Follow Me

Saturday, June 29, 2019

Siapa yang Tidak Open Mind?

June 29, 2019 0 Comments
Bismillah.
#hikmah #selftalk
-Muhasabah Diri-

Jadi, siapa yang tidak open mind?

Dua kali. Seharusnya aku merenung, memikirkannya dan mengambil hikmah. Jadi, siapa yang tidak open mind?

Allah dua kali ingin mengajarkanku, bahwa sikapku salah. Sikap skeptis itu. Sikap menjustifikasi berdasarkan stereotipe. Bukankah aku sendiri yang mencari sosok yang open mind? Mengapa prosesnya, justru aku melakukan sebaliknya?

Apa seseorang yang memegang prinsip, artinya ia seorang yang closed mind? Apa kamu ingat testimoni seorang kawan, bahwa orang-orang mungkin melihatmu sebagai sosok yang kaku, tapi mereka yang mengenal keseharianmu, bertukar pikiran denganmu akan tahu, bahwa tidak sepenuhnya begitu.

Hei diri! Begitupun orang lain. Jika ia memiliki suatu hal dan teguh akan prinsipnya, tidak selalu berarti ia tidak open mind. Pun termasuk saat ia begitu selektif memilih dari mana ia mendapatkan ilmu dan berguru, jangan samakan ia dengan stereotipe yang ekslusif dan ashobiyah. Karena saat kau berpikir begitu. Sebenarnya yang tidak open mind itu bukan mereka, bukan orang lain, tapi dirimu sendiri.

closed and chained (Photo by Jose Fontano on Unsplash)


Allahua'lam.

Cries Out For Help

June 29, 2019 0 Comments
Bismillah.

pelampung keselamatan (Photo by Jametlene Reskp on Unsplash)

She cries out for help. Ia menangis dan berteriak minta tolong. Sudah berkali-kali, berturut-turut selama lebih dari tiga tahun. Tapi tahun ini, ia bukan cuma menangis dan berteriak, tapi juga menodongkan pisau memaksa orang untuk peduli dan menolongnya. Alih-alih memberikannya sedikit perhatian atau kasih sayang, orang-orang menodongkan telunjuk dan berbisik di belakang mengatakan keburukan dan rumor mengenainya. Bahkan orang-orang yang memiliki kepedulian pun, takut mendekat karena pisau yang ia bawa. Sebagaian takut terluka, sebagaian lainnya takut salah langkah dan ia justru melukai dirinya dengan pisau tersebut.

She cries out for help. Dengan bahasa yang tidak dipahami orang sekitarnya. Yang lain mencerna seolah ia A, B, atau C. Tapi sebenarnya bukan itu maksudnya. Bukan itu.

Mungkin benar, ia sakit, jiwanya sakit dan butuh obat. Ia menangis meminta bantuan karena ia juga ingin keluar dari situasi itu. Tapi ia tidak bisa melakukannya sendiri. Ia butuh bantuan yang tulus. ia butuh orang yang sabar, yang bisa mensupportnya.

Terbukti, baru ketika ia bertingkah membahayakan, baru ketika itu... Orang-orang mulai memperhatikannya lagi. Bertanya-tanya lagi. Berusaha membantu lagi.

***

Ia yang menangis, berteriak minta tolong. Melihatnya selalu mengingatkanku akan diriku. Seolah apa yang ia rasakan juga pernah aku rasakan. Seolah sebenarnya, aku juga seharusnya menangis dan berteriak minta tolong.

Tidak sama memang. Jelas perbedaannya. Tapi melihatnya seolah Allah ingin mengingatkanku... Ada yang harus aku lakukan. Aku tidak boleh berdiam diri. Pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.

Allahua'lam.

Tuesday, June 25, 2019

Gerak Yuk!

June 25, 2019 0 Comments
Bismillah.

Being introvert doesn't mean all you do is listening, reading and thinking. Harus gerak juga. Meski untuk gerak perlu mempertimbangkan banyak hal.

Hari ini aku sedikit takjub pada sisi introvertku. Keinginan untuk bersuara dan mengemukakan pendapat dari sisi ekstrovert ada. Tapi karena sisi introvert, aku perlu menulis dan corat coret di A4 reuse sebelum mengetiknya dan membiarkan orang-orang di grup tsb membacanya.

Menarik. Mengenali diri. Yang ternyata pindah-pindah, kadang ekstrovert kadang introvert.


***

Beberapa hari yang lalu saya baca buku Deadline Your Life-nya Solikhin Abu Izzudin. Belum selesai, masih stuck di deadline training. Tapi sedikit halaman yang kubaca tersebut menyadarkanku pentingnya baca buku motivasi hehe. Karena memang jadi pendorong agar bergerak. Selanjutnya tinggal bagaimana kita menginternalisasi motivasi tersebut agar menjadi gerak, dan tidak terhenti karena distraksi.

Aku share salah satu quotes di dalamnya ya. Tapi bukan quotes dari Solikhin Abu Izzudin, quotes dari Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang aku baca dari buku tersebut.

"Hati itu mempunyai saat semangat dan keengganan, maka pergunakan sebaik-baiknya kala dorongan semangat lebih dominan, serta beralihlah kala terjadi kebosanan dan penurunan." - Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al-Fawaid, Efisiensi Waktu hlm. 145

Terakhir, untukmu, untukku, dan untuk semuanya... Semangat bergerak~


Allahua'lam.

***

Ps: pertanyaan ga penting, ada yang nyadar ga, postingan ini ditulis di hp?

Monday, June 24, 2019

Juni, Bulan Kampanye LGBT (2)

June 24, 2019 0 Comments
Bismillah.

color paint (Photo by David Pisnoy on Unsplash)

Baca bagian pertamanya, Juni, Bulan Kampanye LGBT

Lalu, jika kita memilih tidak setuju, apa artinya kita akan membenci dan mengucilkan mereka yang tenggelam di dalamnya?

***

Ini yang sering orang-orang anggap bias. Seolah ketika kita memilih sikap untuk menentang LGBT, tidak setuju dan menolaknya, seolah artinya kita akan bersikap semena-mena pada mereka yang tenggelam di dalamnya.

Menulis ini aku teringat dua hal, yang aku temui saat di Bandung.

Pertama, saat hadir sebuah kajian, dan mengisi adalah ustadz yang pernah mencicipi gelapnya hal tersebut. Ustadz tersebut, dulu salah seorang laki-laki yang pernah menyukai sesama jenis. Namun ia bangkit dan berhijrah. Aku tidak ingat persisnya, apa acara tersebut diadakan untuk umum, di ruang utama/selasar paving block salman, atau... acara tersebut ada di acara KISMIS (Kamis Inspirasi) di sekre Aksara Salman. Yang aku ingat, sedikit penjelasan jalan hijrah ustadz tersebut. Dan pernah tenggelam, bukan berarti akhir cerita. Seharusnya tidak menjadi alasan untuk berdiam diri. Karena sebenarnya pada setiap penyakit, Allah menyediakan obatnya.

Yang kedua, pengamen waria yang biasa bernyanyi di jalan gelap nyawang. Setiap kali berpapasan, aku selalu berusaha mengingatkan diri, bahwa ada cerita dibalik sosok mereka. Mengapa mereka memilih berpakaian seperti itu. Kejadian penuh luka, yang membuat mereka mencari uang seperti itu. Awalnya mereka korban dari kezaliman, lalu mereka merasa tidak bisa memilih, akhirnya pasrah untuk tenggelam dalam gelapnya hal tersebut.

Aku juga teringat sebuah video viral, tentang seseorang yang memilih menjadi laki-laki lagi, setelah sebelumnya selalu menutupi diri dengan topeng dan nama perempuan. Dari sana kita belajar, bahwa yang mereka butuhkan bukan justifikasi, atau penghakiman, atau telunjuk, dan tatapan sinis. Tidak mudah memang, tapi kalau kita bisa mengambil sikap yang benar untuk mereka yang tenggelam, mungkin akan terjadi perubahan menjadi lebih baik. Bukan cuma pada diri mereka, tapi juga pada diri kita.

***

Sebenarnya, untuk masalah mengambil sikap pada yang tenggelam di dalamnya, aku cuma bisa berteori. Aku belum pernah secara langsung inisiatif berinteraksi, dan mengajak diskusi. Aku cuma yakin, bahwa seperti Allah yang mengirimkan Luth untuk mengingatkan kaumnya, sebelum adzab itu turun karena kaumnya menolak dan mendustakan peringatan tersebut. Seperti itu pula kita seharusnya. Bukan langsung menjustifikasi. Harus ada pengingat yang disampaikan, dengan hikmah, dengan kasih sayang. Bukan kecaman karena kebencian.

***

Bulan juni ini, katanya bulan kampanye. Maka ketimbang sekedang menjadi penonton yang dijejali "pelangi" oleh mereka, bagaimana jika kita juga menjawab kampanye mereka? Tell them our side of story, our choice, our value.

Jangan sampai karena kita diam, banyak yang terbawa arus informasi dan opini, bahwa seolah-olah kampanye 'pelangi' yang mereka gemakan itu baik. Padahal kenyataannya justru sebaliknya.

Allahua'lam bishowab.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Juni, Bulan Kampanye LGBT

June 24, 2019 0 Comments
Bismillah.

#nukilbuku #buku

Awal juni yang lalu dari sebuah grup whatsapp aku baru tahu, kalau bulan ini bulan kampanye lgbtqia. Adakah yang sadar, mengapa banyak 'pelangi' dimana-mana? Termasuk logo Medium. *berkunjung ke medium rasanya jadi agak gimana karena asosiasi warna pelangi yang dijadikan 'brand' kampanye mereka.


Padahal pelangi itu ciptaan Allah, pelangi hasil distorsi cahaya sesaat ketika hujan reda, dan cahaya matahari bersinggungan dengan tetesan airnya.

Baca juga: Pelangi yang Tak Lagi Indah (tulisan di blog nakindonesia)

Mumpung masih Juni, dan qadarullah aku baca buku yang membahas tentang kemungkaran kaum luth, yang kini terulang dan dinamakan lbbtqia. Izinkan aku menukilkannya di sini. Things we should know, how we should see lgbt (bukan orangnya, tapi yang dikampanyekan). Dari Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam buku Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu.

***

Pelajaran dari Surat Al A'raf, dan Kaitannya dengan LGBT


Bagi orang yang berakal bisa mengambil pelajaran dari apa yang dikisahkan Allah dalam surat Al-A'raf, tentang orang-orang yang mengumbar hawa nafsu yang tercela, agar menjadi peringatan dan pelajaran.

Allah memulai kisah tentang hawa nafsu Iblis yang menyombongkan diri untuk taat kepada perintah Allah, yaitu bersujud kepada Adam....

Kemudian Allah menyebutkan hawa nafsu Adam yang ingin kekal di surga....

Kemudian Allah menyebutkan cobaan yang menimpa orang-orang kafir yang menyekutukan-Nya dengan hal-hal yang tidak diterangkan-Nya.

Selanjutnya Allah menyebutkan kisah kaum Nuh dan hawa nafsu yang mengakibatkan mereka tenggelam dalam keduniaan dan akhirnya mereka masuk ke neraka di akhirat. Kemudian Allah menyebutkan kisah Aad dan hawa nafsu yang menyeret mereka kepada bencana yang mengerikan dan siksa yang tiada henti-henti. Kemudian kisah kaum Shalih yang juga tak jauh berbeda gambarannya, kemudian kisah para pemimpin yang fasik, orang-orang yang menyenangi sesama jenis dan meninggalkan para wanita. Mereka bermain-main dalam kesesatannya dan mereka menjadi buta karena mabuk cinta. Bagaimana Allah menghimpun siksa lalu ditimpakan kepada mereka, yang tidak pernah ditimpakan kepada umat selain mereka. Mereka dijadikan pendahulu bagi rekan mereka yang tindakannya seperti kaum Luth, baik yang dahulu atau yang datang kemudian. Tatkala mereka semakin kelewat batas dan menjadi-jadi dalam kedurhakaan itu, maka para malaikat menghampiri Allah karena perbuatan tersebut, bumi mengadu kepada Allah menghadapi urusan aneh itu, para malaikat lari ke penjuru langit, dan Allah sudah menetapkan bahwa Dia tidak akan menghukum orang-orang yang zhalim kecuali setelah menyampaikan hujjah atas mereka, mendahuluinya dengan janji dan ancaman. Allah juga mengutus Rasul-Nya agar memperingatkan perbuatan mereka yang buruk dan menyampaikan adzab-Nya yang pedih. Maka beliau berseru kepada semua manusia, dan beliau adalah pemberi nasihat yang paling agung,

"Mengapa kalian mengerjakan perbuatan mesum itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini sebelum kalian)?" (Al A'raf: 80)

Kemudian beliau mengulang lagi perkataannya agar menjadi nasihat dan peringatan bagi mereka, mesentara mereka dalam cinta yang memabukkan dan mereka tidak berpikir,

"Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada merek), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas." (Al A'raf: 81)

Orang-orang yang dimabuk cinta itu memberi jawaban layaknya orang yang tenggelam dalam nafsu dan kesewang-wenangan serta hatinya tertutup oleh cinta,

"Usirlah Luth beserta keluarganya dari negeri kalian, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih." (An-Naml; 56)

Tatkala waktu yang telah ditentukan tiba dan saat yang telah ditakdirkan datang, maka Allah mengirim utusan ke rumah Luth, yang tiada lain adalah malaikat yang elok rupawan dalam wujud manusia. Tidak pernah ada laki-laki yang setampan malaikat itu. Mereka datang ke rumah Luth sebagai tamu, yang kemudian diterima dengan tangan terbuka.

"Dan, tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, 'Ini adalah hari yang sangat sulit'." (Hud: 77)

Lalu ada kabar selentingan yang didengar kaum Luth, bahwa Luth kedatangan para pemuda yang tampan, yang ketampanan dan keelokannya belum pernah dilihat bandingannya. Sebagian di antara mereka menyampaikan kabar ini kepada sebagian yang lain, hingga akhirnya mereka mendatangi rumah Luth, untuk melampiaskan birahi dan mendapatkan puncak kenikmatan.

"Dan, datanglah kepadanya kaumnya yang bergegas-gegas. Dan, sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji." (Hud: 78)

Tatkala mereka memasuki rumahnya dan siap menyerangnya, maka Luth berkata kepada mereka, sementara hatinya gundah, sedih bercampur khawatir,


"Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan (nama)ku terhadap tamu-tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?" (Hud: 78) 

Tatkala mendengar perkataan Luth itu, maka mereka memberi jawaban sebagaimana layaknya orang yang keji dan mesum,

"Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki." (Hud: 79)

Lalu dengan suara yang berat Luth berkata,

"Seandainya aku ada kekuatan (untuk menolak kalian) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)." (Hud; 80)

Tatkala para malaikat yang menjadi utusan Allah itu (para tamunya) mengetahui kekerasan kaum Luth di hadapan Nabi-Nya, maka mereka membuka hakikat jati dirinya, lalu berkata, "Tenangkanlah dirimu,


"Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu." (Hud: 81)

Luth merasa senang, karena beliau merasa diselamatkan kekasihnya dari kejahatan. Lalu dikatakan kepada beliau,

"Sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kalian yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?" (Hud: 81)

Tatkala mereka tetap bersikukuh untuk dapat mencumbu tamu-tamu Luth dan mereka tidak mau mempedulikan kebenaran, maka Jibril memukulkan sayapnya ke wajah mereka, hingga mata mereka tercongkel keluar dan mereka menjadi buta. Mereka pergi dari rumah Luth dalam keadaan buta sambil meraba-raba. Meski begitu mereka berkata, "Besok engkau akan tahu apa yang bakal engkau alami wahai orang yang gila."

Tatkala subuh telah tersibak, maka datang seruan dari sisi Rabb, "Benamkan kaum Luth dan siksalah mereka dengan siksaan yang pedih."

Malaikat yang perkasa dan terpercaya, Jibril menghancurkan tempat tinggal mereka dengan satu bulu sayapnya. Sehingga para malaikat bisa mendengar lolongan anjing mereka dan jeritan ayat mereka. Tempat tinggal mereka dijungkirbalikkan, yang atas dijadikan di bawah dan yang bawah dijadikan di atas. Mereka dihujani batu-batu dari tanah liat yang panas.


"Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negri kaum Luth yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim." (Hud: 82-83)

Itulah kesudahan yang menimpa kaum Luth yang mencintai rupa. Mereka menjadi pelajaran bagi rekan-rekan mereka yang datang kemudian, dengan perbuatan yang sama.

***

Saat sebuah isu naik, fenomena di masyarakat, informasi yang kita dapatkan dari media sosial, ada satu hal yang harus kita pastikan. Bagaimana kita melihat dengan kacamata yang benar, agar kita tidak salah mengambil sikap. Dan Al Quran, diturunkan sebagai petunjuk dan pembeda, furqan, yang memisahkan mana yang benar dan yang salah.

Kalau kita sekedar mengikuti logika, tanpa berpegang pada Al Quran, mungkin isu 'pelangi' yang banyak dikampanyekan bulan ini kesannya benar. Apa yang salah dari menghargai perbedaan? Apa yang salah dari menghargai kebebasan orang lain untuk memilih hidup sebagai perempuan, laki-laki atau tidak keduanya? Apa yang salah dengan menghargai pilihan orang lain untuk mencintai perempuan, laki-laki atau keduanya? Kalau kita tidak berpegang pada Al Quran dan berusaha melihat 'pelangi' dengan kaca mata al quran, maka seolah orang yang menolak lgbt terkesan orang yang konsevatif dan berpikiran tertutup.

Kita akan terlindas oleh logika kita sendiri, dan terbawa arus opini yang disemburkan begitu deras melalui sosial media, dan kanal-kanal berita. Padahal kebenaran itu, bukan apa yang banyak orang kerjakan atau apa yang banyak orang katakan.

Saat Allah mengharamkan sesuatu, sebenarnya Allah hendak menyelamatkan kita dari keburukan hal tersebut. Kampanye pelangi yang mereka lakukan seolah-olah membawa perdamaian dan kemerdekaan hidup manusia yang utuh. Padahal jika kita mau berpikir lebih panjang, kita akan tahu begitu banyak dampak buruk dari apa yang dikampanyekan tersebut. Bagaimana umat manusia bisa hancur jika mengedepankan kecintaannya pada hawa nafsu.

***

Lalu, jika kita memilih tidak setuju, apa artinya kita akan membenci dan mengucilkan mereka yang tenggelam di dalamnya?

To be continued...

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Company in Paradise - Amazed by The Quran

June 24, 2019 0 Comments
Bismillah.

#transkrip


Transkrip video pendek seri Amazed by The Quran oleh Ustadz Nouman Ali Khan: Company in Paradise

***

Assalamu'alaikum everyone welcome to amazed by the quran, a series in which I love sharing with you things I find amazing about the Quran. And today in syaa Allah, it sounds giggy but I'll talk to you about the difference between singular and plural in the quran. And actually sometimes different kind of plulars are in the quran, which yeah it sounds gramatical but I'll make sure that it's easy, easy to understand.

Casual Friend and Intimate Close Friend


First case is actually the description of judgement day, Allah says about people who are lamenting on judgement day. They're about to be thrown into devastation, they didn't make it to heaven. And they're saying, fama lana min syafi'in wala shadiqin hamim. We don't have people that are going to make a case for us, we don't have any friend that is intimate and close.

 فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ (100) وَلا صَدِيقٍ حَمِيمٍ (101 

QS Asy-Syuara ayat 100-101

Now in this language, the first group that they complain they don't have in their favor, on their side is syafi'in which is plural, people who will make a case for us. And then they say, we don't have a single friend that is close to us, shadiqin hamim, an intimate close friend. So they go from people who make a case for us, which is plural, to a single friend which is really powerful.

Because, you know when you ask somebody, "Hey, what do you think of this person?"

"You're alright, they're cool"

You can find a lots of people that are "okay" with you. They don't know you well enough.

"And they're seems like a good person".

That's a syafi' that's someone who came and said, "Yeah, you know what? You're not that bad."

But then to find someone who's closed and intimate, and knows you deeply well and then care about your well-being and stops and tries to plead on your behave that,

"please don't let him go into the hell fire"

"I'll vouch for him", etc.

There's not gonna be a lot of people. There's not a single one.

So the one that tend to have many of, the plural is used. And the one that just, maybe if you find one, that would mean a lot, the singular is used. And there's an immediate switch from the plural to the singular. It's very powerful and beautiful.

Fama lana min syafi'in wa la shadiqin hamim. And in doing so, Allah doesn't just describe something that happen on the judgment day. As a matter of fact He described the matter of relationship. Casual relationship where people will have good opinion of you, are lots of them. There's acquaintances that thinks highly of you, or think okay of you. They don't have a poor opinion of you. They're syafi'.

But then, to have people vouch for you, that are the closest most intimate friend, that's actually a testimony of character. Because people that are very very close to you, they know your flaws, they don't just know the good thing about you. Right? So when they speak highly of you, that's actually means something. That's actually genuinely means something when they speak highly of you.

So that's kind of settle lesson that's taught just by the switch between the plural and the singular.

Company in Paradise


Another example of the plural and the singular that I find really beautiful  is actually about again the day of judgment. Where there's a comparison made between heaven and hell. And in describing heaven.

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ (14

QS An Nisa ayat 13-14

Allah said, yudkhilhu jannatin tajri min tahtihal anhar kholidina fiha. So it begins with, whoever would obey Allah and the messenger, which is singular. Whoever would obey Allah and His messenger,  wa man yuthi-illah wa rasulahu yudkhilhu, He will entered him, all singular. Entered him, not entered them, entered him. Jannatin tajri min tahtihal anhar. In gardens at the bottom of which even at the bottom, from the very bottom from which rivers flow. Kholidina fiha. In which they will remain forever. So, he will be entered, He will enter him into the garden, but they will remain in it forever. Kholidina, it's an immediate switch.

And if you compared this to the next ayah, wa man ya'shillaha warasulahu wayata'adda khududahu yudhilhu naaran, khalidan fiiha. Whoever would disobey Allah and His Messenger and crossed the limit that they've said, He will entered him into the fire, in which he will remain.

So there's they will remain, and then there's he will remain. Immediate switch, right? So what's really fascinating even about the first one is, it's started with he. Like, He will enter this person into heaven, where they will remain. So it went from he to they. And the second one was he and then still remain he. So I want you to appreciate this switch that happen, especially when talking about heaven.

Allah is describing the scenario of someone who didn't have much company in this life. Perhaps because of their faith they were left alone. Perhaps because of their faith, everybody around them abandoned them. Their family disown them, their friends left away from them.

And maybe even if they were around muslims, they were the only one who took islam seriously or something. And as a result they felt isolated. They felt pushed away from other people. And these are people who did not let go of their commitment to good deeds and obedience to Allah and His messenger, regardless of the pressure that came. Regardless of the isolation that they felt.

And Allah want the first gift when He entered him into the gardens, into the gardens of heaven, in jannah, is that they're in a company. They're never gonna be alone again. They will remain. So Allah actually pushed them into plurality.

He gives them a new family. He gives them company, things that they lost out or missed out on as a result of their islam, as a result of their submission. Subhanallah.

Also additionally the subtlety here being told that one of the joy of heaven is company. One of the joy of jannah is actually friends hanging out with each other, talking to each other. Fa aqbala ba'duhum 'ala ba'din yatasa-alun (QS Ash Shaffat ayat 50). They're gonna be facing one another, asking each other all kind of question,

"man, where have you been? Haven't seen you forever"

"oh, you made it too ha?"

like things like that^^

But you know that we're asking each other, hanging out. They're gonna be reminiscing about old times. Inna kunna qablu fi ahlina musyfiqin. (QS Ath Thur ayat 26)

"Man, we used to have such a hard time with our family, man.."

Literally there're ayat like that in the quran. Like they're reminiscing about old times. And that's one of the joy of heaven.

Solitude in Hellfire


On the other end though, Allah is describing the disbeliever, no matter how much he thinks he has company, no matter how many people he or she surround themselves with, no matter how many people are dancing around with them in the club, they're actually always alone. They never genuinely have someone with them. A relationship that will last. You know?

It's not just any disbeliever, the one who violates Allah and His messenger. We're not just talking about any non-muslim there. We're talking about culprit's who go on their way to disobey Allah and His messenger. They take the one thing that'll give them peace, they never find peace in other people's company. They just don't. They're always have only for themselves. And when it happens, like one of the torment of hell from them, is that they are in it and they feel like they're the only one in it.

You know, one of the worst kind of prison, even in this world, is solitary confinement. Prison in itself is torture, but on top of that, the solitude and the loneliness that is imposed on you, for months on it, you lose track of time, people lose their sanity as a result.

And that's actually the feeling these people get. There's not even the consolation,

'at least I'm not the only one being burned'

'At least I'm not the only one being punished.'

No it's not like that. They're gonna feel like they're the only one. Kholidan fiiha. Walahum 'adzabun muhin. And he will have humiliating punishment. May Allah not makes us from those who are punished.

So these are just a couple of examples of the singular and the plural, and how these quick switches create such beautiful lessons, and such powerful insights.

Barakallahuli wa lakum, assalamu'alaikum. See you next time.

***

Allahua'lam.

Saturday, June 22, 2019

Kawan, Sahabat, Teman?

June 22, 2019 0 Comments
Bismillah.

Ada beberapa kata yang berbeda untuk mendefinisikan seseorang yang dekat dengan kita, kawan, sahabat, teman, sohib, rencang *ada yang gatau ini bahasa apa? hehe.

Begitu pun di Al Quran. Ada beberapa. Salah dua satunya disebutkan di ayat-ayat ini.

فَمَا لَنَا مِن شَـٰفِعِينَ

Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorangpun, [Surat Asy-Syu'ara (26) ayat 100]

وَلَا صَدِيقٍ حَمِيمٍۢ

dan tidak pula mempunyai teman yang akrab, [Surat Asy-Syu'ara (26) ayat 101]

Yang pertama Syafi' dan yang kedua Hamim. Sebenarnya malah tiga ya? Sama Shadiq? Untuk arti dan perbedaannya bisa baca di Jenis Teman dalam Al Quran

Nah, ada yang unik dari bentuk kata syafi' dan hamim. Yang satu bentuk plural, alias jamak. Dan satu lagi bentuk singular atau tunggal. Ada yang bisa nebak mana yang bentuk tunggal mana yang jamak? *saya juga sempat ragu, sampai keinget muslim chart

muslim chart.
Syafi'ina adalah bentuk jamak. Sedangkan hamim adalah bentuk tunggal. Apa bedanya dua kata yang sama-sama mendefinisikan "teman"?

Syafi' adalah teman biasa, yang tidak terlalu dekat dengan kita. Atau dekat mungkin, namun ia tidak tahu banyak tentang sisi buruk di diri kita. Ia belum pernah melakukan perjalanan dengan kita, belum pernah nginep/camping bareng, dan juga belum pernah berbisnis dengan kita. Syafi' adalah orang-orang yang saat ditanya, "B tuh orangnya gimana?" maka mereka bisa dengan mudah menjawab, "B? Orangnya baik."

Sedangkan hamim, adalah teman yang bukan sekedar teman. Seorang sahabat yang tahu sisi buruk kita, kekurangan kita.

And they're saying, fama lana min syafi'in wala shadiqin hamim. We don't have people that are going to make a case for us, we don't have any friend that is intimate and close. 
Now in this language, the first group that they complain they don't have in their favor, on their side is syafi'in which is plural, people who will make a case for us. And then they say, we don't have a single friend that is close to us, shadiqin hamim, an intimate close friend. So they go from people who make a case for us, which is plural, to a single friend which is really powerful. 
Because, you know when you ask somebody, "Hey, what do you think of this person?"
"You're alright, they're cool" You know? You can find a lots of people that are "okay" with you. They don't know you well enough. "And they're seems like a good person". That's a syafi' that's someone who came and said "Yeah, you know what? You're not that bad." 
But then to find someone who's closed and intimate, and knows you deeply well and then care about your well-being and stops and tries to plead on your behave that, "please don't let him go into the hell fire" "I'll vouch for him", etc. There's not gonna be a lot of people. There's not a single one. 
So the one that tend to have many of, the plural is used. And the one that just, maybe if you find one, that would mean a lot, the singular is used. And there's an immediate switch from the plural to the singular. It's very powerful and beautiful. 
- Nouman Ali Khan, Company in Paradise (Amazed by The Quran Season 2)
Immediate switch, perubahan dari bentuk jamak ke tunggal, kalau kita bisa melihatnya saat membaca quran, seharusnya itu membuat kita merenung dan berpikir. Lalu kita amazed, kagum.

Bahwa Allah tidak hanya menggambarkan kenyataan di hari akhir nanti, bahwa jumlah teman yang sekedar tahu/kenal kita lebih banyak, ketimbang sahabat yang tidak cuma tahu baik-baik kita tapi juga kekurangan dan keburukan kita itu sedikit. Allah juga menggambarkan kenyataan tersebut di dunia. Coba hitung jumlah 'friend' di FB, atau jumlah teman satu almamater, satu kelas, teman satu daerah, banyak kan? Tapi yang benar-benar mengenal kita, tahu kekurangan dan kelebihan kita, ada berapa? Sedikit.. mungkin sangat sedikit.
Fama lana min syafi'in wa la shadiqin hamim. And in doing so, Allah doesn't just describe something that happen on the judgment day. As a matter of fact He described the matter of relationship. You know, casual relationship where people will have good opinion of you, are lots of them. There's acquaintances that thinks highly of you, or think okay of you. They don't have a poor opinion of you. They're syafi'. You know. 
But then, to have people vouch for you, that are the closest most intimate friend, that's actually a testimony of character. Because people that are very very close to you, they know your flaws, they don't just know the good thing about you. Right? So when they speak highly of you, that's actually means something. That's actually genuinely means something when they speak highly of you. So that's kind of settle lesson that's taught just by the switch between the plural and the singular.
- Nouman Ali Khan, Company in Paradise (Amazed by The Quran Season 2)
***

Dua ayat ini mengingatkanku untuk belajar bahasa arab, *hmmm. Kalau kata orang, bahasa arab-lah yang bisa membuat kita betah berlama-lama dengan quran. **jadi kapan mau belajar Bell??

Dua ayat ini juga menghiburku, yang kemarin-kemarin sempat sedikit sedih karena memikirkan pertemanan, persahabatan. Seolah ayat ini, menepuk pundakku pelan, "memang begitu, hanya akan ada sedikit."

Dua ayat tersebut juga mengingatkanku pentingnya memperhatikan akar pertemanan kita. Agar tidak berhenti di dunia saja, tapi juga hingga akhirat nanti. Berteman, bersahabat karena Allah. Iman yang menguatkan jalinannya, dan setiap bertemu, atau berkomunikasi, masing-masing saling mengingatkan kepada Allah, mungkin tidak selalu lewat sharing ayat quran atau hadits, tapi bisa jadi lewat keteladanan kecil, ajakan shalat berjamaah di awal waktu, setiap bertemu memberi salam dan berjabat tangan, dengan wajah tersenyum, dll.

Kawan, sahabat, teman... bisa lebih bermakna, jika jalinannya berakar dari iman, dan dihiasi dengan tawashau bil haqq dan tawashau bis shobr. Saling mengingatkan pada kebenaran, dan saling menguatkan dalam kesabaran.

Allahua'lam.

***

Keterangan:

[1] Nouman Ali Khan, Company in Paradise (Amazed by The Quran Season 2)


[2] Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.

***

PS: Baru nyadar tulisan sabtulis dua pekan sebelumnya, juga ambil dari video ini. 

Orang Asing di Masa Lalu

June 22, 2019 0 Comments
Bismillah.

#fiksi


"Jalan kaki? Dari Tanjung?", tanya Nanza pada Denza kakak laki-lakinya. Seketika persepsi awal Nanza tentang orang asing itu pecah.

Kakaknya bercerita, bahwa saat itu hari ahad, ada car free day. Lalu ibunya ikut menyeletuk, "Pantesan disuguh lontong opor langsung habis." Raut wajah Nanza mulai bergetar, berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya. Percakapan singkat itu, berhasil membuatnya mengingat kembali orang asing di masa lalu tersebut.

***

Orang asing itu memiliki nama, sama seperti kebanyakan manusia yang hidup di bumi. Namanya terdiri dari lima huruf, temasuk dua huruf terakhir alfabet, y dan z. Namanya Ziyad. Nanza pertama membaca nama itu di sebuah file dokumen yang dikirimkan kakaknya lewat WhatsApp. Kakaknya memang sudah satu tahun ini begitu bersemangat mencarikan jodoh untuknya. Teman satu angkatan beda fakultas dengan Denza. Orang asing itu juga sudah membaca biodata Nanza, begitu katanya.

Seperti biasa, jika ada dokumen yang masuk, hari-hari berikutnya akan Nanza isi dengan istikharah. Dan kali ini, entah mengapa ia condong untuk menolak. Padahal kalau dari dokumen tersebut, tidak ada hal yang bisa dijadikan alasan untuk menolak. Ayah dan ibunya juga terlihat antusias menunggu jawaban Nanza. Saat itu ia merasa terpojok, menjadi minoritas, karena tiga orang terdekatnya (Ayah, Ibu dan Kak Denza) cenderung untuk menerima.

"Nan, Ziyad mau ke rumah besok," belum juga Nanza membulatkan jawaban untuk lanjut atau mundur, semua seolah begitu cepat. Hatinya sebenarnya sudah hampir matang untuk mundur, namun ia tidak punya alasan yang konkrit. Malam itu Nanza berserah padaNya, mengadu dan meminta petunjukNya agar diberikan yang terbaik.

Keesokan harinya di kamarnya, Nanza menyimak obrolan Ziyad dengan Bapak. Jauh-jauh dari Depok ke kampung. Dua hari ia libur, akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah Denza, kemudian setelah itu ke rumah perempuan lain di desa sebelah. Seorang gadis yang statusnya seperti Nanza sedang menunggu di pertemukan dengan sosok yang bisa menjadi melengkapi setengah Din-nya. Saat itu Nanza langsung ilfeel, yang tadinya ingin 'profesional' dan bersikap netral, ia berubah sikap, terbawa perasaan. Orang asing itu ke rumahnya, mungkin karena 'sekalian', sejalan dengan rencananya nazor dengan perempuan lain di kota sebelah.

Maka saat Nanza diminta keluar kamar dan menemui orang asing itu, sikapnya dingin dan ia lebih banyak terbungkam dan menundukkan wajah. Ia hanya menjawab beberapa pertanyaan dengan nada datar. Dan tidak bertanya satu pun tentang orang asing itu. Nanza tidak penasaran, lebih tepatnya, Nanza kini sudah bulat akan memutuskan apa.

***

Sampai percakapan sore itu, sebuah fakta yang membuat Nanza menyadari bahwa ia salah. Bukan salah memutuskan. Tapi salah bersikap.

Benar kata Ayah, Ibu dan Denza, bagaimanapun orang asing itu tamu, yang harus dihormati dan dihargai. Meskipun ia mungkin ke rumah, karena sejalan, sekalian, sekali dayung dua pulau terlewati. Itu tidak memberikan Nanza hak untuk bersikap dingin dan antipati. Orang asing itu tidak berniat main-main. Maka saat turun bis di Tanjung, dan hp yang berisi alamat rumah Denza tidak bisa diakses, ia memilih berjalan kaki. Ia bisa saja membatalkan rencananya, tapi ia memilih untuk berjalan kaki sembari mencari solusi agar ia bisa mendapatkan alamatnya.

Sudah sebulan lebih sejak orang asing itu berkunjung ke rumah Nanza. Tapi Allah ingin mengajarkan Nanza untuk berbaik sangka, maka sore itu, percakapan pendek tersebut berhasil menggeser persepsinya tentang orang asing itu.
"Orang asing itu lebih baik dariku, mungkin begitu dekat dengan Allah. Sehingga Allah seolah ingin membersihkan sosoknya dari persepsi burukku padanya. Ia memang hanya orang asing dalam hidupku. Namun bagi Allah, ia adalah hamba yang shalih."
Empat kalimat itu ditulis Nanza dalam buku jurnalnya, agar ia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Agar ia belajar, untuk selalu mengedepankan prasangka baik, dan untuk selalu bersikap baik pada siapa pun. Meski pada orang asing.

The End.

Thursday, June 20, 2019

It's Easier to Judge

June 20, 2019 0 Comments
Bismillah.
-Muhasabah Diri-

Photo by Bill Oxford on Unsplash

Lebih mudah menghakimi. Dan itu yang aku rasakan saat membaca baris pesan darinya*. Rasanya ingin merekomendasikan buku A, link video ceramah B, ayat C, dll. Sungguh, lebih mudah menghakimi dan merasa lebih banyak tahu.

Padahal... aku tahu persis bukan itu yang ia butuhkan. Ia lebih membutuhkan dua telinga dan dua mata yang mau mendengar dan membacanya. Mencoba mengerti perasaannya. Atau meskipun tidak mengerti minimal berusaha mengerti.

Kadang bersyukur aku sekarang jauh lebih introvert daripada dulu. Sehingga lebih mudah untuk menahan jemari dan membungkan mulut, mencerna pikiran sendiri. Sembari berusaha menjadi pendengar yang baik, meski lagi... like what i said in the title, it's easier to judge.

***
"I'm too lucky to meet you, even from X not many people can tolerate mental issue. but too ofc im afraid to lose people like you. cz Allah takes away her from my affection, while I am soo in one word with her",
Ia terbiasa curhat dalam bahasa inggris. Salah satu kebiasaannya. Itu juga salah satu hal yang membuatku lebih banyak menahan diri untuk membalas, dan memilih menyimak. Karena ia menulis bahasa inggris, aku berusaha balas pakai bahasa inggris juga, dan itu... susah hehe. lama mikir karena kosakata bahasa inggrisku miskin hehe.

Dan di akhir hari, i mean, di akhir percakapan kali ini. Kami sama-sama setuju. Apa yang ia alami, ketakutan ia akan kehilangan lagi orang yang ia percayai, adalah salah satu cara Allah agar hambaNya tidak terlalu bergantung pada manusia.

***

It's easier to judge, tapi kalau kita mau sedikit saja berusaha untuk mengerti. Kita sebenarnya juga bisa untuk berempati dan menahan diri untuk menghakimi. Kita bisa belajar, bahwa kita tidak mengalami lukanya, kita tidak tahu perjuangannya.

Untukku terutama. Jadi, meskipun lebih mudah untuk menghakimi.. Mari tetap berusaha untuk mengerti.

Allahua'lam.

***

*salah satu ukhti, one year younger than me, yang belum pernah bertemu secara fisik, namun Allah takdirkan untuk saling kenal dan bercakap-cakap di "udara".

***

PS:  Aku tidak tahu bagaimana rasanya orang yang menjadi panutan kita, yang kita percayai, tiba-tiba berbalik arah dan menjauh. Orang itu masih sama, masih orang yang baik, yang dekat dengan Allah, kita masih menghargai dan menghormatinya. Tapi luka itu hadir, seolah menjadi trauma yang membuatnya mulai mempertanyakan banyak hal.

Ada satu ayat yang terbersit hari ini, sebelumnya tidak, meski kisahnya sudah kudengar lebih dari sekali. Ayat yang membuat pedang Umar radhiyallahu anhu jatuh, dan tubuhnya lunglai. Ia mengangkat pedangnya, saat mendengar satu dua orang mengatakan kabar bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam telah wafat. Emosinya menguasai dirinya. Sampai Abu Bakar radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut,


وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌۭ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَـٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًۭٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِينَ


Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Surat Ali-Imran (3) ayat 144]

Mungkin memang terlalu jauh perbandingannya. Tapi ayat ini yang kuingat. Bagaimana agar kita beriman, berislam, tidak tergantung pada manusia. Jangan sampai hanya karena orang itu, kita jadi berbalik dari iman dan islam. Allahua'lam.





Think Out of The ...

June 20, 2019 0 Comments
Bismillah.

#banyakcurhat #hikmah #selftalk

Kadang memang harus dipepet agar bisa berpikir di luar kebiasaan, di luar box, di luar rutinitas. Seperti akhir Ramadhan kemarin. Allah menitipkan banyak hikmah dengan satu hal yang memaksaku berpikir di luar kebiasaan.

Photo by Leone Venter on Unsplash


Jujur, aku takut aku kembali lupa, dan balik lagi jadi orang yang terpaku pada rutinitas. Jadi, izinkan kutulis di sini.

***

Berawal dari kekhawatiran, ketakutan. Bahwa jika perubahan itu terjadi.  Jika aku memiliki peran baru, dan harus beranjak keluar dari zona nyaman, rumah tersayang, orang-orang yang paling aman untukku...  Aku mungkin bisa terkungkung dan tidak bisa bergerak. J

Ketakutan itu hadir, bersama ratusan prasangka dan kemungkinan-kemungkinan. Membuat aku sadar, akan nikmat yang terus mengalir di rumah. Kebebasan yang aku miliki sekarang, karena ayah, ibu, adik dan kakak yang open mind. Zona nyaman dan mendukung yang aku nikmati sekarang. Bagaimana ayah, ibu, kakak dan adikku selalu mengingatkanku pada Allah, lewat ajakan shalat berjamaah, lewat ajakan sahur bersama, lewat suara tilawah di masing-masing kamar yang terdengar sampai kamarku. Buku-buku yang aku baca, lingkaran dan forum yang aku hadiri. Kajian yang aku dengar dari hp adik, dari laptop ayah, dari radio ibu. Belajar akidah, iman dan islam tanpa pengkotak-kotakan. I'm afraid someday I'll loose it.

Selain tentang itu. Ketakutan yang hadir, bersama ratusan prasangka dan kemungkinan-kemungkinan. Juga membuatku teringat hal-hal yang pernah menjadi nyala api penggerak. Ibarat bintang-bintang yang jauh di atas, namun ingin kugapai.

Aku teringat buku, hafalan, studi di luar negri, mendaki gunung.

Aku teringat A, B, C. Things I've forgetting. Ada yang tidak sepenuhnya lupa, tapi aku biarkan jalan untuk mencapainya lambat sekali. Juga mimpi-mimpi yang kukubur dan hampir kulupakan. Karena aku seorang pengecut yang keburu berpikir tentang kemungkinan ketidakmungkinan.

Termasuk saat pertanyaan tentang pekerjaan hadir, dan aku masih sama, tidak termotivasi mencari uang untuk diri sendiri. Tapi kondisi yang memojokkan itu berhasil membuatku berpikir di luar frame biasanya. Kalau bukan untuk diri, minimal untuk orang lain. Things that may be you can do, sedikit mungkin. Meski jujur belum melangkah, baru berada di otak dan tersimpan di pikiran.

***

Sekarang memang sudah tidak 'dipepet', sudah tidak terlalu khawatir dan takut. Apalagi ketika menyadari bahwa prasangka itu cuma prasangka yang hadir dari kebiasaan buruk overthinking. bahwa sekalipun nanti aku harus berada di luar zona nyaman, Allah akan menguatkan dan memberikan yang terbaik.

Tapi meski sudah ga dipepet. Hikmahnya tidak boleh dilepas kan? Jangan sampai pikiran-pikiran di luar kebiasaan, things out of the box, akhirnya hilang, atau tercecer.

Allah menghadirkan situasi itu, mendatangkan perasaan takut dan khawatir, salah satunya agar aku bergerak lebih semangat. Allah tahu, aku tidak seharusnya melambat-lambatkan langkah, dan sering berhenti dalam jeda yang tak singkat hanya karena keterbatasan dan rutinitas yang sebenarnya tidak sibuk-sibuk banget.

Jadi... let's move. Ayo bergerak Bell. Jangan kalah sama pikiran buruk, jangan kalah sama nafsu ingin berhenti dan berleha-leha, jangan kalah oleh bisikan setan. Kamu bisa lebih baik dari ini. Kamu bisa melangkah lebih cepat. Berprogres, dan tidak banyak memberi alasan mengapa kamu baru sampai di sini. Ok?

***

Terakhir, menulislah. Menulislah untuk mengingatkan diri. Jika hal ini tidak kau tulis, mungkin kau akan kembali lupa.

Allahua'lam.

Tuesday, June 18, 2019

(16/30) Paspor di Kelas Profesor

June 18, 2019 0 Comments
Bismillah.
#buku

30 Paspor di Kelas Sang Profesor (Buku 2)

Salah satu buku yang kurampungkan sebelum Ramadhan kemarin, buku ke-2 dari 30 Paspor di Kelas Profesor yang disusun oleh J. S. Khairen. Cover oranye yang menarik, tema traveling dan nama Rhenald Kasali membuatku tertarik untuk mengambil buku ini di rak buku adikku. Tahun kemarin sebenarnya sudah berusaha baca. Tapi selalu berhenti di kata pengantar.

***

Judul kata pengantarnya ciamik, "Melepas Kodi dan Mengajarkan Rajawali Terbang", isinya tentang alasan pentingnya menjelajah, dan bepergian ke tempat baru. Salah satunya kemampuan self-driving yang harus di asah, agar tidak melulu memiliki mindset passanger. Itu pula yang menyebabkan perubahan "tugas", yang sebelumnya bepergian berkelompok, menjadi sendiri. Tiap negara satu orang, kalaupun ada dua, harus beda daerah. Dan tidak boleh ke negara yang bahasanya serumpun.

Membaca buku ini rasanya bisa membayangkan jadi mahasiswa, yang dikejar waktu membuat paspor dalam dua pekan, termasuk segera menentukan tujuan negara, dan 'menggalang' dana untuk perjalanan solo traveling tersebut.

Di buku yang kedua ini, ada 16 cerita. Meski penyusunnya satu orang, tapi tiap kisah ditulis oleh orang berbeda. Jelas ada perbedaan dari gaya bahasa dan alur bercerita, juga fokus apa yang diceritakan. Cerita yang menarik, tentunya justru yang menemukan perubahan rencana, atau semacam plot twist dalam cerita fiksi.

Aku berusaha membaca cerita urut, aku pikir, penyusunnya pasti memikirkan bagaimana agar negara yang berdekatan ceritanya tidak bersebelahan. Tapi di pertengahan, akhirnya aku memilih membaca acak saja. Hehe.

Sebelumnya aku pikir destinasi negara akan menjadi alasan sebuah cerita menarik. Tapi setelah membaca keseluruhannya, aku justru menemukan sebaliknya. Yang membuat cerita menarik lebih ke penulisnya, dan caranya menuliskan kisah perjalanannya. Aku kadang berpikir, aku bisa menebak mahasiswa mana yang mendapat nilai tinggi di tugas tersebut hehe.

Kalau diminta memilih tiga cerita favorit di buku ini, aku memilih cerita Destiara Putri, Ayu Ariandini, dan Aland Diknas Tanada. Alasannya karena kisah di dalamnya. Destiara Putri bercerita perjalanan ia di Vietnam, Cebu. Ayu Ariandini di Jepang, dan Aland Diknas di India. Kesamaan dari ketiganya, aku bisa membayangkan interaksi ketiganya dengan masyarakat lokal. Destiara dengan keluarga tempat ia menginap. Ayu Ariandini dengan pejabat dan kakek tua. Dan Aland Diknas dengan supir taksi dan mahasiswi asal Rusia. Oh ya, ini masalah selera saja ya, bukan berarti cerita lain kalah menarik.

Membaca buku ini aku jadi mengenal diri hehe. Bahwa ternyata, ketimbang mengetahui detail tempat wisata yang dikunjungi, aku lebih tertarik pada interaksi manusia dengan perbedaan yang ada. Kalau nonton acara traveling, aku fokus di tempat destinasi dan makanan. Membaca kisah traveling, terutama buku ini aku lebih menikmati interaksi penulis dan masyarakat setempat. Berbeda saat baca buku Meraba Indonesia, aku tertarik dengan sejarah suatu tempat juga, karena memang penulisnya mengemas perjalanannya bukan untuk 'wisata'.

(Tulisanku setelah membaca buku "Meraba Indonesia" karya Ahmad Yunus, )

***

Terakhir, ada sebuah kutipan andalan yang seolah dijadikan 'mantra' di buku ini. Bukan secara mistik, tetapi kata memang memiliki kekuatan untuk menggerakkan dan memotivasi. Kalimat tersebut juga yang ingin aku tanam dan jaga, agar selalu mencari jalan dan bukan alasan.

"If you want to, you will find away,"

Kamu punya keinginan, mimpi, asa, cita-cita? Jika kamu benar-benar menginginkannya, kamu akan menemukan jalannya. In syaa Allah.

Semaangaaaat^^

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Sunday, June 16, 2019

Sendiri Saja?

June 16, 2019 0 Comments
Bismillah.
#fiksi


"Sendiri saja?" pertanyaan itu berulang ia dengar. Awalnya ia kira cuma sebuah ekspresi keheranan, karena di sebuah toko yang lumayan luas, hanya ada dirinya, mengurus ini itu, sendiri. Jika pelanggan yang hadir lebih dari dua orang, bisa dipastikan ia kewalahan.

"Sendiri saja?" pertanyaan itu kini bernada iba. Kasihan, kok sendirian. "Tidak takut?" ucap orang asing yang lewat dan melihat kesendiriannya. Ia hanya menggeleng percaya diri. Langit memang sudah sore, nyala mentari sudah mulai meredup, siap berganti malam. Sekitar dua ratus meter, ada sebuah pemakaman, sebelum toko itu dibangun tanah itu dulu kebun yang menakutkan. Ada desas desus penampakan yang sering membuat pejalan kaki memilih memutar rute. Tapi ia bukan seorang penakut. Ia tahu, setan yang lebih menakutkan bukan yang menampakkan diri dengan rupa buruk dan menyerupai penggalan tubuh manusia. Setan yang lebih menakutkan adalah yang tersembunyi dan mengalir dalam nadi manusia, mengajaknya untuk bergelimang dalam dosa.

"Sendirian saja?" kali ini pertanyaan itu ia abaikan keberadaannya. Seolah hanya angin lewat. Tanpa ia sadari, pertanyaan itu bentuk sinyal 'kesempatan' bahwa modus kejahatan. Hari itu, ia seolah diingatkan agar tidak bermudah menjawab iya, saat pertanyaan itu hadir. Yang terjadi sudah terjadi. Beruntung Allah masih melindungi keselamatannya. Yang hilang, hanya materi yang tidak seberapa dibandingkan nyawa seorang manusia.

Setelah hari itu, ia berpesan pada dirinya. Jika ada yang bertanya, "Sendirian saja?" ia harus menjawab tidak. Bukan berbohong. Tapi sebuah teknik defensif. Lagi pula, ia memang sebenarnya tidak pernah benar-benar sendiri. Ada Allah yang dekat, dan Maha Melihat. Ada dua malaikat yang mencatat setiap yang ia lakukan. Baik dan buruk. Kecil dan besar.

The End.




Thursday, June 13, 2019

Allah Ganti yang Lebih Baik

June 13, 2019 0 Comments
Bismillah.

#buku


Sebuah kutipan tulisan Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tentang hal-hal yang Allah haramkan, dan Allah ganti dengan yang lebih baik.

"Allah tidak mengharamkan sesuatu atas hamba-Nya melainkan Dia akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Seperti Allah yang mengharamkan penetapan pilihan dengan menggunakan beberapa batang anak panah yang tidak ada bulunya, lalu menggantikannya dengan doa istikharah.
Allah mengharamkan riba dan menggantinya dengan perdagangan yang mendatangkan laba.
Allah mengharamkan perjudian dan menggantinya dengan usaha mendapatkan harta lewat perlombaan yang mendatangkan manfaat, baik dalam masalah agama, menunggang kuda dan onta atau kemahiran memanah.
Allah mengharamkan sutera (bagi kaum laki-laki) dan menggantinya dengan berbagai jenis pakaian dari bulu dan katun.
Allah mengharamkan zina dan homoseks, dan menggantinya dengan pernikahan dengan wanita mana pun yang disenangi.
Allah mengharamkan lantunan alat-alat musik, ddan menghalalkan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an.
Allah mengharamkan makanan-makanan yang kotor dan menggantinya dengan makanan-makanan yang baik."
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Taman Orang-orang yang Jatuh Cintta dan Memendam Rindu 
***

Dan list-nya bisa bertambah, tanpa batas. Termasuk setiap hal yang terjadi dalam hidup kita. Kehilangan, atau hal yang Allah tahan dan belum diberikan pada kita. Semua itu, akan Allah ganti dengan yang lebih baik.

Tugas kita hanya terus memperbaiki diri, berusaha, berdoa, bertawakal pada-Nya serta berbaik sangka kepada-Nya.

Semoga Allah menjaga hati kita, agar selalu yakin, bahwa apa pun yang pergi, apa pun yang ditahan oleh-Nya, kelak Allah akan ganti yang lebih baik. In syaa Allah.

Allahua'lam.

Wednesday, June 12, 2019

Keep A Distance

June 12, 2019 0 Comments
Bismillah.

#banyakcurhat #gakpenting #skipajaplis

Sebuah ajakan bertemu masuk, di grup kelas. Tempatnya tidak jauh. Waktunya memang malam sih, habis magrib. Memang ada saudara dari Jakarta yang sedang dalam perjalanan ke rumah. Tapi seharusnya, aku bisa saja hadir, sekedar menyambung silaturahim meski sebentar. Tapi aku diam saja, hanya menyimak dalam diam. Sembari bertanya-tanya pada diri, mengapa aku memilih tidak memenuhi ajakan itu.

Karena 'status'? Rasanya tidak. Karena pertanyaan 'mengapa' yang mungkin dilontarkan? Sepertinya bukan tidak. Toh sebelum-sebelumnya sudah pernah berada di situasi yang mirip. Dan, biasa-biasa saja.

Atau karena aku merasa tidak ada yang 'dekat'? Mungkin...

Lalu aku bertanya-tanya, tentang sahabat, mengapa jumlahnya cuma sedikit. Padahal di masa itu, sepertinya semua kenal dan dekat. Lalu aku membaca tentang character development. Jadi menengok ke masa lalu. Sepertinya aku tahu. Karena aku yang menjaga jarak. I keep a distance. *Bener ga sih bahasa inggrisnya? hehehe. Jaga jarak lebih tepatnya. Entah yang bener bahasa inggrisnya keep a distance atau apa. Mungkin kapan-kapan bisa dibahas di New Leaf hehe.

Momen itu jadi pengingatku, tentang pandanganku terhadap kata teman. Bagaimana orang lain mungkin tulus, namun aku memilih untuk berjarak. Hasilnya? Hanya ada beberapa teman yang masih keep contact, selebihnya, mungkin mereka menganggapku ga asik, atau terlalu berjarak, atau memang tidak bisa berbaur. Atau mereka tidak pernah berpikir begitu, mereka hanya mengira aku sibuk, jadi jarang bisa hadir.

***


Beberapa setelah itu aku merasa 'kesepian'. When I look back, rasanya aku memang seorang outlier, outsider, angka ganjil, whatever it is called. Aku ingat lagi memori, sejak kapan aku menjaga jarak. Aku ingat, saat aku 'menuliskan' di otakku, bahwa teman-teman yang main sama aku, yang ketawa dan asik ngobrol di depanku, bisa jadi sedang menyembunyikan pisau dan siap menyerangku dari belakang. Pemikiran bahwa pada akhirnya, it was all fake. Ya, mereka nggak menjauhiku layaknya drama sekolah yang membahas pengucilan salah satu siswa. Mereka bahkan yang mendekatiku, meski aku menjaga jarak. Tapi ada udang dibaliknya. 

Lalu, lewat rencana-Nya, aku menemukan buku diary lawasku. Aku kira isinya hanya diary saat SD. Tapi ternyata, sebagiannya aku isi juga saat sudah lulus SD.


Aku membacanya loncat-loncat, ga berurutan. Geli sendiri, sebel karena tulisannya alay jadi susah dibaca, juga geleng-geleng kepala karena banyak bahas tentang cinta. Wkwkwk. "Dasar anak kecil, tau apa kamu tentang cinta nak."

***

Tertulis di bagian atas, tanggal 3 September *tahunnya rahasia hehe. It's Ramadhan and I talk about my new class. Kelas baru setelah kenaikan. Ada angka-angka dan aku banyak skip, ga baca. Sampai nomer ke 5. Sebuah kalimat ditulis dengan font lebih besar. Tamen bian le. Bahasa mandarin yang diromanisasi. Dari situ aku baca sampai bagian terakhir. Baru kemudian membaca nomer 4, 3, lalu poin 2.

Lalu pertanyaanku tentang perasaan enggan memenuhi ajakan bertemu seolah menemukan jawabannya. Aku menangis, sembari membaca memori lama yang kutulis dengan bahasa hiperbol. Setelah puas berempati dan simpati pada diriku di masa lalu, aku bertanya-tanya pada diri. Apa boleh ya, diary jadi jalan kita mengingat hal buruk yang dilakuin orang lain? Apa ini artinya, aku bukan orang yang pemaaf, karena hal 'kecil' masih aku catet, dan membacanya masih membuatku menangis. Serta menjadi pembenaran, dan pengusir perasaan kesepian. Kalau sebelumnya, aku merasa bersalah, karena aku yang menjaga jarak. Tapi membaca tulisan itu, aku jadi merasa benar, mungkin memang baiknya aku tidak datang hari itu. Mungkin itu sebabnya, seolah aku selama ini sendiri, dan pertemanan yang dulu manis, kini terasa hambar. Karena memang manisnya hanya di permukaan saja.

***

Entah hikmah apa yang ingin Allah titipkan. Aku yakin Allah tidak menginginkan aku untuk mengingat-ingat hal buruk dan membuatku makin menjauh dari teman-teman yang bisa jadi lebih baik dari pada diriku di mata-Nya. Bukan itu.

Apa mungkin, Allah ingin aku mengeja ulang definisi teman, dan agar aku belajar menyusun kembali kepercayaan (trust issue) yang hancur saat itu? Seolah Allah tahu aku sudah lebih dewasa, aku bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Bahwa ada misunderstanding di sana, bahwa saat itu aku buru-buru terbawa emosi, tanpa mau berusaha terlebih dahulu untuk mengerti keseluruhan situasinya. Dan bahwa hal kecil itu, seharusnya tidak membuatku keep a distance pada semua orang.

Menulis ini mengingatkanku pada sesi konseling di sebuah bangunan di selatan GKU Timur. Seorang ibu dengan rambut abu-abu yang melepas kaca matanya agar bisa menghapus air mata saat mendengarkan kisahku. Pesannya padaku, bahwa aku harus belajar mempercayai orang lain, karena itu penting untukku melanjutkan hidup. Ketulusan hatinya sampai ke hatiku. Pesan itu tidak masuk telinga kanan dan terlupakan. Kata-kata baik itu masuk ke hatiku, dan mungkin Allah ingin mengingatkanku lagi tentang ini. Bahwa aku harus memastikan, aku sudah menyelesaikan hal penting tersebut, sebelum aku memasuki fase kehidupan selanjutnya. *tiba-tiba otakku memunculkan lirik ost dragonball, kehidupan kedua wkwkwk.

***

Panjang ya? Ada yang berhasil baca sampai selesai tanpa skip? Hehe. I wish nobody did that but myself. Tapi.. just in case ada.. *please bell, jangan campur-campur bahasanya, kamu bukan orang jaksel wkwkwk.

Ini ada sedikit kutipan dari buku Madarijus Salikin, meski ga nyambung semoga ini sedikit memberi 'makna' atas terbuangnya waktumu membaca tulisan ini.

....seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, "Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditimpa musibah sama sekali."
Good night~

Allahua'lam. 

Sunday, June 9, 2019

Character Development

June 09, 2019 0 Comments
Bismillah.

Hari ini aku membaca di grup Aksara tentang pentingnya character development dalam sebuah fiksi, entah itu novel atau skenario film. Bagaimana karakter seseorang terbentuk, mengapa tokoh A pendiam, mengapa tokoh B begitu selektif memilih teman, dll. Character development hadir agar kita memahami karakter, dan tidak ada sisi yang ujug-ujug atau tiba-tiba. Sebab-akibatnya masuk logika.

But instead of thinking about a scenario or a fiction, I reflect about that on the reality. How every people have their own stories, their own character development.

Sejatinya karakter kita terbentuk salah satunya karena kejadian di masa lalu, bagaimana kita mencerna situasi tersebut, sikap yang kita ambil. 

Mengapa seseorang begitu strict menjaga pola makannya. Ada sebabnya, ada kisah di baliknya.

Mengapa seseorang begitu tertutup perihal keluarganya. Ada sebabnya, ada kisah di baliknya.

Mengapa seseorang selalu bekerja keras meski lelah menerjang. Ada sebabnya, ada kisah di baliknya. 

***



Begitu pun kamu. Begitu pun aku. Begitu pun kita. 

Kalau kita mau melihat ke belakang, kita akan melihat character development diri. Bagaimana sebab menimbulkan akibat, bagaimana sebuah hal mempengaruhi pengambilan sikap kita.

Maka saat kita bertanya-tanya tentang diri, "mengapa aku memilih begini, bersikap begitu?" Kita bisa melihat jawabannya, sebabnya.

Dan semoga kita tidak berhenti di situ. Kita belajar mengenal diri, sembari mengenal Dzat Yang Menciptakan kita.

Dan semoga tidak berhenti di situ. Kita melihat masa lalu dan melapangkan dada menerima takdir yang tertulis. Ridha terhadapnya. Bersyukur atasnya. Lalu berbaik sangka atas rencanaNya. 

Allahumma a-inna 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatika. Aamiin. 

Allahua'lam. 


Friday, June 7, 2019

Sehat-sehat ya...

June 07, 2019 0 Comments
Bismillah.


Syawal menyapa, memberitakan kemenangan bagi yang sudah menuntaskan ibadahnya di Bulan Ramadhan. Saat pergi, Ramadhan berpesan, "Sehat-sehat ya.." agar kita menjaga kesehatan, bukan cuma iman, tapi juga jiwa dan raga.

Lalu aku jadi teringat nikmat sehat, nikmat yang barangkali sering kita lupakan. Aku teringat adik, yang dua kali sakit di bulan Ramadhan tahun ini, hasilnya ibadah jadi tidak bisa maksimal. Aku teringat dulu, saat hatiku sakit di bulan Ramadhan. Aku teringat pertanyaan di tumblr, tentang seseorang yang harus minum obat karena jiwanya tidak sehat, sehingga terpaksa ia tidak bisa berpuasa.

Sehat, adalah nikmat yang jika diambil sedikit, kita baru menyadari betapa besar nikmat tersebut. Lebaran biasanya ada beberapa yang tumbang, drop, sakit.  Entah karena terlalu cape, silaturahim ke sana sini, atau menyambut tamu, lalu beberes rumah, cucian yang menumpuk. Atau karena tidak menjaga makan, membuat lambung kaget, karena diisi dengan sekian piring makanan bersantan, sekian sendok sambal pedas, juga minuman bersoda.

Sehat, sedikit saja diambil nikmatnya, kita merasa kewalahan. Lalu teringat, bahwa ada begitu banyak hari seharusnya kita syukuri karena nikmat sehat menjadi makanan sehari-hari.

***

Sehat-sehat ya. Bukan cuma fisik, tapi juga jiwa dan hati. Jika kesehatan fisik bisa kita jaga dengan olahraga dan mengatur asupan makanan. Begitupun kesehatan jiwa. Jangan biarkan berlarut dengan kesedihan dan diberi makan pikiran-pikiran negatif. Begitu juga dengan hati. Jaga hubungan kita dengan Allah, jika sakit, perbanyak membaca dan menelaah Al Quran.

Sehat-sehat ya...


Allahua'lam.