Follow Me

Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Sunday, November 5, 2023

Slow Snail

November 05, 2023 0 Comments
Bismillah.
 
#fiksi 

 

"Untuk karakter kepengurusan tahun ini, silahkan pilih satu hewan per orang ya.. Ditunggu max 21.00 WIB"


Pesan terkirim, dalam hitungan detik, mulai muncul nama-nama hewan populer. Kucing, penguin, panda. Beberapa orang sempat berebut, bertanya padaku apa boleh satu hewan yang sama, kan bisa dibedakan warnanya. Aku jawab tidak dulu. Nanti kalau benar-benar tidak ada pilihan, baru boleh hewan yang sama.


(pilihan yang ada saat ini: kucing, penguin, panda, kupu-kupu, jerapah, ikan paus, bintang laut, burung rajawali, kunang-kunang, singa)


***


20.00 WIB, masih ada 2 orang yang belum menuliskan pilihan karakter hewan. Ya, siapa lagi kalau bukan orang itu. Dia sejak tahun kemarin memang terkenal sebagai silent reader di grup ini. Baginya, cukup ia menunjukkan eksistensinya dengan melaksanakan program kerja. Sisanya, ia lebih banyak diam dan mengangguk setuju. Agak sedikit aneh, karena aku pernah dengar sedikit histori hidupnya. Dia dulu begitu vokal, dan hampir selalu aktif dalam setiap diskusi, di ruang maya maupun nyata. Tapi entah sejak kapan, ia berubah. Begitu, kesaksian salah seorang teman divisinya, saat aku bertanya apakah ia kira-kira bisa amanah untuk melanjutkan kepengurusan di tahun ini.


Sebenarnya, aku bisa saja menunggu sampai jam 21.00 WIB, tapi saat melihat keterangan bahwa ia bahkan sedang online dan menyimak pesan terakhir yang kukirim di grup, jemariku tidak bisa diam. Kumention nomernya, bertanya jawaban. Dan benar, dalam hitungan detik, ia segera membalas. Singkat padat, tanpa babibu. Satu kata. Hewan yang tidak kusangka akan ia pilih. Siput.

 

sumber gambar

 

"Why?" tanyaku di grup. Seketika, aku menyesal telah bertanya. Apalagi saat ia bertanya balik, "emang harus pakai alasan?"


Ingin rasanya membuat excuse, tapi benar pertanyaannya, sejak awal, aku tidak pernah penasaran dengan alasan orang lain memilih hewan tertentu. Tapi pilihannya, sungguh tidak mencerminkan dirinya. Ia jauh dari image siput yang terkenal lambat. Lagi pula, bukankah lebih lucu kura-kura ketimbang siput?


Saat aku sibuk dengan pikiranku, beberapa yang lain mencoba mencairkan suasana di grup. Mereka bilang, karena siput suka sembunyi di cangkangnya, mirip dengannya. Juga.. karena siput menyukai hujan. Membaca tanggapan yang lain, ia membalas dengan emotikon senyum jaman dulu, titik dua, dan kurung tutup. Eh, tidak, terbalik. Ia mengetik kurung buka, kemudian titik dua. (:


***


Sudah sekitar 5 karakter hewan yang kugambar, aku berdiri sejenak dan meregangkan tangan, memegang dagu dan kepala melemaskan otot leher. Gelas kopiku sudah kosong, menanti untuk di refill. Tapi teringat waktu yang sudah malam, aku akhirnya memilih botol air putih dan menegaknya. Kubuka hp, membuka notifikasi, membaca sekilas beberapa grup dan pesan yang masuk. Pertanyaan yang sama masih melekat di benak. Tentang pilihannya, mengapa siput? Apa mungkin ia menuliskan alasannya di blognya?


Lalu tanpa sadar, secara otomatis, aku membuka browser di laptop dan mengetik alamat yang sudah kuhafal. Cukup satu kata "Pluvia" lalu auto complete browserku melengkapi alamatnya berdasarkan histori web yang pernah kukunjungi. Aku tersenyum, saat menemukan bahwa tebakanku benar. Ia hampir selalu begitu, hemat kata di grup, tapi diam-diam bernarasi di blognya.

 

***


Why is it Snail? by Pluvia Lover

 

Karena aku lambat, sesederhana itu alasannya. Karena untuk membaca buku 100 halaman, aku membutuhkan waktu lebih dari 100 hari. Terkadang bahkan mungkin 1 tahun pun tidak cukup.

 

Karena aku lambat, sesederhana itu alasannya. Meski jelas aku memiliki niat untuk memperbaiki diri. Tapi progresnya mendekati nol. Jangankan orang lain, aku sendiri heran dan hampir berputus asa. Aku lihat rintangan demi rintangan, yang ternyata kubuat sendiri. Aku tahu jalan lurusnya, tapi aku memilih jalan memutar. Lebih sering memilih bersembunyi dan diam di dalam cangkang, padahal kunci dari kesuksesan adalah konsistensi.

 

Aku bak siput, lambat, lagi tenggelam dalam distraksi yang kuletakkan sendiri di dalam cangkangku.

 

PS: No, it's not a self loath. It's a self reflection, as I supposed learn from my lack and mistake.

 

PPS: And thank you, for the question. Both of them. The animal representation, and the why. I wonder, how about you? Which animal and why?


***


Membaca tulisannya membuatku sadar, bahwa aku juga belum mengumumkan pilihan hewan untukku. Tiba-tiba aku kesal, karena tidak ada yang menyadari itu di grup. Kemudian aku tersenyum sendiri, ah, ada, satu orang. Ya, meski dia memilih diam dan tidak bertanya di grup.


Membaca tulisannya membuat jemariku gatal untuk berkomentar. Berbeda dengannya yang memilih menjadi silent reader. Aku, sejak dulu, selalu menjadi noisy reader. A commentator.


Setelah menyetting komentar menjadi anonim, kuketik beberapa kalimat.


"Menurutku kamu bukan bak siput. Lebih mirip kelinci, yang sering jatuh di lubangnya sendiri. Semua orang tahu kelinci itu cepat, tapi tidak banyak yang tahu keberadaannya saat ia bersembunyi dalam lubang kelinci. Entah terjatuh, bersembunyi, atau sedang mengisi energi untuk melompat-lompat lagi."


Jemariku mengambang di atas keyboard. Ingin rasanya menjawab juga pilihan hewan dan alasannya. Tapi kutahan, dan kucukupkan kalimat tadi. Satu klik, publish. Kemudian tertulis bahwa komentar akan muncul setelah moderasi.


Aku beralih ke grup, kemudian protes, kenapa tidak ada yang bertanya pilihanku. Tapi kemudian mengadakan tebak-tebakan dadakan, yang benar hadiahnya boleh merebut hewan pilihan orang lain. Setelah puas berkoar di grup, yang sepi karena jam segini pasti banyak yang tidur, aku beralih lagi ke aplikasi gambar, melihat hasil ilustrasi yang sudah kubuat.


'Satu lagi,' batinku, 'Habis ini tidur'. Lalu goresan demi goresan membentuk sketsa kelinci. Hewan populer yang sebenarnya tidak terpilih dan tidak perlu digambar.


The End.

Sunday, September 3, 2023

Arsip Lawas

September 03, 2023 0 Comments

Bismillah.

 

#fiksi

 

Arsip-arsip berjejer rapi di ruangan tersebut. Beberapa yang sering diakses, sengaja diletakkan di rak dekat pintu. Sedangkan yang hampir tidak pernah diakses lagi, diletakkan di rak terjauh. Tanpa sepengetahuan orang lain, aku punya arsip favoritku. Sebuah arsip berisi tulisan-tulisan singkat, yang tanpa sengaja kutemukan saat aku masih kesulitan adaptasi bekerja di sini. Karena memori dan ikatan emosional itu, setiap kali aku menemui kesulitan baru, aku mengambil waktu rahasia untuk membuka lagi arsip tersebut, membacanya, dan mendapatkan kembali inspirasi dan semangat yang sama, seperti saat pertama kali membacanya.

 

Arsip ini termasuk kategori yang sudah jarang diakses. Seharusnya letaknya di rak belakang sana. Tapi karena aku sering membaca ulang isinya, aku letakkan ia di rak kedua terdekat dari pintu.


Pernah suatu hari, aku kehilangan arsip tersebut. Ada rasa takut, sedih dan khawatir. Aku takut ketahuan, memindahkan arsip tersebut pada tempat yang salah. Aku sedih, karena tidak bisa lagi membaca isinya. Dan aku khawatir, bagaimana jika arsip tersebut dibutuhkan, dan aku harus mengaku, bahwa aku yang menghilangkannya?


Hampir dua bulan, perasaan-perasaan itu campur aduk di hatiku. Aku coba cari dari rak kedua dari pintu, namun tidak ada, Aku cari di kolong-kolong rak, barangkali jatuh, tidak ada. Dan saat hampir menyerah, aku menemukan lagi arsip itu. Di rak pertama dekat pintu. Ada yang mengakses arsip itu, saat aku tidak bertugas. Dan anehnya, jika memang baru diakses, bukankah harusnya rekan kerjaku kesulitan mencarinya? Karena harusnya letaknya di rak paling belakang sana. Kini pertanyaan-pertanyaan baru memenuhi otakku. Membuatku memandangi cover arsip tersebut lama, tak menyadari namaku dipanggil seseorang.

 

Sebuah tepukan pelan mendarat lembut di pundak, "Gak makan siang?" ucapnya. Aku kaget kemudian mengangguk cepat, lalu menggeleng, dan akhirnya menyadari aku salah bereaksi. Ia hanya tersenyum melihat responku. Suasana hening. Kikuk. Aku buru-buru meletakkan lagi arsip tersebut, dan melenggang pergi hendak lari menghindari situasi tersebut. Tapi pemilik suara itu menahan langkahku dengan pertanyaannya, "Apa yang istimewa dari arsip lawas itu?"


Aku tidak berani berbalik, memilih pura-pura tidak mendengar dan lari menjauh. Berharap percakapan terkait arsip itu tidak akan pernah hadir lagi.


***


Keesokan hari-harinya, sembunyi-sembunyi aku kembali membuka arsip tersebut. Letaknya masih di rak pertama. Kutelusuri baris-baris tulisan dari yang paling lama, satu-dua. Saat hendak menutupnya, sekilas terlihat sebuah kertas origami yang dilipat menjadi segitiga. Warna pinknya mencolok, membuatku penasaran membuka lipatannya.


"Terima kasih sudah membaca. Tapi jangan menyulitkan orang lain, dengan menyembunyikannya di tempat khusus."


Kuambil pena di saku bajuku. "Terima kasih sudah menuliskannya. Terima kasih sudah menemukannya. Terimakasih sudah mengizinkanku membaca"

 

Kulipat lagi kertas itu menjadi segitiga yang lebih kecil. Kututup arsipnya. Berharap ia membaca balasanku.


The End.


***


PS: fiksi ini hadir, karena aku ingin berterimakasih, pada siapapun yang pernah menulis dan meninggalkan jejak arsip di blognya.

Tuesday, July 4, 2023

Tidur?

July 04, 2023 0 Comments

Bismillah.

 

#fiksi

 

"Tidur?" sebuah pesan masuk ke notifikasi, tanpa nada, tanpa getar. Baru beberapa detik, tapi ia melihat bahwa orang di sebelah sana sudah membaca pesannya.


Pertanyaan itu dijawab dengan sebuah stiker panda dengan huruf tiga z, muncul dan hilang di atas kepala panda.


Si penerima stiker menyangka bahwa yang ingin dijak ngobrol sedang mengantuk. Maka ia mengakhiri percakapan sebelum memulainya, dengan ucapan selamat tidur, yang dengan cepat pula disambut centang dua berwarna biru.


Ia kemudian scrolling dan menimbang beberapa nama lain, yang barangkali juga sedang tidak bisa tidur, dan mau diajak ngobrol. Tapi usahanya terhenti, saat sebuah pesan masuk lagi, dari si pengirim stiker panda tadi.

 

"Can't sleep, cause I hate to know that I'm sleeping too much."


Selain kalimat itu, terlihat juga notifikasi bahwa di sana, ia masih mengetik. Jarang-jarang. Biasanya ia lebih sering membalas percakapan dengan stiker, stiker dan stiker. Biasanya yang banyak menulis dan benarasi adalah pihak yang lain. Tapi malam ini, mungkin memang berbeda.


"I'm all ears"


Jawabnya, saat notifikasi mengetik muncul dan hilang tanpa jejak. Ditunggunya sekitar 5 menit, sembari ia mengambil air putih. Tapi belum ada tambahan kalimat, kata atau stiker.


"Hari ini udah tidur berapa jam emang? 8? 12?"


Pintunya memang sulit dibuka, seolah engselnya ada yang rusak. Perlu sedikit usaha, agar ia terbuka. Dan baginya, tidak ada yang salah bertanya terlebih dahulu. Ia terbiasa dan ringan, inilah keuntungan seorang extrovert.


"Not physically sleeping. I mean... I dive and sleep inside musics, novels, movies, series, and even games. I need to wake up"


"Tidur dengan urusan dunia?"


"Kind of"


"So what's next?"

 

Dan percakapan terhenti, tanpa jawaban.

 

The End.

 

***

 

PS: Sebuah fiksi, pengingat untuk diri agar segera berlari ke Allah dari distraksi yang ada. Ayo jangan tenggelam dengan urusan dunia! Semangaat. Butuh usaha dan banyak doa. Semoga Allah memudahkan. Aamiin.

Monday, February 28, 2022

Why? Cause We're Just Too Different

February 28, 2022 0 Comments
Bismillah.

#fiksi

***

Dua orang yang berjalan bersama di jalan besar dan lurus. Bersama mungkin pilihan kata yang tidak pas. Dua orang itu menempuh jalan yang sama, searah. Bersebelahan. Terkadang yang satu mendahului yang lain. Tapi hanya satu atau dua langkah. Tidak terlalu jauh. Sampai akhirnya, salah satunya berhenti tiba-tiba. Ia berhenti kemudian berbicara dengan suara keras.

"Let's part away!"

Mendengar itu, yang satunya ikut menghentikan langkah. Ia berbalik arah, mungkin hendak memastikan bahwa kalimat itu ditujukan untuknya.

"Let's part away..."

Kali ini dengan suara lebih lirih. Entah apakah kalimat itu pemberitahuan atau permohonan.

Selanjutnya, mereka sama-sama terdiam. Masih berhadapan dan saling memandang. Mungkin ada percakapan di sana. Tapi bukan dengan lisan. Bahasa mata dan ekspresi wajah mungkin, atau telepati.

Entah berapa lama waktu berlalu, sampai pertanyaan itu hadir.

"Why? Because we're just too different?"

Lalu hening kembali. Waktu belalu lagi, entah berapa lama. Dan karena bosan mengamati diam mereka, aku mulai membuat percakapan imaji antara dua orang tersebut.

***

"Karena aku memilih topeng indah, sedang kau memilih yang buruk rupa."

"Karena aku memilih menyimpan jelaga, sedang kau memilih menyimpan emas."

"Karena aku menyukai siang hadir, sedang kau menyukai malam hari."

***

Aku belum selesai mengisi percakapan imaji, saat dengan mata berkaca-kaca, salah satunya berjalan mundur. Satu, dua, mungkin hanya tiga atau empat, atau lima langkah. Tapi jarak mereka kini makin jelas. Hingga tak bisa lagi kusebut mereka dua orang yang berjalan bersama.

Kali ini waktunya singkat. Saat yang di depan berbalik, kemudian berjalan lagi, menyusuri jalan besar dan lurus ini.

Yang dibelakang, yang tadi mengucapkan kalimat perpisahan, masih terdiam lama, berdiri memandangi punggung yang pergi. Saat sudah begitu jauh. Baru kemudian ia menjatuhkan diri, terduduk dan menelungkupkan tangannya di wajah.

Aku menghampirinya. Menepuk dua kali pundaknya. Bukan, bukan tepukan untuk mengalihkan perhatiannya. Tepukan hiburan.

Dua tepukan itu, kemudian berlanjut menjadi percakapan panjang dan lebar. Kini aku tahu kalimat-kalimat apa yang harus dimasukkan saat dua orang itu terdiam dan saling bertukar pandangan dan 'telepati'.

***

Two sides of coins are different, but they're one. Sebenarnya perbedaan tidak selalu memisahkan. Itu yang kupahami.

Maka saat kulihat kedua orang itu kembali melanjutkan perjalanan mereka, di jalan lurus dan besar ini, aku tahu mereka akan bertemu lagi. Mungkin bertukar sedikit kata dan banyak hening lagi. Ada yang tidak bisa mereka hindari. Jalan ini hanya satu, dan tujuannya sama.

Jika saat ini tidak berjalan bersama. Mungkin nanti bertemu di titik akhir jalan. Ini harapanku, sebagai penulis yang menyukai happy ending.

Tapi aku juga tidak bisa memungkiri. Bahwa bisa jadi keduanya tidak bertemu, jika di pertengahan, salah satunya memilih meninggalkan jalan ini, jalan besar dan lurus ini. Tapi semoga bukan ini yang terjadi. Karena aku melihat keduanya memiliki persamaan, meski di mata keduanya mereka berbeda.

The End.


Monday, February 7, 2022

What (Who) is Hurting You?

February 07, 2022 0 Comments
Bismillah.

#fiksi

Hari itu, ia masih proses pemulihan, setelah dua hari sebelumnya demam, radang dan batuk menghias akhir tahunnya. Demamnya sudah turun, tenggorokannya sudah tidak terlalu sakit, hanya batuk yang terkadang masih bersuara tanpa yang undangan. 

Mungkin karena badannya stress dan sakit, mungkin karena alasana lain, tapi malam itu darah mengalir. Ia meyakini itu darah istihadhah, sedangkan menyuruhnya untuk tidak shalat karena meyakini itu darah haid. 

Sejak terbangun malam itu, ia tidak bisa tidur nyenyak. Berbagai pikiran dan perasaan lalu lalang. Kelopak matanya, yang biasanya tangguh menahan banjir, kali itu kalah. Matanya memerah, hidungnya bengkak, dan ia makin kesulitan bernafas. Sesekali ia memang keluar kamar, saat makan, saat keluar itu, ia berhenti menangis. Tapi siapa yang bisa pura-pura tidak melihat jejak tangis yang terlalu terang itu? 

***

Maka setelah selesai sarapan, ia kembali ke kamar. Emosi negatifnya seolah meledak. Rasa sedih, takut, dan perasaan negatif yang ia pendam lama keluar saja dalam bentuk air mata. Kepalanya dipenuhi banyak kalimat dan kata yang senyap di telinga orang lain, tapi begitu riuh di otaknya.

Berteman tissue dan air putih, ia mencoba memejamkan mata supaya tidur dan bukannya menangis.

Saat itu semua berkumpul di ruang tengah. Riuh, suara keponakannya, mungkin sedang bermain atau sedang disuapi. Kalimat di kepalanya terus bising, membuat ia membuka hp, berniat menyalurkannya daam sebuah tulisan. 

Saat itulah ibunya masuk ke kamar, melihat anaknya menangis sembari memadangi layar. 

Ia mengusap air matanya. Tidak ingin sang ibu makin khawatir. 

Lalu kalimat tanya itu keluar dari bibir sang ibu. Bibir yang sama, yang tiap tengah malam mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya. 

Ia bertanya lembut, "Is there anything or anyone who hurt you?"

Ia menggeleng. Sang ibu bertanya lagi, apa yang dirasakannya. Ia menjawab pendek, bahwa ia ingin tidur tapi tidak bisa.

Kemudian sang ibu meminta anaknya untuk mengingat-ingat hal yang baik, hal-hal yang membahagiakan, sebelum akhirnya keluar dan memberikan jarak dan waktu untuk anaknya tersebut. 

***

Beberapa pekan berlalu. Ia membuka catatan di hpnya, kemudian teringat momen siang itu. 

Disentuhnya icon membuat catatan baru, kemudian ia menulis dua paragraf pendek. 

📑📑📑📑📑📑📑

"Is there anything or anyone who hurt you?"

Saat itu aku menjawab tidak ada. Tapi sebenarnya aku tahu ada jawaban lain yang kusembunyikan. Karena jika dinyatakan, akan terasa sangat aneh.

Cause the one who hurts me is myself. And the things that hurts me, is how I see myself."

📑📑📑📑📑📑📑

The End. 

***

Ps: lesson learned-nya let's love ourself cause Allah loves you. 💕

Friday, October 22, 2021

What Kind of Fruit?

October 22, 2021 0 Comments
Bismillah.

#fiksi

🌳 "Jika kamu jadi buah, kamu mau jadi buah apa?"

🌳 "Anggur? Belimbing? Ceri? Durian?"

🍁 "Semoga bukan buah Raihanah"

🍁 "Semoga setidaknya kurma"

🍁 "Dan tentu.. Aku ingin menjadi buah Limau"

🌳 "Limau? Maksudmu jeruk? Jeruk apa?"

🍁 "Jeruk yang harum dan manis"

The end.


***

PS: Raihanah ~ Lilin

Saturday, September 4, 2021

Stabil

September 04, 2021 0 Comments

Bismillah.

#fiksi

Dialog Dol dan Hanel.

Dol : Aku iri.


Hanel: Pada siapa?


Dol : Pada dua manusia yang bercakap-cakap suatu pagi. Mereka memiliki kaki, mereka bergerak, dan mereka mengatakan mereka stabil. Sedangkan aku... aku sebongkah batu, diam, seharusnya bisa stabil, tapi mengapa rasanya aku selalu jatuh, berkali-kali. Berputar dan jatuh di melewati lereng gunung. Atau dipindahkan tangan-tangan manusia. Atau ditendang --ah, yang ini aku belum merasakannya sebenarnya.


Hanel: Tidak perlu kau iri pada manusia. Bibir dan lidah mereka yang mengatakan mereka stabil. Kenyataannya, hati mereka juga bergejolak, kaki mereka memang berusaha untuk bergerak agar stabil, tapi bukan berarti mereka tidak pernah jatuh. Mereka sama sepertimu, lagian bukankah kamu juga manusia?


Dol: Ya, manusia memang bisa berbohong. Kadang lisannya tidak selaras dengan hatinya. Tapi aku tetap saja iri pada dua manusia yang bercakap-cakap ba'da suatu shubuh. Aku mengenal mereka, mereka bukan seperti kebanyakan manusia yang mudah berbohong. Mereka dua orang yang jujur. Maka saat mereka bilang, mereka stabil, mereka tidak berbohong. Hati mereka memang tetap bergejolak, tapi mereka tahu cara untuk tetap stabil. Mereka memang sesekali tersandung, kehilangan keseimbangan, tapi kemudian mereka menggerakan tangan dan tubuh mereka agar mereka tidak benar-benar jatuh. Aku iri, aku harap aku bukan sebongkah batu.


Hanel: Berhentilah berfilosi. Kau bukan sebongkah batu. Kau juga manusia, kau... bisa belajar menjadi seperti dua manusia yang kau iri padanya itu.


Dol: Kau tahu mengapa aku mengasosiakan diriku sebagai sebuah batu?


Hanel: Karena kau merasa hatimu mengeras?


Dol: (diam, mengiyakan)


Hanel: Kau tahu mengapa hati manusia mengeras? Kau tahu, mengapa kau merasa tak pernah stabil?


Dol: (diam, menunggu Hanel menjawab pertanyaan tersebut untuknya)


Hanel: Kau tahu jawabannya, kenapa memilih diam? Ayolah, coba jawab. Barangkali itu bisa melembutkan hatimu lagi.


Dol: Aku diam karena aku sebongkah batu. Dan batu tidak berbicara (tertawa kecil, pahit)


Dol: (memandang Hanel dengan mata memohon) Maukah kau menjawabnya untukku? Menurutmu, mengapa hatiku mengeras bagai batu? Mengapa aku tak pernah merasa stabil dan selalu fluktuatif?


Hanel: (tersenyum, mengalah) Baiklah.


Hanel: Hati manusia mengeras karena dosa. Karena tiap dosa meninggalkan bekas, menutupi tiap permukaan beningnya. Lalu hati menjadi keruh, setiap sisinya tertutup kerak dosa. Berlapis, lapis. Bertumpuk, tumpuk. Lalu tanpa kau -- maksudku kita. Lalu tanpa kita sadari, kita menjelma sebongkah batu.


Hanel: Yang kedua, (jawaban pertanyaan mengapa meski batu selalu merasa tak pernah stabil).... karena tidak menutup pintu abu-abu, tidak berjingkat dari semak-semak berasap. Karena yang seharusnya murni, dicampur dengan tanah (dirt), atau bahkan racun.


Dol: (mudur, berbalik, hendak pergi)


Hanel: Aku belum selesai.


Dol: (berhenti)


Hanel: Tapi Dol, kau tahu kan? Kau tahu bahwa sebongkah batu yang begitu keras, tetap berharga di mata-Nya? Kau ingat kan, meski sekeras batu, ada batu-batu yang baik. Kau tahu kan?


Dol: (masih di posisi saling membelakangi dengan Hanel, mengangguk)


Hanel: Kali ini, bisakah kau yang beritahu aku tentang itu? Tentang batu-batu tersebut?


Dol: (dengan suara bergetar membaca ayatNya)


ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ ۗ وَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاۤءُ ۗوَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan."

 

Hanel: Benar Dol, jangan lupakan ayat itu... terutama bagian akhirnya. Wamallahu bighofilin 'amma ta'malun. Dan dari kalimat ini, semoga tumbuh cinta, harap dan takut di hati kita. Hati, yang pada masa hidupnya, pernah sekali atau berkali-kali memasuki masa menjelma seperti batu, atau bahkan lebih keras lagi.


The End.


***


Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Monday, May 10, 2021

I'll Sent Her a Long Letter

May 10, 2021 0 Comments
Bismillah.

#fiksi

"Aku ingin jatuh hati lagi, pada orang yang baru", ucap seseorang sembari menatap layar hp dengan goresan pendek di bagian kanan atas.

Telinganya tersumbat earphone, mungkin ia sedang mengobrol dengan sahabatnya via telpon. Sampai lupa ini tempat umum. Aku yang duduk di belakangnya mau tidak mau ikut mendengarkan.

Aku mencoba fokus pada pekerjaanku di laptop, tapi sebagai seorang yang audio, dan menyukai fiksi, tiba-tiba aku ingin menuliskan percakapan imaji jika yang diajak bicara adalah aku.

Kamu cuma perlu membuka hati, dan melihat sekitar. Pasti ada yang bisa sosok yang menarik hatimu. Jatuh cinta itu memang sering tanpa rencana. Tapi bisa juga direncanakan.

"Justru itu, karena aku ingin segera berhenti jadi pengagum rahasia seseorang."

Keningku berkerut, sudah lama sekali aku tidak mendengar istilah itu.

Hei! Kamu kan laki-laki, move on dari fase tersebut adalah dengan menghilangkan kata "rahasia"-nya. Melangkah maju, kemudian ditolak. Lalu melanjutkan perjalanan. Atau jika mujur, mungkin diterima. Lalu tersenyum puas.

Ia terkekeh pelan, sepertinya tawa sarkasme. Entah nasihat, komentar atau canda apa yang ia dengar dari sebelah sana. Satu dua, mungkin sampai lima detik, kemudian hening.

Mungkin tawa itu berubah jadi tangis, entahlah. Aku sudah tidak peduli. Kugeledah tasku, mencari earphone, memutuskan untuk fokus bekerja saja.

Belum sempat kusumbat telingaku,

"I'll sent her a long letter. As a goodbye message."

Tanganku terhenti di udara, dekat telinga. He has a british accent. Sepersekian detik aku sempat ragu ingin mendengarkan lagi, atau tidak.

"I know she always check her email."

Itu kalimat terakhir yang kudengar saat aku menutup laptop, kemudian memilih untuk berpindah meja.

***

Langit sudah sedikit oranye, saat dokumen kerjaanku selesai dan kukirim. Kupandangi meja, ada dua gelas yang sudah kosong, dan satu piring kecil dengan remah-remah sandwich.

Aku berjalan ringan sembari memikirkan nasi hangat di rumah untuk disantap. Pikiran tersebut buyar saat tanpa sengaja mataku beradu dengan sosok yang tadi tanpa sengaja kudengarkan percakapan telponnya. Aku segera menunduk, mempercepat langkah untuk menggapai pintu kaca. Klik, baru kubuka sedikit, aku terhenti lagi.

"Permisi" ucap seseorang dari belakang, memintaku tidak menghalangi jalan. Kugeser badanku menjauhi pintu. Pemilik suara itu lewat, kupandangi punggungnya menjauh. Satu, dua... Mungkin hingga lima detik sebelum akhirnya aku memukul dahiku pelan agar sadar dengan apa yang sudah kuperbuat.

Kuhampiri meja terdekat, kubuka laptop sembari menggumam kesal pada diri.

Kubuka email, sebuah balasan masuk dari atasanku.

"Ini cerpen di halaman terakhir, lanjutannya gimana? Wkwkwk"

The End.



Tuesday, February 23, 2021

Butuh Pengorbanan

February 23, 2021 0 Comments

Bismillah.


#fiksi



Kalau ingin mendapatkan sesuatu kamu harus berkorban. Berkorban tenaga, pikiran, uang, waktu, dll. Minimal kamu harus bergerak. Dan saat kamu bergerak, artinya kamu harus berpindah. Dan saat kamu berpindah, artinya ada yang harus kamu tinggalkan.


***


Seseorang membuka pintu kamar, tanpa ketukan. Engsel pintunya sudah agak rusak, sehingga saat dibuka, suara gesekan antara daun pintunya dengan lantai berderu. Butuh tenaga lebih untuk membuka pintu tersebut, pintu itu, persis seperti pemiliknya.


Pemilik kamar hanya menolehkan wajah ke arah pintu, sedikit menengadah, karena ia sedang duduk di lantai, di hadapan meja lipat pendek berisi laptop dengan casing biru metalic.


"Bulan ini udah belanja?" ucap pendorong pintu. Pemilik kamar diam sejenak, bola matanya bergerak keatas tanda ia sedang menggali memorinya. Kemudian ia menggeleng pelan.


Mendapatkan jawaban yang diharapkan, ia menaikan satu kepalan tangan dan berkata "yes".


"Habis ashar belanja bareng yak,"


Tanpa menunggu jawaban pemilik kamar, ia melambaikan tangan dan menutup kembali pintu, bunyi adu antara kayu dan lantai mengakhiri percakapan mereka.


***


"Pengen beli laptop baru, tapi ga ada uang", ucapnya sambil mendorong troli belanjaan. Ia berhenti di depan deretan snack, mata dan jarinya berputar-putar, ingin membeli begitu banyak makanan manis, asin, gurih dan lezat di hadapannya.


"Jajannya, di cut, biar bisa nabung buat beli laptop," ujar sosok yang tadi diajak belanja bulanan sepihak. Ia merebut troli dari tangannya, mendorongnya menjauh dari koridor snack, berbelok menuju koridor sebelahnya. Terpaksa ia mengambil asal jajanan di depannya, kemudian mengejar troli.


Puk, suara kecil snack masuk ke troli belanjaan, diikuti dengan desahan nafas pendek, karena sepertinya ia belum mengerti.


"Hidup itu penuh pengorbanan." ucapnya dengan nada serius, kali ini ia menatap temannya lembut.


"Ada harga yang dibayar kalau kamu ingin mendapatkan sesuatu." tambahnya. Yang diceramahin merengek pelan, bahwa ia hanya beli satu jenis snack, dan itu harganya tidak sampai dua puluh ribu.


"Anak-anak orang yang terlanjur kaya ga kenal filosofi hidup penuh pengorbanan, mereka cuma terima jadi, begitu mudah hamburkan uang, bersenang-senang tanpa tahu arti kesulitan", bicara pengorbanan itu klise. Tapi kapan lagi ngobrolin hal-hal begini, kalau bukan pas belanja bulanan sama penghuni tertua di kosannya?


"That's stereotype," ucapnya pendek. Ia pernah mengenal anak orang terlanjur kaya yang justru terlalu dini mengenal arti kesulitan. Bagaimana tidak tahu arti kesulitan, karena mereka setiap hari rindu ingin bermain dengan ayah, rindu ingin digendong ibu, tapi yang mereka temui wajah buru-buru berangkat kerja, atau wajah sudah lelah dan memaksa agar mereka lekas tidur.


"Oke, ga semua begitu, tapi ada kan yang begitu. Hidup penuh pengobanan? Orangtua mereka yang berkorban, mereka cuma tinggal seneng-seneng."


Kali ini bukan jawaban pendek, tapi sikutan yang ia dapat. Yang menyikutnya melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada yang merasa terganggu, kemudian memasang mimik wajah marah, seolah mengingatkan agar volume suara dikecilkan.


Percakapan tersebut menggantung, mereka memilih untuk fokus ke daftar belanjaan bulanan masing-masing.


***


Di antrian kasir, ia akhirnya bersuara lagi.


"Hidup itu butuh pengorbanan. Termasuk orang yang mengira tidak melakukan pengorbanan apa-apa. Ada yang mengorbankan visi hidupnya, untuk kesenangan sesaat. Ada yang mengorbankan masa mudanya, untuk masa tua yang penuh penyesalan."


Yang diajak bicara tidak mendengarkan, telinganya tertutup earphone, ia menunggu sembari menonton video-video pendek di timeline sosial media.


Mengetahui tidak ada yang mendengarkan. Ia itu mendorong maju troli, mengikuti alur antrian, sembari berbicara sendiri dalam hatinya.


'Aku juga seharusnya melakukan pengorbanan, kalau aku benar-benar ingin mendapatkan hal tersebut.'


The End.


***


Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.


Wednesday, February 3, 2021

Epilog: Will You Notice Me?

February 03, 2021 0 Comments

Bismillah.

#fiksi


Gia membaca ulang barisan kalimat di layar laptopnya, ia ragu untuk mengunggah tulisan tersebut di blognya.


***


The Reason


Sekitar dua bulan sebuah perasaan aneh mengusik hati dan otak. Aku tenggelam, dan terlalu sibuk untuk merespon perasaan tersebut, sampai sebuah pertanyaan hadir dan membuatku tersadar. Sebelum disibukkan menjawab "apa respon terbaik", "bagaimana caranya", "kapan waktunya", "dimana", aku seharusnya bertanya terlebih dahulu.


"Mengapa aku merasa seperti ini?"


Sejak dulu, aku terbiasa merasa cukup melihat dari jauh, tersenyum dari di tempat yang tersembunyi. Lalu mengapa, kali ini rasanya aku begitu sedih, sekaligus begitu khawatir, hingga dorongan untuk melangkah mendekat dan berhenti bersembunyi menyeruak begitu kuat. Entah berapa kali aku naik turun tangga agar terdistraksi dari perasaan dan pikiran yang mengganggu tersebut.


Aku limpung merespon tiap letikan memori, dan ide-ide liar agar orang tersebut tidak lupa akan eksistensiku. Sampai sebuah pertanyaan hadir dan aku jadi mereka ulang, memetakan darimana datangnya perasaan tersebut. 


The reason why I'm so anxious and want someone to notice me. Alasannya adalah, karena aku berharap ia bukan sekedar satu koordinat dalam garis hidupku. Aku berharap ia adalah himpunaan koordinat. That's why. That's the reason.


***


Sebuah ketukan pintu membuat telunjuk Gia menekan mouse. Klik, tulisan tersebut berpindah folder, dari draft ke published.

Thursday, January 28, 2021

Will You Notice Me?

January 28, 2021 0 Comments

 Bismillah.

#fiksi


Gia menekan tombol F5 berkali-kali, bibirnya mengerut ke bawah. Sudah lebih dari dua bulan website tersebut belum diperbarui, tidak ada tulisan baru. Ditutupnya layar laptop, tangannya beralih ke hp dengan casing berwarna merah bata. Aplikasi sosial media terbuka, Gia mengetikkan beberapa huruf, menuju sebuah akun. Jarinya berputar-putar sejenak di atas tulisan "follow". Tap. Satu ketukan, lalu tulisan tersebut berubah, seiring warna putihnya menjelma jadi biru. Dimatikannya layar hp tersebut, kemudian dilempar lembut ke kasur. Tangan dan badan Gia seolah terserang listrik, ia menggerakkan jemari dan kakinya tidak beraturan, bibirnya tertutup rapat seolah menahan getar pita suara yang mendesak ingin mengajaknya berteriak kecil.


Gia memutuskan untuk keluar kamar, dilihatnya tangga putih yang berada tepat di sebrang kamarnya. Dalam beberapa menit, ia sibuk meniti anak-anak tangga di kosannya. Dari lantai satu, ke lantai empat, kemudian turun, kemudian naik, lagi. Terkadang tempo langkahnya pelan, terkadang setengah berlari. Saat nafasnya sudah mulai tak beraturan, ia akhirnya duduk di anak tangga paling bungsu. Gia menutup kelopak matanya, mencoba mengatur nafas sembari memikirkan apa yang akhir-akhir ini sering menetap di kepalanya.


Suara langkah kaki membuat ia menengok ke belakang, refleks ia berdiri, memberi jalan. Perempuan yang baru melewatinya membawa panci kecil berisi wortel, kobis, daun bawang, dan beberapa perangkat masak lain.


"Mau masak sop?" tanya Gia.


"Mau bantu?"


Gia tersenyum kemudian bergegas mengikuti ke dapur kosan.


***


"Anggun, menurutmu, apa cara efektif supaya orang notice kita?"


Anggun yang sedang mencuci talenan dan pisau menutup keran air, ia memandang Gia yang berusaha menghindari kontak mata. Ujung bibir Anggun naik melihat gesture Gia.


"Siapa Gi yang pengen kamu buat notice kamu?" ledek Anggun.


"Eh, poinnya bukan siapa.." Gia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia seolah menyesal telah bertanya.


"Sop.. sopnya udah mateng Nggun," kali ini ia berhasil mengalihkan topik, berhasil menutupi perasaan gugup yang tiba-tiba menyergapnya.


Sop di mangkuk Anggun sudah habis, ia mengucap hamdalah pelan. Sebaliknya, sop di mangkuk sebrang masih setengah penuh, hanya di aduk-aduk oleh pemiliknya.


Anggun akhirnya buka suara, kali ini ia bertanya tanpa tatapan dan nada meledek. Ia menjelaskan, kalau ia harus tahu lebih detail untuk bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gia sesaat sebelum sop matang.


"Kan beda, cara biar dosen kita notice kita, atau bos, atau...", Anggun membiarkan kalimatnya tergantung. Gia meletakkan sendoknya, menghela nafas pelan, kemudian akhirnya memilih bercerita tentang perasaan dan pikiran yang akhir-akhir ini mengganggunya. 


Ada seseorang, yang sebelumnya, bagi Gia melihatnya dari jauh sudah cukup. Cuma rasa penasaran, tertarik, kagum, semacam itu. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini Gia merasa sangat ingin agar orang itu sadar keberadaannya.


"Cuma pengen orang itu tahu, ada orang loh di sini,"


Anggun cuma bisa mengeluarkan suara "hmmm" panjang. Mencoba memahami perasaan Gia. Ia kemudian memberitahu Gia tidak bisa banyak membantu. Karena untuk urusan rasa tertarik dengan lawan jenis, interaksi, dll, ia tidak lebih tahu daripada Gia.


"Kamu udah coba ngelakuin sesuatu?"


"Baru follow akun sosmednya doang," jawab Gia sembari mengingat kejadian tadi, sebelum ia naik turun tangga kosan.


"Sebelumnya ga follow?" tanya Anggun heran. Anggun mengenal Gia sudah tiga tahun, tidak begitu dekat memang, tapi karena satu fakultas dan beberapa kali mengambil mata kuliah yang sama, ditambah tahun ini satu kosan, Anggun merasa terkejut. Ada warna baru yang ia lihat. Anggun kira, Gia tipe yang santai dan tidak strict tentang sosmed, beda dengan Anggun yang mengkhususkan sosmednya untuk girls only.


"Aneh ya?", Gia tertawa kecil. Gia sendiri juga merasa heran. Dengan yang lain, Gia dengan mudah follow sosmed selama ada mutual friend, dan akunnya ga nyampah. Tapi dengan orang itu... entah mengapa ia memilih untuk "menjaga jarak". Efek dari perasaannya sepertinya, ia takut, kalau perasaannya pada orang itu membesar dan tidak bisa dikendalikan. Ia juga takut orang itu tahu tentang perasaan tak bernama yang mekar di hati Gia, rasa yang ingin ia simpan sendiri saja.


Percakapan mereka berlanjut, Gia merasa sedikit bisa bernafas setelah bercerita pada Anggun. Tanpa terasa mangkuk sopnya kini sudah kosong.


***


"Komunikasi langsung," ucap Anggun sesaat sebelum menaiki tangga menuju kamar. Tidak ada cara lebih efektif dari komunikasi langsung, kalau kita ingin seseorang tahu keberadaan kita. Butuh keberanian memang, dan mungkin juga sebuah excuse, tapi setidaknya itu yang Anggun rasakan setiap kali ia jadi notice seseorang. Karena orang tersebut berkomunikasi langsung dengannya, face to face, atau mengirim private message


"Anggun pernah ngerasa kaya gini juga?" tanya Gia pelan. Anggun tersenyum dan mengangguk, kemudian melempar sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Gia unfollow akun orang itu. Pertanyaan yang membuat Gia membaca ulang archive di website orang tersebut.


Kini pertanyaan Gia bukan lagi, "bagaimana caranya agar orang itu 'notice' keberadaannya". Pertanyaan yang harus ia jawab kini adalah, "kenapa ia tiba-tiba merasa tidak cukup sekedar melihat dari jauh?"


***


Gia sedang sibuk dengan pencarian jawabannya, tidak sadar, bahwa pertanyaannya mereplay sebuah kenangan di memori Anggun.


Sebuah SMS berisi nomer hpnya sendiri, pernah dikirim seseorang pada Anggun. Saat itu, ia hanya menjawab dengan sebuah tanda tanya. Dan memori lain, saat situasi dan alasan ada dan mendukung untuknya bertanya dan meminta bantuan, tapi ia memilih untuk tidak mengirimkannya, karena takut orang tersebut notice akan keberadaannya.


Gia sedang sibuk dengan pencarian jawabannya, tidak sadar bahwa sebuah dm masuk ke sosial medianya, "Ini dengan Gia PM15?"


The End.

Saturday, January 16, 2021

Bleeding

January 16, 2021 0 Comments

Bismillah.

#fiksi #abstrak


Tidak terlihat lukanya, tidak pula terasa sakitnya. Namun dapat ia lihat jelas ada darah mengalir, bukan merah segar, tapi merah gelap. Bukan memuncrat, tapi mengalir, kemungkinan dari pembuluh vena. Bukankah begitu cirinya? Tapi tidak ditemukan sumber lukanya , sakitnya juga seolah tidak ada. Jadi, apa darah tersebut milik orang lain? Tidak, pasti milik diri, karena selalu terlihat bercaknya, seolah tinggalkan jejak-jejak kecil.


Dua bulan diliputi prasangka dan sergapan takut. Kemudian hilang satu pekan dan menjadi tenang. Kemudian muncul lagi, kali ini tanpa prasangka dan takut, seolah itu hal biasa. Padahal bukan hal normal. It's bleeding. Jadi meski tidak terlihat lukanya, juga tidak terasa sakitnya, darah tersebut seharusnya menjadi tanda. Your body sent you a signal that you're not okay. Yang seharusnya dilakukan adalah bertanya pada yang ahli, lalu meminta kesembuhan pada Zat Yang Menurunkan Obat bersama Penyakitnya. Bukan justru terdiam dan memandang kosong, pada merah jejak darah tersebut.


It's bleeding. Something is not right. You gotta work to make it right.


Allahua'lam.

Friday, November 6, 2020

Percakapan Satu Arah

November 06, 2020 0 Comments
Bismillah.

#fiksi

Entah sejak kapan aku memulai percakapan satu arah dengannya. Aku tahu, percuma sebenarnya. Tapi aku tidak bisa menghindarinya. Seketika saja aku kembali memulai percakapan satu arah dengannya. Topiknya ia yang menentukan, setelah itu percakapan itu kutuliskan sendiri.

Seperti hari ini. Ingin aku menjawabnya, meski ia tidak bertanya. Percakapan satu arah ini, aku ingin menuliskannya.

"Aku paham sekarang, mengapa kamu memilih lebih banyak diam dan tidak berkata. Penjelasanmu begitu lugas, membuatku mengangguk pelan. 
Tapi alasan itu, membuatku jadi bertanya-tanya. Apa artinya, aku juga harus berhenti bicara? Tapi jika tak bicara, kemana harus kusalurkan ribuan kata yang lalu-lalang di kepalaku? Tapi jika aku berhenti bicara, bagaimana caranya mengosongkan tumpukan kalimat yang memenuhi dan menyesakkan dada?"
"Aku tahu kau hanya menjelaskan tentang dirimu, bukan tentangku atau tentang siapa pun. Tapi aku jadi ikut memikirkannya. Apa aku perlu diam juga, dan sedikit berkata?"

 

Aku pandangi percakapan satu arah itu. Aku baca juga percakapan satu arah sebelumnya. Sebelumnya lagi, dan sebelumnya lagi. Ada rasa ganjil yang mengganjal. 

The End.

***

PS: Nemu di draft, belum selesai sebenernya, tapi lupa ide awalnya pengen diterusin kaya gimana tulisan fiksi ini. Aku putuskan menambahkan dua kata "the end", dan memostingnya. Mumpung lagi mood posting tulisan di blog. Semoga november ini kuantitas tulisannya lebih banyak dari bulan oktober. ^^

Monday, November 2, 2020

Lupa Cara Berdialog

November 02, 2020 0 Comments

Bismillah.


#fiksi


"Terlalu sering bermonolog, sampai lupa cara berdialog."

 

Kalimat itu kuupload dalam status wa-ku. Beberapa detik kemudian beberapa pesan masuk. Ada yang bertanya "siapa?", ada yang curcol karena merasa kalimat itu pas banget sama perasaannya dan beberapa tanggapan lain. Aku mengeluarkan nafas pendek, menyadari bahwa setiap orang, mayoritas hanya fokus pada dirinya sendiri. Aku juga.


Kalimat pendek itu bukan tentang orang lain, tapi tentangku, yang baru saja merasa gagal berdialog dengan salah seorang teman. Aku mengambil langkah pertama yang salah. Salah memulai, sampai artinya dialog tidak terjalin, hanya komunikasi satu arah, yang kemudian berakhir dengan tanya tanpa jawab. Akhir-akhir ini aku memang terlalu banyak bermonolog, hampir tidak pernah berdialog. Ya, tentu aku menyapa ibu kos tiap berpapasan di dapur, tersenyum dan mengangguk saat bertemu penghuni kosan lain waktu hendak naik atau turun tangga. Tapi selain itu, aku sudah lama tidak berdialog, dialog panjang yang bukan basa-basi. Dialog yang tidak perlu terlalu dalam hingga menenggelamkan, tapi cukup untuk bertukar persepsi dan opini tentang apapun.


Saat membalas respon beberapa teman atas status wa tersebut, sebuah nama muncul, dua ikon telpon berwarna hijau dan merah memintaku memilih mengangkat atau menutup panggilan tersebut. Tidak ada suara atau getaran, hanya layar yang menyala, dan tanda panah yang berkelap kelip meminta respon sebuah usapan. Aku berhitung dalam hati sembari berusaha menghilangkan keraguan untuk mengangkat telpon tersebut. Satu...dua... panggilannya terputus sebelum sempat aku respon, menghadirkan notifikasi panggilan tak terjawab.


"Lagi ga bisa angkat telpon?" tanya si penelpon, kali ini via voice note. Segera aku membalas dengan empat huruf khasku.


"Hmmm"


"Yah, padahal aku mau ngetes, apa bener kamu lupa cara berdialog," kali ini ia membalas dengan teks juga. Aku tersenyum membacanya. Ia tahu status itu tentangku, ia hampir selalu memberi respon terbaik tiap kali aku memasang status.


Beberapa menit kemudian dialog terjalin, lebih banyak aku yang curhat memang, ia menanggapi dengan berbagai sticker dan emoticon. Sebelum akhirnya memberiku kata-kata ajaib.


Katanya, "tidak apa lupa cara berdialog, kan bisa belajar lagi."


Katanya, "tidak baik men-judge diri hanya karena satu kesalahan."


Katanya, "hubungkan diri dulu dengan Sang Penggenggam Hati, agar bisa berdialog lancar dengan yang lain."


The End.


***


Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Wednesday, October 21, 2020

You Made It Too Obvious

October 21, 2020 0 Comments

Bismillah.


#fiksi


Ada yang memilih menyembunyikan. Ada yang memilih untuk menunjukkannya terang-terangan. Ada yang pura-pura menyembunyikan, tapi jejaknya begitu terlihat, sehingga mudah ditebak. Ia yang ketiga.


Awalnya aku tidak tahu. Kemudian mulai merasa tahu. Jejak-jejak mulai bermunculan, aku tertarik untuk menelusurinya. Yang ia berikan, terlalu besar untuk disebut hint. Tapi tidak juga bisa disebut kunci jawaban.


"You made it too obvious," ucapku padanya.


"Terlalu kentara, sampai aku tidak bisa berpura-pura untuk tidak tahu."


Ia masih diam dan tersenyum penuh arti. Aku mengangguk pelan, kemudian mundur tiga langkah, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.


The End.


Saturday, September 19, 2020

Bunga Dandelion

September 19, 2020 0 Comments

Bismillah.

#fiksi

It's all in here, stacked up, layer by layer. Where should all this go now?

 

"Pertanyaan itu untuk siapa?" tanyaku, saat melihat ia mengupdate blognya dengan dua kalimat tersebut. Kulihat di layar ia sedang mengetik jawabannya. Satu, dua, tiga detik.


"Definitely not for you," jawabnya pendek.


"Yah, ga usah update blog kalau misal cuma kalimat abstrak dan ga jelas kaya gitu. Cuma bikin pembaca penasaran," kali ini kukirim pesan itu dengan voice note, agar ia tidak salah memaknai.


Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin menyuruhnya berhenti menulis. Aku hanya ingin menunjukkan, kalau aku penasaran.


It's all in here, apa yang ada di sana?


Stacked up, layer by layer, apa yang tertumpuk? Lapis demi lapis apa yang ada di sana? Lembar demi lembar apa yang tertumpuk? Apa ia berbicara tentang kertas? Atau tentang pakaian? Atau sesuatu yang lain, yang abstrak, seperti tumpukan perasaan.


Suara notifikasi membuatku berhenti mengulang-ulang dua kalimat di blognya. Ia membalasnya lagi. Dua huruf berulang, ia menertawakanku yang kadung penasaran. Ia tahu kalau aku sudah penasaran, aku akan memikirkannya terus sampai mendapat jawaban yang minimal bisa membuatku berhenti bertanya.


"Jadi... apa yang menumpuk? Sampah yang perlu dibuang? Kertas berisi tulisan-tulisanmu?"


"Rumput liar itu termasuk sampah bukan sih?"


"Gulma bukan sih? Eh, tapi apa hubungannya sama ini", tanyaku merasa ia mengalihkan pembicaraan.


"Connected. Yang aku bicarakan di kalimat itu, ibarat rumput liar." Aku mendengus, ia mengabstrak lagi. Bukannya jadi jelas, malah makin membingungkan. Mari fokus ke kerjaan hari ini saja, daripada ngurusin tulisan abstrak di blog orang. Batinku kemudian mematikan koneksi wifi ke ponselku.


***


Satu pekan berlalu. Aku sibuk dengan urusanku, sudah lupa pada kalimat bahasa inggris itu. Setiap pagi, aku biasa memulai hari dengan membaca tulisan-tulisan dari blog yang kuikuti. Bagiku, itu lebih menyegarkan, ketimbang membaca tumpukan pesan di aplikasi hijau itu. Juga lebih menenangkan ketimbang melihat pembaruan cerita orang lain di sosial media. Sosial media baik sebenarnya, cuma algoritma bubble-nya sering membuatku kesal. Aku merasa ada banyak sekali akun "bergizi" yang aku follow. Tapi yang muncul di dashboard adalah akun-akun yang aku banyak berinteraksi. Padahal tujuanku follow kan ingin dapat pemberitahuan. Oke, abaikan urusan sosial media. Fokus pada mengapa aku memilih blog.


Karena di blog, setidaknya platform yang kupakai, tidak ada sistem algoritma bubble. Semua blog yang ku-follow, akan muncul tulisan baru-nya di daftar bacaanku. Terlepas aku sudah tidak pernah klik pembaruan di blog tersebut, atau aku selalu baca tiap ada pembaruan di blog tersebut.


Sebuah postingan dengan preview foto dandelion di daftar bacaanku menarik mataku. Judul postingan tersebut berbahasa asing, bukan menggunakan huruf latin. Aku tidak perlu mengklik tulisan itu. Karena dari previewnya saja. Aku sudah bisa membaca keseluruhan postingannya.


Setelah pekan kemarin update satu tulisan dengan kalimat bahasa inggris yang abstrak. Kali ini ia memposting foto dandelion, judul bahasa asing, kemungkinan artinya dandelion juga. Aku bisa menebak, karena ini bukan pertama kali ia memposting tulisan berfoto, dengan judul bahasa asing. Di sebelah foto dandelion itu, kubaca kalimat bahasa indonesia di dalamnya.


"Rumput liar, tapi berbunga. Atau bukan rumput liar, tapi bunga dandelion. Kujaga baik-baik meski sebagian hati ingin meniup bunga-bunga kecilnya. Lupa, bahwa fitrah bunga dandelion adalah terbang terbawa angin, mencari tanah baru untuk tumbuh dan berbunga lagi."


Berbeda dengan pekan kemarin, saat aku segera chat padanya bertanya arti kalimat abstraknya. Kali ini aku tersenyum tipis. Kali ini aku bisa menerka, bunga dandelion itu mengumpamakan apa. Dan pertanyaan pekan kemarin, kemungkinan besar masih terhubung dengan dandelion ini.


The End.

Tuesday, August 4, 2020

Beri Aku Jarak dan Waktu

August 04, 2020 0 Comments
Bismillah.

#fiksi




"Beri aku jarak dan waktu," ucapnya.

"Aku ingin sendiri," itu kalimat yang terakhir ia ucapkan kepadaku. Membuatku terpaksa mundur dan menjauh darinya. Mungkin ia butuh ruang dan waktu yang cukup untuk bernafas, untuk berpikir, untuk mengurai berbagai masalah yang menumpuk dan saling berkaitan bak benang kusut. Aku pun pernah merasakan seperti itu, setiap orang kadang memang membutuhkan itu bukan?

***

Dua, tiga hari berlalu. Aku masih melihat pintunya tertutup. Di pintunya tertera tulisan, "jangan ganggu". Aku tidak tahu persisnya berapa jarak yang ia minta, juga waktu yang ia butuhkan. Yang aku tahu, pintu yang tertutup itu sudah cukup menjadi penanda, bahwa aku belum cukup jauh darinya, dan belum cukup memberinya waktu.

Sebulan yang lalu, sebelum ia berkata 'ingin sendiri', ia memang tampak berbeda. Wajahnya yang biasanya beku terlihat lebih hangat dengan ukiran senyum tipis. Ia bahkan sering bertukar obrolan basa-basi. Jujur aku heran tapi juga senang dengan perubahannya. Ia saat itu tampak lebih manusiawi, seolah hatinya hidup lagi. Sebelumnya ia seperti mesin atau robot tanpa hati, duduk di sampingnya saja mengalirkan hawa dingin. Seperti saat kita duduk di bawah AC.

Bulan lalu ia tampak berbeda. Sebelumnya ia sibuk dengan pekerjaannya saja. Tapi bulan kemarin, ia selalu menawarkan bantuan tiap kali aku terlihat riweh atau kesulitan. Seperti saat keningku berkerut, dan aku berulangkali menghembuskan desahan nafas kesal karena komputerku ngadat. Ia mau bertanya, dan memberiku saran solusi. Aku saat itu hanya bisa mengangguk meski tidak mengerti, karena baru pernah ia seperti itu. Bukan cuma padaku, ia juga begitu pada semua orang. Menawarkan membuat kopi saat melihat yang lain menguap saat kami mengejar deadline projek. Bahkan berinisiatif mengajukan diri mengerjakan tugas tambahan yang sebenarnya bukan spesifikasinya.

Satu bulan ia seolah mencair bersama musim panas tahun ini. Tapi sejak tanggal 1 kemarin, bibirnya kembali datar. Keramahan itu seolah dibawa pergi angin entah kemana. Kami semua kaget, tapi tidak ada yang berani bertanya di depan. Hanya bisik-bisik di belakang.

Aku selalu benci bisik-bisik di belakang, aku tahu rasa sakitnya saat sebuah rumor tersebar, merebak, dibumbui berbagai jenis racun. Aku pernah mencicip luka saat semua orang berbicara di belakangmu, dan tidak ada yang berani bertanya langsung. Entah apa alasan mereka. Tetap saja, itu tidak benar.

Maka meski aku juga takut dengan suhu dinginnya. Aku mulai mencari-cari momen dan tempat yang tepat untuk bertanya.

"Apa ada masalah?" Tanyaku sembari mempercepat langkahku. Saat itu semua orang berjalan lambat, tapi ia dengan langkah kaki panjangnya bergegas, seolah tidak ingin seirama dengan langkah kami.

Ia mendadak berhenti, membuatku mengikutinya, dan hampir kehilangan keseimbangan, seperti saat duduk di mobil dengan kecepatan tinggi lalu rem diinjak. Hukum inersia kah? Ah, bukan itu poinnya.

Ia menggeleng. Kemudian melanjutkan langkah panjangnya. Aku saat itu tidak berusaha mengejarnya, apalagi saat melihat tatapan tajam yang lain dari belakangku. Aku memilih menjelaskan, bahwa aku bertanya mengapa ia buru-buru, dan ia menjawab tidak ada apa-apa dengan gelengannya. Kemudian bisik-bisik itu dimulai lagi. Tentang perubahannya, tentang keanehannya sejak awal mereka bertemu dengannya, dll. Aku saat itu akhirnya berbohong ada yang tertinggal, agar tidak perlu mendengarnya.

***

Malam itu kami mengejar deadline projek. Semua orang sibuk dengan tugasnya, beberapa saling membantu bahkan menyalahkan, tensi naik, stress, semua lelah, begitupun ia. Kulihat ia duduk dengan wajah dingin di depan layar. Sesekali ia terkantuk, gelas kopinya kosong, tapi ia seperti tidak ingin beranjak mengisi ulang.

Hati-hati, aku mendekati mejanya, kutawarkan untuk mengisi ulang gelas kopinya. Ia menolehkan sedikit wajahnya ke arahku, jemari tanganku tiba-tiba dingin. Ia menggeleng. Kemudian berdiri, meraih gelasnya dan melangkah ke pantry kantor.

Aku sebenarnya tidak berniat mengikutinya. Sejak awal aku memang hendak menuju pantry dan mengisi ulang gelasku dengan teh hangat manis. Sejujurnya aku cuma manusia biasa, aku kesal dengan responnya. Egoku menyuruhku untuk balik ke mejaku dan melanjutkan pekerjaan saja. Agar tidak perlu satu ruangan dengannya saat ia membuat kopi dan aku membuat teh. Tapi aku merasa tidak salah apa-apa. Mengapa aku yang harus menghindarinya?

Aku paksa kakiku untuk melangkah ke tujuan awal, wajahku aku keraskan, ingin kutunjukkan bahwa aku tidak mengikutinya. Tidak ada suara kecuali suara air panas yang mengalir dari teko listrik ke gelasnya. Aroma kopi merebak, harumnya membuatku melunak. Perasaan kesal tadi ikut menguap bersama asap panas kopinya. Ia mendekatkan teko listriknya ke arahku.

Aku kira ia akan segera pergi ke mejanya, tapi ia masih berdiri di sampingku, seolah menungguku selesai menuangkan air panas ke gelasku. Aku saat itu hendak mengaduk gula, saat ia berbicara tanpa konteks. Dua kalimat pendek yang beberapa hari ini mondar-mandir di otakku.

"Beri aku jarak dan waktu,"

"Aku ingin sendiri."

***

Sejak malam itu, tiba-tiba meja kerjanya pindah ruangan. Ia kini menghuni ruangan kecil yang tadinya menjadi gudang berkas. Berkas-berkas di ruangan itu bertumpuk di tempat meja kerjanya dulu berada. Pintu itu ditutup, tak cukup ditutup, dibubuhi juga kalimat "jangan ganggu". Pagi ini aku bertanya pada Pak Boss, khawatir ia pindah meja kerja karena aku beberapa kali mencoba bertanya tentang ia yang kembali dingin. Kata Pak Boss, ia dapat tugas projek baru kilat, sendiri, selama 2 pekan.

Aku kini tahu meja kerjanya yang berpindah tak ada kaitannya dengan ucapannya malam itu. Tapi aku tidak bisa berbohong, beberapa kali sehari aku mencuri pandang ke pintu tertutup itu. Juga ke kardus tak bernyawa yang tertumpuk di tempat ia dulu duduk dengan wajah datar.

The End.

***

Epilog.

Suara ketukan kecil membangunkannya. Ia mengusap matanya pelan sembari berjalan ke pintu. Pintu terbuka, namun tidak ada siapapun di sana. Tidak ada suara kecuali hanya helaan nafasnya. Peneranganpun, hanya sebuah lampu kecil di meja ketiga baris kedua. Mungkin pemilik meja itu sengaja membiarkannya menyala untuknya, atau mungkin saja ia hanya lupa mematikannya. Entahlah. Ia menyalakan lampu ruangan, memastikan memang tidak ada orang. Ia matikan lagi lampunya, menyisakan cahaya lampu kecil di meja itu.

Memorinya mengajak ia mengingat suatu malam saat ia berkata pada pemilik meja itu. Bahwa ia butuh jarak dan waktu. Bahwa ia ingin sendiri. Ia menghela nafas lagi, lebih keras dari yang sebelumnya kini. Ia kembali keruangan, berkemas pulang. Saat menutup pintu, ia melihat tulisan 'jangan ganggu', ia menghela nafas lagi, kali ini pelan dan halus.

"Aku ingin sendiri?" ucapnya bergumam pada diri sendiri. Pertanyaan itu ia jawab sendiri dalam benaknya, 'Aku tidak ingin sendiri. Aku butuh jarak dan waktu, untuk berdua.'

'Aku merindukan dua rakaat tanpa terkantuk atau menguap. Dua rakaat fokus menghadapNya, dan bukan dengan pikiran yang mengawang. Dua mungkin terlalu banyak, satu saja. Aku butuh sebuah sujud, dengan hangat air mata di pipi'.

Tuesday, March 17, 2020

Sakit Apa?

March 17, 2020 0 Comments
Bismillah.

#fiksi



Tumben makan obat, ucapku saat melihat dirimu membuka kemasan biru, plastik obat. Kutengok sekilas, dua kali sehari, habiskan. Kuambil kemasan biru satunya lagi, yang baru kamu letakkan. Tiga kali sehari, setelah makan. 

Sakit apa? Tanyaku, lagi. Setelah pernyataan sebelumnya tak menarik perhatianmu. Kau masih diam dan menegak beberapa mili air putih dari mug Doraemonmu.

Kau mengemasi sisa obat, memisahkan sebagian sampah, masih tidak menjawab pertanyaanku. Kuambil mug Doraemon, pecahkan saja gelasnya, biar ra... Kamu merebut mug biru tersebut.

Ga sakit. Cuma perlu makan obat biar lukanya membaik. Akhirnya kamu menjawab setelah mug kesayanganmu jadi target kekesalanku atas bungkammu. Luka dimana? Tanyaku, masih penasaran. Di hatimu, jawabmu sembari nyengir kuda. Sebelum aku bertanya lagi, kamu mengalihkan pembicaraan. Bertanya mengapa aku rela naik tangga ke lantai empat. Aku kemudian jadi ingat alasanku, dengan heboh kuceritakan padamu bahwa berat badanku mencapai 55 kilogram. Meski memang aku tidak kurus, biasanya berat badanku berkisar antara 48-52, tidak pernah mencapai 55kg. Kucurahkan semua perasaanku padamu.

Pertanyaanmu berhasil membuatku lupa, bahwa kamu yang kutahu membenci obat, malam itu terlihat mengkonsumsi obat. Berhasil membuatku teralihkan dan tidak lagi penasaran kamu sakit apa.

The End.

***

PS: Draft fiksi 31 agustus 2018, ga dilanjutin, cm dirapiin, nggantung gitu wkwkwk. Biarin lah. Yang penting blognya diisi.

Wednesday, March 11, 2020

1M1C x Line Today

March 11, 2020 0 Comments
Bismillah.

Sebelumnya aku udah pernah cerita kan, kerjasama komunitas 1m1c sama line today. Jadi tulisan fiksi dari member 1m1c dapat kesempatan untuk tayang di line today. Ga semua tulisan yang masuk tentunya, akan ada proses pemilihan dan penyaringan. Baik itu dari admin 1m1c maupun dari pihak line today-nya.

Meski udah tahu info ini dari bulan kemarin, aku baru nyempetin cek website 1m1c dan submit beberapa tulisan fiksi di blog ini yang apa adanya hehe.

Setoran 1m1c x line today

S&K

Meski aku tahu, fiksi-ku biasa-biasa aja, dan kemungkinan besar ga kepilih, gatau kenapa kepengin setor banyak tulisan fiksi di situ. Hehe. Setelah lama menulis untuk di baca sendiri, di blog, ternyata pengen naik tingkat juga, pengen dibaca orang lain, pengen tahu kurangnya dimana aja. Untuk ikutan lomba, kayanya gak buat aku pribadi. Tapi kalau cuma sekedar submit tulisan macem begini, rasanya lebih mudah.

***

Menulis ini mengingatkanku akan kerinduan pada komunitas menulis lain, yang sejak 2020 berhenti. Katanya sih sementara, semoga begitu. Sampai sekarang aku masih mikir, sayang... kalau saja boleh jalan sendiri. hehe. Tapi kan ga bisa hehe. I miss ***tulis

Jadi salut sama 1m1c yang bisa bertahan lama, dan sampai diajak kerjasama dengan linetoday. Semoga banyak member 1m1c yang tulisannya tembus ke line today. Meski aku ga yakin bakal baca hehe. Udah lama ga bisa akses line dan telegram. *curcol

Terakhir, semangat menulis! Apapun genre-mu, mau non fiksi, fiksi, pokoknya semangat menulis ~

Sunday, March 8, 2020

Break

March 08, 2020 0 Comments
Bismillah.

#fiksi



Kelopak mata Pita masih belum terasa berat, ia melirik angka 00.41 di lockscreen handphonenya. Kepalanya terasa pening, matanya merah karena sudah satu jam dikuras airnya. Ia akhirnya memutuskan mengirim pesan,

"Beberapa hari kemarin aku sudah ga pernah cemas.... Aku kira sudah sembuh, tapi entah kenapa malam ini kumat lagi... Padahal aku udah ga terlalu kagum sama orang itu."

Centang satu. Ia menghela nafas pendek.

*** 

Aysha baru menyalakan internet di hpnya pukul 9 pagi, dan ratusan notifikasi masuk satu persatu.

"Terus gimana? Bisa tidur? Ya cemas kan ga selalu karena orang itu. Lebih sering karena kekhawatiran kita akan masa depan. Atau karena bayang-bayang masa lalu"
Pesan itu memang dikirim pada Pita, sahabat karibnya sejak SMP. Tapi menulisnya, seolah ia sedang bicara tentang dirinya sendiri. Malam kemarin ia belum tidur sampai jam 3 dini hari. Ada banyak yang perlu dipikirkan, dan banyak yang perlu dikerjakan, tapi ia justru memilih tenggelam dalam angan-angan palsu.

Tidak sampai semenit, balasan dari Pita bertubi menderingkan nada pendek notifikasi pesan masuk. Aysha tidak langsung membacanya karena ia sedang menyelusuri satu demi satu baris dari beberapa grup yang juga memerlukan respon darinya.

***

Pita sedang duduk di tempat kerjanya, dibalik sebuah loket. Pagi ini sepi, baru ada dua orang ibu dan tiga anak-anak. Pekerjaannya selalu diisi dengan jeda menunggu membuatnya selalu menundukkan kepala dan menatap layar kecil yang menyala. Terkadang membaca ribuan baris komentar di sosial media, tak jarang pula menonton video-video yang sering terjeda oleh iklan. Kali ini, ia mengetik sambat hatinya.

Tentang kosan lamanya, yang atapnya bolong dan bocor. Keputusan cepat untuk pindah, meski ia sudah melunasi sewa bulan depan. Hatinya yang merasa sepi. Kontrak pekerjaan yang hampir habis. Pertanyaan mau kemana dan ngapain setelah kontrak kerjanya habis. Uang tabungan yang hampir habis karena digilas sifat impulsifnya setiap kali membuka aplikasi toko online. Keinginannya untuk segera menikah dan jodoh yang rasanya tidak mungkin segera datang. Belum masa lalunya yang gelap dan menyesakkan. Sifat keras dan kasar orangtuanya yang membuat ia selalu merasa kerdil. Pengalaman penolakan dan ditinggal pergi kekasih yang membuat ia mempertanyakan harga dirinya. Kesempatan yang ia buang karena sering merasa emosional. Usaha yang ditempuh berkali-kali namun belum juga mengantarkan ke tujuan.

"Aysha... apa ada jalan keluar atas semua hal yang aku alami? Buntu. Aku merasa berada di lorong gelap dan buntu."
Pita merasa ada sedikit ruang kosong untuk bernafas di otaknya. Akhirnya, setelah semalam ia tidak bisa tidur karena kecemasan yang meradang. Ia tahu, Aysha mungkin bosan dengan keluhan yang hampir setiap hari ia luncurkan. Tapi bisa apa? Pita membutuhkan ruang untuk bernafas, ia harus mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Tapi saat ini, hanya ada Aysha.

Dua rombongan dari sekolah membuat Pita sibuk memasukan data, menghitung, menerima uang, dan menyerahkan tiket. Kedua ujung bibirnya ia tarik ke atas, tapi matanya kosong, pertanda bahwa itu hanya senyum formalitas. Tuntutan pekerjaan.

***

"Jalan keluar ada. Cuma kita belum nemu. Makanya harus usaha buat nemu. Usaha dan doa."
Aysha benci harus selalu berada di posisi memberikan kalimat positif. Ia sebenarnya ingin ikut sambat juga. Ia ingin mengeluh juga. Ia ingin menceritakan kecemasannya juga. Tapi jemarinya tertahan. Bukan karena Aysha ingin terlihat lebih baik, tapi justru karena Aysha takut akan terbawa arus hitam yang dulu pernah menenggelamkannya. Ia pernah merasakan pahitnya hidup yang tiap hari diisi pikiran negatif, prasangka buruk dan menyalahkan semua hal. Ia pernah tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Mudah untuk jatuh kembali. Tapi ia ingin mendaki jalan yang sukar.

Membaca pesan-pesan dari Pita selalu membuatnya bercermin. Melihat Pita membuat Aysha lebih jelas melihat dirinya. Setiap kalimat positif, klise, dan klasik, sebenarnya ditujukan untuk dirinya.

Terkadang bahkan, kata-kata Pita juga merupakan suara kecil yang juga memenuhi pikiran Aysha. Seperti respon Pita siang itu,

"Hmmm. Kadang pengen berhenti berjuang...udah sampai sini aja..."
***

Pita membuka pintu kamar kosan barunya. Dua kardus masih belum dibuka. Ia menyalakan kipas angin kecil, lalu berbaring di lantai beralaskan tikar tipis. Tangan dan matanya kembali disibukkan memandang dan menyentuh layar hp. Pesan terakhirnya pada Aysha belum direspon. Mungkin besok, atau tengah malam.

Kelopak mata pita terasa berat, meminta hak tidur kemarin yang belum terpenuhi. Telinganya masih menangkap suara notifikasi pesan masuk, tapi kantuknya membuat ia mengabaikannya.

"Pita pengen pulang dan istirahat ya? Btw, foto profil barunya cantik. Wallpaper kamar baru?"
"Bukan berhenti berjuang, kamu mungkin cuma butuh waktu istirahat. Bukan istirahat diam tanpa aktivitas."
"Ibarat lari maraton, kadang kita butuh waktu buat ambil nafas, berhenti sebentar, baru kemudian bisa lari lagi. Semacam itu" 

The End.

***

PS: Yang ingin kutulis bukan fiksi. Hanya dialog tanpa nama, yang terkadang tidak cukup merangkum konteks. Perlu ada kalimat penjelasnya. Yang ingin kutulis bukan fiksi, dan latar belakang cerita, tokoh atau plot. Bukan. Hanya kata-kata yang....