that kind of things.

***

Sebenarnya aku baru pernah, berteman dengan yang seperti ia. I felt amazed everytime I think of how Allah made us met. Yang aku tahu, pasti akan ada banyak hikmah dan pelajaran dari pertemuan kami. Interaksi yang jarang, komunikasi juga jarang. Sekalinya bertemu, bertukar kalimat. She made me want to write about it.

Seperti tulisan ini. Aku jadi belajar, untuk tidak banyak menggurui, untuk belajar mendengarkan dan merespon, sincerely, tanpa merasa harus menjadi sok bijak, sok berilmu. Just be there, just be friends.

Karena sebenarnya, ia sudah tahu banyak. She already knows. Aku.. atau mungkin siapapun yang ada di sampingnya, cuma perlu sama-sama belajar, bagaimana dari pengetahuan yang ada di otak, bisa diejawantahkan, diamalkan.

Ya, ini bukan hanya tulisan tentangnya. Sebenarnya ini lebih tepat, sebuah tulisan untukku. Tentang ilmu yang harus diamalkan. Jangan sampai seperti keledai, yang membawa kitab-kitab berat, namun tidak mengerti sama sekali isinya.

Trus jadi inget Al Hadid... TT

۞ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَـٰبَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ ٱلْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌۭ مِّنْهُمْ فَـٰسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.

***

Semoga Allah melembutkan hati kita... menghidupkan hati kita dengan iman, lewat membaca, mempelajari dan memikirkan ayat-ayatNya. Aamiin.

Allahua'lam 

Thursday, April 19, 2018

Harus Sering Liat 'Folder' Draft

April 19, 2018 0 Comments
Bismillah.

#random #blog

Jadi... setelah menulis tentang dua cangkir racun, yang super abstrak, ada keinginan untuk menulis hal lain. Yang lebih manfaat lah hehe. Tapi ternyata ga semudah itu. Hehe. Entah ga mood, atau sering terdistraksi lain-lain, jadi deh, cuma nambah banyak draft, salah satunya tulisan nukil buku Life-changing Magic of Tidying Up yang kedua hehe.

Trus... sore ini, qadarullah digerakkan hatinya untuk nengok folder draft. Seratus lima puluhan draft, sebagian tulisan setengah jalan, ada juga, yang memang sudah tidak akan dipublish lagi, penghuni tetap draft hehe.

Trus...jadi nemu postingan Maryam Salamun 'Alaiha bagian 2. Aku baca, ternyata udah hampir selesai, cuma agak acak dan ada beberapa bagian yang belum dituliskan. Akhirnya, saya coba selesaikan deh hehe. Alhamdulillah tidak sesulit buat tulisan baru dari nol. ^^

***

Hikmahnya, aku harus sering, atau minimal menjadwalkan untuk liat folder draft, bukan cuma lihat judul dan list tulisan di dalamnya, tapi beneran nengokin satu-satu. Agar ide yang dulu pernah aku tulis, entah itu judul saja, atau paragraf inti saja, bisa diselesaikan. 

Hikmahnya,... kadang tulisan memang gitu. Ada waktunya sendiri untuk publish. Yang belum ditakdirkan membuana di dunia maya, pasti somehow belum diselesaikan olehku. Ga cuma tentang timing sebuah tulisan di publish, tapi juga tentang timing kapan tulisan tersebut dibaca oleh seseorang. 

Ada buku yang sudah dibeli dari tahun 2015, tapi baru dibaca tahun 2017 awal misalnya, atau 2017 akhir ya? Tebak buku apa yang aku bicarakan? Hehe. (Hint: Covernya kuning-oranye)

Atau tulisan di website tertentu, udah di publish beberapa tahun, atau beberapa bulan, tapi qadarullah baru kita baca hari ini misalnya. Seperti itu. Uniknya takdir. Paragraf ini pernah aku bahas di blogwalking kayanya, bentar aku cari linknya. Ini dia, judulnya Dear You, Who Are Struggling .

***

Udah itu aja. Menulis ini karena ngerasa seneng aja, bisa nyelesaiin tulisan Maryam bagian 2. Menulis tulisan yang bersambung itu, kalau belum dilanjutin, rasanya, kaya berhutang. Meski ga ada yang nagih. Meski yang baca juga mungkin ga peduli, atau bahkan ga nyadar bahwa harusnya ada lanjutannya. hahaha. 

Anyway.. semoga diri ini bisa menjadi blogger yang baik, yang menjadwalkan tengok dan bersih-bersih draft. Yang kalau buat tulisan to be continued, beneran diterusin. hehe. 

Semangat menulis~ luruskan niat jangan lupa Bell!

Maryam Salamun 'Alaiha (2)

April 19, 2018 0 Comments
Bismillah.

Baca bagian pertama di sini.

Ketika Allah memberikan ujian kepada manusia, Allah tidak pernah bermaksud menganiaya hambaNya, juga tidak pernah mendzalimi hambaNya.

***

Maryam tahu apa yang akan ia hadapi, ia lahir dari keluarga baik-baik, tumbuh dan dibimbing oleh seorang Nabi, dididik untuk menjadi ahli ibadah. Maka saat ia mengandung janin tanpa Ayah tersebut, hatinya diliputi perasaan takut. Allah menciptakan manusia dengan harga diri yang berharga.Tidak ada manusia yang mau dipermalukan dan direndahkan oleh orang lain.

Maryam salamun 'alaiha merupakan perempuan istimewa, Allah mengirimkan buah-buahan saat ia tidak memintanya. Seberapa banyakpun Maryam berdoa, tidak akan mengubah ketetapan Allah. Allah mengetahui bahwa Maryam bisa menghadapi ujian ini.

Maka saat hendak melahirkan Isa 'alaihi salam, Maryam berdoa, "Yaa laitani mittu qobla hadza", "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini". Namun doa Maryam tidak berhenti di sana, "wa kuntu nasyammansiyya". Dua kata, nasyan dan mansiyya. 

Setelah melahirkan Isa 'alaihi salam, Maryam berjanji bahwa ia akan puasa berbicara pada hari itu. Maka saat ia berjalan, dan cemooh serta caci maki berhamburan. Allah tunjukkan jalan keluar dari ujiannya, mukjizat pertama bayi Nabi Isa 'alaihi salam. Bayi yang berada di gendongan ibunya itu berbicara, bahwa ia hamba Allah. Mu'jizat itu membuktikan kesucian ibunya.


***

Ketika Allah memberikan ujian kepada manusia, Allah tidak pernah bermaksud menganiaya hambaNya, juga tidak pernah mendzalimi hambaNya.

Setiap nama nabi Isa disebutkan, Allah memuliakan Maryam salamun 'alaiha. Jika normalnya nama seseorang diikuti nama bapaknya. Maka Nabi Isa, namanya selalu diikuti nama ibunya. Isa 'bnu Maryam.

Kisah Maryam diabadikan, doanya, situasi' 'putus asa'-nya. Keinginan manusiawinya untuk dilupakan dan terlupakan, saat ujian berat itu dibebankan di pundaknya. Menjadi jejak yang akan menghibur setiap manusia di sampai akhir zaman. Mereka yang diberi Allah ujian, merasa tidak mampu, ingin menjadi yang dilupakan dan terlupakan. Doa Maryam, cara Allah menjawab doanya, membuat kita teringat lagi, Allah tidak selalu menjawab doa kita seperti permohonan kita. Karena Allah seringkali menyediakan jawaban doa yang lebih indah, lebih baik, entah itu di dunia maupun di akhirat kelak.


***

Hikmahnya, doa kita, mungkin tidak dijawab segera, dengan cara yang kita bayangkan, namun ujian itu akan menaikkan derajat kita dimata Allah. Allah menjawabnya, dengan caraNya, rencanaNya. Kita hanya perlu belajar lagi dan lagi untuk berbaik sangka kepada-Nya

Hikmahnya, akan ada saat dimana kita ingin lari dari masalah, menjadi terlupakan dan dilupakan. Saat-saat gelap dan menyakitkan itu, Allah Maha Mengetahui. Allah knows everytime you feel like giving up, Allah knows everytime you wish you're forgotten, your wish that your memory, the existence of you in people's memory to disappear. Allah tahu saat-saat itu. Bukan cuma tahu, Allah ada, dan akan membantumu melalui masa pedih itu. Innallaha ma'ana. Makna ma'ana bukan sekedar ada, tapi juga menunjukkan bahwa bantuan itu dekat.


Wallahua'lam.

***

PS: Terinspirasi dari video ustadz Nouman Ali Khan - How Du'a Works

Tuesday, April 17, 2018

Dua Cangkir Racun

April 17, 2018 0 Comments
Bismillah.
#fiksi #random #gakpenting

*warning* super abstract, it won't give any benefit for you to read

***

Fa: Sola... simak baik-baik ya?
Sol: (mengangguk)
Fa: Suatu waktu, di sebuah tempat, terdapat dua buah cangkir racun.
Sol: (mematikan notifikasi di hpnya, agar tidak mengganggu sesi dongeng dari Fa)
Fa: Cangkir pertama, berisi racun bubuk. Warna bubuknya seperti glitter, kerlap kerlip. Ada yang berwarna emas, merah, biru, hijau, silver, oranye dan hitam. Seperti glitter yang mudah menempel di benda apapun. Kerlap kerlipnya membuat pengembara yang melewatinya mendekat lalu tertarik untuk menyentuhnya. Bahkan dengan senang hati, banyak pengembara yang menjatuhkan racun bubuk tersebut ke seluruh tubuhnya. Seolah dengan menaburkannya, seseorang dapat terlihat lebih menarik karena kerlip dan warnanya.
Sol: Cangkir kedua?
Fa: Cangkir kedua berisi racun cair. Tidak berwarna, namun aromanya unik. Mengundang para pengembara yang haus untuk mencicipinya. Rasanya segar di awal, manis di tengah, dan sedikit meninggalkan rasa pahit di akhir. Setiap teguknya, menghadirkan kehausan yang lebih, seperti meminum air garam.
Sol: Lalu? Apa lagi yang istimewa dari dua cangkir tersebut?
Fa: Cangkir tersebut akan terisi ulang secara ajaib setiap seorang pengembara menghabiskannya. Jika pengembara tersebut masih serakah dan menghabiskan juga cangkir kedua dari dua cangkir racun tersebut, maka akan terisi lagi. Namun jika yang ketiga dihabiskan juga, dan cangkir itu terisi lagi... maka pengembara tersebut akan mulai merasakan efek racunnya.
Sol: Apa dua cangkir tersebut punya efek berbeda?
Fa: Ya, cangkir pertama, racun bubuk membuat pengembara lupa ingatan. Ia tidak ingat tempat yang ingin ia tuju, tidak pula ingat tempat kembali. Ia akan berputar bertahun-tahun di hutan tersebut, sampai mati ditelan sang waktu, atau mati karena terus menerus meminum dua cangkir racun pada setiap putarannya.
Sol: Efek racun cair?
Fa: Membuat pengembara mengajak pengembara lain untuk ikut menikmati dua cangkir racun tersebut, terus menerus, berantai, ibarat penyakit endemik.
Sol: Adakah penawar dua cangkir racun tersebut?
Fa: (tersenyum)

***

Dua atau tiga bulan yang lalu ditulis. Niatnya mau dibuat fiksi gitu, tapi ga bisa diselesaikan. Nyatanya ga mudah, membuat perumpamaan situasi nyata, ke fiksi. Di satu sisi sulit untuk menuliskannya secara terang dan lugas. Tapi menuliskannya dengan abstrak juga sulit. Tapi ide awal tulisan ini masih sering membuat otakku mengeras, seolah perlu dikeluarkan dan diekspresikan. Izinkan kucoba menyelesaikan draft ini, hari ini. Ditemani derai hujan sore, di sini.

***


Dua cangkir racun. Itu kata kuncinya. Satu sama lain saling menyakiti, menjadi racun bagi satu sama lain. Aku tidak tahu dari mana, dan kapan semua itu menjadi racun. Bukan aku yang meminumnya, tapi ia. Ia yang meminum racunnya, tapi melihatnya tersakiti dan semakin parah, karena racun yang pernah ia teguk di masa lalu, aku... juga merasa sakit. I can't bear to see it.

***

Ia berkata padaku, ia sudah tidak peduli pada sosok itu. Kuragukan kalimatnya, yakin ga peduli? Trus tulisan-tulisan itu? Bukankah itu semua ditulisnya, agar sosok itu membacanya? Bukankah ia pernah mengaku padaku, bahwa kata-kata yang tidak indah itu, merupakan bentuk ia mencari perhatian sosok itu. Berharap sosok itu... baca, tahu, dan merasa bersalah.

Ia menjawab, itu bukan peduli. Itu benci kesumat, dendam. Sosok itu melukainya, aku tahu, kau terluka karena sosok itu. Meski aku tidak bisa melihat seberapa parah luka yang sosok itu tinggalkan di dirinya. Yang aku tahu, ia membiru, membeku, mengeras karena secangkir racun yang ia teguk, ya... ia mungkin menyalahkan sosok itu, karena sosok itu yang menyodorkan cangkir berisi racun. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak tahu. Bahwa meski yang menyajikan secangkir racun itu sosok tersebut, yang mengangkat cangkir, dan membiarkan racun tersebut mengalir ke dalam kerongkongannya, adalah tangannya sendiri.

***

Dua cangkir racun. Meski aku tidak mengenal sosok yang sering ia maki, tapi aku tahu, bahwa saat ia meminum racun, ada dua cangkir. Dan sosok itu juga meminumnya. Keduanya, awalnya mungkin tidak tahu, tidak sadar, atau mungkin tahu dan sadar namun khilaf, bahwa masing-masing hanya akan menyakiti satu sama lain. Racun, ya, sebuah racun tidak langsung bekerja secara instan, perlahan-lahan racun masuk ke aliran darah, membuat jantung perih, mengeras, membuat tubuh mengejang.

Ingin sekali, aku carikan untuknya, penawar racun tersebut. Namun aku bukan ia, bukan pula sosok yang setiap hari ia lemparkan batu. Aku cuma orang luar, penonton, yang berada jauh... jarak ini bahkan membuat suaraku tidak mampu sampai mengetuk gendang telinganya.

Aku melihatnya dari jauh, efek racun yang menggerogoti jiwa dan raganya. Aku tidak bisa membuta. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihatnya. Aku harus mendekat padanya, mengingatkannya agar mau mencari penawarnya, bukan justru fokus mencari sosok tersebut dan ingin membalas dendam pada sosok tersebut. Aku tidak boleh diam saja.

***

Tapi aku tahu apa? Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah melihat cangkir racunnya, warna racunnya, apa unsur-unsur yang menyusun racunnya.

Tapi aku tahu apa? Aku sebenernya tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah, dan semoga tidak penah, di posisinya. Saat ia bertemu sosok itu, duduk berdua berhadapan dengan cangkir di tangan masing-masing. Seperti terbuai semu dan mengira yang di dalam cangkir adalah air madu yang manis dan berkhasiat. Dibutakan oleh situasi, momen, waktu, kalimat demi kalimat, harapan demi harapan, juga bisik bisik suara jahat yang membuat masing-masing tak segan menelan tetes demi tetes racun.

Dua Cangkir Racun.

***

Ya, aku tidak tau apa-apa. Tapi aku tahu satu hal. Bahwa Allah tidak menciptakan penyakit tanpa obat. Allah tidak menciptakan racun tanpa penawarnya.

Dan aku... situasi ini, saat aku melihatnya dari kejauhan, jiwa dan raganya rapuh. Aku percaya Allah menuliskan skenario ini untuk sebuah hikmah dan pelajaran. Aku tidak boleh berdiam, meski saat ini aku masih ketidaktahuan dan kebingungan, bagaimana cara membuatnya kembali padaNya, kemudian sama-sama meminta padaNya penawar dua cangkir racun tersebut.

Allahua'lam.

***

PS: maaf super abstrak. But I really need to write about this. Especially today, especially this afternoon.

Sunday, April 15, 2018

Belajar Ulang Tentang Hijab dan Hijrah

April 15, 2018 0 Comments
Bismillah.
#buku


Pernah kutulis di sini tentang buku yang disusun oleh seorang teteh, yang jadi booster semangatku dalam menulis. Alhamdulillah, Sabtu pekan kemarin saya bertemu sang teteh shalihah, cerdas, cantik, tulisannya udah dibukukan lagi hehe. Buku ini dititipkan ke tempat mukena masjid Salman, karena saat kami makan dan ngobrol dan makan siang bareng, sempat lupa. Giliran sudah berpisah, baru ingat, hehe. Detail kaya gini, harusnya ga perlu dituliskan ya? Hehe. Gapapa, nanti bisa diedit, atau dihide. In syaa Allah.

***

Aku beberapa hari ini sedang mengkonsumsinya, membaca lembar-lembar di dalamnya. Dulu, saat pertama cerita tentang buku ini, Tetehnya memang pernah bilang, kalau buku ini lebih cocok untuk muslimah yang sedang berhijrah, dan masih ragu untuk menggunakan hijab atau ragu untuk istiqomah di jalan hijrah. Tapi setelah membaca seratus satu halaman di dalamnya, bagiku, buku ini masih cocok untukku. Rasanya, seperti diingatkan lagi tentang niat hijrah, tentang makna hijab. Diingatkan lagi, tentang perintah menundukkan pandangan, dll, dst.

Aku suka sama tampilan bukunya meski agak pinky, tapi nyaman di mata. Ukuran font-nya, warna kertasnya, white space-nya, ilustrasi di dalamnya, dan tentunya, suka juga dengan konten dan tulisan di dalamnya. Rasanya seperti dapat tambahan penyemangat, membuatku berangan, kalau bukuku nanti, kaya apa ya? hahaha. mimpi loe bell, rasanya ingin memukul kepala sendiri. Ya, angan, mimpi, cuma sampai di situ, kalau ga diteruskan dan dilanjutkan dengan aksi. Aku, sampai detik ini masih terlalu sering diam dalam zona nyaman. Di blog ini saja, atau kontribusi di balik layar saja. Alasan, excuse, hambatan persepsi, rantai gajah.

Anyway, membaca buku tersebut, membuatku ingin menulis di sini. Memberitahu pada banyak orang, bantu promosi, ayo dibeli.. hehe.

***

Terakhir, dariku... Setiap muslimah punya perjalanan hijrahnya sendiri, jangan mudah menghakimi jika itu tentang orang lain. Tapi jika itu tentang kita, mari bicara pada diri sendiri, tanyakan pada hati, apa yang membuat kita enggan bersegera lari kepadaNya? Apa yang membuat kita masih ragu, mengamalkan ilmu yang dibentangkan olehNya, tentang hijrah, tentang hijab, atau tentang ilmu lain yang menanti untuk diamalkan.

Tidak bosan, mari sama-sama berdoa, doa yang ada di surat Al Kahfi, tentang orang yang lupa mengucap in syaa Allah. Yang maknanya begitu indah... 

إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَٱذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰٓ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّى لِأَقْرَبَ مِنْ هَـٰذَا رَشَدًۭا
kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

Aamiin.

Wallahua'lam.




Saturday, April 14, 2018

Seasonal Extrovert

April 14, 2018 0 Comments
Bismillah.

Menjadi ambivert itu... unik. Hehe. Di sini, izinkan aku menuliskan kebiasaan atau tanda-tanda yang muncul, saat si ekstrovert menyeruak.

Judulnya mungkin seasonal extrovert, realitanya, kemunculan sisi ekstrovertku tidak tergantung musim hehe. Kadang menyeruak saja, tanpa penyebab. Mirip suhu, terkadang naik, kadang turun.

Saat ia muncul, aku berubah menjadi ekstrovert, condong ke ekstrovert, bukan di suhu normal ambivert. Biasanya aku jadi lebih banyak berbicara ke banyak orang, baik secara lisan maupun tulisan. Efeknya, banyak teman yang kukontak di masa-masa itu. Grup messaging yang biasanya hanya aku baca, aku jawab seperlunya, kini jadi tempatku mengeluarkan kalimat-kalimatku. Tiba-tiba saja jadi member aktif, bertukar ide, opini, bahkan tidak ragu bercerita tentang diri. Menulis di blog? Mungkin, dan gaya bahasanya biasanya berbeda, kontennya juga mungkin lebih banyak curhat dan bercerita tentang diri. Kalau itu belum cukup, aku kadang menyapa orang-orang yang aku kenal, tapi ga dekat, lalu mengajaknya diskusi serius hehe. Yang pernah jadi korban, dan kaget, saya mohon maaf hehe.

Biasanya, saat si ekstrovert menyeruak, akan banyak aktivitas unik yang aku lakukan. Karena sisi ekstrovert biasanya fokus melakukan tanpa berpikir, siklusnya aksi-berpikir-aksi. Berbeda dengan introvert, yang banyak berpikir, dan ragu untuk memulai aksinya.

Seasonal ekstrovert tidak bertahan lama, biasanya paling lama satu hari, atau setengah hari. Setelah itu balik ke suhu normal, ambivert. Atau kalau sudah terlalu lelah, bisa jadi berbalik ke sisi introvert. Hari berikutnya, saat sudah normal, atau pindah ke sisi introvert, biasanya lebih banyak malu sendiri mengingat yang kemarin dilakukan hehe. Tulisan-tulisan akan dikembalikan ke draft, atau diedit biar tidak banyak cerita tentang diri. Menghindar membuka aplikasi messaging, dan menjadi silent reader lagi. Menjauh dari hp, memilih aktivitas yang sunyi, dan tidak banyak interaksi dengan manusia. 

***

Ini cerita tentang seasonal ekstrovert-ku. Bukan teori, jangan ditelan mentah-mentah hehe. Aku cuma orang biasa, yang tahu istilah ekstrovert, introvert dan ambivert hanya di permukaan. Jadi bisa jadi banyak salah. 

Menulis ini dalam rangka mengekspresikan, betapa menariknya belajar mengenai diri sendiri. Unik saja, setelah memahami pola saat seasonal extrovert menyeruak, berkali-kali. Mungkin memang belum diteliti lebih detil, tentang kapan ia muncul, frekuensinya dalam sebulan, dll. Tapi sekedar mengenali polanya, membuatku sadar... betapa Allah Maha Sempurna, Maha Pencipta. Setiap makhluknya IA kenali. Tidak ada yang sama, ibarat sidik jari yang berbeda, begitu pula personal/karakter setiap orang. Saat kita sendiri bahkan terkadang tidak mengerti tentang diri sendiri, Allah ada, Allah knows.

***

Aku pernah berada di fase kehilangan diri. Saat aku ragu dan bingung, sebenarnya aku itu yang mana? Yang benci keluar dan benci berinteraksi dengan orang lain kah? Atau yang senang bergaul dan bertukar pikiran dengan orang lain kah? Sebenarnya aku yang mana? Yang sombong, tidak bertanggung jawab, egois? Atau yang sebaliknya? Bingung, tersesat dalam pikiran sendiri. Takut bertanya pada orang lain, karena saat mereka bilang aku A, aku terkadang mempercayainya bulat-bulat, tapi saat mereka bilang aku B, aku tahu.. mereka hanya melihatku dari permukaan saja. Jadi? Jadi kebingungan itu, perasaan tersesat itu.. baru bisa perlahan diurai kekusutannya saat aku belajar lagi mendekat pada Allah. Ya, belajar ulang lagi mengeja dan membaca kalam-Nya. Bertanya pada-Nya, kemudian Allah tunjukkan satu demi satu jalan, cara, media, untuk mengurai masalah yang saat itu sudah terlalu kompleks untuk kuselesaikan sendiri, dengan keterbatasan kemampuanku.

Jika ada yang membaca ini, dan masih belajar, seperti aku yang juga masih belajar mengenal diri. Semoga Allah memberikanmu kejernihan pikiran dan kelapangan dada untuk bisa terus belajar, meski jalan mempelajarinya tidak mudah, meski akan kau temukan dirimu terjatuh dan terjembab berkali-kali.


Selamat berjuang, belajar mengenal diri sendiri.. Semoga di perjalanannya, kita jadi lebih banyak mengenal Allah dan Keagungan-Nya. Aamiin. 

Allahua'lam. 

***

PS: Tambahan ga penting dan out of topic. Nulis via hp, tapi bukan pakai aplikasi, melainkan di browser hehe. Rasanya? hahaha. Unik, agak awkward, mungkin akan banyak typo dll. Menulis di sini, karena beberapa hari kemarin baca tulisan, agar jangan banyak excuse, jangan alesan ga nulis hanya karena sudah tidak bisa sering-sering bertemu lappie tersayang hehe. Anyway, have a nice weekend everyone~

Thursday, April 12, 2018

Why Did You Hide?

April 12, 2018 0 Comments
Bismillah.

#fiksiku

Pertanyaan itu dilemparkan kepadaku. Dengan ketus kutampik, "Nggak, aku nggak sembunyi". Aku sedang menunggu teman, dan aneh rasanya menunggu di tengah lorong, jadi aku menepi, dan itu bukan persembunyian.

Ingin rasanya memperpanjang penjelasan, agar ia paham, aku tidak memiliki alasan untuk bersembunyi darinya maupun dari orang lain. Aku mungkin memang tidak akan menyengaja menemui banyak orang, aku hanya akan menyengaja bertemu dengan orang-orang yang ingin kusapa, orang-orang yang dengan mereka aku bisa ringan bercerita semua, karena mereka sudah tahu, dan aku tahu mereka menerimaku, kekuranganku. Tapi tidak menyengaja untuk bertemu bukan berarti bersembunyi. Sungguh, I won't hide, I won't even ignore. Jika memang tanpa sengaja bertemu, aku tidak akan bersembunyi atau menghindar. Aku mungkin bisa tersenyum dan memulai sapaan, bertukar pertanyaan, kemudian melanjutkan aktivitasku.

***

Why did you hide? Tanyanya saat itu. Itu bawa apa? Tanyanya lagi. Aku melihat tas kertas batik di tangan kananku. Oh, ini... hadiah untuk temanku, hari ini hari istimewa, bukan hari lahir memang, tapi ini hari tanda ia telah menyelesaikan salah satu tugasnya. Dan aku hadir jauh-jauh untuk berada di sampingnya di hari istimewa tersebut. Ia mengangguk pelan, mungkin menyadari kesalahan pertanyaannya. Semoga ia sadar, bahwa jika aku benar-benar memilih bersembunyi, maka aku tidak mungkin di sana, dan berniat kesana.

Tahu A? Tanyanya.. Ini juga hari istimewanya. Aku sedikit terkejut pada informasi yang kudengar darinya, aku kira hari istimewanya sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Kusebutkan padanya, berarti ada banyak orang, yang hari itu.. adalah hari istimewa. Bukan cuma temanku, bukan cuma A, tapi banyak orang.

***

Ia pergi, saat yang ia cari di lorong itu, ternyata sedang ada urusan di tempat lain. Entah basa-basi atau benar-benar bertanya, ia sebutkan nama kecamatan itu. Aku jawab, hanya tahu angkot dengan jurusan tersebut, namun belum pernah kesana. Ia pergi, dan aku... masih merasa ofensif pada pertanyaannya.

Why did you hide?

Aku bertanya pada diri sendiri saat ini, ditulisan ini. Apa rasa ofensif dan keinginan menuliskan ini, adalah tanda... kalau sebenarnya saat itu aku bersembunyi? Darinya? Karena apa? Karena menghindari pertanyaan klise saat orang-orang berpapasan setelah lama tidak bersua? Karena itu?

Jawabanku tetap sama. Aku tidak bersembunyi. Sungguh. Saat itu aku tidak bersembunyi. Karena jika aku memang berniat bersembunyi, saat kulihat ia datang ke arahku, aku seharusnya berbalik dan segera pergi dari lorong itu, menuju jalan sempit yang lebih gelap. Di sana tempat sembunyi yang cocok. Tapi saat ia mendekat ke tepi lorong tempat aku bersembunyi, aku menyapanya, ya, aku yang terlebih dahulu menyebut namanya. Menceritakan padanya, bahwa temanku mengenalinya dari jauh, namun aku enggan mencari tahu lebih jauh, bukan karena ingin bersembunyi, hanya karena, buat apa? Haha.

***

Dua, tiga atau hampir sepekan setelah pertanyaan itu dilempar padaku. Aku kemudian teringat, bahwa aku mungkin juga melemparkan pertanyaan yang membuat ia tidak nyaman. Di sini... izinkan aku meminta maaf. Mungkin lebih baik, kalau saat itu aku sembunyi. Sehingga ia tidak perlu menjelaskan padaku, mengapa ia ada di sana. Maaf, jika karena pertanyaanku, ia tidak bisa bersegera pergi karena segan dan bingung mengakhiri percakapan. Aku kurang pandai membaca bahasa non verbal, saat itu. Kalau diingat lagi, padahal jelas terlihat berulangkali gerak kakinya ingin segera pergi. Tapi pertanyaan pertamanya, padaku, membuatku ingin membuktikan padanya, sungguh aku tidak sedang bersembunyi.

Jadi, maaf. Ia salah. Aku tidak bersembunyi. I didn't hide that time.

The End.

Tuesday, April 10, 2018

Viral, Hoax, Sosial Media dan Reaktifitas Kita

April 10, 2018 0 Comments
Bismillah.
#opini
-Muhasabah Diri-



Selepas menyelesaikan yang harus diselesaikan, aku kembali ke dunia sosial media. Yang tadinya buka aja ogah, aku kini jadi konsumen juga, mendapatkan informasi ini itu, berita-berita viral, reaksi orang-orang terhadap berita viral tersebut. Kadang, ada dorongan ingin ikut reaktif, bahas dari sudut pandang pribadi di blog ini. Tapi mungkin karena aku masih terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, aku tidak jadi reaktif, memilih untuk sekedar mengkonsumsi saja beritanya.

Di satu sisi.. aku merasa ada hal baik dari fenomena tersebut. Berita yang viral bisa dengan cepat diketahui apakah itu hoax atau bukan, jika yang mengkonsumsi, bukan cuma orang-orang yang suka share asal, tapi juga orang yang teliti. Tapi kadang sedih, bagaimana yang viral itu.. biasanya berita negatif. Begitulah cara kerja media, bad news is a good news. Sedihnya bukan cuma media cetak/tv, tapi juga sosial media. Seolah-olah otak kita sudah terbiasa dengan pola itu, kalau ada berita buruk, viralkan, kemudian buatlah tulisan/postingan/tweet reaktif sebanyak-banyaknya.

Ga terhitung lah berapa banyak hal viral, yang kadang hoax, kadang benar, ada hikmah positif dan negatifnya di balik berita viral tersebut. Ga terhitung juga aku baca tulisan/postingan/meme reaktif terhadap topik terkini yang viral. Aku yang mengkonsumsi saja, baca saja, lihat saja, sudah cape. Apalagi kalau aku ikutan andil reaktif setiap kali ada berita terkini. Hehe.

***

Di era sekarang, dimana sosial media bisa dengan mudah mem-blow up suatu topik, kita harus lebih bijak. Kita harus paham kapan kita harus duduk dan menjadi penyimak saja, dan kapan kita harus maju bersuara/menulis pandangan kita terhadap topik tertentu tersebut. Menyuarakan pendapat dan pandangan kita boleh-boleh saja, namun ada saatnya kita tengok, apakah reaktifitas kita hanya bentuk membebek, atau membeo? Tengok lagi, adakah hal yang lebih baik kita lakukan, ketimbang sibuk menjadi reaktif tentang berita viral ini itu, hoax ini itu?

parrot atau beo, biasanya punya kemampuan meniru, hanya meniru saja

Saya merasa salut dan kagum, pada media yang memilih fokus menulis hal-hal positif, tapi tetap up to date pada berita kekinian. Contohnya temali media, salah satu start-up nya teh Tristi, yang aku kenal dari unit Aksara Salman ITB. Bacanya adem hehe.

***

Terakhir, ada saatnya kita harus bicara dan menulis, mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hati. Ya, ada saatnya kita harus menentukan sikap, menyatakan di pihak mana kita berada. Namun jangan jadikan itu hasil kereaktifan kita, pastikan ada proses untuk mengolahnya, bukan sekedar urgensi untuk segera mem-publish/post sesuatu sesuai dengan topik viral terkini.

Wallahua'lam.

Monday, April 9, 2018

Menu Baru, Survei Lama

April 09, 2018 0 Comments
Bismillah.
#blog

Singkat cerita, ada yang lewat di postingan Survei Kecil-Kecilan dan mengisi surveinya. Baik banget, padahal mah ia baru pernah sekali melintas di blog ini hehe.

Saya jadi tahu, kalau ada yang perlu di edit dari form tersebut. Sudah diedit, saya buat di menu link surveinya.

Intinya, meminta feedback dari siapapun yang melintas tentang blog ini.

Yang males buka menu blog ini, bisa klik ini untuk mengisi surveinya.


Terimakasih sebelumnya. 

Harusnya Ga Ditulis (Versi Kalem)

April 09, 2018 0 Comments
Bismillah.
#curhatsemua
-Muhasabah Diri

Sebelumnya, saya sudah pernah menulis tulisan dengan judul mirip, versi sensiMe. Nulisnya saat itu benar-benar sensi, nangis bombay lebay. Cuma sebentar aja up, lalu saya down-kan lagi, pindah ke draft. Linknya tapi ada, meski ga bisa di akses.

***

Berawal dari percakapan di aplikasi messaging.

".......kalau ke Bandung, harus ulang ******* ** dari awal kayanya hehe (:", tulisku setelah sebelumnya menjawab pertanyaannya tentang aktifitas terkiniku. 

"Ada jadwal ke Bandung? Sama suami?"

"hehe. Pengen ke Bandung silaturahim, ada beberapa temen yang ngajak ketemuan. Suami belum ada teh hehe. Tapi mungkin belum tahu kapan(-ke Bandung)nya," jawabku saat itu. Saat aku belum tahu, kalau ternyata rencana ke Bandung awal April ini akan terealisasikan.

"Owh bella belum nikah, soalnya waktu itu ada info", jawabannya membuatku menyernyitkan dahi.

Info? Info apa? Dari siapa? Info hoax? Dipercaya aja? Ga tabayyun? Dan segala kesensian lainnya berlalu lalang di otakku.

"Rumor kali ya teh? hehe", kujawab, berusaha menenangkan rasa sensiku.

"Owh... Wallahua'lam *emot tertawa dengan mata tersenyum"

"In syaa Allah aku kabarin teh kalau nikah. Ya, masa ga ngabarin teteh,(-dan) teh *****? Setelah bertahun jadi ***** bandel hehe"

"Aamiin"

Ya berawal dari situ. Saat itu... aku heran dengan diriku sendiri. Sebelumnya yang aku takutkan akan tersebar adalah fakta, fakta pahit tentangku, yang rasanya lebih baik ga perlu ada yang tahu atau bertanya. Tapi saat yang terjadi, yang tersebar adalah info hoax, rumor, bahwa aku menikah, ternyata hal itu juga menyakiti diriku. Saat itu. Sekarang alhamdulillah udah kalem dan bisa merasionalkan semua.

Ya, saat itu rasanya begitu sakit membaca berulang dua kata, "ada info". Aku yang sensi saat itu, membuat otakku yang dikelilingi pikiran buruk. Ditulisan sebelumnya, versi sensiMe, aku bertanya-tanya, bagaimana seseorang memilih mengiyakan info yang tak jelas sumbernya ketimbang cross-check infonya ke aku. Sesulit itukah, sekedar memastikan dariku? Atau memang ia tak peduli? Aku hanya seorang yang tidak berarti, maka saat "ada info" tersebut, ia hanya membatin, atau menjawab "oh". Selesai, dan informasi itu ditelan saja.


Saat ini... ketika perasaan sudah lebih kalem. Aku sadar, bahwa aku tidak berhak bertanya dan menyalahkan teteh tersebut, atau siapapun yang salah sangka, atau dapat info ini itu tentang diriku, terlepas benar atau tidaknya info tersebut. Aku sadar, mereka punya hidupnya sendiri, dan aku bukan salah satu 'tokoh pendukung' di hidupnya, ibaratnya mah, aku cuma cameo, yang pernah hadir, sebentar. Jadi wajar, saat ia memilih menerima saja, dan tidak langsung tabayyun.

***

Awal mula jadi kalem dan ga sensi. Adalah saat aku merealisasikan pergi ke bandung, sama adik. bukan sama suami hehe. 

Qadarullah bertemu seorang teman, akhawat asli cilacap (Sebut saja C), sendirian karena teman perjalanannya H-2 mendadak cancel ikut ke Bandung. Tujuan kami sama, ingin hadir dan bertemu dan silaturahim dgn seorang ukhti yang sama. Aku ajakin ke salman bareng, ada mabit GSJN April, aku sebutin kalau aku ke bandung sama adik.

Singkat cerita, dua hari kemudian, saat aku sedang perjalanan pulang. Aku chat seorang ukhti, yang jadi tujuan utama perjalananku ke bandung. "Kemarin ketemu sama C?" tanyaku. Ia menjawab, "Iya. C kaget loh, dikiranya kemarin kamu sama suami." Aku tersenyum membacanya.

Lalu teringat tulisan sensi yang aku balikin ke draft. Rasanya semua jadi masuk akal. Mungkin justru diamnya dan sikapnya sekedar menerima saat "ada info" aku menikah adalah bentuk husnudzon-nya kepadaku.

Mungkin seseorang pernah melihatku dengan adik. Pilihannya ada dua, mengira adikku suamiku, atau mengira adikku pacarku hahaha. Pilihan kalau adikku adalah adikku itu sulit untuk orang yang tidak kenal silsilah keluargaku.

Lalu semuanya perasaan sensiku saat menulis postingan yang lalu seolah berubah suhu secara drastis.

Bukan ia yang salah, tapi mungkin aku yang salah. Aku yang kurang pandai menjaga komunikasi, aku yang abai menerangkan bahwa laki-laki yang kadang terlihat bersamaku di Bandung adalah adikku. Adikku yang selalu siap sedia mengantar dan menjemput kakaknya ke dan dari Bandung. Agar sang kakak terhindar dari safar sendirian.

***

Seorang bertanya, adikmu yang mana ya? Yang tinggi? Iya, yang tinggi, wajahnya mungkin ga mirip sama aku. Ia juga tidak memanggilku dengan sapaan 'Mba', bukan karena tidak tahu adab, ia hanya tidak terbiasa. Aku juga, tidak masalah disapa nama oleh adikku tanpa embel-embel mba. Justru aneh rasanya saat ia berbicara dengan orang lain dan menyebutku Mba Bella. hahaha.

Aku mungkin ga bisa mengupload wajahnya di sini, mengingat ia termasuk ikhwan yang memilih tidak upload foto di sosial media. 

***

Maaf kalau tulisannya curhat semua, sudah dikasih tag kan ya? hehe.

Maafkan aku yang pernah berburuk sangka. Saat itu, aku terlalu baper, sensi karena merasa jadi tertuduh, sensi bagaimana info hoax bisa diterima begitu saja. Padahal kalau aku mau berpikir lebih positif lagi. Sebenarnya percakapan tersebut adalah cara Allah menyambungkan lagi silaturahim diantara aku dan sang teteh. Allah yang ingin meralat infonya. Toh sekarang tetehnya tahu info yang benar.

Padahal kalau aku mau berpikir lebih positif lagi. Sebenarnya ucapannya tentang aku ke bandung bersama suami, bisa jadi sebuah doa.

Sungguh, jika silaturahim ini renggang, yang koyak adalah imanku. Maafkan aku ya teh, atas kelemahanku. Aku perlu banyak belajar berbaik sangka, dan pelru banyak belajar agar tidak terlalu sensi hehe.

***

Terakhir, barangkali setelah baca tulisan ini masih ada yang salah tangkap. Izinkan aku menggaris bawahi. Yang membuatku sensi saat bukan keyword "bersama suami" tapi keyword "ada info".

Aku mungkin masih terlalu terikat dan khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentangku dan kenyataan yang sebenarnya.

Aku mungkin masih sering lupa, bahwa aku bukan tokoh utama, bukan pula tokoh pendukung, aku.. di hidup orang lain, hanya cameo saja. Sekedar orang lewat saja. That's it.

Aku mungkin masih sering lupa. What people think of me, the information they have about me in their head, whether it's true fact or a false information. Whatever they know about me. How they see me as a person. It really doesn't matter to me, it shouldn't have been bothering me. Allah will not question me about that.

Aku masih perlu banyak belajar, banyak memperbaiki diri. Semoga kejadian ini bisa kuambil hikmahnya. Jangan cuma sensi, kalem dikit, in syaa Allah ada banyak hikmah yang menanti.

Wallahua'lam.

Sunday, April 8, 2018

But You Give It Up

April 08, 2018 0 Comments
Bismillah.
"You have all the ability to do many things, but you give it up"
Salah satu quotes yang aku dapatkan dari seorang adik. Aku menyebutnya lemon, atau strawberry ya? hehe. Salah satu dari buah itu.

Kami baru pernah bertemu dua kali. Ya kemarin, hari kedua kami bertemu. But she gives me the bright side of her, despite what had happened to her. And that's maybe the reason I know Allah want me to learn something from her.

***


Maybe she's right, that I give it up, cause I choose to keep standing in this comfort zone. Yes she's right, I don't do justice to the ability I have, to the potential Allah has given me. Cause actually I'm scared to even start something.. I'm afraid I can't take the responsibility for what I've start. So I choose to start nothing.

***

She said it takes time. I do believe that too.

Aku sekarang, cuma harus berusaha lebih keras lagi, mendorong diriku, agar potensi yang Allah anugrahkan di diriku dapat aku gunakan untuk mengabdi padaNya, serve His Deen.

That's what it takes to be grateful right? Bersyukur itu mendayagunakan nikmat, kalau kata ustadz Salim A. Fillah. (:

I still learn, and will always learn.

***

Untukku: No you don't give it up. You shouldn't give it up.

Untukku: I won't give it up. In syaa Allah.

***

Semoga kita termasuk hamba-hambaNya yang pandai bersyukur. Allahumma a-inna 'ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatik. Aamiin.

Wallahua'lam

Friday, April 6, 2018

Penopangnya Ada Dua

April 06, 2018 0 Comments
Bismillah.

#buku
-Muhasabah Diri-

Disadur dari Buku Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, halaman 203-204.

***
Perasaan takut membuahkan wara', permohonan pertolongan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpaan dengan Allah membuahkan zuhud. Ma'rifat membuahkan cinta, takut, dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan. Dzikir membuahkan kehidupan hati. Iman kepada takdir membuahkan tawakal. Terus-menerus memperhatikan asma' dan sifat Allah membuahkan ma'rifat. Wara' membuahkan zuhud. Taubat dan terus menerus mengingat Allah membuahkan cinta kepada-Nya. Ridha membuahkan syukur. Tekad yang kuat dan sabar membuahkan semua keadaan dan kedudukan yang tinggi. Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma'rifat membuahkan akhlak. Pikiran membuahkan tekad. Mengetahui nafsu dan membencinya membuahkan rasa malu kepada Allah, menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar dan disaksikan membuahkan pengetahuan yang benar.
Penopang semua ini ada dua macam: Pertama, memindahkan hati dari kampung dunia ke kampung akhirat. Kedua, mendalami, menyimak dan memahami makna-makna Al-Qur'an serta sebab-sebab diturunkannya, lalu engkau mengambil dari ayat-ayatnya untuk mengobati penyakit di dalam hati.
***



Terakhir, pesan untukku. Mari memulai perjalanan, agar hati pindah dari kampung dunia ke kampung akhirat. Perjalanannya mungkin tidak mudah, tapi akhirnya akan indah, jika kau menemui akhir hidupmu di dalam perjalanan hati tersebut.


رَّبَّنَآ إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًۭا يُنَادِى لِلْإِيمَـٰنِ أَنْ ءَامِنُوا۟ بِرَبِّكُمْ فَـَٔامَنَّا ۚ رَبَّنَا فَٱغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّـَٔاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ ٱلْأَبْرَارِ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. (QS. Ali Imran ayat 193)

Wallahua'lam.