Follow Me

Friday, July 31, 2020

Kambing Hitam

July 31, 2020 0 Comments
Bismillah.


No I'm not going to talk about qurban. Kambing hitam di sini maknanya konotatif. Dan tulisan ini adalah tulisan tentang diri. Aku tahu, tulisan semacam ini harusnya dihindari. Yang benci aku ga suka bacanya. Yang cinta juga ga butuh. Tapi... tapi aku butuh. Untuk memberi ruang, memberi jarak, memberi sedikit space agar bisa bernafas lebih lega. Aku butuh, untuk mengekspresikan pikiran dan perasaat yang berkelit kelindan dan ruwet.

Intinya, baca blog lain aja hehe. Atau baca tulisan lain di blog ini. Sekarang aku sedang ingin beregois ria.

***

Kambing hitamku, kalau lagi super sensitif, sehingga sebentar-sebentar mata basah, dan air mata jatuh. Padahal ga sedih, ga sakit, ga luka, ga ada apa-apa. Hanya hal-hal kecil. Seolah rasa kesedihan meliputi hingga mudah sekali untuk menangis.

1. Laper

Itu kambing hitam pertama. Biasanya kalau aku laper memang sensitif. "Kesenggol dikit" langsung marah. Dan marahku biasanya bakal ngajak sedih dan tangis untuk kumpul.

Biasanya aku makan, untuk menenangkan diri dan mengisi perut yang laper. Proses makan itu biasanya sedikit banyak membantuku menetralkan perasaan yang tadinya super sensitif. Jadi ga jadi nangis. Ya masa makan sambil nangis, drama banget wkwkwk. Dengan makan, fokusnya berganti, gigi bergerak mencerna makanan, otak dan hatiku juga ikutan bergerak mencerna perasaan agar tidak dikeluarkan dalam bentuk yang buruk rupa. Kan harusnya amarah ditelan saja, ga pake dikunyah, sehingga tidak tampak.

2. PMS

Kambing hitam kedua. Kalau di luar sana, banyak yang menjadikan PMS supaya memaklumi kondisi hati perempuan yang sensi. Aku justru sebaliknya. Bukan orang lain, tapi aku sendiri yang sering menjadikan PMS sebagai kambing hitam. Biasanya kalau makai kambing hitam PMS, aku jadi bisa memaklumi diri sendiri yang supersensi. Beda sama laper yang dengan makan ga jadi mewek. Kalau ini justru jadi jalan, aku membolehkan diriku nangis panjang di kamar tanpa tahu sebabnya apa. Gapapa gatahu sebabnya, toh ga ada yang liat aku nangis, jadi ga perlu jawab pertanyaan siapa-siapa. Gak akan ada yang tanya kenapa.

***

Jadi, itu dua kambing hitam, dua-duanya gak bersalah, tapi sering dijadikan tersangka dan tertuduh. Ada hal lain yang sebenarnya menjadi sebab aku supersensitif atau membuat aku mudah menangis. Ada hal lain. Hanya saja aku tidak mau bercerita, atau tidak mau mengakui. So I make it as simple as that. Maybe I am hungry, or I am on the state of PMS.

Tapi kan ya... ga boleh gitu. Kasihan mereka berdua, dijadiin kambing hitam mulu. Aku perlu belajar jujur sama perasaanku, perlu teliti mencari penyebabnya. Biar bisa diurai kesedihannya, kemarahannya, kesensitifannya. Jadilah aku menulis ini. Dalam rangka mengakui bahwa aku sering menjadikan keduanya kambing hitam. Sekaligus mencoba menerka, sebenarnya apa sebab aslinya.. siapa tersangka yang bersalah. Atau tidak ada yang bersalah?

***

Jika aku tidak sedang lapar, juga tidak sedang PMS, tapi aku supersensitif, sebentar marah, sebentar nangis.

Saat itu... kalimat canda tidak membuatku tersenyum, justru melahirkan mata yang berkaca-kaca. Bukan berkaca-kaca karena ketawa ya. Kan ada tuh ketawa yang sampai bikin nangis. Ini beneran berkaca-kaca karena kalimat canda terasa menyedihkan, atau menyakitkan.

Saat itu... sesuatu yang harusnya ga dimasukin hati jadi dimasukin ke hati. Aku tahu betul tidak ada maksud orang lain untuk menyakiti, melukai, membuatku marah atau membuatku sedih. Tapi karena supersensi bawaannya pengen marah, dan nangis. Seperti teguran singkat karena keningku berkerut di depan laptop. Why does it felt hurt? Rasanya seperti ingin menjawab, "masa gini aja ga boleh? Aku juga manusia, yang kalau pusing dan banyak mikir keningnya berkerut". Tentu aja jawaban itu tidak kuucapkan. Karena aku tahu betul bukan itu poinnya. Aku saja yang sedang supersensitif sehingga sedekit sentuhan membuatku ingin meledak. Ibarat ranjau, yang kalau keinjak bisa meledak.

Jika aku tidak sedang lapar, juga tidak sedang PMS, tapi aku supersensitif, sebentar marah, sebentar nangis. Sebenarnya saat itu aku, 

1. Lagi banyak pikiran, dan semuanya ditekan tanpa dikeluarkan sedikitpun

2. Ada masalah, tapi aku mengabaikan/lari, dan bukannya menghadapinya

3. Ada yang melukaiku, dan aku tidak mengekspresikan rasa sakitnya

Sementara baru tiga itu yang aku anggap sebagai tersangka. Ngeliat dari pola sih. 

Yang pertama, aku inget pas di Bandung. Pernah ada kurun waktu tidak ada hari tanpa menangis. Karena poin 1 dan 2. Aku banyak pikiran, tapi semua aku tekan dan tidak cerita ke siapapun, nulis diary pun tidak, doa pun tidak. Allahummaghfirli TT Trus poin kedua. Tidak menghadapi masalah. Namanya orang lari, pasti ga bisa netral. Lelah, cape, ngos-ngosan, jadi saat kondisi itu, apapun bisa menjadi pemicu emosi, entah itu emosi amarah, atau sedih. Yang jelas jadi cengeng. Gatau tempat deh. Mau di kamar, di jalan raya, sendiri maupun ada banyak orang, tumpah aja itu air mata. Mana kalau udah "hujan", susah berhentinya.

Yang terakhir, aku baru nyadarin polanya pas udah balik ke Purwokerto lagi. Sebenernya ini mirip sama poin pertama sih. Bedanya, kalau poin 1 banyak pikiran. Poin 2 itu banyak perasaan negatif. Luka yang aku maksud disini kaya sedih, kecewa, sebel, dll. Dan perasaan tersebut bukannya diekspresikan, malah ditekan. Jadi deh, setelah numpuk-numpuk ga diekspresikan, ada batasnya kan, habis itu aku jadi masuk fase supersensitif. Kalau momennya pas di tanggal-tanggal PMS, jadilah PMS kambing hitamnya.

Bedanya poin 3 sama 1. Kalau 1 itu solusinya ya cerita, atau nulis pikiran. Kalau poin 3 ga bisa cuma cerita dan nulis, harus bener-bener diekspresikan. Ya, tangis yang disimpan sebulan yang lalu itu harus dikeluarin. Sebel, atau marah juga. Biasanya keluar lewat olahraga atau kerja. Olahraga itu cem tinju, eh, wkwkwk. Maksudnya sepak bola, jadi ada yang bisa ditendang. Atau voli, mukul bola. Atau latihan beladiri, mukul dan nendang angin. Kerja itu, seperti beres-beres, nguleg sambel, dll. Intinya energinya harus tersalur.

Poin 2, solusinya ya berhenti lari dan menghadapi masalah. Kalau ada keputusan yang masih gantung, segera diputuskan. Kalau ada masalah dengan orang lain tapi kita menghindar terus, ya solusinya ketemu orang tersebut. Butuh paksaan emang awalnya. Kita yang harus memaksakan diri. Nanti kalau udah berhadapan dengan masalah, kita baru tahu, kalau ternyata pilihan untuk lari itu begitu bodoh, dan banyak meninggalkan rasa sesal.

***

Udah sih mau nulis itu aja.

Oh ya, semoga sih ga ada ya. Tapi kalau ada yang baca sampai sini, ini aku kasih bonus quotes, biar tulisan diatas dilupakan saja. Ingat-ingat yang ini aja.

Tentang apa yang kita rayakan di lebaran idul adha ini, kutipannya bahasa inggris tapi hehe.

"So as you go through all of the trials of Ibrahim 'alaihi salam, they reflect in my life and in yours, in one way or another. But what are we celebrating? What we're celebrating is, that Allah gave these most impossible tests and never let him go. He (Allah) saw through all of those tests and helped him (Ibrahim) succeed in all of those tests. Which reminds you and me, that Allah will never ever let us go, no matter what we're going through. That's something to be happy about. That's something to celebrate." - Nouman Ali Khan
Semangaat~ Hari ini, mari bergembira, merayakan, bahwa Allah tidak akan pernah, tidak akan pernah meninggalkan kita, apapun masalah, apapun kesulitan, apapun ujian yang sedang kita jalani.

Happy Eid Mubarak, for all^^

Wednesday, July 29, 2020

Pemburu Rusa dan Berlian

July 29, 2020 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Seorang pemburu rusa berangkat ke hutan, ia sudah menyiapkan semua peralatan agar hari itu bisa pulang membawa rusa. Awalnya ia mencari di tempat-tempat rusa biasa terlihat. Dan saat menemukan targetnya, ia lalu fokus untuk memandapatkannya. Ia bersembunyi di balik pohon, atau di semak-semak. Saat rusa itu berjalan, ia juga berlanan mengikuti. Saat rusa itu berhenti, ia juga berhenti, kemudian fokus untuk melemparkan anak panahnya. Di kepalanya, ia sudah membayangkan betapa senangnya jika ia mendapatkan rusa tersebut. Ia membayangkan bisa memakan dagingnya, atau menjualnya. Ia begitu fokus pada perburuannya, sampai ia tidak menyadari ada berlian di tempat ia berdiri. Yang dengan berlian tersebut, ia bisa membeli puluhan rusa.

taken from bbci[dot]co[dot]uk

Tahukah kau siapa pemburu rusa itu? Pemburu rusa itu bisa jadi adalah kita. Dan berlian tersebut adalah 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah.


***

Aku mendengar perumpamaan itu dari kajian Ustadz Riza Basalamah. Ibuku akhir-akhir ini lagi rajin memintaku menyetelkan kajian beliau.

Perumpamaan itu membuatku sadar akan kelalaian diri. Bagaimana hari-hari istimewa ini bisa telewatkan saat kita hanya fokus pada rutinitas kita, atau apa yang kita kejar, entah intu karier, gelar, kekuasaan, dll. Kita Aku lupa bahwa hari-hari ini seharusnya diisi dengan lebih banyak ibadah. Shalat, dzikir, sedekah, dll. Kita Aku lalai bahwa hari-hari ini harus lebih berhati-hati mengisi waktu, jangan sampai terbuang untuk hal tidak produktif, apalagi diisi dengan maksiat. na'udzubillahi min dzalik. TT

Sejujurnya menulis ini beraat. Ada rasa sedih dan takut yang meliputi. Sedih, karena meski tahu ada dan melihat 'berlian' tersebut, aku masih lalai dan lebih tertarik mengejar 'rusa'. Takut, takut nulis doang tapi aksinya nihil. Takut termasuk mereka yang dibenci Allah, karena mengatakan apa yang tidak dilakukan TT

Tapi aku harus menulis ini. Bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk diri. Karena dengan menulis, aku sebenarnya mengingatkan diri, memaksa diri untuk memikirkan hal itu lebih lekat. Jangan sampai cuma lintasan pikiran saja, tapi dituliskan, biar makin lekat, bahwa aku tidak boleh lalai. Berlian itu masih ada di sekitar kita. Memang hanya tinggal beberapa hari. Tapi masih bisa kita meraih berlian tersebut.

Yang belum puasa, yuk puasa. Yang sudah puasa, coba cek kualitas puasamu. Jangan sampai puasa, tapi yang didapatkan hanya lapar dan dahaga. TT

Perbanyak takbir. Tahukah kamu apa yang pernah dilakukan Ibnu Umar saat sudah masuk Dzulhijjah? Menyengaja untuk ke pasar dan bertakbir, kemudian orang-orang di pasar semua bertakbir karenanya.

Yang sibuk kerja, luruskan niatnya. Yang sibuk di rumah, beres-beres. Itu juga bisa bentuk sedekah loh. Dan kita sedekah di hari-hari ini berbeda dengan sedekah di hari biasa. Because timing matters. Seperti istighfar di siang hari bobotnya berbeda dengan istighfar di sepertiga malam terakhir.

***

Terakhir, semoga kita bukan pemburu rusa itu, yang terlalu fokus kepada buruannya, sampai lupa ada berlian di sekitarnya. Belum terlambat, kita masih bisa meraih berlian tersebut. Agendakan puasa Arafah ya... Untuk ciwi-ciwi yang berhalangan shalat dan shaum, yuk, banyakin dzikir, takbir, tasbih, tahlil, istighfar, sedekah. Semangat mengumpulkan berlian. Jika lupa, ingatkan diri. Jika enggan, paksa diri. Jika tidak termotivasi, cek hati, pintalah hidayah dariNya.

Allahua'lam.

Tuesday, July 28, 2020

Belajar Berpuisi Bareng Sastra Muda Indonesia

July 28, 2020 2 Comments
Bismillah.

Dan dari sekian banyak grup wa tentang tulis menulis yang aku masuk di dalamnya, pekan ini, aku banyak belajar tentang puisi dari Sastra Muda Indonesia.

Aku kenalan sama Sastra Muda Indonesia (SMI) dari salah satu grup wa kepenulisan juga, blog personal penulis. Grup wa itu memang gak terlalu aktif meski penghuninya banyak. Sering dikunci.

Suatu hari, dibuka kuncinya sama admin, trus ada sesi perkenalan. Seperti biasa, kenalan deh. Nah setelah itu ada yang izin share link grup wa SMI. Katanya sih, barangkali ada yang ingin bergabung, 'untuk menghilangkan dahaga diskusi sastra pada kawan-kawan'.

Meski fokus menulisku bukan puisi, dan ga tahu banyak tentang sastra, tapi saat itu, aku pikir ga ada salahnya gabung ke grup SMI. Toh bisa menjadi silent reader. Seperti biasa. Hehe

Di grup Sastra Muda Indonesia ini... selain tempat share hasil puisi, ada juga projek antologi. Seingetku, selama aku jadi penghuni, ada dua projek. Antologi puisi. Sama awal Juli kemarin dibuka projek antologi cerpen. Jangan tanya teknisnya ya, saya ga ikut dua-duanya. Hehe. Oh ya, ada grup khusus buat yang mau ikut projek antologinya.

***

Balik lagi tentang belajar berpuisi bareng SMI. Jadi pekan kemarin dan pekan ini ada beberapa diskusi gitu. Yang pertama sih kuis give away gitu, hadiahnya novel. Kuisnya memperbaiki atau mengedit kalimat. Ada tiga soal, diminta diperbaiki kapital, tanda baca, preposisi, spasi, kata baku, sesuai PEUBI. Seperti biasa aku ga ikutan hehe. Ikut ngeramein sih, tapi niatnya buat belajar. Ga jawab semua pertanyaan.

Teknik Menyadur dalam Puisi


Trus yang kedua diskusi tentang teknik menyadur dalam puisi. Apa itu? Jadi ternyata dalam menulis ada yang namanya teknik menyadur, mirip-mirip istilah ATM (amati tiru modifikasi). Jadi biasanya lewat apa yang kita baca, kita jadi menulis puisi yang bumbunya mirip dengan bacaan kita. Entah itu dari segi tema atau nuansa puisinya, atau hal-hal lain. Jadi, yang dimaksud menyadur di sini, bukan plagiat ya hehe.

Kalau menurut admin SMI ada dua bagian, teknis referensi sama wabah. Kalau referensi, kita bisa melihat jelas kalau puisi B me-refer puisi A, karena tidak banyak mengubah garis besar puisi acuan. Sedangkan teknis wabah, tidak secara ekspilisit.

Aku share contoh dari grup SMI ya. Contoh ini dibuat oleh admin SMI.

Saya membaca puisi:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu 
Lalu saya menulis puisi dengan puisi di atas sebagai referensi: 
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan diam paling berbahasa yang tak sempat diutarakan kata kepada frasa yang menjadikannya klausa 
- Aqmal, dalam grup whatsapp Sastra Muda Indonesia

Itu contoh teknis referensi. Kalau teknis wabah?

Saya membaca puisi:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu 
Lalu saya terkena "wabah" puisi di atas dan menulis: 
Mencintai adalah salju terakhir yang mencair pada musim dingin yang asing. Dingin yang tak sempat dicatat termometer. 
- Aqmal, dalam grup whatsapp Sastra Muda Indonesia

Sampai di sini, paham bedanya? Hehe. Aku juga masih meraba-raba. Maklum masih newbie di dunia puisi dan sastra.

Yang jelas kalau teknis menyadur teknis referensi, kita dengan gamblang bisa tahu, oh ini 'terinspirasi' dari puisi A! Tapi kalau menyadur teknis wabah, kita perlu membaca lebih cermat, agar tahu puisi X adalah hasil wabah dari puisi A.

Awalnya aku kira yang "wabah" itu cuma terinspirasi menulis dengan tema yang sama. Tapi setelah dibaca ulang, ternyata ada hal lain yang seirama. "Kayu pada api yang menjadikannya abu" seirama dengan "salju terakhir yang suhunya tak sempat tercatat di termometer".

Di akhir diskusi, ada semacam ajakan untuk tidak ragu menulis puisi. Tidak mengapa menggunakan teknis menyadur, entah itu referensi maupun wabah. Karena memang beda ya, plagiat sama menyadur. Meski bedanya tipis, dan memang harus hati-hati. Jangan sampai kita copas puisi orang lain, edit satu dua kata, trus diaku-aku karya sendiri.

Tentang Puisi Organik


Ini diskusi ketiga di SMI yang ingin kutuliskan di sini. Jadi kan di grup Sastra Muda Indonesia, selain bisa share puisi karya kita, bisa juga minta kritik dan saran. Nah, waktu itu ada yang share puisi, dan salah satu masukannya, adalah agar menghindari menyajikan puisi organik.

Puisi organik. Puisi alami, tanpa tersentuh "teknologi" bahasa apapun. 
-Aqmal, admin grup whatsapp Sastra Muda Indonesia

Why? Begitu seruku dalam hati hehe. Soalnya puisi yang aku tulis, di blog magicofrain semuanya organik hehe. Tanpa banyak effort memang. Hanya kalimat yng kupenggal jadi beberapa baris, dipisahkan dalam bait. Lalu selesai. Asalkan bisa mengikat makna dan perasaanku saat itu. Itu cukup. Toh cuma dibaca sendiri. Aku memang biasa berpuisi hanya saat tak ingin bernarasi. Juga saat temanya sensitif dan ingin kurahasiakan. Makanya kumpulan kata yang tidak bisa disebut puisi tersebut, aku simpan di blog private, yang cuma bisa dikunjungi diri. Google juga ga bisa berkunjung hehe.

Setelah beberapa penjelasan di SMI, aku jadi sedikit mengerti. Mengapa kita disarankan menghindari puisi organik. Ternyata puisi organik itu bukan kaya sayur organik yang sehat dan bergizi. Puisi organik itu lebih mirip bahan baku mentah yang belum dipoles dan dipercantik. Ibarat kopi instan yang cuma tinggal seduh, bandingkan dengan segelas kopi yang biji kopinya pilihan, diolah dulu, ditambahin krimer, susu, atau apalah -- saya ga paham dunia perkopian. Intinya tentu beda kan rasanya? Hehe. Semacam itu.

Dan supaya puisi kita ga organik, ga mentah, perlu ada usaha lebih. Harus banyak belajar, banyak membaca, juga banyak latihan menulis serta menulis ulang.

***

Wah, gak kerasa udah panjang hehe. Kita sudahi saja ya. Kalau ada yang tertarik ingin gabung SMI, bisa pm ke saya ya, atau email boleh deh. *saya lagi nunggu jawaban di grup SMI, barangkali Sastra Muda Indonesia ada sosial media yang bisa diakses pembaca.

Jujur agak merasa bersalah, karena pernah share link telegram menulis 8PM, dan grupnya jadi banyak diisi bot dll. Udah aku hapus sih linknya, tapi tetap saja, rasa bersalahnya tertinggal.

Anyway, sebelum makin ngelantur. Mari kita akhiri tulisan ini. Semangat pagi semua~ Semangat menulis! Yuk belajar menulis puisi!

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi minamal satu cerita dalam satu minggu.

Sunday, July 26, 2020

Yang Ada Pengertiannya Dong!

July 26, 2020 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

*notice* can you read other post instead, please?

***

Mungkin karena terlalu sibuk dengan urusan sendiri. Mungkin karena tenggelam dalam masalah sendiri. Sampai kita lupa menengok sekitar. Bahwa ada yang diam dan tidak memberi perintah ini itu karena mereka berusaha untuk mengerti kondisi kita. Padahal dalam sebuah hubungan, harus ada timbal balik saling mengerti. Jika hanya dilakukan oleh pihak tertentu, maka salah satunya akan lelah, dan juga marah.

Maka, saat suatu sore kau tenggelam dalam kesibukanmu seperti biasa. Dan telingamu seolah tuli mendengar suara orang lain. Wajar kalau suara amarah itu akhirnya meluap juga. Mempertanyakan kepedulianmu, pengertianmu. Betapa seharusnya kau berhenti hidup di duniamu sendiri. Bahwa ada banyak kewajibanmu yang terlalaikan. TT

Dan saat itu terjadi, reaksi pertamamu, kau ingin melawan kritik itu. Rasanya ingin menunjukkan bahwa kau juga sudah berusaha untuk peduli dan mengerti, meski hasilnya ternyata masih jauh-jauh dari kadar kepantasan. Tapi jika kau mau diam sejenak dan mendengarkan suara amarah itu, mencoba berada di sepatunya, kau akan membisu dan malu sendiri. Perasaan bersalah akan mulai tumbuh di hatimu. Cermin itu jernih. Dan kamu tidak bisa pura-pura tidak melihat, bahwa dirimu memang kotor, hina, terbalut lumpur kesalahan dan dosa.

Sore itu sudah berlalu, tapi suara itu masih lekat di memori. Ingatan itu ada bukan supaya kau melabeli diri dan menyerah pada dirimu sendiri, bahwa kau memang begitu, tidak ada pengertian, egois, tidak peduli sekitar, tertatih melaksanakan kewajibanmu. >< Bukan.

Rasa bersalah itu masih ada di hatimu karena kamu seharusnya mengambil langkah untuk maju dan mengakui kesalahan itu, serta belajar dari kesalahan itu. Abaikan sejenak egomu. Merendahlah. Tapi jangan menutup pintu bahwa kamu bisa menjadi lebih baik. Bahwa memang kau belum banyak proaktif dan inisiatif. Bahwa memang kau masih tenggelam dalam masalah sendiri hingga lupa melihat ke luar. Bahwa memang kau sering menunda-nunda. Bahwa kau tidak bisa memprioritaskan yang seharusnya didahulukan. Tapi meski begitu, sebenarnya kau juga bisa berubah. Kau bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari. Kau tahu bahwa Allah memberikan kemampuan itu pada setiap manusia.

Bangunlah dari mimpi burukmu, hadapi realita. Pagi ini matahari masih terbit dari ufuk timur. Membawa kehangatan bagi setiap hati yang ingin memperbaiki dirinya. Hati yang beriman bahwa Sang Pencipta Kehidupan saat ini memberikanmu kesempatan untuk menghirup oksigen cuma-cuma, agar kau bisa bangkit dari kesalahan dan dosa. Bangkit dan memperbaiki kesalahan. Bangkit dan bertaubat dari dosa-dosa.

Terakhir, maaf itu bukan hanya apa yang ada di hati dan terucap di lisan. Maaf itu... kau berusaha berubah dari yang buruk menjadi baik. Dari baik menjadi lebih baik lagi. Seperti iman, yang saat akarnya kuat menancap, batangnya berdiri tegap, maka buah-buahnya akan mengisi tiap rongga rantingnya. Orang-orang bisa berteduh di bawahnya, menyicip buahnya yang manis. Mari belajar untuk lebih pengertian Bell.

innahum kanu khosirin.... TT Allahumma la taj'alni minhum

Untuk yang tanpa sengaja baca sampai akhir. Semangat pagi! Semoga Allah memberkahi harimu. Aamiin.

Saturday, July 25, 2020

Keindahan di Balik Kesabaran

July 25, 2020 0 Comments
Bismillah.

Kemarin, membaca kalimat ini,

"Ada keindahan di balik kesabaran seorang muslim". Keindahan apa itu? Keindahan bahwa setiap kesabaran seorang muslim agar diganti dengan pahala dari Allah. Dan apa-apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebik kekal dibandingkan apapun yang ada di dunia ini.

Nah, ngomongin tentang kesabaran ngingatin aku sebuah kutipan yang tersimpan di draft,

Wa li robbika fashbir. And for the sake of Your Master, remain that patient. Fashbir li robbik, not just be patient with Allah, but be patient for the sake of Allah. Because your Master is telling you to do this, stay on task. And patience here isn't just "take the hits and stay strong", but actually "keep doing your work". Don't let any fluctuation happened in the amount of work you do. In the amount of effort you make. In the amount of da'wah you make. Stay on task. -- Nouman Ali Khan
Yang namanya sabar itu, bukan terima saja babak belur dipukulin orang. Bukan itu. Sabar itu bukan juga diam saja dan menunggu. Bukan. Sabar itu, tetap bekerja, melakukan apa yang bisa kita lakukan, meski dengan naik turun emosi kita, meski dengan kondisi dan situasi yang tidak mendukung.

Maka saat kamu sudah 'bekerja' dan semua orang mencibirmu karena 'hasil yang tak juga terlihat'. Jangan berhenti bekerja. Bersabarlah, dan teruslah berusaha. Allah see your effort. Tugasmu bukan ngurusin image diri di mata orang lain, tugasmu bukan membuktikan diri pada orang lain. Tugasmu, tugasku, tugas kita, adalah terus berusaha dan bekerja memperbaiki diri dari hari ke hari. Agar semakin dekat padaNya, agar bisa menjalani peran dengan baik sebagai hamba-Nya.

***

Untuk siapapun yang sedang bertahan dan terus bekerja. Untuk siapapun yang bersabar dan terus berusaha. Semoga Allah berikan ketenangan di hatimu. Semoga Allah kuatkan keyakinan dalam dadamu. Semoga langkahmu makin kokoh.

Dan jikapun sesekali merasa sedih, tidak mengapa. Karena kamu memang cuma manusia biasa.
Dan jikapun sesekali kau merasa lelah, tidak mengapa. Manusiawi.

Bersabar itu bukan berarti kita terbebas dari rasa sedih dan lelah. Justru bersabar itu, bagaimana terus berjalan mmeski lelah dan sedih. Justru bersabar itu... saat kesedihan dan kelelahan itu kau sandarkan kepadaNya. Karena orang lain mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu. Perasaan sedih dan lelah yang ingin kau simpan sendiri itu, Allah tahu. Tangis yang tertahan itu, Allah tahu. Allah knows. Allah will count it all.

Terakhir, selamat beristirahat. Have a good and barakah night.

Allahua'lam.

Bolehkah Menampakkan Perasaan Suka atau Cinta?

July 25, 2020 4 Comments
Bismillah.



Ehm.. It's late at night, and here I am writing some pinky-lovey topic. **geli sendiri sebenernya hehe.

Bahasan tentang suka, cinta, tidak pernah basi kan? Izinkan aku ikutan nulis tentang ini juga. Sesekali saja, jangan sering-sering. V

Boleh gak sih menampakkan perasaan suka atau cinta kita ke orang lain, yang belum halal, dan belum tentu juga bakal jadi jodoh kita? Ya... orang itu sih, saat ini memang ditakdirkan untuk kita sukai, ditakdirkan hadir di hidup/hari-hari kita. Tapi kita masih belum tahu, kehadirannya, apakah hadir sebagai ujian hati, atau sebagai jawaban doa?

Oh ya, tulisan ini bukan fakta ya. Bisa jadi juga tidak akan memberikan jawaban yang benar atas pertanyaan di judul. Cuma bentuk opini dan berbagi cerita aja, dari topik/judul di atas. *feel free to correct me if I'm wrong. Bisa lewat kolom komentar di blog atau pm.

***

Jawaban pertanyaan di atas pertama kudengar saat masih pakai seragam putih abu-abu. Aku lupa siapa yang jawab, dan siapa yang bertanya. Tapi baik yang bertanya dan menjawab sama-sama paham tentang hukum berpacaran dalam islam. Jawaban yang saat itu aku dengar, boleh. Dan hebohlah kami saat itu wkwkwk. Dulu kayanya belum ngetrend istilah 'mencintai dalam diam'. Intinya, setelah jawaban itu, efeknya menurutku agak-agak gimana.

Pasalnya, gara-gara jawaban itu, ada satu oknum yang kirim sms ke empat orang sekaligus tentang perasaan sukanya. Kirimnya sama pula teksnya. Qadarullah salah satu yang dikirimi sms itu, sahabatku. Dan uniknya pula, cuma ke sahabatku itu, oknum tersebut cerita kalau ia juga memberitahu 3 siswi lain tentang perasaannya. 

Mungkin karena masih muda ya, perasaan suka ke lawan jenis baru pernah dirasakan, ditambah denger jawaban bahwa boleh menampakkan/menyatakan perasaan suka/tertarik, asalkan tidak berlanjut ke pacaran, jadilah aksi yang ia pilih seperti itu hehe.

Aku dulu sih denger cerita itu langsung il-feel. Tapi sekarang kalau ingat cuma senyum aja. Semakin dewasa kita jadi bisa maklum, begitulah sisi kekanakkan masa muda, masih belum banyak tahu, wajar kalau salah menyimpulkan dan salah melangkah. Dan salah itu, tidak apa-apa, asal kita belajar dari sana. Seperti dosa di masa lalu, yang bisa kita taubati. Kesalahan, juga bisa kita perbaiki.

Dari jawaban pertama itu, aku belajar, bahwa ada yang harus diperhatikan jika kita boleh menampakkan perasaan suka/cinta kita.

Dari sisi kitanya, mungkin jadi lega, udah diungkapkan, jadi lebih plong, karena tadinya tertutup rapat-rapat, berbunga dan tumbuh besar dalam ruang yang tertutup. Maka saat jendelanya di buka, rasanya seperti ada oksigen baru. Kita bisa bernafas lebih lega. Perasaan itu pun, jadi bisa mendapatkan keluasan dan tidak menjadi hal yang menyesakkan dada.

Tapi... kita juga harus melihat dari sisi orang lain kan? Ya, ga boleh egois kan? Apa efek yang diberikan dari sikap kita menampakkan atau menyatakan rasa suka dan cinta kita pada orang tersebut? Bagaimana jika ia merasa tidak nyaman? Atau jikapun ia merasa senang, apakah rasa senang itu nantinya tidak berubah menjadi duri, dan ujian dalam hidupnya? Apalagi kalau tidak ada tindak lanjut dari penampakan *eh hehe, jadi kaya makhluk halus aja pakai diksi 'penampakan. Ralat. Apalagi, kalau tidak ada tindak lanjut dari pernyataan rasa suka itu.

Bagiku, terlalu egois kalau kita menyatakan dan menampakan rasa suka dan cinta, jika hanya untuk diri kita. Agar kita lebih nyaman dan lebih lega.

Dari pemikiran itu, aku jadi menyimpulkan bahwa ada syarat dari jawaban boleh tersebut.

***

Bolehkah menampakkan/menyatakan perasaan suka atau cinta?

Boleh, dengan syarat.... hal itu tidak merugikan orang lain. tidak memberikan efek buruk bagi orang lain.

Tapi kalau dengan syarat itu, jadinya kaya ga boleh ya? Hehe. Soalnya syaratnya susah hehe.

Kalau mau jujur dan bijak, kita akan tahu. Bahwa memang, pilihan terbaik, jika jalan halal menjemput rasa suka dan cinta itu belum ada, adalah "mencintai dalam diam". Diam di sini maknanya, tidak perlu ditampakkan atau dinyatakan. Dan cinta di sini, maknanya kata kerja. Jadi meski tidak dinyatakan dan dinampakkan, kita tetap mendoakan kebaikan untuknya, karena perasaan suka kita padanya. Dan meski tidak kita nyatakan dan nampakkan perasaan tersebut padanya, kita tetap bekerja untuk menjemputnya di jalan yang halal, jalan yang diridhoi Allah.

***

Sebenarnya, ada hal lain yang ingin kubahas, tentang 'notice me'. Tapi mungkin di tulisan lain hehe.

Sampai di sini saja, tulisan opini dariku yang tidak banyak tahu tentang suka, cinta, dan kawan-kawannya. Kalau ada yang punya jawaban dari pertanyaan di judul, dan penjelasan yang lebih kece, kasih tahu ya. Boleh share judul buku, atau link tulisan atau link kajian, podcast, whatever form it might be.

Terakhir, selamat menjaga dan merawat hati agar dipenuhi cinta kepadaNya. Karena saat hati kita penuh akan cinta kepada-Nya, rasa suka/cinta kita pada makhluk yang lain akan tumbuh dan berbunga sehat. Sehat dalam artian, kadarnya tidak berlebihan, dan tepi-tepinya selalu terjaga dalam pagar-pagar syariat-Nya.

وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ ٱلْإِيمَـٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِى قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ ٱلْكُفْرَ وَٱلْفُسُوقَ وَٱلْعِصْيَانَ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُونَ

(QS Al-Hujurat [49] ayat 7)

Allahummaj'alna minhum. Aamiin.

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi minamal satu cerita dalam satu minggu.

Friday, July 24, 2020

Berita Hoax yang Viral

July 24, 2020 0 Comments
Bismillah.

Sejak akhir Ramadhan lalu, aku qadarullah jadi sering ke pasar. Hampir tiap hari kini. Kalau sebelumnya hanya beberapa waktu dalam sepekan, kini setiap hari. Datang ke pasar membuatku membuka mata tentang realita. Bagaimana kehidupan orang-orang kecil, saat pandemi covid hingar bingar. Pasar sepi, baru pernah Ramadhan pasar begitu sepi. Mayoritas paham kondisi saat itu, perintah untuk tetap #dirumahsaja. Maka tidak banyak keluhan. Mayoritas pedagang tetap berangkat ke pasar seperti biasa, menggelar dagangan mereka, melayani pembeli yang bisa dihitung jari. Beberapa pedagang memang ada yang tidak buka, #dirumahsaja. Yang berangkat tentu saja diinstruksikan memakai masker. Instalasi cuci tangan dipasang di pintu gerbang pasar. Masing-masing pedagang pun menyediakan minimal botol air minum 1,5 liter berisi air yang sudah dicampur cairan sabun. Air itu digunakan untuk mencuci tangan, setiap kali habis bertransaksi, memegang uang, yang bisa jadi media penyebaran virus.

Sejauh itu, judul tulisan ini belum berlaku.

Sekitar satu pekan hari yang lalu, pemerintah daerah menyebutkan bahwa ada 5 pedagang pasar wage yang positif COVID19. Katanya sih dari hasil rapid tes yang pernah dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Kebijakan yang diambil, pasar tutup 3 hari (14-16 Juli 2020), untuk penyemprotan. Selama tiga hari itu juga, pedagang diwajibkan ikut tes swab.

Berita tentang 5 pedagang yang positif tersebar viral. Membuat orang-orang takut untuk ke pasar. Wajar, manusiawi. Tapi kabar lanjutan dari orang-orang yang "dikatakan" positif itu membuatku terdiam. Bahwa sebagian besar sudah dipulangkan ke rumah masing-masing. Setelah diperiksa anggota keluarga lain, semua negatif. Lalu yang disebut positif pun sudah dipulangkan ke rumah. Diminta untuk tidak kemana-mana.

Dari situ, salah satu tetangga bercerita tentang kisah yang serupa tapi tak sama. Yang satu ini terjadi pada tetangganya. Dulu... sebelum ramadhan, saat baru awal berita covid menyebar. Satu orang diberitakan positif, beritanya sudah viral. Qadarullah ia pedagang sayuran di kompleks rumahnya. Semua pelanggannya tentu saja pergi ketakutan. Ia dijauhi dan dikucilkan. Hanya untuk mengetahui fakta bahwa ia ternyata tidak positif.

Betapa bahayanya berita fasik yang tersebar luas. Mudah memang meng-copy paste, kemudian menyebarkan berita. Atas nama untuk kebaikan semua. Supaya orang-orang berhati-hati. Tapi pernahkah kita memikirkan, bahwa tabayyun yang tidak kita lakukan, bisa jadi bentuk kedzaliman bagi orang tersebut? Berapa banyak kerugian yang ia rasakan, karena berita hoax yang viral tersebut? Bukan cuma kerugian finansial, tapi secara emosional, sosial.

***

Hari itu Jumat, 17 Juli 2020. Para pedagang berangkat lagi setelah tiga hari sebelumnya pasar ditutup. Sore sebuah berita membuat kami tersenyum. Hasil tes swab hari pertama sudah keluar. Dari 96 orang yang tes swab alhamdulillah negatif semua. Aku ingat riuh suara hamdallah dari pedagang dan juga pengunjung. Melegakan rasanya, apalagi pedagang di sebelah kami mayoritas tes di hari pertama.

Tapi berita tersebut hanya berhenti dan diketahui penghuni pasar sore itu saja. Ada berita buruk lain yang disiarkan viral oleh pemerintah. 16 orang positif katanya. Berbeda dengan respon berita pertama saat 5 orang dikatakan positif. Kalau kemarin responnya lebih ke ketakutan, kini suara terpecah belah. Sebagian takut, sebagian lagi tidak mempercayainya, sebagian lagi abai. Banyak suara saut paut, rumor tentang siapa saja 16 orang tersebut. Sebagian yang tidak percaya belajar dari pengalaman sebelumnya, jangan mencurigai siapapun, karena bisa jadi hasilnya salah, meski sudah dikoar-koarkan oleh pemerintah. Sebagian yang lain abai meski sebenarnya ketar-ketir juga memikirkan nasib mereka.

Sejak berita itu, penjagaan di pasar makin ketat. Pintu utara ditutup. Petugas dengan seragam bolak-balik mengingatkan untuk pakai masker. Para pedagang mayoritas geram. Apa yang mau dijaga, ada orang masuk pasar aja gak. Sebagian mengatakan, "dari dulu kebijakan pemerintah tidak ada yang memihak ke rakyat kecil". Sentimen itu muncul mengingat mall masih adem ayem saja buka.

Dan dari banyak suara, ada satu hal yang membuatku merasa tenang. Saat mendengar kalimat, bahwa toh mereka, pedagang kecil tidak pernah bergantung atau bersandar pada pemerintah. Tidak pernah berharap banyak pada pemerintah. Dari dulu sudah begitu. Kalimat yang membuatku teringat akidah yang seharusnya tertancap kuat. Bahwa rezeki dariNya akan terjamin, entah pasar sepi atau ramai. Bahwa IA tidak pernah meninggalkan hambaNya, meski hanya pedagang kecil yang setiap hari keluar rumah untuk mengais uang untuk makan.

***


Hari-hari berat ini.. aku banyak teringat tentang pelajaran dari surat al hujurat. Tentang berita dari orang fasiq yang harus ditabayyuni terlebih dahulu. Di cross-check kebenarannya. Bukan justru dibantu persebarannya biar viral. Karena seperti yang disebutkan di ayat tersebut, akan ada kaum yang dirugikan karena berita tersebut, jika kita tidak mau lebih teliti membaca, menerima dan menyebarkan sebuah berita.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
[Surat Al-Hujurat (49) ayat 6]

Aku banyak diingatkan ayat-ayat dari surat Al Hujurat. Tentang sebagian besar prasangka adalah dosa. Tentang keengganan dan rasa jijik yang seharusnya kita rasakan jika harus memakan mayat saudara kita.

"Tadi pas dzuhur, Bu X juga terlihat lemes/gak sehat gatau kenapa." suara parau, tentang salah satu orang yang 'rumornya' salah satu keluarganya termasuk satu dari 16 yang positif.

Mau tidak mau aku jadi ikut bersuara, "gimana gak lemes, banyak rumor ngomongin keluarganya kena covid". Tentu saja berita macam itu mempengaruhi psikologi dan fisik kita.

"Padahal prasangka itu lebih menyakitkan daripada tusukan, lebih jelek daripada semua akibat dan cacian yang paling keji." (dari buku biografi Umar bin Abdul Aziz)

***


Jujur, rasanya kepalaku begitu pusing memikirkan ini. Aku biasanya menghindari bahas tentang politik, pemerintah, dll. Tapi nyatanya, saat kita terjun dan melihat realita, kita tidak bisa tidak berbicara tentang itu.

Ada banyak asumsi. Bisa jadi semua ini bisnis. Gak logis memang. Dari berita awal 5 orang. Lima-limanya seolah sengaja dipilih, dari orang-orang tua renta.Tempatnya pun terpencar, bukan hanya di satu area. Lalu pedagang yang diwajibkan tes swab. Siapa yang diuntungkan, dari pembelian tes swab masal itu? Lalu berita selanjutnya. Mengapa hanya pasar. Bagaimana dengan mall? Apakah di wajibkan tes juga? Hasilnya apa? Apa disembunyikan? >< Ah, ini prasangka. jangan ditulis bell.

Dari dulu, kebijakan pemerintah memang tidak pernah menguntungkan rakyat kecil. Entah apa yang dicari dari menyebarkan berita yang bisa jadi tidak sepenuhnya benar. Aku jadi teringat dulu waktu masih duduk di bangku SD. Aku ingat pernah diajak Ayah duduk di sebuah sidang meja hijau. Tentang sengketa tanah pasar wage, yang dijual pemerintah kepada konglomerat. Pasar tradisional dipaksa pindah, mundur ke tempat yang tidak lagi strategis. Tadinya di pinggir jalan, kini mundur. Tanah yang dijual itu kini menjadi ruko, tentu saja ruko hanya bisa ditempati oleh yang memiliki modal besar. Pedagang kecil? Sejak dulu memang tidak pernah diuntungkan dari kebijakan pemerintah. Aku teringat bahwa kasus pasar pindah bukan cuma terjadi di kota kami. Entah berapa banyak kota yang pasarnya dipaksa pindah, protes merebak. Lalu "tiba-tiba" terjadi kebakaran yang membuat pedagang kecil "terpaksa" mau pindah.

Sedih. Miris. Kesal. Marah. Bahkan di masa pandemi seperti ini. Saat mayoritas pedagang kecil sudah berjuang habis-habisan. Tidakkah ada yang mengetuk pintu hati pemerintah? Bahwa kelak dari kebijakan itu, dan kedzaliman yang dirasakan rakyat kecil, semua itu akan dipertanyakan olehNya?

Jujur rasanya malu karena cuma bisa menulis saja. Teringat cerita ibu, tentang pedagang sayur yang merelakan dagangannya dijual murah, karena toh besok sudah layu dan tak layak jual. Itupun yang beli hanya satu dua orang.

Ya Allah bantu kami, agar kuat menjalani hari-hari berat ini. Kenyangkanlah perut lapar orang-orang kecil. Serta penuhilah hati kami dengan kepasrahan kepadaMu dan keyakinan akan keadilanMu. Sesungguhnya Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Rizqi.  Wallahu khoirurroziqin.

***

Terakhir, ini bulan Dzulhijjah... semoga Allah memberkahi bulan ini. Mari perbanyak shalat, dzikir, dan doa. Perbanyak sedekah. Semoga idul qurban tahun ini bisa menjadi sedikit sebab rakyat kecil tersenyum.

Allahua'lam.

Wednesday, July 22, 2020

Sedikit Lebih Mengerti

July 22, 2020 0 Comments
Bismillah.


Aku sekarang, bisa sedikit lebih mengerti. Mengapa Allah berulangkali mengajariku cara untuk tenang mendengarkan sebuah tanya dan menjawabnya dengan berbagai macam jawaban. 

Kiranya, aku kini sedikit lebih mengerti, mengapa pertanyaan 'mengapa' akan selalu hadir dan diberikan padaku. Karena itu pertanyaan otomatis. Pertanyaan refleks. Itu respon normalnya. Maka Allah berikan begitu banyak skenario agar telinga, mata, hati dan pikiranku untuk terbiasa dengan pertanyaan itu. Karena aku butuh pembiasaan. Pembiasaan yang menguatkan. Pembiasaan yang membuatku tidak lemah. Pembiasaan yang membuatku lebih tegar. Setegar batu karang? Wkwkwk. *what an old way to describe that.

Aku juga.. sedikit lebih mengerti, dari mana hadirnya getar getir tiap kali pertanyaan 'mengapa' itu hadir. Karena saat menjawabnya, sesungguhnya aku diminta untuk merendahkan hati dan mengakui kesalahan yang akan selalu ada dan harus sering-sering diingat. Bukan diingat supaya stuck di masa lalu. Tapi diingat supaya memperbanyak istighfar dan memohon ampun kepadaNya.

Terkadang ego begitu tinggi, hingga ada rasa tak nyaman ketika harus menyebutkan dosa dan kesalahan masa lalu. Harus banyak belajar dari kisah Nabi Adam 'alaihi salam dan iblis laknatullah. Nabi Adam mengajarkan kita untuk mengakui kesalahan, meski bisa saja ia berkelit dan menyalahkan bisikan iblis. Tidak cukup mengakui kesalahan, tapi juga memohon ampunanNya.

Sedangkan Iblis, seperti sebutannya, berputus asa. Tidak cukup menyalahkan Adam, tapi justru meminta diberi waktu untuk 'membuktikan' bahwa ia tidak bersalah. Bahwa Adam dan keturunannya tidak lebih baik darinya.

Semoga aku termasuk orang-orang yang tidak malu untuk merendah di hadapanNya. Mengakui kedzaliman diri kemudian berbisik dalam doa yang melambung ke langit.

Robbana dzalamna anfusana wa inlam taghfirlana watarhamna, lanakunanna minal khosirin.

Oh ya tentang doa tersebut. Pernah baca di instagramnya Teh Amalia Kartika @loveshugah, mengapa ditambah kata 'watarhamna'? Ibarat kita dosa, poin kita minus kan. Trus kita minta ampun. Nah meminta rahmat Allah itu seperti minta tambahan nilai positif, tambahan kebaikan di diri dan hidup kita. **btw, ada yang baca juga dan ada yang punya linknya? Asa baru liat kemarin-kemarin, tapi barusan scroll ig beliau belum ketemu tulisan tentang itu.

***

Terakhir. Aku mungkin belum sepenuhnya paham dan mengerti. Masih meraba-raba hikmah dan pelajaran dari satu pertanyaan yang mungkin masih akan sering kutemui. Tapi malam ini, semoga aku sudah sedikit lebih mengerti. Semoga tulisan dan 'kesimpulan' kecil yang kubuat ini tidak salah. Kalaupun salah, semoga aku belajar lagi, agar lebih paham lagi, lebih mengerti lagi. Yang dengan pemahaman itu, aku jadi semakin mendekat kepadaNya. Aamiin.

Sekian. Bye 5~

Sunday, July 19, 2020

Sebuah Perjalanan

July 19, 2020 0 Comments
Bismillah.

***warning***

1. Isi tidak akan sesuai judul
2. Abstrak

***

Sudah lama sebenarnya aku ingin komentar. Sejak ia menulis tentang kisah dua orang. Bukan komentar tentang hikmah lain dari kisah yang ia ceritakan. Tapi komentar tentang sebuah pertanyaan. Tapi aku menahan jemariku.

Hari ini, seseorang, atau google, membuat sebuah tulisan lama muncul di statistik blogku. Aku membaca tulisanku di blogku, kemudian membaca tulisannya di blognya. Karena ternyata aku mengutip salah satu tulisannya meski itu bukan tulisan #blogwalking.

Lalu aku teringat bahwa sebenarnya sudah lama aku ingin komentar. Otakku mulai membuat kalimat yang hendak kusisipkan di kolom komentar blog tersebut.

Apa bedanya menjauh dari tempat yang bukan spesifikasinya dengan lari dari tanggung jawab?

Sebelum aku mengetik kalimat tanya itu, sebelum aku menulis nama, alamat email, dan website. Sebelum semua itu, otakku teringat mengapa sudah lama aku ingin komentar, tapi tidak pernah berkomentar. Otakku kemudian memberikan beberapa list alasan mengapa aku lebih baik tidak berkomentar.

Hatiku mengangguk pelan. Menyetujui bahwa memang lebih baik tidak berkomentar. Toh aku tidak benar-benar ingin bertanya. Atau jikapun benar ingin bertanya, aku bisa mencari jawabannya ditempat lain, selain di kolom komentar tersebut. Kututup tab-nya.

Lalu aku kembali ke dashboard blogger. Perasaan itu masih lekat, bahwa sudah lama aku ingin berkomentar. Akhirnya aku memilih untuk menulis saja di sini. Sekali dayung, dua pulau terlewati. Pertama, aku bisa berkomentar di sini. Seperti aku dulu biasa begitu. Komentarnya di sini saja, di blog yang mungkin tidak akan pernah dibaca olehnya. Kedua, aku menambah kuantitas postingan di blog ini. Semoga Juli ini tidak turun lagi jumlahnya.

Terakhir, mungkin sebenarnya hari ini bukan tentang kisah dua orang, yang salah satunya memilih tinggal di perbatasan kota. Tapi ini tentang sebuah perjalanan yang melewati pohon jati, pohon bambu, tanaman kaktus, dan juga akar .Akar? Ya, semua jenis akar.

Semoga terus semangat menulis, di sini, meski terkadang ingin mengabstrak seperti ini. Tidak mengapa toh ini blogmu wkwkwk. *whatanegoistme


Wasted Food

July 19, 2020 0 Comments
Bismillah.

Beberapa kali aku marah karena satu hal ini. Mungkin bukan satu, mungkin bertumpuk dengan beberapa yang lain.

Is it some kind of restaurant? You want the food ready. Then you eat, and not finished it. And the same chef who cook it have to throw that food waste.

Rasanya ingin berteriak dan melampiaskan amarah. Entah marah karena merasa effort-ku sia-sia. Atau karena kesal karena paham bahwa sikap tersebut adalah bentuk kurangnya rasa bersyukur.

The food that you throw, those tiny little rice you left uneaten, is months of tears and sweat of a farmer.

Rasanya ingin protes dan egois. Biar saja kelaparan, biar belajar mensyukuri tiap makanan yang ada. Agar belajar menyesal setiap kali menyisakan makanan.

Rasanya ingin menangis. Ups. Yang ini sudah sepertinya berkali-kali. Meski aku belum paham sebenarnya tangis itu karena apa. Karena tidak ikhlas, atau karena apa?

Rasanya ingin melemparkan dalil. Bahwa mubadzir itu saudaranya setan. Tapi takut kalau ternyata aku yang salah. Jangan-jangan aku yang menggunakan dalil untuk membenarkan emosiku.

***

"Is it some kind of restaurant?", I want to voice out that question. But... i just mumble it to my ear.

Sejujurnya sampai sekarang aku masih tidak paham. Alasan apa yang sebenarnya membuatku marah untuk case yang rasanya berulang itu.

Mungkin benar, bahwa aku belum ikhlas. Sehingga aku mengharapkan respon tertentu. Sehingga saat responnya berbeda aku kecewa.

Aku kagum sekaligus ingin menangis malu. Bagaimana caranya aku belajar seperti Mamah? Saat beliau mengucapkan kalimat yang redaksinya tidak aku hafal, tapi maknanya masih terngiang.

Jangan hitung-hitungan. Niatkan semua hal untuk ibadah. Bentuk sedekah.

Pesan yang mengingatkanku pada kelas Feminitas Bunda tentang ketulusan.

Ah... sungguh, aku masih jauh dari kata-kata itu. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana caranya tidak hitung-hitungan. Bagaimana caranya untuk tulus. Bagaimana... caranya untuk ikhlas. Bagaimana mengubah mindset dan mempraktekan dalam amal, agar tiap hal, tiap aktivitas jadi ibadah dan sedekah. Aku... masih harus banyak belajar.

Allahua'lam.

Friday, July 17, 2020

Yang Bisa Mengubah Sesuatu Menjadi Racun

July 17, 2020 1 Comments
Bismillah.


Prolog  *feel free to skip this part*

Tema dari 1m1c bulan ini adalah racun. Sembari mencerna kata "racun" ada beberapa ide yang melintas di kepalaku.

Pertama tentang bagaimana sikap kita saat kita tanpa sengaja digigit hewan beracun. Ide ini muncul karena teringat salah satu perumpamaan dalam buku 7 Habit-nya Stephen R. Covey. Jadi, kalau kita mengetahui ada hewan berbisa, entah itu ular atau kalajengking, yang menggigit kita. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menghentikan penyebaran racun tersebut. Bukan justru mengejar ular dan kalajengking yang menggigit kita.

Perumpamaan itu berhubungan dengan apa? Dengan mengakui kesalahan. Dan aku sudah pernah menuliskannya di blog ini.


***

Tahukah kamu bahwa ada yang bisa menjadikan banyak hal menjadi racun. Sesuatu yang tadinya sehat, bermanfaat, bisa menjadi racun karena ini. Apa itu? Berlebih-lebihan.


Ya, setiap sesuatu kita konsumsi lebih dari kadar batas normal, berlebih-lebihan, maka itu akan menjadi racun. Contoh, gula itu baik untuk tubuh kita, tapi jika berlebihan maka akan menjadi racun dan menghadirkan penyakit diabetes. Daging juga baik, tapi jika berlebihan? You name it.. mungkin pembaca lebih paham tentang ini. Bagaimana makanan atau minuman yang tadinya baik untuk tubuh, bisa menjadi racun saat kita mengkonsumsi secara berlebihan.


That's on food. Ayo bahas yang lain. Berlebih-lebihan lain yang juga bisa menjadi racun: social media. Ada yang bisa menyebutkan manfaat sosial media? Kita bisa menggunakan sosial media untuk banyak hal baik. Kita terhubung dengan teman dan kolega di sana, mendapatkan informasi dari sana, kita juga bisa mendapatkan konten-konten positif dari sana, atau juga membuat dan menyebar konten positif. Tapi jika kita menggunakannya berlebihan? Ada tuh istilahnya, FOMO, Fear of Missing Of. Kalau kita gak buka sosmed sejam saja, rasanya kaya ketinggalan berita terbaru, ga liat story-story temen kita yang mereka upload dll. We use it too much, that we forget, back then we lived just okay without it. Tanpa sosial media pun, hidup kita akan baik-baik saja. Ga percaya? Coba sesekali puasa ga buka sosmed satu hari.

Ada lagi nih.. yang jika berlebihan akan menjadi racun. Kalau racun pertama tadi ke tubuh, racun kedua efeknya kaya addicted, yang ketiga ini agak beda. Perasaan yang berlebihan. Maksudnya? Cinta yang berlebihan, benci berlebihan, rasa takut yang berlebihan, rasa khawatir yang berlebihan. Perasaan yang berlebihan dapat membuat kita overwhelmed. Pandangan kita jadi kabur, dan tidak bisa berpikir rasional lagi. Karena tertutupi kabut perasaan. 

Manusia memang wajar memiliki perasaan. Wajar khawatir, wajar takut, wajar sedih. Tapi jika berlebihan? Akan menjadi racun bagi psikis kita, jiwa kita, mental kita. Kita pikir itu cinta, tapi ternyata cinta itu sudah berubah menjadi racun. Semua hal dilakukan, tanpa berpikir baik buruk dampaknya. Dan saat hati patah, ada yang rela untuk mati, demi cinta, yang sebenarnya sudah bukan lagi cinta.

***

Ternyata banyak ya yang bisa diubah jadi racun, kalau sesuatu itu berlebihan. Ada yang mau kasih contoh lain?

Aku ada sih satu lagi, tentang tertawa terlalu banyak. Efeknya, ia menjadi racun buat hati kita. Hati kita jadi mati. Memang benar, dalam hidup kita sering mencari tawa. Kita suka menonton hal-hal lucu, kita mencari berbagai hal yang bisa membuat kita tertawa. Sampai kita lupa, bahwa untuk hidup, hati kita butuh air mata. Bukan air mata karena sedih kehilangan dunia. Tapi air mata mengakui kesalahan dan dosa di hadapan Yang Maha Mengampuni. Air mata takut termasuk orang-orang yang dilemparkan ke api neraka. Air mata yang keluar atas rasa syukur, setelah menyadari kecintaan Allah pada kita, nikmatNya yang terus mengalir meski kita sering mendustakannya.

Kita boleh tertawa, tentu saja, karena tertawa itu sehat dan baik. Tapi jangan berlebihan. Ini berlaku juga untuk hal lain. Makanan yang kita konsumsi. Aktivitas yang kita pilih. Perasaan yang menghiasi hati kita. Jaga agar tidak berlebihan. Sering-sering cek kondisi hati. Juga... jangan lupa minta padaNya, karena Dia adalah Sang Pencipta, yang salah satu trademarknya adalah keseimbangan.

Terakhir... dan kalaupun, ada diantara kita yang sudah menelan racun-racun itu. Entah karena berlebihan dalam makanan, sosial media, perasaan, atau apapun. Dan rasanya kita kehilangan kendali akan diri kita, dan tidak tahu harus mencari penawar racunnya kemana. Mungkin itu saat yang tepat untuk kembali kepadaNya, merendah dan bersimpuh, sembari berbisik pelan, "La ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzolimin."

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi minamal satu cerita dalam satu minggu.

PS: Harusnya pekan tema itu pekan kemarin, tapi baru bisa nyelesaiin tulisan ini pekan ini. Sudah malam. Have a nice dream~





Tuesday, July 14, 2020

Taking New Challenges

July 14, 2020 0 Comments
Bismillah. 

Hi hello~ Apa kabar bulan Juli-mu? Bulan Dzulqa'dahmu? Semoga baik-baik saja. Semoga tiap harinya dipenuhi produktifitas, dilingkupi keberkahan, dan meski ada banyak emosi di dalamnya, semoga selalu ada senyum, sekecil apapun. Senyum kecil ketika kita menghembuskan nafas pelan, setelah seharian lelah berjuang. Setiap orang, punya perjuangan masing-masing kan? 

Nowadays, I'm taking new challenges. Yang tadinya aku hanya sibuk menulis dan otak atik desain untuk diri sendiri, kini aku beranikan diri bantu sedikit tim desain di beberapa tim. Ada yang kontribusinya masih nol sih, baru daftar doang hehe. 

Nowadays, I'm taking new challenges. Jadi PJ Kelompok KMO Club Batch #25. Entah panggilan dari mana. Lihat pendaftarannya di grup telegram KMO Club All Batch. 

Challenges-nya kecil sih. Tapi dari yang kecil-kecil ini aku jadi merasa, bahwa aku kini sudah balik ke peredaran. Terutama karena jadi PJ Kelompok KMO. Yang tadinya di grup-grup lain diem, cuma komunikasi ke beberapa temen deket, ini tiap hari harus alert. Jawab pertanyaan, rekap data, dll. Jadi fasilitator buat 60an peserta itu sesuatu. Ribet tapi juga seneng, keinget masa-masa aku aktif di mana-mana jaman kuliah dulu. 

Karena KMO juga, jadi buka facebook. Dulu, tugas buat ikrar, upload di facebook. Aku pikir sekarang juga gitu. Jadi deh, kusudahi facebook yang tadinya mau girls only. Accept beberapa permintaan teman. Ga ada salahnya juga. Toh ga ada isi apa-apanya. Tapi ternyata, aku salah dong, ikrarnya uploadnya di ig. Lumayan jadi tambah follower di ig betterword_kirei hehe. Hari ini juga udah dapet tag ikrar dari beberapa peserta K39. 

Nowadays, I'm taking new challenges. Ada satu lagi sebenernya. Yang ini, aku simpen sendiri dulu. Nanti aku kabari kalau sudah dilaksanakan. Takut nato. 

*** 

Terakhir, tahun 2020 sudah di pertengahan. Apakah ada tantangan baru yang sedang atau ingin kau lakukan? Apa itu? Ceritain dong… dalam tulisan, di blogmu. Share linknya di komentar, in syaa Allah nanti aku baca.

Semangat!

Sunday, July 12, 2020

Mencari Kontak Kisah Fajr, Pembaca Angin dan...

July 12, 2020 1 Comments
Bismillah.


Buat apa nomer yang tidak pernah ganti? Kalau kau tidak menyimpan nomer mereka yang ingin kau hubungi?

***

Hanya ingin mencatat di sini. Saat aku mencari kontak kisah fajr, pembaca angin, dan satu orang lagi.

Kisah Fajr


It's not her name. It's her blog address. Saat itu aku meragu butuh seseorang untuk memberitahuku kemana langkah harus kuarahkan, maka aku mencarinya. Awalnya lewat komentar di blognya, yang dijawabnya untuk kontak via instagram.

Kemudian aku tanya ke temen, dapat kontaknya, terhubung. Mendapatkan jawaban lewat suara. Karena sulit untuk menuliskan saran di pesan chat. Barangkali ia takut tidak adanya intonasi membuat pesannya ambigu.

I hear her voice, I listen to her suggestion. Thanks to her I can stand firm again, knows my flaw, and learn to walk straight forward without leaving things behind.

Pembaca Angin


Pembaca angin, nama penanya. Kisah mencari pembaca angin ini tadinya mau jadi tulisan sendiri. Karena saat mencari kontaknya, aku banyak dibuat kaget. Kemudian teringat betapa pembaca angin banyak menjadi inspirasiku untuk menulis.

Salah satu tulisan di blog ini yang sering diambil google adalah tulisan blogwalking ke pembaca angin, tentang belajar tahsin. Hanya karena, dikutipan yang kusalin, ada tentang jokes nun mati ketemu 'ain. Dari tulisan itu, aku ingin menengok lagi tulisan-tulisannya. Tapi aku dibuat penasaran, karena alamat blognya bisa diakses, tapi isinya kosong.

Karena tidak punya kontak pembaca angin, aku membuka facebook dan mengetik nama lengkapnya, hanya untuk menemukan fakta bahwa akun facebooknya sudah tidak ada. Aku hanya menemukan jejak namanya dimention salah seorang teteh. Sekelebat prasangka hadir, jujur ada rasa takut. Aku akhirnya kirim chat ke messenger fb ke teteh tersebut. Memperkenalkan diri, barangkali beliau lupa kalau aku dulu roommate-nya pembaca angin, dan minta kontak pembaca angin.

Aku belum sempat membaca balasan pesan di messenger, saat sebuah pesan dm masuk ke instagram betterword_kirei, instagram blog ini. Pembaca angin menyapaku, memberitahu kabar bahwa aku mencarinya sampai ke telinganya. Kujelaskan dengan perasaan rindu tentang rasa kagetku saat tidak menemukan satu tulisan di blognya, juga akun facebook-nya yang ternyata sudah deactive. Ia kemudian memberiku alamat blog pembaca angin yang baru, serta instagram blognya, yang lebih sering ia buka.

Alhamdulillah kami terhubung lagi. Dan aku ingin bernostalgia, menyebutkan apa arti pembaca angin di hidupku. She teach me the true meaning of friendship and her existence let me taste the sweetness of ukhuwah. Aku ingin mencatat tulisan-tulisan mana saja di blog ini yang terkait tentangnya.

"Sama-sama Mendamba Ridho-Nya" yang hadir saat aku merasa orang-orang ingin memisahkan persahabatan kami, hanya karena perbedaan dan kotak-kotak yang mereka buat.

"Tulisan Seorang Teman" yang hadir setelah aku baca tulisan jarum pentul di blognya.

"Teman yang Datang Saat Butuh Saja" yang kutulis karena rasa bersalah, baru kontak pembaca angin saat ingin bertanya bahasa arabnya 'the pen has been lifted'

Ada banyak yang ingin ditulis tentang pembaca angin. Suara tilawahnya yang sering memenuhi kamar 12b, betapa rajinnya ia menuntut itu, menandai satu demi satu kitab berbahasa arab itu. Bahkan saat kami sudah tidak sekamar, sudah sibuk dengan dunia masing-masing, berpapasan dengannya selalu membuatku tersenyum. Aku tidak bisa lupa saat itu hujan, dan ia lengkap dengan jas hujan gamisnya, bertukar sapa pelan, untuk kemudian melanjutkan ke tujuan masing-masing.

Mencari Kontaknya


Dari dua pencarian itu aku menyadari bahwa harusnya kalau cari kontak orang cek instagram dulu.

Tapi... yang terakhir ini berbeda. Ia tidak punya blog yang bisa kubaca. Terakhir ia sebutkan di facebook-nya nomer hpnya ganti. Qadarullah aku baru bisa komentar beberapa bulan setelahnya. Dan sampai sekarang belum bisa terhubung. Her name is Usriyah Faqih. Nama belakangnya nama pena, seperti aku. She's two years older than me, all other people call her Teh Uus or Mba Uus. But I rather call just her name. Uus, atau Us. Bukan karena tidak menghormati, tapi aku ingin ia merasa masih muda.

Aku masih mencari kontaknya. Bertanya di grup asrama dan tidak menemukan jawaban. Berharap komentarku di facebooknya, atau pesanku ke messenger fb-nya, atau dmku ke ig-nya sampai, terbaca olehnya. Aku bahkan menghubungi nomer lamanya, berharap-harap. Selebihnya, aku cuma bisa berdoa. Sungguh aku khawatir, karena aku belum sempat bertanya kabarnya saat covid-19 mulai "membuat merah" daerah domisilinya. Aku belum bertanya, apa ia pulang ke cirebon atau masih di ibukota. Menulis ini, aku jadi teringat, mungkin aku harus mencari akun wattpadnya.
 
I do really miss her. Semoga Allah melindunginya dan melingkupi hidupnya dengan keberkahan. Aamiin.

Thursday, July 9, 2020

The Hands of A Beggar

July 09, 2020 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Pernahkah kau menyentuh tangan seorang pengemis? Biasanya kita hanya memberi uang receh, tanpa benar-benar menyentuh tangan pengemis tersebut. Meletakkan uang di plastik kresek, atau gelas plastik yang mereka bawa.

***


Tangan kita adalah salah satu indra yang menyimpan memori. Indra yang aktif untuk membantu kita mengenali benda tanpa perlu melihat. Kita bisa mengenal bentuk, tekstur, suhu, kepadatan, dan banyak informasi lain dari indra peraba tersebut.

Aku tidak akan bicara dari segi sains, aku hanya ingin berita tentang tangan seorang pengemis. Aku menyentuhnya secara tidak sengaja, hanya beberapa detik, tapi yang sekejap itu masih melekat di memori, menggerakkan hati dan jemariku untuk menuliskannya.

***

Ada dua pengemis buta yang beberapa kali lewat di depan kios kecil kami. Sepertinya suami istri. Berbeda dengan pengemis lain yang bajunya kusam dan tampilannya kotor. Mereka berdua termasuk rapi dan terlihat bersih. Sang suami biasanya jalan di depan sang istri. Sang istri mengikuti dengan membawa kantong kresek hitam. Oh ya, sang istri mengenakan kerudung.

Jalanan antar kios baju di pasar termasuk sempit. Mungkin sekitar setengah meter, atau lebih. Normalnya satu orang saja yang bisa berjalan, tidak bisa berdua bersebelahan. Atau bisa sih, tapi sulit. Apalagi terkadang ada orang lain yang hendak lewat dari arah yang berbeda. Belum lagi, dagangan baju, rok, celana yang memenuhi sisi-sisi jalan.

Setiap mereka berjalan, aku tidak bisa tidak memperhatikan mereka. Sang bapak yang di depan dengan tongkatnya. Sang ibu, berjalan tanpa tongkat. Tangannya meraba awang-awang, memastikan ia tidak menabrak dagangan atau tiang, tembok.

Hari itu, aku melihat mereka hendak melintas lagi. Malu sebenarnya mengakuinya, tapi entah sejak kapan aku termasuk yang apatis terhadap pengemis. Mungkin aku termasuk yang sering menolak memberi jika ada pengemis. Berbeda dengan ibu dan ayahku. Tapi hari itu aku memutuskan untuk memberi sekeping uang. Kumasukkan ke tas kresek hitam yang dipegang sang istri. Kepingan itu masuk tanpa suara. Aku hendak fokus lagi dengan hal lain, tapi tanganku tanpa sengaja menyentuh tangannya.

Tangan ibu pengemis buta itu dingin. Lebih dingin dari suhu jemariku. Sentuhan yang sebentar itu membuatnya berhenti, ia menyadari keberadaanku. Aku saat itu hanya berkata pelan, "sudah bu". Memberi isyarat agar ia bisa lanjut berjalan. Ku lihat suami ibu itu sudah berjalan lumayan jauh. Aku takut mereka terpisah. Keduanya tidak bisa melihat.

***

Dua pengemis itu sudah pergi, aku masih terduduk memikirkan tangannya. Hari itu baru menyadari bahwa ada cacat di tangannya. Hari itu aku menyadari bahwa tangannya bersih dan dingin. Hari itu membuatku sadar, bahwa aku perlu mengubah persepsiku tentang pengemis, bahwa aku tidak boleh apatis pada mereka.

Apa ceritanya sudah selesai? Aku juga pikir sudah selesai. Tapi belum ternyata. Qadarullah, siang itu aku bertemu lagi ibu pengemis itu. Duduk di lantai masjid tempat aku biasa shalat dzuhur. Mungkin sedang menunggu suaminya yang sedang shalat di area shalat laki-laki. Aku melihat tangannya meraba-raba lantai yang lebih dingin dari suhu tangannya. Merasakan jeda antar keramik, juga penanda dari lakban hitam yang beberapa waktu lalu dipasang sejak masuk fase new normal.

***

Sampai kemarin aku belum melihat kedua pengemis itu lagi, hanya reka ulang kejadian hari itu masih lekat di kepala.

Lewat kejadian itu, aku ingin bertanya pada diri... would you sent your warmth to the coldness in the hands of a beggar?

Sungguh, bukan mereka yang membutuhkan kita. Justru kita yang membutuhkan mereka.

"When you help someone, you are not honouring them; they are honouring you. You've helped them only in the dunya, which is nothing to Allah, but they have help you in akhirah, which is everything." - Nouman Ali Khan

Allahua'lam.

Wednesday, July 8, 2020

Can We Use Both of Them

July 08, 2020 0 Comments
Bismillah.

#blog

Hari ini aku melihat pesan yang sama. Pengingat dari blogger kalau akan berganti tampilan, disuruh nyobain yang baru dan kasih feedback. Aku ingat kemarin-kemarin tulisannya sih bulan Juni akhir, eh hari ini Juli, tulisannya berganti juga. Jadi Juli.

Dalam hati aku jadi mbatin, can we use both of them?

Seperti wordpress yang bisa pakai editor classic atau block editor. 

I'll use both of them. Karena kadang yang baru masih ada kekurangan. Seperti tadi, saat akan add images from this blog. Ga muncul-muncul. Hingga akhirnya milih ganti user saja.

***

Aku orangnya konservatif mungkin. Karena itu yang pertama dan yang paling tua lebih nyaman untukku. Aku mungkin pengguna juga di tumblr, medium, tapi tetap saja, lebih nyaman di blogger. Meski kesannya memang paling out to date.

Sosial media juga begitu. Aku masih belum terbiasa di instagram. I know we should use hashtag. Untuk kebaikan sendiri. Tapi tetep aja, hehe. 


Sebenarnya aku tahu, teknologi itu begitu cepat berubah, aku paham, harus selalu siap akan perubahan itu. Tapi.. kalau bisa pilih dua kenapa harus pilih satu hehe.

Terakhir, mari diisi blognya~

Tuesday, July 7, 2020

Perhaps That's Why

July 07, 2020 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Awalnya mungkin kita merasa aneh, sebel dan tidak suka. Setiap kali mendengar atau membaca kalimat cacian dan cercaan. Kata-kata kutukan yang sungguh kasar dan tidak nyaman didengar maupun dibaca. 

Awalnya begitu, tapi kita justru diam dan terus saja membiarkan diri menjadi konsumen kata-kata kasar dan buruk itu. Lama-lama telinga kita familiar mendengarnya, begitupun mata kita mulai biasa saja membacanya. Kini giliran bibir kita yang gatal ingin ikut-ikutan mengucapkannya.


Kata-kata cercaan, carcian dan kutukan yang tadinya kita benci mendengar dan membacanya. Kini kita justru ingin ikutan menggunakannya. Meski kita masih sama. Masih tahu. Bahwa kata dan kalimat itu buruk dan tidak pantas ditujukan pada siapapun atau apapun. Bahwa mereka yang menggunakan kata-kata kasar, hanya mereka yang miskin kosakata. Sehingga yang keluar dari bibirnya hanya kata-kata cacian, cercaan dan kutukan.

Perhaps that’s why we need to filter what we heard, what we read, and what we watched. It included who we are hanging out often. First you felt uncomfortable, then you felt it’s normal, then you start doing what you used to hate. Perhaps that’s why..

Ini berlaku juga tentang gagasan, ide, bahkan kepercayaan. Bukan berarti kita menutup diri dari dunia yang sejak dulu memang bukan tempat suci. Bukan. Tapi bentuk kita menyayangi diri sendiri.

Sama seperti kita memilih untuk tidak memakan junk food, atau mengurangi memakan mie instan dan minuman berkarbon. Karena kita ingin sehat. Begitu pula jiwa kita, berhak untuk diberi makan yang baik-baik. Begitu pula otak kita, berhak untuk diberi minum yang menyehatkan.

It won’t be easy. Cause everybody eats fast food, why I need to eat an apple? But if you try to consume a healthy food and drink, you’ll be able to find a better life. Those ‘temporary’ tasteful things will only makes your health deteriorating.

Allahua'lam. 

***

PS: Tulisanku ini pernah dipublish di tumblr anonim Agustus 2019.

PPS: Harus hati-hati ya karena apa yang kita dengar dan kita tonton mempengaruhi kita. #ntms

Saturday, July 4, 2020

Makna Allah Sesuai Prasangka Hamba-Nya

July 04, 2020 0 Comments
Bismillah.
#blogwalking #bersihbersihdraft

Maka makna bahwa Dia di sisi prasangka hambaNya adalah, “Barangsiapa merasa dirinya berdosa dan yakin bahwa Allah Maha Pengampun, niscaya Allah mengampuninya. Barangsiapa merasa bahwa dirinya hina dan yakin bahwa Allah Maha Mulia, niscaya Allah meluhurkannya. Barangsiapa merasa bahwa dirinya bodoh dan yakin bahwa Allah Maha Tahu, niscaya Allah memberinya ilmu. Barangsiapa merasa bahwa dirinya lemah dan yakin bahwa Allah Maha Kuat, niscaya Allah menguatkannya. Barangsiapa merasa dirinya faqir dan yakin bahwa Allah Maha Kaya, niscaya Allah mencukupinya.”
- Salim A. Fillah, dalam tulisannya Siapa Menguji Siapa
***

Kutipan blogwalking ini kusimpan di draft 10 September 2017.

Akhir pekan, seperti biasa aku memaksakan diriku untuk menulis di blog ini. Ingin disiplin lagi dan produktif mengisi blog, sesederhana apapun. Karena sudah lama tidak membaca buku, atau membaca, tapi minim sekali jumlah halaman yang dibaca perpekannya, tekoku kosong. Kalau pekan kemarin aku pakai tips, dari kutipan jadi tulisan, pekan ini aku pakai tips bersih-bersih draft.

Sungguh untuk menulis itu butuh usaha. Kalau ga ada ide, harus cari ide. Ide itu tersembunyi, harus kita yang aktif mencari atau bahkan mengejarnya.

Dan hari ini, aku mencarinya di folder draft. Kutemukan sebuah kutipan dari blogwalking ke web-nya Salim A. Fillah. Beliau adalah salah satu penulis favorit saya. Waktu itu, tahun 2017 saya belum pakai instagram, jarang buka facebook juga, jadi cara saya membaca tulisan beliau adalah dengan berkunjung ke web-nya. Tulisan di web biasanya merupakan tulisan dari facebook atau instagram beliau.

***

Tentang kutipan diatas, juga draft 2017 yang lalu. Aku diingatkan Allah tentang kekuatan kata. Bahwa kata-kata positif bisa menetralkan kenegatifan dalam diri. Aku pernah tenggelam dalam negative vibes, terjerat dalam overthinking, dan dibuat sesak oleh prasangka buruk yang dibuat sendiri. Prasangka buruk itu, dulu bukan hanya menyangkut diri sendiri, atau orang lain, tapi juga prasangka terhadap-Nya. Padahal waktu itu aku tahu, aku harus menjaga prasangka baik kepada-Nya.

Dan tulisan Ustadz Salim di atas membuat klausa "Allah sesuai prasangka hamba-Nya" menjadi lebih jernih dan jelas.

"Barangsiapa merasa dirinya berdosa dan yakin bahwa Allah Maha Pengampun, niscaya Allah mengampuninya."

Maka saat jatuh bangun memperbaiki diri, meninggalkan dosa yang membuat hari-hari dilingkupi kesedihan, keresahan, dan perasaan negatif lain. Kalimat tersebut membuatku bertahan dan bangkit lagi, lagi, lagi. Meski entah berapa kali aku terjatuh lagi dan lagi.

Keyakinan itu tidak otomatis terbangun, kita harus setiap hari menyusun bata-batanya. Dengan shalat, dengan doa, dengan membaca ayat-ayatNya, dengan mencari ilmu untuk mengenal-Nya. Hingga kita paham dan yakin, bahwa Allah Al Ghofur Al Rahim. Pintu ampunannya terbuka pagi dan siang, dalam ramai maupun sunyi. Selama kita masih bernafas, artinya dosa kita akan diampuni olehNya. Tinggal pertanyaannya, apakah kita mau meminta ampun dan bertaubat? Maukah kita memaksa diri melangkah mendekat padaNya, karena setiap kita berjalan ke arahNya, DIA akan berlari pada kita.

Itu baru kalimat pertama ya.. belum kalimat penjelas berikutnya. Rasanya pas banget dengan kondisiku saat itu.

***

".... Barangsiapa merasa bahwa dirinya hina dan yakin bahwa Allah Maha Mulia, niscaya Allah meluhurkannya.

Barangsiapa merasa bahwa dirinya bodoh dan yakin bahwa Allah Maha Tahu, niscaya Allah memberinya ilmu.


Barangsiapa merasa bahwa dirinya lemah dan yakin bahwa Allah Maha Kuat, niscaya Allah menguatkannya.

Barangsiapa merasa dirinya faqir dan yakin bahwa Allah Maha Kaya, niscaya Allah mencukupinya.

***

Terakhir,

"Ketika kita mengubah sikap mental kita kepada Allah, dari tidak mau tahu menjadi peduli, dari berburuk sangka menjadi ber-hunuzhzhan, dan dari ragu menjadi yakin padaNya, saat itulah Allah akan menunjukkan jalan-Nya kepada kita."

- Ustadz Salim Akhukum Fillah