Follow Me

Wednesday, February 27, 2019

Membangun (Kembali) Kebiasaan Membaca

February 27, 2019 1 Comments
Bismillah.

Salah satu kebiasaan baik yang bisa membuat kita menjadi insan yang lebih baik adalah kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca, selain memperluas wawasan juga membiasakan otak kita kritis, dan lebih bijak menghadapi hidup. Sebelum kita memilih membiasakan suatu hal, kita harus tahu dulu manfaat atau hal positif yang kita dapatkan dari aktivitas tersebut, agar tekad kita makin kuat.

membaca (📷 from unsplash)
Pernah suka membaca, namun tergerus kesibukan. Atau belum pernah suka membaca, namun mau berusaha untuk membiasakan membaca? Berikut ini beberapa hal bisa lakukan dalam rangka membangun (kembali) kebiasaan membaca.

Pertama, ambil satu buku

Sebelum membiasakan membaca, minimal kita harus punya satu buku yang akan dibaca. Ambil satu buku yang topiknya menarik. Kalau kamu suka bacaan fiksi, kamu bisa pilih novel atau buku kumpulan cerpen, atau kumpulan puisi. Kalau kamu suka non fiksi, pilih tema yang sedang kamu pelajari, atau yang terhubung dengan minatmu. Minta rekomendasi dari teman kalau perlu. Beli atau pinjam buku tersebut. Kalau kamu sudah punya tumpukan buku yang belum dibaca, entah itu koleksimu, atau koleksi kakak, ibu atau ayahmu, kamu juga bisa memilih salah satu buku yang sudah ada.

Kedua, buat target harian, sedikit, tapi rutin

Minimal 3 lembar setiap hari. Saya pengalaman mengikuti grup Gen Al Fihri yang anggotanya setiap hari lapor judul dan nomor halaman buku yang dibacanya, minimal 3 lembar atau 6 halaman. Jika kamu bisa dengan cepat membaca puluhan chat di whatsapp, tulisan di sosial media, maka sebenarnya kecepatan membaca kita tinggi. Tiga lembar biasanya tidak memakan waktu lebih dari 10 menit. Ga percaya? Coba praktekan dan hitung waktunya. Biasanya yang membuat membaca berat itu momen sebelum membaca. Setelah memulainya, kita akan sadar, bahwa membaca itu tidak sesulit apa yang ada dipikiran kita. Termasuk juga membangun kebiasaan membaca, awalnya akan sulit, jika sudah terbangun ritmenya, selanjutnya akan mudah. Membaca, bahkan bisa jadi kebutuhan harianmu.

Ketiga, buat jam khusus membaca

Seperti yang disebutkan sebelumnya, 10 menit saja. Luangkan sepuluh menit dalam harimu. Tentukan jadwalnya. Misal jam 06.00-06.10 pagi. Atau jam 13.00-13.10 saat istirahat siang. Atau bisa juga 21.50-22.00 sebelum tidur. Kalau sudah ada jadwalnya, selanjutnya tepati. Pastikan buku yang ingin kita baca ada di jam tersebut. Lalu membacalah, tiga lembar saja boleh, meski bisa jadi kurang dari 10 menit. Atau bisa juga kamu membaca selama tepat 10 menit. Bisa juga membaca minimal 3 lembar, jika belum ingin berhenti lanjut sampai 10 menit, jika masih ingin membaca, teruskan, sampai kamu merasa cukup.

Keempat, blok distraksi saat jam khusus membaca


Kalau kamu orang yang audio, tidak bisa fokus membaca di tempat yang ramai, cari tempat yang sepi. Atau siapkan earphone, atau penutup telinga. Kalau kamu tipe yang suka gatel membuka hape jika ada notifikasi, maka matikan internet, kalau perlu set airplane mode. Fokuslah membaca,

Kelima, biasakan membawa satu buku kecil setiap hari


Ini di luar jam khusus membaca ya... Biasakan membawa satu buku kecil, tidak perlu yang tebal dan berat. Yang ukurannya pas di tangan dan tipis juga tidak mengapa. Lalu sesekali, saat sedang luang, bacalah buku tersebut. Saat menunggu, sembari duduk dalam perjalanan, bisa juga saat makan. Tapi hati-hati ya, jangan sampai makanan atau minuman menodai bukumu hehe.

Keenam, sesekali, tinggalkan hp di rumah/kos


Salah satu benda yang menghambat saya lebih dekat dengan buku adalah hp. Maka sesekali saya membiasakan berpisah dengan hp dan membawa buku saat hendak pergi ke tempat dekat rumah, namun ada kemungkinan bisa baca. Misal saat hendak ke warung makan dan memesan makanan, untuk dibungkus dan dibawa ke rumah. Waktu menunggu pesanan, bisa dipakai untuk membaca, saat hp saya sengaja/tidak sengaja tertinggal. Saat kita mulai terlepas dari kebiasaan menanti sambil buka hp, lama-lama meski membawa hp, kita bisa tetap memilih membaca buku. Meski kebanyakan orang yang menunggu biasanya sibuk menunduk dengan hp masing-masing.

Ketujuh, kunjungi perpustakaan dan toko buku


Membangun kebiasaan membaca artinya juga membangun kecintaan terhadap buku. Dan ini bisa dilakukan dengan mengunjungi perpustakaan atau toko buku, tempat dimana kita bisa mengenal dan lebih dekat dengan banyak buku. Kita bisa melihat-lihat, cuci mata, deretan judul buku, membaca satu dua halaman, bahkan bisa tertarik untuk membeli atau meminjamnya. Bisa juga kita menyelesaikan satu buku sembari berdiri atau duduk di perpustakaan atau toko buku tersebut.

Kedelapan, bergabunglah dengan komunitas baca


Saat kita bergabung dengan komunitas baca, kita akan bertemu dengan orang-orang yang kutu buku, cinta membaca dan juga yang baru hendak memulai membiasaan membaca seperti kita. Di sana kita bisa saling berbagi tentang buku yang kita baca, serta saling mengingatkan dan menyemangati untuk membaca. Perjalanan kita membangun (kembali) kebiasaan membaca akan lebih terasa ramai dengan kehadiran teman-teman komunitas baca tersebut.

***

Jika dalam perjalanan membangun kebiasaan membaca kita sering jatuh dan tersendat, jangan lupa meluruskan niat awal dan mengingat-ingat manfaat membaca. Iringi usaha dengan doa. Allah menurunkan ayat pertama berupa perintah membaca, maka jangan malu meminta doa agar istiqomah membaca padaNya, baik itu membaca buku maupun membaca kalam-Nya. In syaa Allah akan dimudahkan.

Semangat membaca^^

Allahua'lam.

***

Keterangan : Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Monday, February 25, 2019

From Time to Time

February 25, 2019 0 Comments
Bismillah.

From time to time artinya... *uhuk, ini bukan akardaunranting Bell.

***


From time to time, I think of you. Kalimat ini yang ingin kutulis. Tapi fokusnya bukan di bagian akhir kalimat, melainkan bagian awalnya.

Bukan selalu, bukan sering, bukan tiap waktu atau tiap hari. Cuma dari waktu ke waktu. Seperti pelangi, yang tidak bisa dilihat setiap waktu. Cuma sesekali. Hampir jarang. Meski hujan masih hampir setiap sore menyapa Purwokerto.

From time to time.. membuatku bertanya dan menjawab sendiri. Aku tidak tahu banyak hal, tapi Allah Maha Mengetahui. Dan itu cukup. Selama kita bersandar padaNya, bertawakal kepadaNya, dan percaya akan rencanaNya, itu lebih dari cukup. J

Allahua'lam.

I'm on the Extrovert Side (?)

February 25, 2019 0 Comments
Bismillah.

#random #curcol


I feel like I'm on the extrovert side.. Terutama saat aku memberanikan diri dm akun instagram tertentu untuk menanyakan sebuah projek menulis yang sudah lewat batas tanggal pengiriman. Padahal isi tulisannya bercerita tentang diri, sesuatu yang sebelumnya ingin kututup saja, kecuali memang diperlukan dibuka. I think I have moved on. Aamiin hehe. Meski belum lama aku masih mimpiin hal sama. Ketika keinginan di alam bawah sadar ga bisa berbohong hehe.

I feel like I'm on the extrovert side.. saat temen di Sabtulis share tentang #1m1c yang mirip sama sabtulis. Trus aku dengan ringan daftar aja jadi anggota. Bukan daftarin blog lain, tapi blog ini. Blog yang banyak berisi curhatan hehe. Padahal bisa saja aku daftar pakai blog New Leaf, atau tumblr, atau medium. Seolah aku sudah siap open house blog ini hehe

I'm sure, I'm on the extrovert side.. saat gabung grup FFB dan memperkenalkan diri, lalu iseng bertanya, dan biasa aja meski ga ada yang jawab hehe. Juga saat materi di kelas online whatsapp (23 Februari) dan aku bersuara, padahal biasanya cuma menyimak, jarang bertanya.

Tapi... untuk yang terakhir, aku jadi bertanya. Will I be on the extrovert side? Dan mengerjakan tugas dari kelas online tersebut dengan ringan? Atau aku abaikan saja tugasnya, lalu pilih left group? wkwkwk. Entahlah.

Tugasnya sebenarnya cuma buat tulisan kesan dan pesan kelas online malam tadi. Mudah in syaa Allah kalau cuma nulis, Tapi bagian ini...


Meminta orang untuk komentar hm.. dan itu orang yang sudah pernah nerbitin buku. Bisa sih.. minta ke kakak-kakak dan temen-temen di Aksara. Hehe. Tapi tapi.... apakah aku dalam fase seekstrovert itu? Sampai minta orang lain untuk komentar di blog ini? I doubt I am. So do I doubt I will.

Maybe I'm not on my extrovert side yet.. J

Allahua'lam.

Saturday, February 23, 2019

Bergabung Komunitas Menulis

February 23, 2019 0 Comments
Bismillah.

elevator and stairs (📷 from unsplash)

Bergabung dengan komunitas menulis bagiku... seperti naik elevator. Sebuah cara untuk naik tingkat. Bertemu dengan seorang-orang yang sama-sama ingin naik *bisa juga turun ya? Hehe.

Bergabung dengan komunitas menulis, artinya kita mencoba untuk lebih terbuka pada dunia, lebih terbuka pada orang lain, tentang hubungan kita dan menulis. Ada yang baru suka menulis, ada yang sudah bertetangga dengan menulis sejak lama, ada yang benci tapi cinta, ada juga yang berobat dengan menulis. Kalau sebelumnya kita menyendiri dalam menulis, bergabung dengan komunitas menulis, artinya kita harus mau memberikan ruang untuk orang lain. Seperti manusia yang seorang individu, namun masih membutuhkan sosialisasi dengan manusia lain.

Apa yang kita dapatkan dari bergabung komunitas menulis?


Pertama, kita dapat teman, dan kendaraan. Ibarat kita memilih naik bis, dan bukan jalan kaki. Tujuannya sama-sama ingin menerbitkan buku misalnya, atau ingin jadi blogger. Kita bisa ke sana sendirian jalan kaki, tapi capek, perlu bekal banyak, kecepatannya pun terbatas. Kalau misal dijalan jatuh, dan kita merasa gagal, kita bisa berbalik arah lebih mudah. Bda ceritanya kalau kita naik bis. Tujuan kita masih sama, tapi kita bisa berbincang dengan teman yang duduk di sebelah, sharing tentang menulis. Pun saat kita tiba-tiba ingin berhenti atau berbalik arah, tidak semudah itu. Kita perlu bilang ke supir, "kiri" hehe. Juga akan ada yang mengingatkan, kenapa berhenti di sini? Sebentar lagi akan sampai loh...


Kedua, kita bisa bertanya arah atau jalur kepada supir. Karena dalam komunitas, kita akan bertemu dengan orang-orang yang jam terbang menulisnya sudah tinggi. Maka kita bisa bertanya, jika kita mengalami kesulitan saat menulis. Kita bisa bertanya tentang teknik menulis cerpen, puisi, artikel pada ahlinya, dalam komunitas menulis tersebut. Kita juga bisa tahu, sebaiknya kita menulis dari mana. Biasanya penulis pemula diminta memilih satu genre dulu, fiksi atau non fiksi. Selanjutnya, menulis yang disukai atau yang kita ketahui. Lalu menulis buku antologi, kemudian baru buku solo. Tapi apa urutannya harus seperti itu? Bisa juga tidak. Meskipun sama-sama menulis, setiap orang punya temponya masing-masing. Ada yang bisa menulis buku solo, tanpa perlu melewati terminal buku antologi.

Ketiga, kita membeli bensin bersama-sama (saling memotivasi). Perjalanan panjang akan lebih menyenangkan jika bersama-sama. Saat semangat kita turun, dan kita tidak mampu menaikkan dengan motivasi internal dalam diri.. Teman-teman dalam komunitas menulis bisa menjadi motivasi eksternal kita. Kita mungkin akan terpacu lagi untuk berlari mengejar mimpi punya buku sendiri, saat ada teman satu komunitas yang promosi bukunya.

Keempat, kita bisa bertukar informasi sesama penumpang. Komunitas menulis adalah tempat yang pas untuk saling berbagi tentang informasi kompetisi menulis. Atau informasi tentang penerbit. Juga informasi kelas menulis yang gratis maupun yang berbayar.


Tips Memilih Komunitas Menulis


Komunitas menulis sebenarnya banyak, apalagi yang online. Yang offline juga ada kalau kita mau mencari. Karena jumlahnya yang banyak, kita jadi bingung memilihnya? Ada beberapa hal yang biasanya aku lakukan kalau milih komunitas nulis. Pertama, lihat pioneer atau mentornya. Kedua, cek programnya. Ketiga, pilih yangs sesuai dengan ritme menulis kita.

Kalau merasa belum sanggup mengikuti komunitas yang salah satu programnya menulis setiap hari selama sekian hari, kita bisa memilih komunitas lain. Misalnya dengan bergabung komunitas Sabtulis, yang programnya membangun habit menulis satu kali sepekan setiap hari sabtu. Atau bisa juga ikutan komunitas 1M1C (satu minggu satu cerita) yang membebaskan menulis hari apapun. Kalau kamu ingin fokus berburu kompetisi menulis, bergabunglah dengan komunitas yang programnya fokus ke kompetisi. Kalau kamu merasa kesulitan untuk menerima materi di HP dan lebih cocok hadir jiwa dan raga, bisa gabung di komunitas offline, seperti Aksara, FLP, atau Soto Babat.

Bergabung di Satu atau Banyak Komunitas?


Apakah cukup bergabung di satu komunitas saja? Atau justru bergabung dengan banyak komunitas akan membuat kita tidak fokus? Kalau saran saya, coba satu dulu. Kalau satu itu, komunitasnya aktif, dan kamu bisa mengikuti, baru tambah dengan komunitas yang lain. 

Eits, tapi ini beda cerita ya, kalau komunitas yang lebih banyak memberi materi tanpa menuntut program kerja tertentu. Kalau tipe komunitas yang seperti ini, kamu bisa bergabung di banyak tempat. Pastikan saja, materi tersebut benar-benar kamu baca, bukan hanya menumpuk di archive WhatsApp atau Telegram

***

Gimana? Masih ragu untuk bergabung ke komunitas menulis? Masih merasa nyaman menulis sendiri?

Pilhannya ada di kamu. Kalau kamu sekarang lebih nyaman menulis sendiri. Tidak mengapa. Tapi kalau kamu merasa membutuhkan komunitas, agar tidak kesepian hehe, jangan malu untuk bergabung.

Pastikan tetap menulis~ meski sederhana. Semangat^^

Jangan lupa sering cek niat. Jika niatnya benar, dan caranya benar, in syaa Allah berpahala. J

Allahua'lam.

***

Keterangan:

Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.

Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu. Komunitas menulis baru, yang saya ikuti.~

Special mention: Aksara Salman ITB, unit literasi yang paling melekat di hati dan otak. Grup WhatsApp Sharpen The Saw, grup kecil yang berisi 24 muslimah (yang aktif sekitar 10 tapi hehe) yang sama-sama ingin belajar menulis. Juga KMO Club Batch #15 kelompok 2, yang aku tertatih mengerjakan program Sarapan Kata, tapi projek selanjutnya membuat mataku berbinar lagi. 

Hal Kecil yang Menjadi Penghalang

February 23, 2019 0 Comments
Bismillah.

Dari buku Minhajul 'Abidin, Imam Ghozali.

📷 dokumentasi pribadi

"....Sebab betapa banyak orang yang makan satu kali, lalu hatinya berubah meninggalkan apa yang dahulu dikerjakannya, sehingga ia tidak dapat kembali pada keadaannya semula; betapa banyak sesuap makanan yang menyebabkan seseorang terhalang dari qiyamullail; betapa banyak pandangan sekilas yang mencegah seseorang dari membaca satu surat Al-Qur’an; dan bahkan ada kalanya seorang hamba yang hanya memakan satu suapan, lalu terhalang dari melakukan ibadah qiyamullail selama satu tahun." - Ma'ruf Al-Karkhi
***

Lewat kutipan itu, cuma ingin mengingatkan diri. Hati-hati pada hal yang kesannya kecil, tapi sebenarnya menjadi penghalang amal ibadah kita. 

Semoga Allah berikan kita kemudahan untuk berhati-hati pada hal kecil yang menjadi penghalang ibadah kita. Aamiin. 

Allahua'lam.

Friday, February 22, 2019

Cantik, Jelek, Pintar, Bodoh

February 22, 2019 0 Comments
Bismillah.
#fiksi

cermin spion (📷 from unsplash)

Lama rasanya, tidak duduk di bangku depan, sebelah kusir *eh sebelah supir. Perjalanan yang memakan waktu 2 jam antara dua kota, membuatku banyak melihat spion, berkaca. Dan sembari berkaca, tanpa sadar aku banyak memuji diri. Cantik, cantik, cantik. Aku melihat wajahku di spion, tersenyum sembari membatin, bahwa aku sering lupa, kalau aku cantik. Wajah yang tidak berhias bedak, bibir tanpa pewarna lipstik, kulit wajah sedikit mengkilap karena udara yang panas dan keringat, namun wajah itu... cantik.

Di pangkuanku, Melody, putriku tidur pulas. Kepalanya bersandar ke tangan kiriku, rambutnya yang ikal berantakan. Kaki kecilnya sedikit menyentuh tempat minum yang terletak diantara kursi supir dan kursiku.

Perjalanan berlansung tanpa percakapan dengan supir, juga tanpa cuapan nyaring Melody. Perjalanan yang tidak sunyi, karena terdengar jelas suara mesin, angin yang masuk ke jendela mobil tak ber AC, juga suara motor, mobil, truk dan kendaraan lain yang lewat. Perjalanan yang membuatku bercakap dengan diri sendiri.

"Cantik, itu yang kuucapkan pada diri saat berulang kulihat refleksi diri di cermin spion mobil yang membawaku ke Purbalingga. Aku tersenyum sendiri melihat betapa Allah menciptakan keunikan wajahku. Alis, mata, hidung, bibir, serta lesung pipit kecil di pipi kiriku."

"Tapi tahukah, bahwa ada yang setiap berkaca, yang terucap bukan cantik, melainkan makian, jelek, buruk rupa, gembrot, kerempeng, apapun itu. Kata-kata negatif yang membuat orang tersebut makin muram pias wajahnya."

"Aku pernah seperti itu, meski bukan tentang fisik. Tapi tentang kemampuan otakku. Aku ingat dengan jelas, betapa sering kuucapkan kata 'bodoh' pada diriku. Tak ada pemakluman, semua kesalahan, besar maupun kecil, seolah menjadi pengingat, betapa diri ini... bodoh."

"Sampai ia hadir, mengingatkanku, bahwa ucapan bisa menjadi doa. Bahwa aku tidak boleh merendahkan diriku sendiri, meski kata tersebut hanya kuucapkan pada diri, dalam sepi, atau dalam tulisan di buku diary. Ia mengingatkanku, bahwa seorang yang bodoh bisa belajar, berusaha dan berdoa, sembari berbaik sangka, bahwa Allah akan mencerdaskan kita, supaya kita tidak mengulang kebodohan yang sama. Berbaik sangka, bahwa Allah mencintai hambaNya, yang mau belajar."

Mataku tiba-tiba panas, memori tentangnya masih lekat. Aku bisa membayangkan dengan jelas suaranya, raut wajahnya saat memanggilku.

Mobil yang membawaku ke Purbalingga mampir sejenak di pom bensin. Melody terbangun sejenak, minta minum. Dua teguk, kemudian ia melanjutkan tidurnya. Kemarin malam ia tidak mau tidur, asik "membantu" packing, karena hari ini kami akan pindah.

***

Bapak supir yang mengantar kami pindah rumah benar-benar seorang yang pendiam. Ia hanya bersuara saat memastikan identitasku, kemudian ia fokus bekerja mengangkut barang ke mobil. Bertanya memastikan tidak ada yang tertinggal saat hendak berangkat. Dan ini, bertanya barangkali aku hendak ke toilet. Saat aku menggeleng, ia kemudian sigap melanjutkan menyetir. Sesekali ia menyeruput tumblr berisi kopi panas yang terletak diantara kursi kami. Selain itu, tidak ada percakapan. 

Aku kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. Mengenang Ayah Melody, dan kalimat yang pernah diucapkan kepadaku. 

"Senja harus selalu ingat ini ya..." ucapnya suatu sore, saat tanpa sengaja ia memergokiku menangis karena merasa inferior. 

"Allah tidak menilai manusia dari cantik, jelek, pintar atau bodoh. Allah melihat manusia dari ketakwaannya."

"Usir pikiran buruk yang mengusik hati, tutup telinga dan mata, dari orang-orang yang menggiring kita berpikir bahwa yang lebih bahagia itu orang yang cantik, pintar, kaya, dan lain-lain. Fokus pada Quran, yang memberitahu kita berita gembira, bahwa Allah melihat ketakwaan kita."

Sore itu aku menangis sembari memberitahunya kehadiran janin Melody di rahimku. Bahwa perasaan inferior itu menyergap saja, membuatku merasa tidak siap menjadi ibu, aku masih bodoh, masih sangat bodoh. Dan kalimatnya berhasil membuatku tenang. 

Atau pagi sebelum berangkat kerja, tiba-tiba ia mengatakan, "Jangan bergantung padaku ya. Jangan bersandar padaku. Jangan juga berharap padaku. Bergantung, bersandar dan berharaplah hanya kepada Allah. Aku cuma manusia biasa."

***

"Sudah sampai Bu," suara Pak Supir membuatku kembali ke realita.

Pak Supir turun, siap bekerja menurunkan barang-barang kami. 

Eyang Kakung Melody, Ayahku, membantuku menggendong Melody yang masih tertidur. Aku turun, menengok barangkali ada mainan, atau sepatu Melody yang tertinggal di mobil. Tidak ada.

"Alhamdulillah" bisikku kecil. Kulanjutkan dengan membaca Bismilah. 

Mulai detik ini, aku akan menjalani hari-hari baru. Aku harus lebih banyak mengucapkan kata-kata positif pada diri. Aku harus lebih tangguh dan lebih tegar dari diriku yang lalu. Karena sekarang tugas ayah dan ibu kupanggul sendiri. Tanpa Ayah Melody, tanpa Mas Fajar.

The End.


Ada Efeknya

February 22, 2019 0 Comments
Bismillah.

Ternyata ucapan orang lain berpengaruh, memberikan efek pada diri. Seberapapun kita mencoba mengelak, tetap saja, berefek, ada efeknya.

📷 from unsplash

Seperti pekan kemarin. Sebenarnya jumat atau sabtu aku sudah menetapkan akan memilih Z, memutuskan Z. Tapi orang-orang terdekat memintaku menundanya. Tunggu dulu, jangan buru-buru. Aku akhirnya menunda, meski sebenarnya keputusan dan pilihan itu sudah bulat. 

Ahad, keputusan makin bulat. Lagi, suara orang-orang terdekat simpang siur. Sebagian memang menyerahkan keputusan padaku, namun ada juga yang menyayangkan. Seolah jika aku memilih Z, aku kehilangan hal yang berarti.

Senin, aku hendak menyampaikan keputusanku. Lagi, ada yang memintaku mematangkannya lagi. Akhirnya aku menunda lagi. Bagiku sebenarnya sama saja. Tapi ucapan mereka ada efeknya, aku akhirnya memilih mengulur waktu. 

Senin itu juga, keadaan menunjukkan bahwa pilihanku terwujud, sebelum sempat kuungkapkan. Di satu sisi aku bersyukur, karena Allah seolah menjawab lintasan harapan yang kusimpan di hati. 

Satu, dua hari berikutnya. Suara-suara orang lain, berkomentar, mencandai kondisi akhirnya Z, dll. Suara orang lain, orang terdekat, tentu ada efeknya kan? Ya.. aku jadi lebih sering teringat, bagaimana proses aku hendak memilih, kemudian akhirnya kondisi yang memilihkan.

Beberapa kali membatin sendiri, 

"Ternyata ucapan orang lain ada efeknya,"

Serta sesekali bergumam sendiri, 

"Mungkin akan teringat terus, karena ini yang pertama"

***

Manusia, fakta bahwa aku seorang manusia. Wajar kalau ucapan orang lain ada efeknya. Bahkan ucapan yang sering kita ulang-ulang sendiri juga memberikan efek. 

Efek itu bukan masalah seharusnya. Selama kadar pengaruhnya tidak terlalu besar.

Allahua'lam.




Saturday, February 16, 2019

Mengirim Doa Untukmu

February 16, 2019 0 Comments
Bismillah.
#untukmuukhti

Mengirim doa untukmu, yang hari ini mengikrarkan mitsaqan ghalizan. Tulisan ini dari seorang teman, sahabat, saudari, yang tidak bisa hadir menyaksikan hari bahagiamu.

***

Satu Februari yang lalu, sebuah pesan masuk. Undangan darimu, diawali sapaan hangat.

"Assalamu'alaikum beel sehat? *emot senyum dengan mata tertutup dan pipi merona merah*"

"Domisili masih di Bandung kah sekarang?"

"<undangan>"

"Bel mohon do'anya yaa mudah-mudahan kita bisa silaturrahim lagi. *emot senyum yang sama* *emot tangan ber-highfive*"

***

Aku membaca pesannya tiga jam kemudian. Pesan itu, menerbangkan otakku ke masa lalu sejenak. Kenangan tentangmu.

Orang lain mungkin tak banyak yang tahu, tapi aku dan kamu, punya memori yang membuat sosokmu istimewa di hidupku.

Saat itu kita masih sama-masa mahasiswa baru, bukan baru juga sih, sudah memasuki semester dua. Aku pernah mengutarakan keresahanku, di bangku Taman Ganesha versi dulu.. taman ganesha sebelum renovasi. Tentang keputusanku untuk membedakan diri, keputusanku untuk berhenti melingkar. Aku ingat, aku menangis banyak. Dan kamu menghiburku.

bukan Taman Ganesha hehe J
(Taman di dalem SMKN1 Purwokerto, dokumentasi pribadi) 

Apakah kamu ingat? Atau bisa saja aku saja yang mengingatnya, karena setiap orang menyimpan memori sebuah kejadian berbeda-beda.

Sejak itu sepertinya, kamu jadi sering ngajak ngaji. Aku jadi kenal salah satu yayasan islam di bandung, *aku lupa namanya tapi. Hehe. Aku ingat kamu yang menyediakan kendaraan, dan aku yang selalu nebeng, berangkat dan pulang diantar. Meski hujan, badai hahaha. *lebay hehe.

***
Sebenarnya, kalau boleh jujur, aku pernah melupakanmu. Saat itu aku sibuk jatuh bangun sendiri. Lalu aku pindah domisili, tapi lupa pamit padamu. Dan pesanmu itu... jadi kunci pembuka, aku mengingatmu lagi. Alhamdulillah.

Maaf belum bisa jadi teman yang baik. Terimakasih karena kamu sudah sangat baik menjadi teman, sahabat dan saudari. Terima kasih, karena sering ngajak ngaji, di cisitu, di asia afrika, di mana lagi ya? Seringnya di dua tempat itu. Lewatmu aku jadi mengenal teman-teman baru, orang-orang yang mungkin kalau ga lewat kamu, ga akan ku kenal. Juga guru-guru yang memberikan pandangan lebih luas, Bu Tri, Pak Sam... *semoga memoriku atas nama beliau ga salah, i'm bad at memorizing people's name.

***
Terakhir, sebelum tulisan ini jadi belok arah. Sebaiknya langsung kusampaikan yang utama.

Barakallahulaka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair.

Kukirimkan doa ini untukmu, akhawat shalihah bernama Yulia Mulyatini (:

dari yang rindu ingin jumpa,
^kirei~

***

PS: Semoga aku berani mengirim link tulisan ini padamu.

Ada Allah

February 16, 2019 0 Comments
Bismillah.

Alhamdulillah... Alhamdulillah...

Saat tidak ada orang yang mau mendengarkanku, Allah siap mendengar kapanpun, siang atau malam, saat ramai maupun saat sepi. 

Saat tidak ada yang bisa mengerti diriku, Allah tahu, paham dan mengerti. 

Saat orang lain mempertanyakan pilihanku, keputusanku, Allah siap menjadi sandaranku, dan tempatku mengadu.

Saat aku tidak bisa menjelaskan, tidak bisa berkata banyak, dan justru hanya bisa menangis saja. Allah tahu, Allah paham, Allah mengerti mengapa bulir-bulir air itu berjatuhan. Allah tahu apa yang berkecamuk di hati, yang bertumbukan di otak. Allah tahu... 

يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.

dan itu.. cukup. Lebih dari cukup.

Alhamdulillah... 



Wallahua'lam. 

Friday, February 15, 2019

Bukan Jodoh

February 15, 2019 0 Comments
Bismillah.

Bukan jodoh. Postingan reaktif, sudah sold out. Bye bye story night hiks 👋

***

Bukan jodoh, baru bisa tahu jika sudah kejadian. Sebelum itu? Rahasia yang disimpan Allah, untuk menguji, bisakah kita berbaik sangka terhadap rencanaNya? 

Bismillah..

Allahua'lam.

***

PS: Aku masih berharap, ada keajaiban, bisa hadir duduk dan mendengarkan story night. But it seems just a day dream, right? (: Gapapa. Niat itu dihitung.

Bahkan yang menginginkan.. begitu menginginkan mati syahid, bisa meraihnya, meski ia mati di atas tempat tidur. Allah knows what's in the heart. Alhamdulillah.

Wednesday, February 13, 2019

3 Menit yang Mahal

February 13, 2019 0 Comments
Bismillah.
#hikmah

Aku pernah marah-marah sendiri karena seseorang yang tidak meluangkan waktu tiga menit saja. Sampai Allah memberitahuku, bahwa tiga menit itu waktu yang mahal. Situasinya dibalik, saat aku diberi pilihan untuk meluangkan waktu tiga menit, untuk orang lain. Ternyata memang tidak mudah. Ternyata tiga menit itu waktu yang mahal.

Bagaimana jika yang orang lain minta bukan hanya tiga menit?

***

Setiap dari kita manusia sibuk, sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sibuk bertahan hidup, ada yang sibuk bersenang-senang melupakan akhirat, ada juga yang sibuk memperbaiki diri. Waktu tiga menit yang aku minta, yang kamu minta bisa jadi waktu yang mahal baginya, jadi jangan banyak menuntut. Tapi coba memahami, dan berbaik sangka, meski keduanya memerlukan usaha yang besar, dan hati yang lapang. 

Menulis ini jadi ingat nasihat terkenal dari Hasan al Banna. Ada yang hafal? Hehe. *aku juga ga hafal hehe. **googling dulu hehe J
“Ketauhilah, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang tersedia, maka bantulah saudaramu untuk menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya dan jika anda punya kepentingan atau tugas selesaikan segera.” - Hasan Al Banna
***


Tiga menit itu mahal. Maka jangan lupa berterimakasih pada mereka yang mau meluangkan waktu tiga menit, atau bahkan lebih banyak dari itu. Doakan, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik. 

Untuk siapapun yang merelakan waktunya untuk membantuku atau membersamaiku,  Jazakumullah khairan katsiran. . atas waktunya (:

Allahua'lam. 

2w 1w

February 13, 2019 0 Comments
Bismillah.

#untukmuukhti #UntukSahabat

2w, dua pekan yang lalu kamu menulis kalimat itu. Entah apa yang ada di hatimu, hingga kalimat itu tertulis. Entah berapa kali kamu menahan jemarimu, menulis, menghapus, tapi nyatanya dua pekan lalu kalimat itu tertuang. Tanda bahwa nyatanya kamu berulangkali memikirkan itu. Berpikir tentang kematian yang lebih baik daripada hidup. 

1w, satu pekan yang lalu, kamu menulis lagi, pertanyaan singkat yang kau ajukan pada orang tertentu. Bukan padaku, karena bisa jadi kamu lupa, bahwa aku termasuk teman yang suka diam-diam membaca tulisanmu di sana. Kamu bertanya, apakah ia sudah jengah mendengarkanmu. 

***

Hari ini, Allah menuntunku untuk membaca dua kalimat tersebut. Kemudian hatiku tergerak untuk menulis. Meski aku mungkin hanya bisa menulis sendiri, dan tak berani mengizinkanmu membaca. Karena aku tahu, kamu mungkin tidak ingin aku membaca dua kalimat yang kau torehkan 2w dan 1w yang lalu. 

***

Tentang pemikiran "mati saja" aku tidak berani berbicara banyak. Aku tidak tahu kehidupanmu saat ini, aku tidak tahu kesedihanmu, ketakutanmu, keresahanmu, kekecewaanmu. Tapi aku yakin, meski berulangkali memikirkan hal itu... aku yakin, kamu juga berulang kali memberitahu dirimu, bahwa kesempatan hidup merupakan nikmat dariNya. Nikmat untuk bertaubat dan memohon ampun atas dosa yang menggunung. Nikmat untuk bekerja dan beramal, agar kelak bisa menjadi bekal untuk kehidupan yang kekal nanti. Dan aku yakin, kamu pasti tahu, bahwa kesempatan hidup berarti juga kesempatan untuk lebih membersamai bayimu, darah daging, yang kau harap bisa memberikan manfaat di dunia dan akhiratmu. Bayi mungil itu membutuhkanmu, dan kamu pasti bisa mengusir pemikiran itu, setiap melihat wajah imutnya. 

***

they're all just human, of course they can be bored (📷: from unsplash)

Tentang rasa jengah mendengarkan, membuatku teringat kisahku. Mau kah kau membacanya? 

Saat itu.. seseorang bertanya padaku, "Teh Bella bakalan ilfeel ga kalau aku meracau kalimat yang sama berulang-ulang?"

Aku menjawab, "Ini aku juga ga tau, hehe"

Lalu ia mempertanyakanku. Bahwa sekarang aku mungkin sudah ilfeel. Kalau mau jujur, aku memang sedikit bosan. Aku juga manusia, aku bisa bosan, jengah, mendengar ceracau orang lain. Apalagi ceracaunya dipenuhi energi negatif, membuat otakku yang masih belum terbiasa memfilter kenegatifan, kadang ikut terbawa negatif. Namun bukan berarti aku ingin ia berhenti bercerita padaku. Aku hanya butuh jarak dan waktu. I step back, to normalize myself. Saat aku sudah netral, in syaa Allah aku siap sedia mendengarkannya lagi. Kicaunya, meski sama, meski remeh, meski negatif. Karena aku memang ingin ia bercerita, ketimbang ia diam dan menyimpannya sendiri hingga sesak dadanya dan pusing kepalanya, sampai asam lambungnya naik. Ketimbang itu semua, lebih baik ia menuangkan pikirannya padaku, dalam kata tak berintonasi.

"Ga tahu? Berarti ilfeel ya", tanyanya

"Iyalah gatau, kan aku juga manusia, bisa berubah perasaannya. Sekarang sih ga.", jawabku

"Ho yaudah sebelum th Bella ilfeel," ujarnya seolah yakin aku suatu hari akan berbalik dan pergi.

"??" double ask question, kebiasaanku saat aku merasa kalimatnya mengherankan.

"Wkwkwk. Bisa jadi juga ga ilfeel. Tinggal kamu mau percaya ke kemungkinan buruk atau yang baik," jawabku. Kemudian aku bercerita, tentang diriku dan sikap yang aku ambil kepada orang lain. Bagaimana supaya ga kecewa, jika karena satu dua hal teman kita menjauh.

Nyatanya memang begitu, berprasangka baik itu wajib, namun bukan berarti kita menyadarkan harapan pada manusia. Pun teman. Mereka cuma manusia, yang bisa bosan, lelah, dan mungkin suatu saat akan menjauh. Jadi sikap kita, memang tidak boleh bergantung pada manusia bahkan sekedar untuk bercerita tentang hari, tentang pikiran dan perasaan kita.

Orang lain bisa bosan, bisa sejenak ambil jarak... tinggal bagaimana kita ambil sikap, agar tidak terpengaruh atas hal tersebut.
"...dan aku memilih untuk ga terpengaruh apapun sikap mereka. Aku mikirnya gini, kalau mereka memilih 'pergi menjauh', aku percaya ada yg mau 'datang dan mendekat'. Sesederhana itu. Tinggal kita mau milih fokus di negatif atau positif." - kirei
Tapi ceritaku, mungkin tidak semuanya pas dengan ceritamu. Karena kau tidak sedang bicara tentang teman yang bisa datang dan pergi, tapi tentang sahabat, yang akan terus ada di hidupmu. Tapi aku percaya, kau bisa memetik hikmah dari hal itu. Lewat apa yang kau alami sekarang, kau akan belajar untuk memahami bahwa manusia bisa bosan, dan kita tidak boleh berharap pada manusia. Kamu akan belajar, bahwa manusia terkadang mundur bukan untuk menjauh, hanya butuh sedikit jarak dan waktu, sebentar dan sedikit jauh saja, untuk kemudian siap lagi mendengarkanmu. In syaa Allah.

Terakhir, jika manusia tidak ada yang mau mendengarkan kita, semoga kita saling mengingatkan... bahwa ada Allah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui Isi Hati kita.

Allahua'lam.

***

PS: It's one week and two weeks ago. I know you're doing fine now. Tulisan dua pekan dan satu pekan yang lalu, hanya sedikit luapan emosi yang tereja dalam kata. Hanya satu puzzle kecil dari gambaran besar perasaan dan pikiranmu. Semoga Allah melindungimu dan selalu membimbingmu setiap kali hal-hal rumit menggelapkan harimu. Aamiin. Maaf atas tulisan sok tahu ini.

from your ex-classmate,
^kirei~


Sunday, February 10, 2019

Menjadi Manusia Tercerdas Itu Tidak Mudah!

February 10, 2019 0 Comments
Bismillah.
#buku
-Muhasabah Diri-
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam menjawab, "Yang paling banyak mengingat kematian dan paling keras dalam mempersiapkan diri menghadapinya. Merekalah orang-orang yang paling cerdas. Mereka memboyong kemuliaan dunia sekaligus keagungan akhirat." (HR. Ibnu Majah)
Familiar dengan hadits di atas? Kalau saya, iya familiar, namun potongan awalnya saja. Hadits itu saya baca di buku Bekal Menggapai Kematian yang Husnul Khatimah, Syaikh Majdi Muhammad asy-Syahawi. Buku dengan sampul pepohonan hijau tersebut sebenarnya cukup tipis untuk bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Namun karena pesan di dalamnya cukup berat, justru lebih mengena jika dibaca sedikit-sedikit setiap hari.


dokumentasi pribadi

Buku ini berisi pengingat tentang kematian. Setiap kali membaca buku ini, saya jadi berpikir... bahwa betapa pelupanya manusia, sehingga butuh diingatkan setiap hari tentang kematian. Saya juga paham, bahwa menjadi manusia tercerdas itu tidak mudah. Mengingat sesering mungkin kematian itu satu syarat, tapi syarat berikutnya,... paling keras dalam mempersiapkan diri menghadapinya, syarat kedua itu berat..

Membaca buku ini, banyak mengingatkan saya akan perumpamaan keledai yang memikul kitab-kitab. Betapa banyaknya buku yang kita baca, bisa menjadi sia-sia jika bacaan tersebut berhenti sebagai bacaan. Kita membaca pengingat kematian, namun beberapa menit kemudian kita kembali lupa, memilih mengerjakan hal sia-sia ketimbang mengisi detik dengan ibadah. Kita membaca pengingat tentang syukur, namun sejam kemudian kita mengeluh akan cuaca. TT Sungguh siapa yang tidak takut menjadi orang yang hatinya terkunci... saat cahaya hidayah menerangi, namun hati kita tidak melembut, masih tidak bergeming.


مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُوا۟ ٱلتَّوْرَىٰةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًۢا ۚ بِئْسَ مَثَلُ ٱلْقَوْمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al Jumuah ayat 5)



Tapi ketakutan itu tidak boleh membuat kita berbalik arah, dan memilih untuk tidak membaca. Justru kita harus terus belajar, sembari berdoa... Allahummarzuqna 'ilman nafi'an wa rizqan thayyiban, wa 'amalan mutaqabbalan. Ya Allah karuniakan kepada kami ilmu yang bermanfaat, rizki yang tayyib, dan amal yang diterima. Aamiin.

Allahua'lam.

Bukan Tepuk Tangan

February 10, 2019 0 Comments
Bismillah.

Bukan tepuk tangan yang diharapkannya. Bukan juga pujian dari orang lain. Ia hanya butuh dihargai kerja kerasnya, bahwa apa yang ia lalui berarti. Lewat pelukan, atau kata-kata lembut. 

***

Seseorang pernah mengirimkan pesan padaku,.. "hi assalamualaikum," dari pesan itu ia bercerita padaku kegundahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang sering berputar di kepalanya. Tentang jodoh yang belum juga datang. Kami membahas tentang Nabi Zakaria dan sikapnya dalam berdoa, tidak pernah kecewa. Beda dengan kita yang mudah lelah dan terburu-buru. Sampai sebuah insight kami dapatkan, di Quran, tidak pernah dibahas penantian jodoh. Yang ada tentang menanti buah hati. Hal itu membuatku sadar, bahwa penantian para single belum ada apa-apanya, ketimbang penantian yang sudah menikah namun belum dikaruniakan anak.

Kemudian setelah membahas itu, ia melanjutkan curahan hatinya. Tentang rasa kecewanya, karena merasa tidak dihargai, tidak diapresiasi. Bukan tepuk tangan yang diharapkannya. Bukan juga pujian dari orang lain. Ia hanya butuh dihargai kerja kerasnya, bahwa apa yang ia lalui berarti. Lewat pelukan, atau kata-kata lembut dari keluarga.

Saat itu, aku membayangkan berada di posisinya... aku paham perempuan membutuhkan itu, perasaan diapresiasi, disayang, dilindungi, bahwa yang ia lakukan berarti. 

Dari situ aku mulai menyimpulkan, bahwa yang membuat ia bertanya-tanya tentang hadirnya jodoh, bukan karena jodoh itu sendiri. Tapi karena kebutuhan untuk dihargai dan diapresiasi. Ia tidak belum mendapatkannya dari keluarga, dan ia berharap barangkali ia bisa mendapatkannya dari sosok yang hingga saat itu belum hadir juga dalam hidupnya. 

Honestly... saat itu ada urgensi untuk memberitahunya, bahwa tidak baik berharap pada manusia yang kehadirannya saja masih belum pasti. Tapi Allah menahan jemariku, Allah gerakkan perasaanku untuk membayangkan menjadi dirinya. Maka kutuliskan dua huruf, kemudian doa. 

"TT Semoga Allah segera kirim sosok yang bisa nemenin kamu dan ngapresiasi semua kerja kerasmuAku speechless.. ga bisa bilang apa-apa lagi, kecuali doa"

I think, Allah wants to comfort her through my fingers.

Ia perempuan, manusia, wajar jika ia sesekali merasa seperti itu. Manusia bisa lelah, bisa kesepian, juga butuh untuk diapresiasi dan dihargai. 

Ia bercerita padaku tentang tanggapan orang-orang saat ia bercerita tentang hal tersebut. Mereka terlalu cepat memberikan kalimat, seolah ia sosok yang cuma bisa mengeluh dan komplain, seolah ia tidak pernah mensyukuri nikmatNya.

"Makasih Bell... Setidaknya kamu menerima komplain aku. Kadang aku sering komplain hal-hal ini ke orang-orang, tapi mereka bilang aku ga bersyukur, aku mengeluh doang, aku komplain terus, dll. Padahal aku cuma butuh understanding dari orang, kalau yang aku rasain itu boleh, itu gapapa, dan aku ga harus benci ke diri aku. Bahwa itu wajar, dan hanya butuh bersabar sedikit lagi."

Mataku ikut panas membaca kalimat-kalimatnya. Ia benar, bahwa apa yang ia rasakan itu manusiawi. Keinginan untuk diapresiasi dan dihargai. Hanya saja aku, dan beberapa orang sering terburu-buru memberi nasihat, padahal ia ingin didengarkan, ia ingin dimengerti. 


Bukan tepuk tangan yang ia minta. Ia hanya butuh sedikit apresiasi, sedikit waktu untuk didengar. Ia sudah tahu... bahwa ia hanya perlu sedikit lagi bersabar. Kita tidak perlu menjabarkan ayat atau hadits, ia sudah tahu.. Hanya saja ia manusia biasa yang terkadang lelah, dan butuh telinga yang siap mendengarkannya. 

***

Aku bersyukur saat itu Allah menahan jemariku, karena aku tahu betul diriku. Aku masih jauh dari standar pendengar yang baik. Aku lebih sering buru-buru menasihati, tanpa memberi ruang untuk berusaha mengerti. Aku masih belajar...

Sapaan dan curahan hatinya, juga mengingatkanku untuk mengapresiasi orang-orang terdekat kita. Dengan sikap, tindakan, juga kalimat lembut. Keluarga terutama. Ibu, Ayah, kakak, adik... Kalau yang sudah menikah, kepada suami atau istri, juga anak.

Setiap dari mereka manusia, yang butuh dihargai dan diapresiasi perjuangannya, kerja kerasnya...

Allahua'lam.

***

PS: Hutang menulis tematik "Apresiasi" Sabtulis bulan Februari 2019.


Thursday, February 7, 2019

Beda Beratnya

February 07, 2019 0 Comments
Bismillah.
#selftalk
Izin curhat ya? Hehe. Biasanya juga curhat-curhat aja... ga pakai izin J.

***

Nulis setiap hari, dengan tema bebas, tanpa syarat minimal jumlah kata, itu satu hal. Nulis setiap hari, dengan tema yang sama, dengan syarat rentang jumlah kata, itu... beda cerita. Lebih spesifik lagi... beda beratnya.


Jadi, aku sudah sekian hari sedang mengabaikan tugas KMO Club, yang namanya "Sarapan Kata". Sarapan, artinya pagi hari. Batasnya jam 9 pagi. Dan.... rasanya ingin kutuliskan kalimat-kalimat keluhan yang isinya mendeskripsikan mengapa SarKat KMO itu beraaaat.

Sebenarnya, kalau aku mau jujur dan muhasabah diri, ini balik lagi ke motivasi dan niat. Dan juga. . kebiasaan pagi hari yang masih belum teratur. Prioritas juga. Kan bisa nulis malem, pagi tinggal posting.

***

Aku menulis ini ingin meningkatkan lagi motivasi. Yang berlalu ya udah, kan bisa mulai nulis lagi, jangan terbebani oleh jam berapa, atau jumlah kata, mulai dulu aja. Nulis. Tema itu kan kamu sendiri yang pilih, dan bahkan udah buat beberapa pokok pikiran yang mau diuraikan. Tinggal praktek nulis dan merangkai kalimat.

Jika berat, ringankan... caranya dengan mengurangi ekspektasi. Ekspektasi bahwa tulisan sarkat nantinya bisa jadi draft buku. Turunkan. Anggap saja sarkat untuk melatih menulis dengan tema yang sama. Juga latihan agar terbiasa mengisi pagi yang produktif dengan menulis.

Jika berat, ringankan. caranya dengan mengubah objek pembaca. Menulis di sini lebih ringan kan? Iya. . karena kamu (maksudku aku) selalu menulis di sini untuk konsumsi pribadi. Sedangkan yang ga sengaja baca, itu cuma orang lewat ehhehe *peace. Sarkat memang nulisnya di Facebook, harus tag sekian orang untuk penilaian dan pencatatan. Tapi kan... kalau mindsetnya diubah, fokus ke menulis untuk diri, itu bisa. Sama aja kaya di sini, meski statistik jumlah pembaca ada, kamu setiap nulis tetap merasa untuk diri kan? hehe. Cuek aja.

Terakhir, beratnya memang beda.. tapi bukan berarti kamu tidak bisa 'memikul'nya. Seperti bayi 6kg, dan batita 11kg... dua duanya bisa aja kan digendong? Meski kadang tangan pegal dan ga kuat lama-lama gendong? hehe.

Terakhir, jangan menyerah sebelum mencoba. Ga mau kan nyesel lagi kaya dulu? Hari yang sudah lalu, biarlah berlalu. Hari ini mulai nulis ya? Please... Semangat ^^

Allahua'lam.

***

PS: It's 10th of February, and I still didn't write Sarkat.. ......... 

Tentang Taubat

February 07, 2019 0 Comments
Bismillah.

#buku
-Muhasabah Diri-

Dari buku Minhajul 'Abidin, Tangga Menuju Surga, Imam Al Ghazali.

***

Kalau ada lintasan pikiran bahwa kita kan terjatuh di dosa yang sama, seolah percuma saja kalau kita bertaubat....
"Ketahuilah bahwa perasaab pesimis seperti itu adalah tipu daya syetan. Dari mana kita tahu kalau kita akan terjatuh dalam dosa itu lagi? Bisa saja kita mati setelah bertaubat dan belum mengulangi kembali dosa tersebut. Berbeda dengan perasaan pesimis tidak mampu, maka untuk mengobati rasa kekhawatiran akan mengulangi dosa itu, kita harus bersikap antisipatif terhadap dosa dengan keinginan kuat, dan Allah sendiri yang akan menyempurnakannya." - Imam Al Ghazali
Jadi..  jangan menunda taubat..
"Jangan sampai kita menunda taubat karena kekhawatiran akan kembali melakukan dosa yanh sama, sebab dengan bertaubat, kita berada di antara dua kebaikan."
Dua kebaikan? Ya... saat kita bertaubat, kita berusaha dan memiliki keinginan kuat untuk tidak mengulangi dosa,
"Jika Allah menyempurnakan keinginan tersebut, itulah yang kita harapkan dari anugerah-Nya. Namun jika Allah tidak menyempurnakannya, maka semua dosa yang lampau telah terampuni. Kita hanya berdosa karena perbuatan yang kita lakukan saat ini"
Selain itu ingatlah...
"Tak perlu hiraukan godaan syetan yang menghalangi taubat kita, karena bertaubat setiap kali melakukan dosa adalah indikasi kebaikan."

pintu taubat selalu terbuka, siang dan malam, sampai ruh di tenggorokan. (📷: from unsplash)

Allahua'lam.

Tuesday, February 5, 2019

Yang Hadir Lalu Pergi

February 05, 2019 0 Comments
Bismillah.

Pagi ini aku tak melihatnya. Entah kemana. Aku pikir ia sudah pergi, mungkin menemukan tempat lain untuk bermain. Sampai sore dan hujan, ia kembali. Tubuhnya basah. Bulunya penuh oli, entah tanpa sengaja terjatuh, atau ada orang yang jahat padanya. Kulihat wajahnya terluka. Ia berjalan gemetar mendekat padaku, kemudian masuk ke kolong meja di depanku. Aku bingung, apa yang harus kulakukan untuknya?

Kuambil kain lap kuletakkan di bawah kolong, ingin aku memberitahunya untuk mengeringkan tubuhnya dengan itu. Tapi aku tidak bisa bahasanya. Ia masih berderi kedinginan di lantai kolong meja, tidak menangkap maksudku mendekatkan kain berwarna biru. Aku tak tega melihat tubuhnya, bekas oli, luka di wajahnya, basah kuyup, jelas ia kedinginan. Aku memilih memandangi hujan di luar yang makin deras. Sembari sibuk memandangi layar.

from unsplash

Aku menengok kolong meja. Kucing kecil itu sudah duduk diatas kain biru, itu jauh lebih hangat, daripada berdiri di lantai keramik yang selalu dingin baik saat hujan maupun terik. Aku... masih hanya bisa diam, lalu sibuk dengan diriku sendiri. Selalu begitu, aku tidak bisa berbuat banyak untuknya. 

***

Aku seperti orang-orang yang suka bunga, tapi tidak tahu cara merawatnya, dari kecil, kuncup, mekar. Sama... aku juga seperti itu. Aku tidak tahu harus bagaimana sejak saat kucing kecil itu sering ke sini.

Aku bertanya-tanya, akankah kucing ini berakhir seperti kucing kecil saat itu? Yang hadir lalu pergi... membuatku bertanya, apa yang ingin Allah sampaikan lewat pertemuan yang cuma sebentar. 

Allahua'lam.

Friday, February 1, 2019

Meninggalkan Dosa

February 01, 2019 1 Comments
Bismillah.
#buku

Aku sudah pernah cerita sepertinya, tentang membaca satu buku, tapi dapat ilmu lebih dari satu buku karena buku tersebut mengutip buku lain? Kali ini, aku ingin menukil dua paragraf tentang meninggalkan dosa, dari Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Tapi uniknya, paragraf ini aku baca bukan dari terjemahan buku al Fawa'id, tapi dari buku sirah Shahabiyah yang ditulis oleh Mahmud Al Mishri dan diterbitkan serta diterjemahkan oleh penerbit Zaman.

***
Imam Ibn Al Qayyim rahimahullah dalam bukunya al-Fawa'id berkata, "Seseorang yang arif tidak akan menyuruh orang lain untuk meninggalkan dunia, karena mereka tidak akan mampu meninggalkannya. Tetapi, ia akan menyuruh mereka meninggalkan dosa selama tinggal di dunia. Meninggalkan dunia merupakan keutamaan, sedangkan meninggalkan dosa merupakan kewajiban. Bagaimana mungkin seseorang disuruh menjalani keutamaan, tetapi ia belum menjalankan kewajiban?!
Jika mereka kesulitan meninggalkan dosa, berusahalah sekeras mungkin untuk mencintai Allah subhanahu wata’ala. Caranya adalah dengan mengingatkan mereka kepada nikmat, kebaikan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Pada dasarnya, dan menurut fitrahnya, hati manusia cenderung mencintai Allah. Jika sudah mencintai-Nya, niscaya ia akan merasa mudah untuk meninggalkan dosa"
- dari buku "Sahabat-Wanita Rasulullah", Mahmud al-Mishri
 ***

Dua paragraf ini ditulis untuk menceritakan Ummu Syarik radhiyallahu anha, yang pernah mendapatkan air minum dari langit. Sedikit tentang Ummu Syarik, beliau adalah seorang sahabiyah yang aktif berdakwah, menyeru manusia untuk menapaki jalan keselamatan.

Sebelum bercerita tentang air minum dari langit, penulis (Mahmud Al Mishri) menjabarkan tentang pentingnya berdakwah, perintah untuk aktif bergerak, serta kecerdikan seorang dai yang tahu dengan apa dan dimana ia bisa menyentuh hati ummat. Lalu paragraf itu muncul untuk menerangkan urutan dakwah. Bahwa sebaiknya bukan menyuruh meninggalkan dunia terlebih dahulu, melainkan meninggalkan dosa.

Dan jujur baca dua paragraf itu, aku ingin fokus pada cara yang dituliskan Ibnu Qayyim Al Jauziyah untuk meninggalkan dosa, yaitu dengan berusaha mencintai Allah. 


"Jika mereka kesulitan meninggalkan dosa, berusahalah sekeras mungkin untuk mencintai Allah subhanahu wata’ala. Caranya adalah dengan mengingatkan mereka kepada nikmat, kebaikan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Pada dasarnya, dan menurut fitrahnya, hati manusia cenderung mencintai Allah. Jika sudah mencintai-Nya, niscaya ia akan merasa mudah untuk meninggalkan dosa" - Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Fawa'id
Satu lagi yang ingin aku highlight, tentang fitrah manusia mencintai Allah.


Gatau ini cuma pikiranku, atau gimana. Tapi yang aku lihat, di zaman milineal ini, konsumsi informasi banyak menggiring kita untuk membenci tuhan. Perang, bencana alam, lalu kegagalan dan luka masa lalu seseorang bisa menjadi penyebab ia mulai bertanya-tanya tentang keadilan Allah, selubung kenegatifan yang dijanjikan setan, agar kelak hanyaa sedikit manusia yang bersyukur. Seolah-olah sikap wajar kita kepada sang pencipta adalah tidak peduli, atau benci. Padahal hidup dengan sikap tersebut terhadap Allah pasti begitu menyiksa. Karena kita terpaksa berdiri sendiri, padahal kaki kita lemah. Seolah setiap hal buruk, pada akhirnya membuat kita mengkambing-hitamkan bobroknya dunia, sedikitnya manusia yang baik, serta menimbulkan kebencian kepada Allah.

Padahal fitrah hati kita mencintai Allah. Mengingkari fitrah tersebut, akan memberikan sakit dan luka yang tidak terdeskripsikan.

***

Meninggalkan dunia itu sulit, begitu pula meninggalkan dosa. Tapi yang sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan. Karena manusia diberikan kemampuan untuk memilih dua jalan yang terbentang dalam hidupnya. Saat meninggalkan dosa terasa begitu sulit, coba cek kadar cinta kita kepadaNya, lakukan usaha dan doa agar konsentrasinya meningkat. Kenali Allah lewat nikmat-nikmat yang mengalir deras dalam hidup kita, lewat ciptaanNya yang seimbang dan begitu dasyat, lewat membaca ayat-ayat cinta dariNya. Semoga dengan itu, hati kita diringankan untuk pergi menjauh dan enggan untuk sekedar dekat dengan maksiat. Dan meskipun manusia ditakdirkan untuk berulang jatuh dalam dosa, semoga kita tidak berhenti untuk bangkit dan berlari menuju pintu taubat, untuk kembali menyelami cintaNya.

Allahua'lam.