Follow Me

Wednesday, November 29, 2017

Mengapa?

November 29, 2017 0 Comments
Bismillah.
#hikmah

Kata itu kini sudah tidak terasa terlalu getir. Pembiasaan memang begitu ya? Sesuatu yang tadinya pahit, membuat lidah tak nyaman, perlahan berubah. Seperti sayur pare, yang tadinya sama sekali saya hindari, tidak pernah saya memilih membelinya, kalaupun ada di rumah tidak pernah saya makan. Namun satu kali di kasih Ibu kos, habis juga dimakan, meski setiap suapnya menimbulkan ekspresi wajah unik karena sensasi getirnya. Kemudian di lain waktu, lagi dan lagi. Kini, memang getir itu masih ada. Tapi tidak sehiperbol saat dulu pertama kali merasakannya. Jadi ingat, betapa lebay diriku, sampai menulis dua post (pertanyaan getir 1, dan getir 2).

***

Tapi jujur... rasanya masih setengah ga percaya. Bagaimana yang tadinya getir, tiba-tiba seolah sudah tidak segetir dulu. Apa komposisi getirnya menurun? Atau Allah yang pelan-pelan menghapus rasa getir dari kata tanya tersebut?

Rasanya aneh, heran juga.. Aku masih ingat betapa.. beberapa hari yang lalu, pekan lalu mungkin aku mendapatkan kata tersebut. Saat itu reaksinya masih sama, aku yang emosional, aku yang pengen nyolot, "Why do I need to explain to someone that they won't even try to understand me?". Ya, aku masih ingat perasaan itu, sensi banget, meski akhirnya aku jawab dengan cara mencoba menenangkan diri dan meyakinkan diri. Maybe they really want to know, not just a mere curiosity. Despite, I can't judge them, for not wanting to understand me. Belajar belajar khusnudzon.

Ya, rasanya aneh dan heran. Bagaimana pagi ini, aku bisa menjawab kata tersebut tanpa persiapan apa-apa. Mengalir saja, meski pasti di sela-sela mikir juga, bagaimana merangkai kata untuk menjelaskan hal tersebut. Too many words but sometimes words can't explain what my heart want to say.

Honestly.. I doubt her, when she says, "tapi ana pernah kenal teh bella jadi merasa kaya adik sendiri..." Ia merasa pernah mengenalku, aku pribadi sebaliknya, merasa tidak banyak mengenal teteh tersebut, dan merasa beliau tidak mengenalku. Pagar-pagar yang aku bangun itu, ketidaksukaanku saat seseorang mengira 'mengenalku'. Maybe it's an effect of my old scar.

Tapi saat percakapan dengannya mengalir begitu saja, membaca responnya, satu per satu. Tak panjang padahal. Aku jadi sedikit belajar lagi, belajar berbaik sangka. Maybe she really cares about me, maybe she really think of me as her little sister.

***


Maaf jadi banyak curhat. Intinya, hikmahnya. Ternyata rasa getir itu bisa berkurang, mungkin karena kebiasaan, mungkin karena Allah mengangkat perasaan tidak nyaman itu, mungkin karena kita sudah berusaha berdamai dengannya, dan banyak alasan lainnya.

Apapun itu.. pada akhirnya akan berlalu. Seperti rasa getir yang perlahan menghilang. Rasa sakit kita, rasa lelah kita, rasa bosan kita, rasa sedih kita.. semua itu akan berlalu, mungkin perlahan, mungkin segera, mungkin di waktu yang tidak kita tahu kapan. Tapi mereka bukan perasaan permanen.

Untuk siapapun, yang sedang mencicipi getirnya sebuah kata, atau mungkin getirnya kehidupan dunia. Semoga kalian bisa bertahan, dengan terus yakin kepada takdir Allah, berbaik sangka kepadaNya,. Terus berjuang, mendekat kepadaNya, bangkit lagi dan lagi, melompat lagi meski dijatuhkan.

Saat pikiran buruk bermunculan, baik itu dari dalam atau efek dari luar, katakanlah.. Kalla... inna ma'iya rabbi sayahdiin.

Allahua'lam.

Tuesday, November 28, 2017

Room No.19

November 28, 2017 0 Comments
Bismillah.
#hikmah
Jujur ragu, apakah akhirnya tulisan ini akan dipublish atau tidak. Minimal ditulis dulu lah ya? Hehe. Kamar No. 19

Alkisah dalam sebuah keluarga, sang ibu merasa memerlukan ruangan pribadi, untuk ia menikmati waktu sendiri tanpa gangguan anak atau suaminya. Maka dibangunlah sebuah kamar di lantai dua, yang kemudian diberi nama kamar ibu. Namun setelah waktu berlalu, ruangan itu kini tidak lagi menjadi kamar khusus ibu tersebut menyendiri, anak-anaknya mulai memasuki kamar itu, begitu pula suaminya. Kebutuhan untuk memiliki waktu dan tempat khusus membuat ibu tersebut akhirnya menabung dan menyewa sebuah kamar di hotel yang murah. Kamar no.19. Sesekali, saat ia butuh waktu untuk menyendiri, ia pergi ke sana, tidak melakukan apa-apa, atau melakukan hal-hal kecil yang ia suka diluar rutinitasnya. Suatu saat, sang suami mengetahui kamar tersebut. Tapi.. Saat ditanya tentang kamar no.19 tersebut, sang istri memilih untuk berbohong, bahwa ia selingkuh.

Seseorang menjelaskan padaku, bahwa tokoh tersebut (sang istri) berbohong karena kamar tersebut tidak akan memiliki arti lagi kalau ia jujur. Ia juga menjelaskan padaku, kalau setiap orang terkadang memiliki "kamar no. 19" yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapapun, meskipun kepada orang-orang terdekatnya (suami, anak, ibu, ayah, keluarga).

***

Kalau mau ditengok dan mengambil hikmah dari kisah tersebut, ditarik dan melihat dari sudut pandang berbeda. Aku mendapat beberapa insight, entah ini benar atau salah.

Dimensi Waktu: Sepertiga Malam, 10 Hari Terakhir, dan di setiap shalat


Pertama tentang ruang dan waktu untuk menyendiri, tidak berurusan dengan manusia lain. Menurutku benar, manusia membutuhkannya. Ada saat-saat kita ingin bertafakkur sendirian, menikmati ruang dan waktu sendiri, tanpa ada distraksi dan gangguan dari orang lain. Seekstrovert apapun manusia, mereka tetap punya sisi introvert. Islam menawarkan solusinya juga. Tapi penawarannya bukan dimensi ruang, tapi di dimensi waktu.

Allah menyediakan dimensi waktu, bukan ruang. Allah menyediakan sepertiga malam untuk kita bertafakkur, menyendiri, atau sebenarnya berkhalwat dengan-Nya. Saat itu manusia-manusia pada umumnya terlelap. Kita bisa menggunakan waktu itu untuk shalat, atau baca quran, atau berdoa dan mengungkapkan segala yang menghimpit dada. Menangis mengakui dosa atau masa lalu yang ingin kita tutup dan tidak ada orang lain yang tahu. Mengakui kelemahan diri, betapa rapuh dan hina, namun RahmatNya tidak pernah berhenti mengalir. Sepertiga malam juga, bisa dipakai untuk menulis, untuk melakukan hal-hal lain sendiri. Mungkin di ruang yang sama, orang lain sedang tidur, kita mungkin tidak memiliki kamar sendiri, ruang untuk sendiri tidak ada. Tapi Allah menyediakan waktu sepertiga malam tersebut.

Allah menyediakan waktu Ramadhan, Allah menyediakan 10 hari terakhir: i'tikaf, kita sendiri meski di tempat ramai. Karena yang kita butuh sebenarnya bukan ruang, tapi dimensi waktu dimana orang sibuk dengan dirinya sendiri. Mungkin saat itu masjid ramai, tapi ramai sibuk dengan ibadah masing-masing. Ada yang tilawah, ada shalat, ada yang menghafal, ada yang berdoa, ada yang berdzikir. Dimensi waktu setahun sekali ini, saat silaturahim sebaiknya ditunda. Menyapa boleh, mengucapkan salam boleh, namun baiknya tidak berlarut dan jadi kojur (baca: terlanjur) mengobrol kesana-kemari. Karena waktu tersebut istimewa, kita fokus pada diri kita sendiri, mencoba meraih rahmat dan ampunan waktu istimewa tersebut.

Bahkan.. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin sebenarnya bukan sekedar dimensi waktu, tapi juga aktivitas shalat itu tersendiri. Ya, Allah menyediakan shalat. Shalat itu membungkus dimensi waktu dan ruang. Saat shalat, kita berdiri, rukuk dan sujud. Berusaha fokus dan khusyu', ini latihan pertemuan antara kita dan Allah. Ini juga tempat dan ruang kita beristirahat dari lelah dan letih urusan dunia. Jadi ingat sabda Rasulullah 'alaihimushalawatu wasalam, "Ya Bilal, arihna bishsholat", yang aku baca di Jalan Cinta Para Pejuang-nya ustadz Salim A Fillah.


***

Sebenarnya, kalau bicara tentang dimensi waktu, ada juga istilah me-time. Meski aku tidak tahu apakah me-time bisa menggantikan peran kamar no.19 di kisah tersebut. Karena sebenarnya, me-time itu kalau diketahui banyak orang gapapa.

Beda dengan shalat, sepertiga malam, i'tikaf, yang menyediakan tempat untuk kita memberitahu Allah, mengaku dosa, memohon ampun, menceritakan kegelisahan yang tidak mau kita bagi ke manusia manapun. Jadi inget tulisan tak terungkap, dan jawaban tak terungkap.

*** 

Izinkan aku mengakhiri tulisan ini dengan doa:

Allahumaj'alna minal mushollin..
Robbij'alni muqiimasholatii wa min dzurriyatii..
Rabbana wataqabbal du'a. Aamiin

Allahua'lam.

Monday, November 27, 2017

Celah Langit

November 27, 2017 0 Comments
Bismillah.

#blogwalking

*saran* skip saja prolognya~

Maaf, sementara aturan reblog 1:10 saya abaikan. Ada tulisan lain dari blog Celah Langit yang ingin saya salin kutipan dan link-nya di sini. Semoga suatu saat baca lagi dan kesana lagi.

Oh ya, barangkali ada yang ingin tahu, bagaimana saya sampai ke blog tersebut. Suatu saat (10 November lalu), saya login ke blogger lewat hp tapi dengan browser, bukan dengan aplikasi blogger yang supersederhana itu. Lupa alasannya karena apa. Singkat cerita, aku jadi buka daftar bacaan-nya The Magic of Rain (tMR). Hasilnya? Jadi nemu blog tersebut. 

***
Dymmdc sempat menjelaskan bahwa selagi wanita masih mendapatkan siklus bulanannya, selama itu hormon yang sama melindungi jantungnya agar tetap aman. Adalah estrogen, yang menghalangi penyumbatan darah di jantung, yang melindungi jantung wanita dari bahaya. Dymmdc juga menambahkan itu kenapa setelah menopause, resiko penyakit jantung pada wanita meningkat drastis. Itu pula kenapa hampir tidak pernah ada wanita muda yang mati mendadak karena serangan jantung. Dan ketahuilah estrogen punya segudang manfaat lainnya. Dokter Google lebih paham.  And you know, saat mendengar itu jantung saya kembali berdebar tiba-tiba. Kali ini tidak ada hubungannya dengan rasa sakit. Saya jatuh cinta.
Saya kembali jatuh cinta pada Tuhan yang begitu romantis. Bagaimana bisa saya luput dari hal ini sementara saya membaca belasan artikel google tentang penyakit jantung dan berbagai hal yang berhubungan dengannya. Tuhan yang maha pengertian itu tidak hanya memberikan saya sebuah jantung untuk hidup, tapi juga melindunginya dengan sistem yang sempurna. Dia ingin saya tidak memiliki masalah jantung di usia produktif agar saya bisa melakukan banyak hal dengan tenang. Agar saya terhindar dari serangan jantung mendadak ketika mendapati rumah berantakan misalnya. Dia tau betul bahwa wanita butuh untuk menjadi yang paling kuat.
- Dwi Yoshafetri Yuna, Kardia
Baca tulisan lengkapnya di sana ya.. tidak disarankan lanjut baca di sini (cuma komentar dan curhat).

***

Membaca tulisan yang satu ini menyadarkanku tentang banyak hal. Tentang perempuan yang suka parno. Rasanya, "Teh.. kok sama banget". J

Aku jadi ingin survei, ada ga yang sama kaya aku dan teh Oca? Terkadang terlalu parno cari-cari info penyakit, sampai-sampai sok mendiagnosis diri sendiri. Aku pernah bukan cuma sekali, googling ini itu, kemudian seolah menemukan kesamaan gejala yang tertulis di sana dan yang aku rasakan.

Sampai suatu hari, seorang teteh menegurku. Alhamdulillah saat itu aku cerita tentang ke khawatiranku. Teh Ica mengingatkanku kalau yang punya hak untuk mendiagnosis dan memberitahu pasien bahwa ia sakit X atau sakit Z itu dokter, profesional. Jadi..? Jadi sejak itu, aku belajar untuk tidak parno, belajar untuk tidak melebih-lebihkan sakitku, belajar untuk tidak overthinking. Aku sering mencoba menenangkan diri dengan kalimat aneh yang alhamdulillah manjur untukku. "You're just getting old, so every inch of your body feel ache". Aku tahu sih, kalimat itu ga sepenuhnya benar juga. Tapi setidaknya, itu mampu menenangkanku.

Membaca tulisan teh Oca, aku jadi belajar banyak hal. Terlalu banyak berpikir, terkadang cuma lebih banyak mendatangkan pikiran buruk. Jangan dipikirkan sendiri, coba deh ngobrol sama siapa, nanti mereka akan mengingatkan kita, kalau kita cuma terlalu khawatiran.

Bicara tentang khawatir.. perasaan ini, fitrah perempuan kah? Jadi inget ibu J, bukan cuma mamah, tapi juga semua ibu. Pernah suatu malam, di sebuah gerbong kereta, ayahku tidur, aku memberanikan diri memulai mengobrol dengan seorang Ibu yang juga tidak tidur. Ia menceritakanku tentang kekhawatirannya kepada anaknya, yang kuliah di Malang dan jarang menjawab pesan darinya. Saat itu aku yang mendengar jleb-jleb, lalu aku jadi cerita padanya juga, tentang mamah yang mirip dengan ibu tersebut rasa khawatirnya.

Kekhawatiran seorang ibu.. sesuatu memang. Hatinya begitu lembut. Seringkali, ia seolah bisa menebak kondisi hati kita, meski terpisah jarak. Love you, mom..

***


Mari sama-sama belajar, untuk tidak khawatiran. Untuk tidak menerka-nerka diagnosa penyakit. Belajar.. untuk membuka mata lebih lebar. Bahwa yang sakit, mungkin hanya sebagian kecil, dari keajaiban organ tubuh lain yang Allah ciptakan dan jaga kesehatannya.

Allahua'lam.

***

PS: Bingung buat judul, maaf karena judul ga nyambung sama topik inti tulisan. Celah Langit, nama blognya Teh Yosha.

Tanpa Alas Kaki

November 27, 2017 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Beberapa kali aku melihat anak-anak sekolahan yang melintas. Sebagian dari mereka memilih tidak mengenakan sepatunya, berjalan dengan kaki telanjang di aspal/trotoar. Sebagian yang lain membawa sendal jepit, yang mereka pakai untuk berjalan kaki pulang. Perjalanan mereka dari sekolah ke rumah jauh. Mengenakan sepatu sekolah 'mahal' untuk berjalan jauh, hanya akan membuatnya cepat rusak. Mereka bukan anak-anak, yang setiap tahun orangtuanya bisa membelikan sepatu baru. Terkadang bahkan, mereka sengaja membeli nomer sepatu diatas ukuran asli kaki mereka, alasannya sederhana, biar tahun depan bisa dipakai lagi. Tidak nyaman pasti, berjalan tanpa alas kaki. Agak repot memang, harus membawa sendal ganti. Bukan hal yang menyenangkan juga, mengenakan sepatu yang kebesaran. Tapi mereka melewatinya, mengalaminya.

berjalan tanpa alas kaki

Fakta dan pemikiran itu tiba-tiba seolah menyengat otakku. Aku berkaca pada cermin yang sudah tidak semengkilap dulu. Berkaca tentang berapa banyak sepatu yang kita tumpuk dan tidak dipergunakan. Berkaca tentang keluhan kita ketika orangtua kita membelikan sepatu/sendal yang tidak sesuai style kita. Berkaca tentang keinginan punya sepatu-sepatu cantik dan mahal. Berkaca tentang kita yang seringkali lupa... Lupa akan begitu banyak nikmat yang perlu kita syukuri. Lupa, untuk membuka mata lebih lebar, mengasah kepekaan hati. Lupa.. Bahwa kita tidak seharusnya sibuk berpikir tentang diri sendiri, sampai lupa melihat ke sekeliling. Padahal di sekitar kita, Allah titipkan ayat-ayatNya. 

Masih belajar.. dan harus terus belajar, agar melihat, mendengar berpikir tidak hanya dengan indra mata, telinga dan otak, tapi juga dengan hati.

Allahua'lam.

Sunday, November 26, 2017

Kipas Obsesi dan Orbit Itu

November 26, 2017 0 Comments
Bismillah.
#buku
-Muhasabah Diri-
"Facebook mengipasi obsesi dengan penilaian orang lain tentang diri kita. Di dalam orbit itu, makna diri, rasa sakit, kebahagiaan, harga diri, kesuksesan dan kegagalan saya ditentukan oleh dunia materi. Ketika saya hidup di dalam orbit itu, saya naik dan turun bersama dunia. Apabila orang-orang senang dengan saya, saya merasa ditinggikan. Apabila tidak, saya jatuh. Tempat saya berdiri ditentukan oleh orang-orang. Saya seperti tahanan karena menyerahkan kunci kebahagiaan, kesedihan, kepuasan, dan kekecewaan saya untuk dipegang orang lain"
-Yasmin Mogahed, dalam bukunya Reclaim Your Heart
Aku membaca tulisan di atas sembari mengingat lagi efek sosial media pada kehidupan kita. Mungkin bukan hanya Facebook, tapi juga Twitter, Instagram, WhatsApp, you name it. Menengok lagi masa-masa aku ingin menghilang dari sosial media, mungkin saat itu.. salah satu alasannya adalah aku masuk ke orbit itu, terlalu banyak memikirkan apa pendapat orang lain tentang hidupku.

***

Membaca buku Reclaim Your Heart, bagian yang membahas soal facebook, membuatku merefleksikan lagi peran sosial media di hidupku. Bagaimana sebuah sosial media, membuat kita semakin tinggi mindset ke-aku-annya. Seolah setiap momen, setiap saat dalam hidup kita 'is an international news worth'. Kita mulai mengumpulkan, meng-capture kemudian membagikan memori hari kita. Seolah jika kita tidak membagikannya di story, hari-hari kita hampa.

Ini juga mengingatkanku, untuk selalu hati-hati. Sosial media memang pisau, alat, yang bisa digunakan untuk banyak hal baik. Tapi menjadi seorang koki yang sudah ahli menggunakan pisau, tidak menjadikan kita lupa untuk tetap berhati-hati. Karena seorang koki adalah manusia, suatu saat, kita mungkin lalai kemudian pisau itu melukai jari kita, ya, pisau, yang biasa kita gunakan untuk memasak makanan bergizi.

***

Terakhir, we can't escape from technology and its development. Kita cuma perlu ikut menyesuaikan diri, melatih lagi skill kita untuk menggunakannya sebagai alat. Juga, sesering mungkin memeriksa laci penyimpanannya, semoga letaknya di tangan kita, bukan di hati kita. Karena cuma dengan cara itu, kita akan terhindar dari luka yang ditimbulkannya.

Semangat belajar lagi, berkaca ulang, bagaimana menggunakan sosial media yang halal dan thayyib J. Barakallahu fiik.

Allahua'lam.

Thursday, November 23, 2017

Pluto, Benda Langit yang Menarik

November 23, 2017 0 Comments
Bismillah.
#blogwalking

from unsplash

Membaca tulisah Teh Oca *sokkenalbgt hehe, membuatku kagum. Ternyata bisa ya, nulis hal-hal yang ilmiah namun dengan bahasa yang tidak terlalu kaku dan tidak membosankan. Ga kerasa aku udah sampai akhir kalimat di tulisan tersebut, meski tidak memungkiri, beberapa kali aku terhenti karena istilah yang tidak familiar.
Tak ada benda langit yang lebih kontroversial di seluruh Tata Surya daripada Pluto. Pluto telah melewati banyak hal.
- Dwi Yoshafetri Yuna, Belajar dari Pluto
Silahkan baca di pranala tersebut ya kalau penasaran dengan isinya.

***

Banyak info baru yang aku dapatkan dari sana. Awal pluto dimasukkan ke tata surya kita, lalu fakta alasan mengapa akhirnya pluto dihapus dari daftar planet. Salah satunya fakta unik, yang menurut Dwi Yoshafetri Y, manis alias so sweet.
Bagi saya pribadi, hal paling manis dari system Pluto-Charon adalah bahwa mereka tidally locked, terkunci dalam resonansi orbit yang indah. Bulan terkunci pada Bumi, waktu yang dibutuhkan Bulan untuk sekali berputar pada porosnya (rotasi) identik dengan waktu yang ia butuhkan untuk sekali mengelilingi Bumi (revolusi), akibatnya, kita di Bumi selalu melihat permukaan Bulan yang sama.  Rotasi dan revolusi Charon terhadap Pluto berlangsung selama 6.4 hari, ajaibnya rotasi Pluto juga memerlukan waktu yang sama yaitu 6.4 hari. Sehingga Charon tidak pernah terbit atau terbenam, sisi Charon yang sama selalu menghadap satu sisi Pluto yang sama. Isn’t it too sweet??
- paparan Dwi Yoshafetri Yuna dalam blognya celah langit
Saya saja, yang bukan anak astronomi dan sebenarnya tidak terlalu tertarik akan detail benda-beda luar angkasa, menjadi terpikat karena tulisan Teh Ocha. Apalagi jika kalian anak astronomi. Pengen deh, baca tulisan semacam ini lagi, baik itu tentang benda-benda langit, maupun ilmu keprofesian lain dalam bahasa yang tidak terlalu textbook.

Belajar tentang pluto, belajar tentang benda-benda di luar sana, semoga bisa menaikkan keimanan kita. Kita mungkin belum bisa seperti ulul albab, yang berdiri, duduk dan berbaringnya memikirkan penciptaan Allah, kemudian berkata, tidak ada yang sia-sia atas penciptaanNya. Tapi semoga kita bisa sedikit demi sedikit membuka mata dan hati, kemudian berdzikir memuji namaNya, Maha Suci Allah, jauhkan kami dari siksa neraka.

Rabbana maa kholaqta hadza bathila subhanaka faqina adzabannar.

Allahua'lam.

Wednesday, November 22, 2017

Yang Melupakan, Yang Mengingat

November 22, 2017 0 Comments
Bismillah.

#fiksi

Aku melangkah ke lab temanku, setelah menyelesaikan empat rakaat ashar. Di sana, aku menitipkan tas dan menumpang mengisi baterai handphone-ku.

"Kita, ada acara prodi. Harus pergi," ucap temanku, mengusirku secara halus. Aku tersenyum, segera mengatakan bahwa aku juga harus pergi.

Saat hendak keluar, seseorang memanggilku, bukan memanggil nama, tapi jelas ia memanggilku. Aku menoleh, setelah melewati pintu lab.

"Bener kan ya? Aku pernah ketemu teteh loh, dulu teteh ngajarin aku kalkulus" ucap seorang perempuan berkhimar abu yang berdiri di sebelah temanku. Aku sedikit memiringkan kepalaku, mencoba mengingat-ingat.

"Kenalin Yun, ini Titis, adik tingkat lab-ku", temanku memperkenalkanku pada Titis. Kuterima uluran tangannya kujabat tangan Titis pelan, ragu karena aku sama sekali tidak mengingatnya. Kuucapkan namaku, "Yunita"

"Dulu.. Waktu aku TPB, aku pernah nginep di kosan Teh Faiza. Yang lain udah tidur, teh Yunita masih begadang di depan laptop," ucap Titis. Temanku masuk lagi ke labnya, mungkin hendak berkemas sebelum hadir acara prodi.

Titis kembali menjelaskan, saat itu ia kesulitan di salah satu soal kalkulus, besoknya ia ada UTS. Saat itu aku mungkin membantunya. Aku tidak ingat sama sekali sebenarnya. Meski aku memang salah satu penghuni kos yang sering begadang di ruang internet.

"Makasih ya, yang waktu itu Teh" ucapnya. Aku tersenyum, mengangguk, bertanya sekali lagi namanya karena aku sering lupa nama seseorang.

from unsplash

***

Sepulang dari gedung prodi tersebut, aku melangkah ke masjid kampus. Sembari berjalan aku teringiang penjelasan Titis, fakta bahwa ia mengingat apa yang tidak aku ingat. Seperti itulah hidup. Memori dan ingatan itu terikat erat pada pribadi masing-masing. Ada yang ingat sebuah kejadian, karena itu berarti untuk mereka. Dan ada yang lupa. Bisa jadi kejadian baik, seperti kesan Titis padaku, atau kejadian buruk seperti luka lama yang mereka lupa namun aku mengingatnya.

Uniknya sore itu, aku membaca sebuah ayat yang membuatku lebih memaknai lagi tentang lupa dan ingat. Bukan tentang kejadian baik atau kejadian buruk. Itu urusan dunia. Tapi tentang diriku, dan dosa-dosaku, yang mungkin telah aku lupa.

"Pada hari itu mereka semua dibangkitkan, lalu diberitakannya pada mereka apa yang telah mereka kerjakan, Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu" (QS Al Mujadilah ayat 6)

The End.

Tuesday, November 21, 2017

Tidak Menzalimi "Orang Itu"

November 21, 2017 0 Comments

Bismillah.
#buku


Membaca paragraf ini, kemudian teringat tulisan "Hating Myself" yang kemarin-kemarin kutulis di sini.

Aku tersenyum. Seolah mendapat hikmah lain.

Mungkin ada saat kita tidak bisa mencintai diri sendiri. Semoga saat itu.. kita sadar batas minimumnya. Yaitu tidak menzaliminya, tidak menzalimi diri sendiri. J

"Jika ia tidak mencintainya ia tidak akan sampai menzalimi orang itu." - Anis Matta

***

Terakhir, pesan untuk siapapun yang membaca ini: jaga diri, jaga kesehatan, jangan berlarut dalam kesedihan sendiri. You'll pass this storm, and you'll become cleaner, stronger than before (': In syaa Allah.

Allahua'lam.

***

PS: Foto dari buku Serial Cinta, Anis Matta hal. 65, Tarbawi Press

Sunday, November 19, 2017

Hating Myself

November 19, 2017 0 Comments
Bismillah.
-Muhasabah Diri-

Menulis ini rasanya berat, gatau kenapa. Singkat cerita, kemarin-kemarin aku membaca dari dua sosmed berbeda dari dua orang berbeda, pernyataan yang mirip. 'I hate myself'. Membaca pernyataan itu rasanya masam, gatau kenapa ikut merasakan sakitnya, entah karena mereka adalah teman yang terdekat, atau karena aku tahu rasa pahitnya, rasa sakitnya membenci diri sendiri.

Rasanya belum lama, aku masih di fase itu, fase aku tidak bisa berdamai dengan diri sendiri, begitu membenci diri sendiri. Aku pernah kehilangan diri sendiri, kemudian saat menemukan perubahan pada diri sendiri, melihat buruk rupanya diri sendiri, segala dosa dan kesalahan diri sendiri, rasanya... jangankan mencintai, menerima saja aku tidak sudi. Jadilah aku memulai pertarungan dengan diri sendiri, meski saat itu aku tidak menyatakan bahwa aku membenci diri sendiri. Tidak di sini, tapi di tempat lain aku berulang kali menyatakannya.

Membaca pernyataan itu, dari orang lain, membuatku kembali berkaca, bahwa mungkin perasaan ini yang memenuhi pikiran dan hati mereka dulu, saat aku berkoar pernyataan yang sama, langsung di hadapan mereka, bukan lewat sosmed. Bedanya saat itu, mereka ada di dekatku, berulangkali mencoba berinteraksi denganku, mencoba menyiram benih kebaikan dariku, bahwa aku lebih baik dari apa yang aku pikirikan. Saat itu tentunya aku cuma bisa menangis dan mengatakan pada mereka, kalau mereka tidak tahu apapun, kalau aku.. aku tidak berhak dikasih kata-kata manis. Saat itu aku sangat negatif memang, sehingga kata-kata positif dari mereka terdengar menyakitkan, seolah menyindirku, bahwa aku tidak sebaik itu. Bahwa aku tidak pantas mendapat kata-kata baik dari mereka.

***

Membenci orang lain, itu juga tidak baik. Aku pernah membaca analogi kisah membenci orang lain dalam bahasa inggris. Entahlah aku pernah menyimpannya di sini atau belum.

Jadi ada kisah, seorang guru mengajarkan muridnya bahwa membenci tidak memberi manfaat apapun bagi hidup kita. Semua murid diberi tugas, untuk membawa kantong yang akan diisi dengan kentang. Setiap mereka membenci satu orang, maka dimasukkan satu kentang diberi nama orang tersebut. Selama kita masih membencinya, maka kentang itu setiap hari harus dibawa dalam kantong tersebut. Setelah sepekan, murid-murid yang awalnya dengan senang memasukkan satu demi satu kentang ke kantong bencinya, lama-lama mulai mengeluh. Berat, harus membawa kantong penuh kentang, belum lagi tercium aroma tidak enak karena kentang tersebut lama-lama membusuk. Di akhir kelas, sang guru berpesan, bahwa membenci, sifatnya mirip dengan eksperimen tersebut. Pada akhirnya, hanya akan merugikan yang membenci, mengotori hati mereka.

Lalu aku bertanya-tanya, bagaimana kalau ini tentang membenci diri sendiri? Kebencian tersebut akan menyiksa hari-hari kita pasti. Karena nyatanya, objek yang kita benci adalah seseorang yang selama hidup kita, kita bersamanya. I mean, you cannot change the fact that you are you.

Kamu juga tidak bisa menghindari dirimu sendiri. Kalau membenci orang lain, kita bisa menghindari mereka, tidak bertemu dengan mereka, melupakan sejenak kebencianmu kepada mereka karena tidak ada interaksi dengan mereka. Membenci diri sendiri? Setiap hari kamu menemui"nya", melihat"nya", berinteraksi dengan"nya". Life will be so difficult if you hate yourself. Life will be hard if you can't forgive yourself.

***

Kalau misal... ada perasaan benci pada diri sendiri, apa ya solusinya? Berhari-hari aku mencoba memikirkannya. Jawaban yang aku temukan, adalah keyakinan dan pengetahuan tentang Allah. Dengan mengenal Allah, dan sifat Ar rahman Ar rahimnya, sifat Al ghoffurnya.

Saat itu.. aku tidak percaya pada manusia. I mean, they might accept me cause they only see a little bad thing about me. Even my parents don't know all my sins, right? Saat itu.. aku pikir, aku saja tidak bisa memaafkan diri sendiri, kalau mereka tahu buruk dan bobroknya diriku, pasti mereka juga tidak bisa memaafkanku.

Tapi saat pelan-pelan aku diingatkan lagi, bahwa Allah Ar rahman. Knowing that He will not give up on me. Knowing that He loves me, and He will forgive me. Fakta itu membuatku pelan-pelan menyadari. Bahwa yang aku benci, sebenarnya bukan keseluruhan diriku. Yang aku benci mungkin masa laluku, bagaimana bodohnya aku jatuh lagi dan lagi di lubang yang sama. Yang aku benci adalah dosa-dosa yang menggunung itu. Yang aku benci adalah kebiasaan-kebiasaan buruk. Yang aku benci adalah mindset serba negatifku.

Nyatanya.. Allah memuliakan anak adam, Allah mencintai hambaNya. Mengetahui fakta bahwa Allah mencintai kita, membuat kita sadar, bahwa diri kita juga berhak dicintai. Bukan oleh orang lain, namun juga oleh diri sendiri.

***


Semoga Allah melindungi kita semuanya ua dari membenci diri sendiri. Terutama.. karena seringkali membenci diri sendiri membuat kita lupa, akan nikmat yang Allah beri. Terutama.. karena kadangkala membenci diri sendiri membuat kita lupa, akan sifat-sifat Agung Allah. Maha Suci Allah.
Teruntuk dua sahabat yang saat ini dalam fase menyakitkan itu, maaf karena tidak bisa berada di samping kalian. Cuma bisa berdoa, dan sulit untuk bertanya lebih jauh. Aku percaya, fase ini akan segera dilewati. Kalian akan memetik hikmah darinya, belajar darinya, semakin dekat lagi dengan Allah. In syaa Allah. I believe that you're all better than me. Kalau aku yang masih belajar ini, bisa melewati masa itu, aku yakin kalian juga bisa melewatinya. You might hate yourself now, but someday you'll realize, Allah loves you, and that makes you deserve the love from your-own-self. What you hate is not your-entire-self.
-kirei
Allahua'lam.

***

PS: Menulis ini mengingatkanku saat aku membuka lagi lembaran di sebuah buku, dan menemukan kalimat sederhana yang masuk dalam hatiku begitu kuat. "Allah telah memaafkan apa yang berlalu"

Wednesday, November 15, 2017

Memulai Percakapan

November 15, 2017 0 Comments
Bismillah.
#random

Tulisan ini bukan tips, bukan pula opini. Hanya curhatan random seseorang yang sering bingung untuk memulai percakapan. I used to be, and actually still a person who find it hard to start a conversation, whether it's in real life, or in chats.


Mungkin ini, salah satu yang membuatku tidak baik dalam memelihara ukhuwah jarak jauh. Meski ada waktu-waktu, momen-momen, aku ingin menyapa, aku seolah kehilangan kata dan ide, bagaimana memulai percakapan. Aku tidak terbiasa basa-basi dan males untuk basa-basi, dan sering juga terganggu jika ada yang basa-basi padaku. Rasanya.. ingin saja secara jujur langsung mengungkapkan yang ada di pikiranku, "Aku tiba-tiba teringat kamu, jadi penasaran, apa kesibukanmu sekarang, apa kamu sedang sendiri, apa yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranmu, apa ada yang bisa aku bantu".

Tapi nyatanya, untuk to the point seperti itu, juga susah. Aku akhirnya memilih untuk menelan rasa rindu dan keinginan menyapa, terkadang memilih berdoa saja, atau memilih bertanya lewat orang lain. Meski jujur, itu tidak memenuhi rasa rindu maupun rasa penasaranku. Doa itu komunikasi satu arah, terkirim saja ke atas, Allah yang menjawabnya kelak. Sedangkan bertanya lewat orang lain, seolah tidak ada hasilnya. Aku tidak bisa mendengar suaranya, tidak bisa membaca gaya bahasa khasnya, terlalu banyak prasangka, informasi yang kemungkinan salah.

***

Kata tanya, "apa kabar", terlalu klise, jawabannya akan sama, jarang ada yang mau mengaku, "sedang sedikit flu", "sehat tapi lagi banyak pikiran dll". Memulai percakapan itu tidak mudah, melanjutkannya, agar mengalir dan tidak awkward, juga tidak mudah. Aku seringnya bertanya tentang cuaca, karena mereka berada di kota berbeda, terkadang ngobrol tentang anak mereka, obrolan seru buat ibu baru. Kemudian sunyi, seolah tidak ada yang bisa diobrolkan lagi, karena sudah berbeda kesibukan.

Tapi kau tahu? Terkadang memaksakan diri untuk memulai percakapan, misal dengan komentar status whatsapp mereka, bisa juga mengalir jadi diskusi asik. Mengalir saja, dari bicara aktifitas masing-masing, kerisauan masing-masing, saling menasihati, juga nostalgia.

Satu hal yang mesti kita hindari, baik itu percakapan di dunia nyata maupun dunia maya: ghibah. Satu hal ini terkadang muncul saja, tiba-tiba teringat seseorang yang sama-sama kita kenal. Di sini, penting untuk tidak terbawa arus, kemudian pinter-pinternya aja mengubah topik. Tidak mudah memang, banyak godaan setan hehe. Semoga kita dilindungi Allah dari dosa ini. Terutama kaum hawa seperti aku, meski laki-laki ga terhindar juga sih.

Oh ya, bicara tentang memaksakan diri untuk memulai percakapan. Aku menemukan trik agar diri ini punya kepedulian lebih tinggi untuk terlebih dahulu mengkontak teman yang sudah jauh di mata, dekat di hati. Punya trik, agar diri tidak memilih diam saja dan bukan malah usaha untuk menyapa. Mau tahu caranya? Vakum menulis di blog ini wkwkwkwk. Aku tahu sih, ga bener. Tapi nyatanya itu ampuh hehe.

Menulis di diary saja, dan di blog puisi saja, tidak mengurangi jatah kataku, membuat sisi ekstrovertku tidak terpenuhi haknya. Jadilah aku terdesak untuk menulis dan berkomunikasi dengan orang lain. Harus, dan jadi cari-cari. Karena yang tadinya cuma keinginan, jadi kebutuhan. Aku butuh berkomunikasi, bertanya kabar, dan menuangkan kata-kata yang merupakan jatah yang harus dikeluarkan.

Trik ini berbahaya sebenarnya, pertama blog ini jadi terabaikan, kedua ada kemungkinan aku salah tempat hehe. Terjadi memang beberapa hari yang lalu. Saat aku menulis panjang lebar, ngelantur pada seorang akhawat yang ia tidak terlalu dekat, cuma pernah seorganisasi, tapi jarang komunikasi. Mungkin ia heran dan bingung, ada apa ini Bella. Tiba-tiba chat dan bicara panjang lebar hihihi. Aku saat itu menahan diri untuk melanjutkan tulisan panjang yang seharusnya disalurkan ke blog ini. Kemudian heboh sendiri, karena malu. Malu karena salah tempat dan salah orang. She might think I'm weird wkwkwk, it's okay, I do actually weird anyway J. *peace V

Melakukan trik ini dua bulan sekali, gapapa kali ya? Atau jangan? Ada yang lebih suka aku rutin isi blog? Hehe *PD banget haha.

***

Udah panjang, nanti deh.. kapan-kapan aku selesaikan draft tentang memulai percakapan di dunia nyata, terutama saat perjalanan, hasil blogwalking di medium, bagus idenya, menerapkan konsep give and take J. In syaa Allah.

Aku akhiri tulisan random dan banyak curhat ini dengan doa kafaratul majlis, semoga hal-hal yang buruk dimaafkan. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla illaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik.

Allahua'lam.

Strange Feeling Inside

November 15, 2017 0 Comments
Bismillah.

Ada satu hal, yang muncul dan menghilang saja secara alami. Hadir dan tiba-tiba mengisi hatimu, kemudian suatu ketika hilang seolah tak pernah ada. Beberapa menyebutnya vmj, (virus merah jambu), rasa tertarik alami antara perempuan dan laki-laki. Aku menyebutnya sfi (strange feeling inside), karena rasanya aneh aja. That's it.

Sebenarnya, aku menghindari menulis tentang ini. Takut ada yang salah menerka, salah menangkap. Takut ujung-ujungnya, aku yang salah. Tidak seharusnya aku menulis ini. Tapi hari ini... entah mengapa aku ingin menuliskannya. Tentang itu.

***

Tidak ada yang salah selama...

Hal pertama yang aku temukan tentang rasa itu, adalah... sebenarnya tidak ada yang salah, ketika tiba-tiba rasa itu muncul dan tumbuh di sela-sela hati kita. Fitrah. Tidak ada yang salah, selama tidak ada aksi. Yang membuat sfi berubah jadi vmj adalah ketika ada aksi yang diambil. Bentuknya macam-macam, dari sekedar stalking/kepo, atau saling kontak, entah itu untuk hal-hal 'penting', maupun tidak penting, sampai perlahan.. satu demi satu pintu mendekat ke zina.

Jadi, saat kau mulai menyadari, bahwa ternyata rasa itu ada untuk orang tertentu. Yang perlu kamu lakukan hanya satu, mengabaikannya. Tidak menyiraminya apalagi memupuknya. Kau cuma perlu membiarkannya tumbuh secara alami, mekar, kemudian layu dan menghilang dengan sendirinya.

Allah menitipkan rasa itu karena...

Hal kedua, ini baru aku petik ketika seorang teman bertanya padaku. Tiba-tiba saja terlintas hikmah ini. Bahwa selain tidak ada yang salah, sebenarnya, bersama tumbuh dan gersangnya sfi, Allah juga menitipkan ibrah dan hikmah kepadamu.

Orang-orang tertentu, yang sfi ini tumbuh untuknya, mungkin bukan jodoh kita, mungkin jodoh orang lain. Tapi ketika Allah menumbuhkan rasa kagum, rasa suka, dan perasaan aneh lainnya... pasti ada hal yang Allah titipkan juga bersamanya. Bisa jadi, lewat seseorang itu, Allah titipkan hidayah supaya kita kembali padaNya, belajar lagi untuk mengenalNya, Zat yang menciptakan cinta, yang memberikan cinta yang hakiki. Bisa jadi, lewat seseorang itu, Allah ingin mengajarkan pada kita, bagaimana seharusnya interaksi antara non-mahram, bagaimana yang seimbang, yang tidak terlalu lunak, yang menjadi bentuk penjagaan izzah dan iffah kita. Bisa jadi, lewat seseorang itu, Allah ingin mengajarkan pada kita, supaya lebih banyak mengingatNya, sakit hati mengharap pada manusia, membuat kita belajar bahwa harapan harus selalu disandarkan kepada Allah, yang tak pernah ingkar janji, yang mencintai kita meski diri kita hina dina dan tidak pantas dicintai.

Perasaan minder itu...

Ini juga, kupetik karena pernyataan seorang teman, sembari memetiknya, aku sembari berkaca tentang diri, dan perasaan minder itu.

Sfi, terkadang juga mengundang perasaan lain, salah satunya rasa minder. Mungkin pernah salah satu dari kita bertanya-tanya, tentang diri yang tidak pantas, jauh dibawah seseorang itu. Menurutku, perasaan minder ini natural hehe, karena kita hanya melihat sisi baik orang tersebut, sedangkan kita, mengetahui seluk beluk diri sendiri, termasuk fakta yang buruk-buruk tentang diri sendiri.

Tapi satu hal yang sering kita lupa. Kenyataannya, kita tidak tahu, ya tidak tahu sama sekali. Dan minder ini, penyebabnya adalah ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita mungkin lupa, bahwa Allah melarang kita untuk melakukannya. Allah tidak pernah, tidak akan pernah membandingkan diri kita dengan orang lain. Rasa minder itu, harus berusaha kita hilangkan, tidak mudah memang, terutama kalau kamu perempuan. Tapi kita bisa belajar kan, melangkah sedikit demi sedikit.

Karena.. kalau kau biarkan rasa minder itu menetap, ada yang siap membisikkanmu was-was, membuatmu sedikit demi sedikit lupa akan nikmat dariNya. Kita menjadi tidak bersyukur, dan tidak bersyukur ini efeknya bisa panjang, mempengaruhi ibadahmu, dan hari-harimu. Allahumma a-inna 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatik.

***


Tiga itu saja sih, yang ingin aku tuliskan tentang sfi. Ada yang tahu istilah yang lebih pas? Yang lebih umum? Yang mungkin jadi keyword yang orang pilih?

Bye~ Semoga bermanfaat.

Allahua'lam.

Tuesday, November 14, 2017

Coretan

November 14, 2017 0 Comments
Bismillah.
#selftalk

Memang sekedar coretan, kumpulan draft, kumpulan ide yang kucoba tuliskan. Sebagian coretan tersebut aku sempurnakan, kuakhiri dengan titik kemudian dipublish. Sebagian yang lain di kirim. Namun banyak juga yang menetap di sana, menjadi kumpulan coretan yang tidak pernah dikirim kemanapun, tidak pula di publish kemanapun.

Membaca coretan-coretan itu membuatku menyusuri ulang perjalanan lalu. Bagaimana diri, belokan mana tersesat, kerikil mana yang membuatku tersandung, juga lari-lari kecil, atau langkah tegap, atau saat berhenti sejenak karena ragu. Semua tergambar. Bagaimana aku sekilas terlihat baik, padahal tidak baik. Atau tidak baik, padahal baik. Begitu fluktuatif, membuat diri sendiri bingung. Begitu tidak bisa ditebak, dan masih setengah tidak percaya perjalanan itu ternyata jauh lebih lama daripada yang aku ingat.

Nyatanya coretan itu menjadi jejak kecil, dokumentasi sketch perjalananku, dan membuatku ingin mengambil hikmah. Bahwa Allah sudah berulang kali menguatkan, berulang kali menorehkan warna indah, berulang kali memberikan bantuan. Meski berulang kali juga aku.. ya aku juga berulang kali memilih menjauh bukan justru mendekat, memilih mendekap gelap ketimbang meraih cahaya. Berulang kali. Begitu terus.

Kalau kata orang, chance never come twice. Nyatanya Allah memberiku kesempatan untuk tumbuh dan memperbaiki diri, lagi dan lagi. Entah sudah hitungan yang ke berapa.

***


Terakhir, izinkan aku kutip salah satu coretan dari sana. Tertanggal 25 Mei 2015 14:48,
Ya, di momen seperti inilah aku akan menulis. Saat dunia terasa begitu menyesakkan. Seolah rangkaian huruf, kata, kalimat, paragraf, memberikan aku ruang lebih luas dari dunia yang sempit ini. - Isabella Kirei
Allahua'lam.

Monday, November 13, 2017

Can't Hold Anymore

November 13, 2017 0 Comments
Bismillah.


Huaaa.. ga bisa lagi nahan untuk ga nulis hehe. I do some silly challanges to myself, to make much input but not write anything here. Nulisnya di diary aja, atau di blog sebelah aja, hasilnya? Ga bisa lagi hehe. Udah kangen nulis di sini, udah banyak hal yang ingin aku tuang di sini. Ga bisa lagi hehe. ~

Entahlah, tantangan aneh itu kenapa aku lakukan. Mungkin itu cuma excuse, ga ada yang namanya tantangan kaya gitu. Yang ada akunya aja yang lagi ngambek dan ga mau nulis di sini. Atau aku-nya aja yang lagi males buka blog ini. Entahlah, aku sendiri juga gatau dan ragu, sebenarnya yang mana alasan yang asli, dan yang mana excuse.

Intinya, lewat tulisan ini aku ingin mengekspresikan kehebohan diriku. Kalau aku ga bisa cuma menyerap saja, perlu ada output. Karena aku ga bisa membagikan input lewat suara, karena ga banyak berinteraksi dengan orang yang bisa diajak diskusi, jadi, kebutuhan menulis meningkat J. 

***

Tapi ada hikmahnya juga loh.. aku ga nulis di sini lama. Aku jadi kontak temen-temen via whatsapp. Setidaknya, aku jadi menjalin komunikasi, dan ga diam saja. J Meski jujur malam ini, agak malu.. karena tiba-tiba ngajak diskusi temen yang udah lama ga ketemu dan mungkin dia ngerasa aku aneh. Ya kali, ga ada basa-basi, tiba-tiba ngajak diskusi panjang. Pernah saut-sautan chat berlama-lama juga ga, terakhir seorganisasi juga sudah lebih dari lima tahun, bukan satu lingkaran pula. Wkwkwk. Malu, tapi rasa malu itu buat aku jadi nyadar. Kalau aku salah tempat, bukan di sana, aku harus nulis di sini hehe ~

Ada yang kangen ga baca tulisanku? Biasanya aku paling lama vakum berapa hari sih? Dua? Tiga? ehm.. *lupa diri, pernah vakum berbulan-bulan padahal. Cek archieve bell! **peace V

Bismillah, semoga tulisan setelah ini bisa lebih bermanfaat dari prolog ini. Aamiin. Bye 5..

Wednesday, November 8, 2017

Allah Doesn't Do It. Allah Does Not Do That.

November 08, 2017 0 Comments
Bismillah.

Kemarin-kemarin aku menyempatkan ngumpulin quotes dari video ustadz Nouman, dari Tab NAK di OneNote-ku. Dari pencarian dan pengumpulan itu, ada satu kutipan yang ingin aku bagi di sini. Kutipan yang sering aku baca dan aku ulang-ulang, kalau aku sedang merasa down, dan merasa jatuh lagi dan lagi.

foto: 20170429 @saraga -dokumentasi pribadi
 
***

People Will Give Up on You

People will give up on you.

People will give up on you.  Allah never gives up on you.

People will give up on you all the time.

Parents will give up on you.
A spouse will give up on you.
Friends will give up on you.

But Allah will never give up on you

People will judge you and can condemn you like ,
"This guy is bad" and that's it. Case closed.

Allah will never close His doors off of you.
The only one who can close those doors permanently is yourself.

Allah doesn't do it. Allah does not do that.

***

Orang-orang Akan Menyerah Padamu

Orang-orang akan menyerah padamu

Orang-orang akan menyerah padamu. Allah tidak akan menyerah Padamu

Orang-orang akan menyerah padamu setiap waktu.

Orang tua akan menyerah padamu
Pasangan (Istri/Suami) akan menyerah padamu
Teman-teman akan menyerah padamu

Tetapi Allah tidak akan pernah menyerah padamu

Orang-orang akan menhakimil (judge you) kamu dan dapat menyalahkan kamu seperti ,
"Orang ini buruk (tidak baik)" itulah. Kasus selesai (Case closed.)

Allah tidak akan pernah menutup pintu-Nya (pintu taubat -pen) dari mu.
Satu-satunya yang dapat menutup pintu itu secara permanen adalah dirimu sendiri.

Allah tidak melakukan itu. Allah tidak melakukan itu.

***

Itu potongan dari video pendek. Setiap kali aku ingin menyerah dan berpikiran buruk bahwa orang-orang akan menyerah padaku, saat itu aku berusaha meyakinkan diri dengan quotes di atas. Bahwa tidak apa-apa, mungkin semua orang menyerah padaku, tidak apa-apa. Allah tidak pernah menyerah padaku. Fakta itu aja cukup.

Even if everyone in this world close the doors for you, it's okay. Allah's door always open. Dari sini aku belajar untuk berhenti berharap pada orang lain. Seperti orang lain yang akan berhenti dan memilih menyerah padaku.

Aku juga termasuk orang-orang yang bisa menyerah, I could give up on myself, again and again. Rasanya seolah tidak sanggup bangkit lagi dan lagi. Tapi ketika tahu dan meyakini bahwa Allah tidak pernah menyerah padaku, selalu ada jalan yang ia berikan, pintu-Nya selalu terbuka, itu yang membuatku perlahan bisa bergerak lagi, berusaha bangkit lagi.

Manusia itu lemah, ia butuh tempat bersandar dan bergantung. Ia akan memilih untuk berhenti ketika tahu semua orang berpaling darinya. Tapi ketika tahu Allah masih ada, dan selalu ada. Siap menerima kita, siap membantu kita bangkit dari keterpurukan. Ketika tahu dan yakin fakta itu, itu cukup.

***

Untuk siapapun, yang sedang berjuang untuk kembali padaNya, dengan segala naik turun jatuh bangun dan gelap terangnya. Barangkali dua kalimat ini bisa jadi 'mantra' yang kau ulang-ulang lagi dan lagi. Agar tidak pernah berhenti dan menyerah dari Rahmat-Nya.

"People will give up on me, again and again. But Allah never give up on me. Allah never give up on me"

Allahua'lam.

***

PS: Maaf kalau terjemahannya buruk. Jujur masih belum tahu frase yang tepat untuk menggantikan frase 'give up on someone'.

Meski Sudah Bukan Mahasiswa

November 08, 2017 0 Comments
Bismillah.
#buku 
-Muhasabah Diri-


Berusaha memaksa diri menulis sembari gamang, dan masih mempertanyakan niat. Niat sebuah amal, memang harus terus penerus diluruskan, iya kan? Berusaha memaksa diri, menulis yang lebih bermanfaat, yang kualitasnya lebih baik ketimbang beberapa tulisan terakhir. *abaikan prolognya hehe.

Judul buku yang akan kunukil hari ini adalah Mahasiswa-Mahasiswa Penghafal Quran, diterbitkan oleh Indonesia Quran Foundation. Aku beli buku ini saat masih mahasiswa, tapi ga dikirim ke Bandung, kirimnya ke Purwokerto *ga niat baca banget ya hehe. Saat itu mikirnya, buat di baca adik. Qadarullah, akhir-akhir ini disempatkan membaca. Mau sharing dan review beberapa tentang isinya.

***

Indonesian Quran Foundation itu semacam lembaga atau gerakan yang isinya mahasiswa yang kuliah sembari menghafal, ada di beberapa kota. Jadi ada asramanya gitu. Buku ini adalah karya mahasiswa penggerak IQF, isinya tulisan sharing pengalaman dan motivasi yang membuat mereka memilih menghafal sembari menjalani status mahasiswa. Isinya bukan teknis, bukan tentang tips dan cara agar bisa menghafal quran dengan segala kesibukan dan padatnya aktivitas mahasiswa. Isinya lebih ke sharing pengalaman, hikmah, cerita hidup awal mulai memutuskan untuk menghafal, perjalanannya, ada juga yang formatnya surat untuk orangtua, baik itu untuk bapak maupun ibu.

iqf.or.id
Sebuah sore bulan Oktober kalau ga salah, aku mengambil buku ini dari rak, kemudian membacanya. Tulisan pertama, yang menyapaku setelah kata pengantar dan daftar isi adalah tulisan bertajuk Kutemukan Quran, ditulis oleh alumnus FMIPA UI/Fisika/2008. Saat itu, entah kondisi hati sedang mellow, atau memang tulisannya memang pas untukku, aku terhenti dan mencukupkan diri membaca satu tajuk tulisan saja. Kenapa? Karena habis itu, aku berteman dengan air mata *dasar cengeng wkwkwk. *stop di sini aja ya curhatnya.

Penasaran ga sama isi tulisannya? Ini aku kasih kutipannya ya..
"Apa yang lebih penting dari itu bagiku adalah Allah telah menunjukkan kepadaku jalan yang harus aku tempuh. Bahwa aku harus segera memutuskan untuk menjalani hidupku ke depannya di bawah naungan firman-Nya, di bawah naungan Quran, yang dengannya aku bisa mengenal-Nya lebih dekat, menjalani dan mengambil pilihan hidup yang lebih bijak. Aku pun memutuskan. Aku berjanji akan mengerahkan segenap upayaku untuk senantiasa membacanya, menghafalkannya, belajar memahami maknanya, serta mengamalkannya. Sehingga Quran menjadi sahabat penyejuk hatiku, teman dalam sepiku, kekuatan pendorongku, juga benteng terakhirku."
- Mahasiswa-Mahasiswa Penghafal Quran, Tim Penulis IQF
Mungkin ada yang membaca kutipan dan merasa isinya klise. Kalau motong tulisan kadang memang gitu, esensinya ga kebawa semua. Apalagi tulisan-tulisan di buku ini mayoritas isinya kisah, jadi akan lebih ngena, kalau kita baca juga kisahnya, apa yang membuat ia sampai memutuskan untuk kembali menemukan quran dan berusaha untuk hidup dalam naungannya.

Aku memang baru baca bagian pertama dari buku ini, yang tentang kisah-kisah memulai perjalanan dengan Quran, mengapa mereka memilih jalan ini, jalan mahasiswa penghafal quran. Tapi dari sedikit kisah yang sudah aku baca, aku bisa mengambil pelajaran. Setiap orang punya episode pahit dalam hidupnya, namun pahit-nya, justru jadi titik balik ia kembali pada Allah, kembali ke Quran. Aku sebagai pembaca mungkin cuma bisa berempati, dan berusaha memahaminya lewat satu dua kalimat yang mereka tuliskan. Tapi aku tahu, sebenarnya ada lebih banyak tangis, luka, dan perasaan ga enak lainnya, atas kejadian titik balik mereka. Aku dibuat belajar, dan harus terus belajar, tentang keberanian mereka, untuk bangkit dari jatuh mereka. Keberanian mereka, untuk kembali ke Allah dan kembali ke Quran, dan bukan justru lari dan berusaha memeluk dunia.

Janji untuk berusaha terus membersamai Quran itu bukan janji yang mudah lho. Mungkin memang bukan janji yang kita ikrarkan ke orang lain, cuma dalam hati diucapkan. Tapi seperti janji lain, yang akan ditanyakan, apakah kita bisa menjaganya. Janji dengan Quran juga akan ditanyakan TT. Inget ayat saat Rasul mengadukan bahwa kaumnya mengabaikan Al Quran. Semoga kita bukan termasuk mereka yang mengabaikan Al Quran. Semoga kita tidak sekedar merasa cukup dengan menghafal dan membacanya, namun berjuang dan berusaha sungguh-sungguh hidup mengamalkan Quran.

***

Aku memang sudah bukan mahasiswa saat membacanya. Mungkin itu juga yang ada di benak orang-orang yang bukan mahasiswa saat memilih tidak membeli/tidak membaca buku ini. Tapi kenyataannya, meski judul buku ini ada kata mahasiswa, menurutku isinya tidak hanya untuk mahasiswa. Manfaatnya mengalir, meski yang membaca bukan mahasiswa.

Ada saat ketika semangat turun, membaca kisah di buku ini, bisa sedikit memekarkan lagi semangat yang layu. Kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah orang lain, tak terbatas dari statusnya. Entah itu hikmah dari mahasiswa penghafal quran, atau dari anak SD, atau dari siapapun.

Buku ini, di beberapa kisah menekankah, bahwa semua orang bisa memulai menghafal quran meski dengan berbagai aktivitasnya. Penekanan di buku ini memang untuk mahasiswa. Tapi kalau kita mau lebih luas lagi memandang, sebenarnya buku ini juga memotivasi siapapun untuk memulai perjalanan menghafal quran, karena status mahasiswa, ibu rumah tangga, anak sekolahan, itu cuma status aja, jangan dijadikan penghalang. Kalau ada azzam, Allah tunjukkan jalannya. Kuatkan tekad, berusaha dan bekerjalah.


***

Izinkan kututup tulisan kali ini dengan kutipan dari kisah Maharhanie Septi N, Fakultas Teknik UI/Arsitektur Interior/2011.

"Satu hal yang selalu kuingat, ketika kita banyak membaca Quran dan memahaminya itu berarti Allah sedang berbicara dengan kita. Sehingga setiap permasalahan atau kesenangan yang aku hadapi akan kutanyakan pada Allah pada saat shalat dan memohon kepada-Nya untuk menunjukkan jawaban-jawaban pertanyaan itu dalam Quran. Hasilnya? Hati yang tak terkira bahagianya. Seluruh beban, kegelisahan, kegundahan, telah kutemukan jawabannya pada Quran."
- Mahasiswa-Mahasiswa Penghafal Quran, Tim Penulis IQF
Allahua'lam.

Monday, November 6, 2017

12h 5d 3w

November 06, 2017 0 Comments
Bismillah.


Entah sudah berapa kali aku membaca kombinasi angka dan huruf mirip judul tulisan ini. Narasimu di sana, dan time stamp yang tertera di sana. Sudah beberapa kali, narasimu di sana membuatku reaktif untuk menulis juga di sini. Entah ingin menjawab narasimu, atau ingin membahas tema yang sama dengan sudut pandang berbeda, atau ingin curhat tentangku dan bahasan yang mirip, atau ingin mengutip saja narasimu di sana.

Tapi aku akhirnya memilih untuk berhenti. Tidak jadi menuliskannya di sini, karena aku tahu.. yang kau posting di sana bukan konsumsi umum. Ya, aku juga ragu untuk menghubungimu secara privat dan bertanya tentang postingan "12h 5d 3w", karena kamu seringkali lebih memilih menutup diri. Lebih baik aku mengirim doa saja dari jauh kan?

***

Aku sudah membuat draft dengan tema "I don't believe in social media". Mungkin akan aku merge di sini saja bahasannya. Hehe.
"Aku ga percaya sama sosial media. Perdebatan-perdebatan di sana. Simpang siur informasi di sana. Aku tidak percaya itu. Aku juga ga percaya cari kabar teman lewat sosial media." -draftsebelah
Aku senang menyimak kisah sederhana orang-orang, suka menyimak narasi hasil perenungan dan pergulatan pikiran mereka, suka memperhatikan bagaimana mereka berjuang dalam jatuh bangkitnya, suka mengambil hikmah dan mengasah kepekaan hatiku dengan menyimak dan membaca kisah-kisah nyata tersebut.

Namun aku bukan tipe yang suka stalking di sosmed. I don't believe in sosmed. Originalitasnya, isinya, cuma ada dipermukaan. Menurutku, apa yang orang bagikan di sosmed mereka, sekedar satu puzzle kecil dalam hidup mereka, yang sudah di-filter lagi dan lagi. Selain itu, banyak reshare-reshare saja, atau bahas topik kekinian, atau kalimat bijak pendek. Aku tidak hendak menyamakan semua orang di sosial media-nya. Ada yang sosmednya penuh tulisan narasi besar dan bermanfaat, apik dan menarik. Tapi aku sedang cerita kebanyakan sosmed yang aku temukan, yang terhubung di sosmedku.

Jadi aku lebih menikmati baca blog orang-orang, follow jika memang kisahnya menarik untukku meski ia jarang publish. Karena dari sekian banyak blog, sekian banyak tulisan, sekian banyak kisah, pasti ada satu dua yang bisa mengasah kepekaanku, memantik jemariku untuk menenun hikmah. Atau mungkin tidak sampai sedalam itu, cukup bisa untuk membuka mataku lebih lebar dan lebih luas lagi, itu cukup.

***

Terbukti, tulisan "12h 5d 3w"-mu sering mengingatkanku untuk bersyukur saat aku sedang sulit bersyukur. Sering mengingatkanku untuk bersabar saat aku sedang tertarik untuk misuh-misuh. Sering mengingatkanku untuk terus berjuang, saat aku ingin berhenti beristirahat saja. Sering mengingatkanku untuk melembutkan hatiku dan lebih peka sedikit saja, bahwa sapaan renyahmu, senyum tulusmu, doa kecilmu, sebaiknya kau bagikan. Ya, ada banyak hal-hal baik yang bisa aku lakukan, ketimbang mengeluh, menangis, merasa lemah, dan kegiatan-kegiatan yang kulakukan karena efek energi negatifku.

12h, narasi panjangmu, karya jemarimu saat malam larut namun matamu belum bisa terpejam. Terimakasih sudah menulisnya, mempublishnya di sosial media, sosmed yang tidak kau berlakukan sebagai sosmed, melainkan sebagai mikro blogmu.

Izinkan kukirimkan pelukan jauh dari sini. Jarak memang masih ada, dan tidak bisa dilenyapkan. Aku.. juga masih sama, belum bisa menjalin ukhuwah jarak jauh dengan baik. Cuma bisa menulis ini, tidak bisa kirim link, belum bisa japri. Ada banyak excuse, aku juga masih ingin introvert dulu.

Anyway, tetap semangat, berjuang, jatuh dan bangun lagi, bangun lagi, berdiri lagi, berjalan lagi, berlari lagi. Semoga setiap luka, setiap kesedihan, setiap perasaan tidak nyaman itu, menjadi penggugur dosamu. Semoga hidupmu dinaungi keberkahan dari-Nya.

Dariku, yang cuma bisa menulis ini. Kirei

Roller Coaster

November 06, 2017 0 Comments
Bismillah.

#selftalk

from unsplash

Naik turun, berkelok, kecepatan penuh. Ada kata lain, yang kamu ingatkah? Yang berkaitan dengan roller coaster? Rasa takut, keseruan, teriakan, degub jantung yang meningkat, adrenalin? Ada lagi?


Ada banyak cerita di roller coaster yang terasa super singkat ketika kamu sudah turun, tapi juga terasa lama, baik saat mengantri maupun saat berada di atasnya. Meski sudah lama aku tidak menaikinya, sepuluh tahun ada mungkin, tapi aku masih bisa membayangkan deskripsinya. Lagian, untuk mendeskripsikan roller coaster, ga harus berdasarkan pengalaman kan ya? Bisa dari pengamatan, pendengaran, cerita orang lain, atau hasil nonton melihat orang lain.

So, what's your point, Bell? Rahasia hehe V. Hanya ingin menulis tentang ini saja, pemanasan karena sudah vakum lima hari di blog ini.

***

Saat di roller coaster, kamu tahu dan paham, bahwa naikmu artinya juga siap untuk terjun cepat ke bawah. Seolah dijatuhkan, kemudian meliuk dalam kecepatan penuh.

Terkadang, aku merasa seperti itu. Saat aku merasa sudah baik-baik saja, saat itu aku jatuh terjun, kemudian meliuk. Tapi saat aku merasa aku sudah tidak baik-baik saja, sebenarnya juga, aku baik-baik saja. Aku sudah kembali ke stasiun roller coaster, sudah selesai. Pengalaman naik, jatuh dan meliuk-liuk itu cuma sebentar, aku masih baik-baik saja.

***

Teringat suatu siang, saat aku diminta menunggu di luar, di dalam perbincangan serius dan penting berlangsung. Menunggu di luar saat itu, sejujurnya sungguh menyiksa, ingin menghilang saja sekejap. Tapi Allah punya rencana-Nya, dengan menunggu aku diberikan kesempatan bertemu dengan seseorang berhati lembut, yang matanya berkaca-kaca sembari memberikan kata-kata penyemangat untukku.

"Jangan terlalu lama down," ucapnya, menyempatkan waktu sempitnya, sebelum menghadiri pertemuan penting di ruang berbeda.

***

It's okay, it's okay. It's okay to not okay. It's okay to fall hard. You just have to get up again, and again, and again. It's okay.. 

Allahua'lam.

Wednesday, November 1, 2017

Mau?

November 01, 2017 0 Comments
Bismillah.
#blogwalking

Alhamdulillah bisa teringat untuk menulis blogwalking lagi. Blogwalking kali ini, sebenarnya bacanya sudah lama, tapi baru menyempatkan menulis. Sebuah motivasi bagi siapapun yang ingin jadi penulis, atau sudah jadi penulis.

***


Sinta Yudisia, bertanya melalui tulisan dalam blognya, "Maukah Kamu Menjadi Penulis?". Pertanyaan ini, rasanya ingin kujawab dengan dalam judul tulisan ini. Tapi akhirnya jawabanku adalah pertanyaan juga. Mau? Hehe. Maksudnya bertanya pada diri sendiri, benarkah mau? Sekedar mau? Mana usahanya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kutujukan pada diriku sendiri.
Penulis adalah pekerjaan lepas yang benar-benar ‘lepas’ : hanya orang-orang yang benar-benar niat jadi penulis, akan menjalani profesi sebagai penulis dengan segala lika likunya.
- Sinta Yudisia, di pembuka tulisannya yang berjudul Maukah Kamu Menjadi Penulis?
Mba Sinta kemudian memaparkan beberapa alasan mengapa ada yang memilih menjadi penulis, dan mengapa ada juga yang akhirnya tidak sanggup terus berjalan di jalan menulis. Dari segi materi misalnya, betapa orang akhirnya memilih mundur sebelum 'berperang'. Mba Sinta juga menjelaskan tentang salah satu hal unik yang selalu ia temukan dari diri seorang penulis, personal growth.
Satu dua orang berhasil meraih impiannya lewat jalur menulis dan hidup cukup dari hasil menulis buku. Sebagian besar, harus bekerja keras sebagai penulis untuk dapat hidup layaknya orang ‘normal’. Tetapi, mereka terlihat sangat bahagia dan bangga dengan pekerjaannya. Mereka merasa menemukan jatidiri sejati sebagai seorang penulis. Mereka merasa, bahwa dengan menulis inilah banyak hal dalam diri mereka berkembang. Salah satu aspek psychological well being adalah personal growth. Menjadi penulis, mengharuskan seseorang belajar dan terus belajar. Rupanya, ini membuat teman-teman penulis saya yang laki-laki gemar melahap buku dan tulisan apapun. Kebiasaan membaca ini membuat mereka lebih bijak, fleksibel, dan mampu mencermati banyak hal dalam hidup dengan filosofi yang indah bermakna. Teman-teman penulis saya terus ‘tumbuh’.
- Sinta Yudisia, masih dalam tulisan Maukah Kamu Menjadi Penulis?
Beberapa personal growth yang disebutkan adalah tentang kesabaran, dan juga kemampuan untuk peka dan mengamati orang lain.

Setelah menunjukkan hal istimewa yang bisa di dapatkan seseorang yang mau menempuh jalan menulis, Mba Sinta juga menunjukkan beberapa hal buruk yang terjadi pada penulis. Seolah ingin menunjukkan, bahwa jalan menulis tidak akan mulus-mulus saja, jadi jika ingin dan mau jadi penulis, siapkan bekalmu dan berjalanlah di jalan menulis.

Ada lima poin yang disebutkan oleh Mba Sinta, silahkan di cek lengkapnya di blog-nya beliau ya J. Saya cuma ingin mengutip saja yang pertama, tentang perjalanan panjang, yang mungkin seumur hidup.

Hanya orang-orang bermental baja, punya lengan dan jari jemari otot kawat-besi yang bisa kuat belaja rmenulis, mengetik, ditolak, diedit, ketik ulang, edit lagi, direvisi dan seterusnya.
....
Pelatihan, workshop, camp atau apapun namanya hanya dapat memantik keinginan untuk menulis. Selebihnya, penulis harus punya jiwa baja untuk terus berjuang mengembangkan diri –personal growth hingga ia mencapai titik kesabaran yang dibutuhkan dan titik kekuatan yang paling besar untuk mampu mengubah dunia : lewat mengubah dirinya terlebih dahulu.
- Sinta Yudisia, tentang perjalanan panjang menulis
***

Terakhir, untukku. Sebenarnya aku masih belum ingin menjadikan menulis sebagai profesi. Masih naik turun rasanya keinginan untuk menyimpan tulisan dan berhenti di sini saja (menulis di blog saja), atau memberanikan diri ke zona tidak nyaman, entah itu lewat buku, atau mengirimkan tulisan ke media. Masih perlu belajar menulis~ sembari mengembangkan diri~ Semoga suatu saat mencapai titik kesabaran yang dibutuhkan dan titik kekuatan yang paling besar hehe. Dengan izin Allah tentunya. ^^

Semangat! Menulis! *tiba-tiba ingat sebuah fanpage dengan hastag #MenulisKarenaAllah

Bismillah.

Ingat juga kutipan dari Ustadz Fauzil Adhim.

Awalnya dari niat, kelak Allah akan menilainya dan memberikan barakah sesuai dengan niatmu -M. Fauzil Adhim
Semoga Allah bangkitkan kebaikan dan kekuatan, melalui setiap kata yang mengalir dari ujung jari kita. Sungguh sebuah buku dapat mengubah jiwa manusia dan nasib dunia.. -M. Fauzil Adhim

Semangat menulis^^ Keep yourself growing better and better~

Allahua'lam.

Coba Tebak!

November 01, 2017 0 Comments
Bismillah.
#fiksi

"Coba tebak!" katamu, menyodorkan sebuah kertas.
"Yang mana, yang lebih mirip aku," jelasnya pendek, kemudian berlalu dan mengucapkan kata-kata yang sama dan membagikan kertas yang sama ke orang lain.

***

Kertas tersebut berisi dua tulisan narasi yang yang bersebelahan. Aku yang tadinya memandang kertas dalam orientasi potrait, segera menggeser kertas ke orentasi landscape.

Kupandangi narasi pertama, dengan persegi bergaris biru membatasi luar tulisan narasi sebelah kiri. Ya, aku tinggal di negara, yang terbiasa membaca tulisan dari kiri ke kanan, kebanyakan negara seperti itu, kecuali sebagian lain. 
Aku sering berada di keramaian, saat di keramaian aku merasa lebih aman. Setidaknya, aku tidak bermaksiat kepada Allah dalam sunyi sendiriku. Aku lebih merasa aman, adzan yang terdengar saat aku di luar rumah, somehow membuat langkahku lebih ringan ke masjid terdekat ketimbang saat aku di rumah saja dan tidak beraktivitas di luar. Oh ya, merasa aman sebenarnya tidak sama dengan merasa nyaman. Meski aku aman lebih banyak di luar dan berinteraksi dengan banyak orang, aku tidak merasa nyaman. Aku seorang introvert

Kubaca narasi kedua, alias narasi disebelah kanan, dengan garis berwarna merah yang membatasinya, bentuknya bukan persegi, persegi yang ujungnya tidak lancip.

Aku sering menyendiri, berada di rumah, jauh dari keramaian, itu semua membuatku merasa aman. Setidaknya, aku tidak bermaksiat kepada Allah dalam ramai riuh kebanyakan orang. Aku lebih merasa aman, adzan yang terdengar saat aku di dalam rumah, somehow membuat langkahku lebih ringan ke masjid terdekat ketimbang saat aku bersama banyak orang, aku lebih sering menunda dan larut pada aktivitas. Oh ya, merasa aman sebenarnya tidak sama dengan merasa nyaman. Meski aku aman lebih banyak di dalam rumah menyendiri dalam sunyi, sebenarnya aku tidak merasa nyaman. Aku seorang extrovert

"Udah beres baca? Gimana? Tebak aku yang mana? Merah atau biru? Biru atau merah?" aku tersenyum mendengar kalimat tanyanya. Kamu memang mengenalku, tahu bahwa aku visual, sensitif terhadap warna dan bentuk yang terlihat di selembar kertas tersebut.

"Atau ada yang bingung dari kedua tulisan itu? Ada yang mau ditanya?" tanyamu lagi, karena aku justru tersenyum dan bukannya menjawab pertanyaan pertamamu.

"Sulit milih salah satu, ga bisa nebak aku. Kamu tuh... salah satu orang yang ga mudah ditebak," ucapku. Kau mengerucutkan bibirmu, mungkin karena kalimat yang kupakai terdengar seperti gombal atau kalimat 'modus'. Kamu berlalu, bertanya ke yang lain, untuk menebak, yang mana yang lebih pas untukmu, yang mana yang lebih mirip kamu.

Kudengar respon orang lain terhadap pertanyaan tebakkan yang unik darimu, mereka bertanya ini survei atau dalam rangka apa, ada juga yang tanya tentang nama font yang kamu pakai. Aku mencari pena di meja kerjaku, membalik kertas yang kamu berikan tadi, dan menuliskan pendapatku, tebakanku.

*** 

"Ini," aku menyerahkan kertas itu kepadamu saat hendak pulang. Kamu menyernyitkan dahi melihat panjangnya tulisanku, tulisan tanganku yang tidak indah dibaca.

"Gak bisa ya? Tebak salah satu aja? Aku ga minta penjelasan kok." ucapmu memintaku memberikan jawaban yang lebih to the point.

"Tebakanku ada dua. Mungkin kamu dua-duanya. Atau bahkan bukan dua-duanya," ucapku. Raut wajahmu menggambarkan kekesalanmu, karena jawabanku aneh dan tidak sesuai yang ia minta.

"Baca aja, kalau mau tau penjelasannya," tangkasku kemudian meninggalkanmu yang mungkin akan semalam suntuk mencoba membaca tulisanku yang acak adut. Aku tersenyum, merasa puas karena sudah membuatmu 'marah'.

***

words on paper (from unsplash)

Tebakanku: dua-duanya kamu. Kamu yang introvert, yang sering memaksa dirimu ikut organisasi ini itu, untuk terjaga ibadahmu, dan juga terjaga dari maksiat dalam sunyi. Tebakanku, dua-duanya kamu. Kamu yang ekstrovert, yang sering memaksa dirimu menyendiri di sudut kamar, untuk terjaganya ibadahmu dan juga terjaga dari maksiat dalam ramai. Ya, dua-duanya kamu, yang ambivert. Mungkin kamu bingung, bagaimana caranya, agar saat dirimu introvert, kamu bisa menikmati kesendirianmu, dalam ibadah yang terjaga, dan maksiat yang terhindar. Ya, dua-duanya kamu, yang ambivert. Mungkin kamu bingung, bagaimana caranya, agar saat dirimu extrovert, kamu bisa menikmati kebersamaanmu dengan ramai, dalam ibadah yang terjaga, dan maksiat yang terhindar.

Tebakanku: dua-duanya bukan kamu. Kamu seorang introvert, yang bisa menyendiri dari sunyi, namun ibadahmu tetap terjaga, juga tetap terhindar dari maksiat. Jadi deskripsi merah bukan kamu. dua-duanya bukan kamu. Kamu seorang extrovert, yang bisa membersamai keramaian, namun ibadahmu tetap terjaga, juga tetap terhindar dari maksiat. Bahkan kamu bisa mengajak yang lain beramal kebajikan juga mencegah kemungkaran. Jadi deskripsi biru bukan kamu. Dua-duanya bukan kamu.

Tebakanku: mungkin dua deskripsi itu justru bisa jadi tentangku. Kamu pasti marah membaca ini, mengira diriku kePD-an hehe. Bukan itu, aku bukan menuduhmu menulis tentang diriku. Aku sedang memujimu, bagaimana seorang penulis yang baik itu, yang bisa menulis hal-hal yang mengena di hati. Yang membuat pembaca bergumam pelan, "kok ini aku banget sih". Terimakasih tebak-tebakan uniknya siang ini. J

The End.

***

PS: Termotivasi menulis ini, teringat materi menulis prosa yang semalam dibagikan oleh Mba Dian di grup Serdadu Aksara. Ini quotes yang saya suka dari beliau, tentang pentingnya keseimbangan dialog dan narasi, satu hal yang masih harus aku pelajari lagi dan lagi.
"....seimbang antara narasi dan dialog. Kalau kebanyakan narasi, orang bisa bosan. Kalau kebanyakan dialog, orang akan lebih sulit merasakan situasi secara keseluruhan." -Dian Yuni Pratiwi
PPS: Sebenarnya masih bingung, mau nulis bahasan ini di fiksi atau di non fiksi. Ada banyak yang harus dibahas, yang ga bisa digambarkan di fiksi. Sementara fiksi dulu, nanti.. kalau aku merasa masih perlu nulis lagi tentang ini, mungkin aku buat bahasan non fiksi-nya juga.