Follow Me

Showing posts with label hikmah. Show all posts
Showing posts with label hikmah. Show all posts

Saturday, July 15, 2023

Tentang Undangan dari Allah

July 15, 2023 0 Comments

Bismillah.

 


 

A shift mindset I got from last Ahad forum.


***


Dzulhijjah belum pergi, maka obrolan tentang haji hadir malam itu. Seorang teman membacakan keutamaan haji. Ia bercerita juga tentang orang yang niat hajinya kuat, kemudian dimudahkan Allah untuk berhaji. Ia menutup ceritanya dengan kesimpulan, ayo semangat jadi orang kaya biar bisa haji.


Aku menanggapi ringan, bahwa kesimpulannya agak belok dari apa yang ia ceritakan. Ia baru bercerita tentang kisah yang hikmahnya sebaliknya. Bahwa haji, meski membutuhkan uang yang besar, tapi tidak selalu seperti itu. Allah membuka pintu-pintu rahasia, yang bisa dilalui orang-orang benar-benar kuat niat dan azzamnya untuk berhaji.


Seorang senior kemudian menambahkan kesalahan persepsi, tentang orang yang minta didoakan semoga diundang Allah untuk berhaji. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya Allah sudah mengundang setiap mu'min untuk berhaji dan mengunjungi baitullah, memenuhi sunnah bapak para nabi, Ibrahim 'alaihi salam. Nah, undangannya kan udah ada tuh, PRnya tinggal bagaimana setiap orang berusaha untuk memenuhi undangan tersebut.


Ia menceritakan pentingnya untuk menabung sejak dini, entah untuk haji, atau minimal untuk umrah dulu. Juga cerita tentang orang yang mengalokasikan dana, untuk bersedekah, dengan niat agar Allah memberikan rezeki lebih supaya bisa haji. Termasuk cerita nyata, tentang seorang perempuan yang tulus mendengarkan dan berempati pada seseorang, dan lewat itu, ia "dihajikan" oleh yang merasa nyaman bercerita padanya.


Jujur, awalnya aku tersindir, karena pernah nitip doa supaya diundang juga untuk umrah/haji. Malu.. karena ternyata aku gak tahu, kalau "undangannya" udah kuterima. Ibarat udah terima undangan, dan undangannya terbuka lebar, waktunya sepanjang hidup. Nah tinggal giliran kita, mau gak buat rencana untuk memenuhi undangan tersebut?


Masih senior yang sama, yang hendak umrah 2 pekan lagi. Ia memberi contoh step untuk mewujudkan niat jadi langkah. Caranya dengan buat paspor, kan 5 atau 10 tahun ya berlakunya. Nah, dalam jangka waktu itu.. menabung dan bersedekahlah. Semoga cukup, untuk minimal umrah. Umrah pun, ia terangkan, tidak perlu melalui agen yang mahal, bahkan ada yang backpacking. Mendengar penjelasannya, imajinasiku berterbangan. Aku berharap, pengingat ini bukan sekedar menghadirkan angan, tapi benar-benar menjadi niat kuat, azzam, yang berbuah amal.


Semoga Allah memudahkan kita semua untuk memenuhi undangan-Nya. Aamiin.


Wallahua'alam.


***


Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Saturday, August 15, 2020

Hilang dan Kembali

August 15, 2020 0 Comments
Bismillah.

Bagaimana rasanya menemukan kembali sesuatu yang kita kira hilang, dan sudah direlakan kepergiannya? Perasaan pertama, entahlah apa hehe. Susah mendeksripsikannya. Aku membukanya pelan, mengamati sebagian sisinya yang sudah tidak seperti dulu, ada bagian yang 'cacat'. Lalu aku bergumam pelan, ternyata di sini toh. Ternyata di sini.

***

Memori lama hadir. Memori saat aku mencarinya. Pagi itu 10 Oktober 2017. Aku rela berangkat sendiri ke suatu tempat yang sudah 5 tahun lebih tidak kukunjungi. Sendiri, menaiki angkutan pagi, turun, menyebrang, lalu berjalan sekitar 1 km. Aku ingat mengangguk pada satpam yang menjaga bangunan tersebut. Aku menuruni tangga untuk masuk gedung tua itu. Berbeda dengan gedung baru di hadapannya, lantai pertamanya lebih rendah dari jalan aspal yang memisahkah keduanya. Aspalkah? Atau paving block? Ah aku lupa.

Dari lantai satu itu aku mulai mencari, kemudian ke lantai dua, tiga, empat. Kemudian ke menelusuri ulang dan mencari lagi di lantai tiga, lantai dua, lantai satu lagi. Badanku berkeringat, tangan dan sepatuku berdebu, tapi yang kucari tidak ada.

Aku ingat mampir ke kamar mandi di lantai satu untuk mencuci tangan. Pikiran dan hatiku tidak tenang. Otakku terus berpikir, kemana dan dimana sesuatu yang kucari. Apakah hilang? Aku ingat instruksi dari ibu untuk mencarinya. Ucapan ibu yang menggerakkan kakiku untuk berusaha mencari sampai ke tempat tersebut. Aku mengingat dan jujur sedikit takut saat melihat di lantai dua terdapat kardus tempat membuang kertas dan buku bekas. Ruangan bersama di tiap lantai, kini memang kosong dari buku-buku. Terlihat jelas saat itu tidak ada lagi kegiatan dilakukan di sana. Dapur, yang dulu sempat 'hidup' saat aku tinggal di sana. Kita terlihat terbengkalai. Seolah tidak ada yang pernah mengunjunginya. Ya, kalau bisa memasak di kamar, mengapa harus masak di dapur bersama?

Aku ingat keluar dari gedung itu, menutup pelan pintu kayu tua dengan perasaan hampa. Karena yang kucari tidak kutemukan di sana. Karena yang kucari aku kira resmi hilang entah dimana dan kapan. Aku... tidak ingat.

***

Maka saat menemukannya lagi, hatiku mengajakku berbincang. Menurutmu bel, apa hikmah dari hilang dan ditemukannya lagi sesuatu ini? Mengapa Allah ingin kamu pagi itu berusaha mencari, dan menyusuri jalan itu? Seolah sebelum meninggalkan kota itu, Allah ingin kamu berkunjung lagi pada memori lama saat kamu pertama datang ke kota itu. Seolah Allah ingin menunjukkan, seperti ini caranya berusaha, kemudian pergi. Bukan sembunyi, lalu pergi.



Seolah Allah ingin menunjukkan padamu, bahwa langkah awalmu datang bergegas. Tapi saat pulang tanpa membawa apapun di tangan, langkahmu lebih ringan, kau tidak perlu cepat-cepat. Kau bisa berjalan pulang sembari melihat sekitar. Menghirup udara pagi di sana yang suhunya lebih dingin, dan lebih segar pula karena pepohonan dan hehijauan (?) di sekitar. Melihat warna lain yang mencuat di antara kehijauan, putih, oranye, merah, pink, magenta? Bunga. Bunga yang kutangkap dalam foto, saat itu aku upload ke ig, lalu masuk ke folder archive, dan lewat sana aku jadi tahu tanggal pastinya.

Maka saat menemukannya lagi, hatiku mengajakku berbincang. Menurutmu bel, apa hikmah dari hilang dan ditemukannya lagi sesuatu ini? Mengapa Allah ingin kamu menemukannya saat ini, dan bukan di waktu lain. Kenapa 2020? Bukan 2018 atau 2019? Seolah Allah ingin menunjukkan padaku, bahwa aku tidak membutuhkannya. Bahwa ada banyak yang harus aku pelajari dalam hidup karena 'hilangnya' hal tersebut. Pelajaran berbaik sangka padaNya, pelajaran untuk menjahit kembali ikatan yang renggang. Pelajaran tentang hal-hal lain yang aku sendiri tidak tahu apa saja. Maybe including the value of your self-worth, and how it doesn't determined by that kind of thing.

***

Bagaimana rasanya menemukan kembali sesuatu yang kita kira hilang, dan sudah direlakan kepergiannya? Entahlah, sampai detik ini sulit untuk mendeskripsikannya. Aku memang tersenyum, membersihkan debu-debu, kemudian memindahkannya ke lemari kaca. Ada perasaan lega. Tapi rasa senang dan lega-nya tidak terlalu tinggi. Biasa saja? Mungkin. Karena sebelumnya aku sudah merelakannya hilang. Karena dulu aku masih membutuhkannya, dan kini sudah tidak. *meski bisa jadi di masa depan akan butuh. Who knows?

Tapi meski aku tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas. Aku ingin menuliskannya di sini. Aku ingin merekam dalam tulisan, bahwa aku pernah menemukan kembali sesuatu yang sudah aku relakan hilang.

Mungkin seni hidup memang seperti itu. Kadang kita harus belajar merelakan dan mengikhlaskan. Baru kemudian, saat tidak ada lagi keterikatan di hati, saat 'sesuatu' itu letaknya sudah tidak di hati kita, Allah mengembalikannya lagi. Karena lesson learned-nya sudah sampai.

Allahua'lam.

***

PS: Iseng pengen nambahin kalimat-kalimat yang bisa buat baper dan ambigu pembaca. wkwkwk.

"Sembari menuliskan paragraf-paragraf ini, aku bertanya-tanya. Jika saat ini aku melepasmu, merelakanmu hilang untuk selamanya dalam hidupku. Apa mungkin suatu saat nanti, kamu akan kembali kutemukan? Di belahan bumi yang selalu bumi-Nya? Di potongan waktu yang selalu waktu-Nya?"

yang ini aku hidden aja hehe. semoga tidak ada yang membaca kecuali aku.

Thursday, July 9, 2020

The Hands of A Beggar

July 09, 2020 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Pernahkah kau menyentuh tangan seorang pengemis? Biasanya kita hanya memberi uang receh, tanpa benar-benar menyentuh tangan pengemis tersebut. Meletakkan uang di plastik kresek, atau gelas plastik yang mereka bawa.

***


Tangan kita adalah salah satu indra yang menyimpan memori. Indra yang aktif untuk membantu kita mengenali benda tanpa perlu melihat. Kita bisa mengenal bentuk, tekstur, suhu, kepadatan, dan banyak informasi lain dari indra peraba tersebut.

Aku tidak akan bicara dari segi sains, aku hanya ingin berita tentang tangan seorang pengemis. Aku menyentuhnya secara tidak sengaja, hanya beberapa detik, tapi yang sekejap itu masih melekat di memori, menggerakkan hati dan jemariku untuk menuliskannya.

***

Ada dua pengemis buta yang beberapa kali lewat di depan kios kecil kami. Sepertinya suami istri. Berbeda dengan pengemis lain yang bajunya kusam dan tampilannya kotor. Mereka berdua termasuk rapi dan terlihat bersih. Sang suami biasanya jalan di depan sang istri. Sang istri mengikuti dengan membawa kantong kresek hitam. Oh ya, sang istri mengenakan kerudung.

Jalanan antar kios baju di pasar termasuk sempit. Mungkin sekitar setengah meter, atau lebih. Normalnya satu orang saja yang bisa berjalan, tidak bisa berdua bersebelahan. Atau bisa sih, tapi sulit. Apalagi terkadang ada orang lain yang hendak lewat dari arah yang berbeda. Belum lagi, dagangan baju, rok, celana yang memenuhi sisi-sisi jalan.

Setiap mereka berjalan, aku tidak bisa tidak memperhatikan mereka. Sang bapak yang di depan dengan tongkatnya. Sang ibu, berjalan tanpa tongkat. Tangannya meraba awang-awang, memastikan ia tidak menabrak dagangan atau tiang, tembok.

Hari itu, aku melihat mereka hendak melintas lagi. Malu sebenarnya mengakuinya, tapi entah sejak kapan aku termasuk yang apatis terhadap pengemis. Mungkin aku termasuk yang sering menolak memberi jika ada pengemis. Berbeda dengan ibu dan ayahku. Tapi hari itu aku memutuskan untuk memberi sekeping uang. Kumasukkan ke tas kresek hitam yang dipegang sang istri. Kepingan itu masuk tanpa suara. Aku hendak fokus lagi dengan hal lain, tapi tanganku tanpa sengaja menyentuh tangannya.

Tangan ibu pengemis buta itu dingin. Lebih dingin dari suhu jemariku. Sentuhan yang sebentar itu membuatnya berhenti, ia menyadari keberadaanku. Aku saat itu hanya berkata pelan, "sudah bu". Memberi isyarat agar ia bisa lanjut berjalan. Ku lihat suami ibu itu sudah berjalan lumayan jauh. Aku takut mereka terpisah. Keduanya tidak bisa melihat.

***

Dua pengemis itu sudah pergi, aku masih terduduk memikirkan tangannya. Hari itu baru menyadari bahwa ada cacat di tangannya. Hari itu aku menyadari bahwa tangannya bersih dan dingin. Hari itu membuatku sadar, bahwa aku perlu mengubah persepsiku tentang pengemis, bahwa aku tidak boleh apatis pada mereka.

Apa ceritanya sudah selesai? Aku juga pikir sudah selesai. Tapi belum ternyata. Qadarullah, siang itu aku bertemu lagi ibu pengemis itu. Duduk di lantai masjid tempat aku biasa shalat dzuhur. Mungkin sedang menunggu suaminya yang sedang shalat di area shalat laki-laki. Aku melihat tangannya meraba-raba lantai yang lebih dingin dari suhu tangannya. Merasakan jeda antar keramik, juga penanda dari lakban hitam yang beberapa waktu lalu dipasang sejak masuk fase new normal.

***

Sampai kemarin aku belum melihat kedua pengemis itu lagi, hanya reka ulang kejadian hari itu masih lekat di kepala.

Lewat kejadian itu, aku ingin bertanya pada diri... would you sent your warmth to the coldness in the hands of a beggar?

Sungguh, bukan mereka yang membutuhkan kita. Justru kita yang membutuhkan mereka.

"When you help someone, you are not honouring them; they are honouring you. You've helped them only in the dunya, which is nothing to Allah, but they have help you in akhirah, which is everything." - Nouman Ali Khan

Allahua'lam.

Thursday, June 25, 2020

Mengikuti Give Away

June 25, 2020 0 Comments
Bismillah.
Ada yang suka ikutan give away?
***

Aku sebenernya ga terlalu tertarik dengan event give away. Beberapa kali dimention teman untuk event give away. Paham salah satu tujuan give away untuk promosi dan marketing. Tahu juga, kalau sistemnya cuma-cuma, "ga ngelakuin banyak hal" tapi bisa punya kesempatan untuk dapet hadiah. Tapi ya gitu, sering cuek dan ragu untuk ikutan.

Berbeda sama kakakku. FYI, I usually called her, Mba Ita. Mba Ita termasuk orang yang rajin banget ikutan give away, ngerjain kuis, dll. Ga cuma yang di ig, tapi juga di grup wa supermom, atau apalah itu nama grupnya. hehe. Yang namanya give away itu kan sebenernya kemungkinan dapetnya kecil ya? Jadi logikanya bakal lebih banyak gagal dapet. Tapi entah dari berapa kali yang gagal dapet, Mba Ita menurutku termasuk yang masih semangat dan hasilnya berbuah juga. Kok aku bisa tahu? Soalnya, kakakku dan keluarganya sekarang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dan biasanya hadiah-hadiah give away dikirim ke Purwokerto. Mulai dari buku, gamis, sampai makanan. Masih inget waktu ada 2 paket sambel hasil give away yang diikuti kakakku. Aku yang fotoin kalau paketannya udah sampai, juga ngasih testimoni rasa sambelnya.

***

Judulnya mengikuti give away, jadi aku mau cerita dua kali aku ikut give away dan gagal hehe. Ditulis, selain buat menambah kuantitas tulisan bulan Juni 2020 di blog ini, juga karena lewat dua pengalaman ini ada beberapa hal yang aku sadari. Nanti aku tulis di akhir in syaa Allah.

Pertama, Give Away Heal Yourself



Ramadhan 2019, Teh Novie nulis serial heal yourself. Trus di akhir, ada event give away. Oh iya, ini sebelum buku Heal Yourself-nya Teh Novie terbit. Jadi hadiahnya bukan buku Heal Yourself, tapi paket buku Menata Kala sama buku Forgiveness Therapy. Syaratnya juga gampang, cuma ngisi form, semacam feedback dari serial heal yourself dan melengkapi cerita. ini idenya keren. Jadi Teh Novie kasih cerita gitu, kita disuruh melengkapi bagian depan, tengah atau belakang. Di form diberitahu, kalau cerita yang terpilih, mungkin dipakai untuk buku Heal Yourself. Aku waktu itu ngisinya pakai cerita tentang tirai gradasi biru-putih, habisnya settingan mirip sih hehe. Pas pengumuman, dan baca cerita yang akhirnya dipakai, aku nyadar banget, oh.. pantesan aku ga kepilih hehehe.

Seseorang sedang duduk di balik jendela. Seluruh ruang ditutupnya rapat-rapat sebab ia tidak ingin satu sosok pun mengetahui keberadaannya. Tangisnya menggema dalam diam, menggaung tanpa kata-kata. Pikirnya berkelana pada berbagai kilasan masa ketika ia dilupakan, ditinggalkan, dilukai, juga dikhianati hingga ia merasa kehilangan dirinya sendiri. 
Kamu tahu, nampaknya ia sedang benar-benar membutuhkan sosok teman yang berbesar hati mendengarkan, menyapa perasaan, menemani berjuang, dan membantunya mengurai benang-benang kusut dari dalam kepalanya yang berjuntaian. “Siapakah dia? 
Mendengarnya sekilas, mengapa aku begitu ingin memeluk dan duduk disampingnya seraya mendengar cerita-ceritanya?” Mungkin itu tanyamu dalam hati. Bukankah begitu?
Sekarang, berjalanlah ke arah cermin lalu pandangilah sesosok wajah yang ada disana. 
Pandanglah ia lekat-lekat, kamu akan mendapati seorang manusia yang, tanpa ia sadari, hati dan jiwanya istimewa sebab dirinya begitu berharga. Hanya saja, kabut-kabut luka membuat pandangannya kabur terhadap semua keistimewaan yang dimilikinya. Alih-alih merasa istimewa, ia sedang terkurung dan terkungkung oleh lukanya, beberapa bahkan tak ia mengerti sebabnya. 
Siapakah dia? Sayang, kurasa kita sudah sama-sama tahu jawabannya. Maukah kamu menemaninya berjuang? Maukah kamu mendukungnya berdamai? Maukah kamu membuatnya percaya lagi bahwa Rabbnya sangat mencintainya?
- Semacam prolog dari buku Heal Yourself-nya Teh Novie Octaviane Mufti 

Kedua, Give Away @premarriagetalk

Yang ini belum lama sih. Hadiah notebook gitu. And I loved notebook. Apalagi akhir-akhir ini ngerasa bersyukur dulu pernah beli notebook dari gamais, pesen dua, tapi krn katanya salah produksi akhirnya pesenan yang satu lagi dibalikin uangnya. Emang jodohnya cuma sama yang satu ini.


Oh ya, yang aku salah di give away ini. Syaratnya. Jadikan disuruh share salah satu post dari @premarriagetalk, trus ditambahin insight plus feedback tentang akun premarriagetalk. Tapi.. instead of share, trus nambahin teks manual di story ig, aku malahan buat desain tersendiri. Ketahuan banget belum lama jadi anak ig hehe. Nanti aku buat postingan tersendiri ya, post mana yang kupilih dan tambahan tulisanku/insightnya.

***

Pelajaran dari Giveaway

Yang pertama, kalau ternyata give away bisa jadi cara marketing yang bagus. Ini sebenernya pelajaran dari give away lain sih. Give away yang booming dikalangan ibu-ibu. Itu loh yang hadiahnya uang cash satu juta. Hehe. Banyak banget soalnya yang ikutan give away itu di sekitarku, kan aku jadi penasaran, itu akun apa sih? produk apa sih yang dijual? Jadi kepo ig-nya, kenal brand juga produk yang dijualnya. Nah, berhasilkan marketingnya? Bukan cuma nambah jumlah follower. Yang gak follow/ikutan give away pun ikutan penasaran.

Pelajaran yang pertama ini langsung aku coba praktekin di suatu tempat. Kecil-kecilan sih nyoba prakteknya. Tapi semoga berbuah hasil, kan untuk yang ini jualannya bukan sama manusia. ^^ifyouknowwhatimean^^

Pelajaran yang kedua, ternyata kalau beneran pengen hadiahnya, syarat-syarat give away jadi hal yang kecil banget. Aku jujur aja segan untuk giveaway karena aku di ig amleng-amleng aja. Maksudnya kaya gak aktif. Followernya dan followingnya juga cuma dikit. Masa tiba-tiba mention temen di event giveaway sih? Tapi.. pas healyourself, aku beneran tertarik pengen dapet paket buku gratisan yang ditawarkan. Ditambahlagi konten healyourself yang positif dan worth it buat di sebar kebanyak orang.

Yang kedua juga gitu, meski aku ga rajin baca tulisan-tulisan dari akun premarriagetalk ga tertarik beli bukunya, juga ga tertarik ikutan kelas-kelasnya, tapi karena notebook. Rasanya ringan untuk memilih salah satu post. Aku jadi ngelihat sekilas feed di marriagetalk, nemu yang unik dan bisa dikasih insight tambahan. Pokoknya kalau kita udah kuat strong why-nya, batu-batu penghalang di jalan jadi mudah hehe. Dan memang, mayoritas giveaway syaratnya mudah hehe. Ga mungkin dipersulit karena yang ngadain give away juga inginnya banyak yang ikutan.

Yang ketiga, give away itu ngajarin cara mengontrol ekspektasi. Gimana caranya tetep excited dan berharap Tapi juga ga bergantung ke penyelenggara give away. Secara, kalau rezeki kan ga kemana, jalannya bisa lewat give away, bisa lewat hal lain. Kalau aku alhamdulillah kaya udah prediksi dari awal, ga bakal kepilih jadi pemenang, jadi ga terlalu kecewa. Tapi buat yang berharap banget, mungkin bisa bikin kapok ikutan giveaway. Ini pelajaran harus dipraktekin di semua hal, gimana kita ga berharap banyak ke siapapun dan apapun kecuali ke Allah. Termasuk ke diri sendiri. Untuk yang terakhir ini, ngingetin aku akan sebuah doa, doa supaya Allah ga menyerahkan urusan kita ke diri sendiri. Karena sungguh kita ga mampu, kita sejatinya setiap detik membutuhkan bantuanNya.

Yang keempat, belajar terbiasa gagal. Karena probabilitasnya kecil, banyak ikutan give away bakal ngajarin kita terbiasa gagal. Bahwa gagal dapat giveaway itu biasa. Dari ratusan bahkan ribuan peserta give away, yang gagal bukan cuma kita, tapi hampir semua. Dan... kegagalan itu ga sia-sia. Karena setiap pengalaman biasanya berhias hikmah dan pelajaran untuk dipetik. Kaya tulisan ini nih, lahir lewat pengalaman dua kali gagal dapet give away hehe.

***

Udah panjang tulisannya, udahan ya..~

Oh ya, jangan kaget kalau di postingan selanjutnya gaya bahasaku bakal balik lagi ke supersantai, beda sama gaya bahasa sebelum-sebelumnya. Karena memang ini kejar tayang hehe. Cuma tinggal beberapa hari menuju bulan Juli. Harus nulis cepat, jadi pakai bahasa ternyaman. No editing tentu. Hehe. Mohon maaf atas typo, dll. Semoga kesalahan ejaan, atau campuran bahasa inggris dan indonesia dalam satu kalimat tidak mengurangi pesan utama dari tulisan-tulisan di sini.

Selamat hari kamis. Bye 5!


Wednesday, December 25, 2019

Pertanyaan Tidak Langsung

December 25, 2019 0 Comments
Bismillah.



Pekan kemarin temanya tentang pertanyaan tidak langsung. Sehari setelah aku publish tulisan 'Kenapa Gak Tanya Langsung', seorang adik tingkat mengirim chat padaku,

"Kemaren Mbak A nanyain th bella lagi"

"Masih sering kontakan sama Bella?"

"Bella zzz zzzzzzz ya?"

"Kenapa"

"Gitu"

***

Pertanyaan tidak langsung, dua kali, beda kasus, beda penanya, tapi mungkin karena ini yang kedua, efeknya jadi lebih sensi.

Aku bertanya-tanya, mengapa orang yang 'tidak mengenalku' sampai bertanya seperti itu? Sekedar kuriositas kah?

Aku bertanya-tanya, jika jawaban pertanyaan 'kenapa' itu ia dapatkan, apa yang ia dapatkan? Ia jadi lebih mengerti? Jadi lebih kenal diriku?

Berbagai lintasan pikiran yang lalu lalang kutumpahkan di blog "sebelah". Baru kemudian aku bisa dengan tenang membalas pesan dari adik tingkat tersebut.

***

"Trus kamu jawab apa?"
"Pas ketemu kemarin? Atau via chat?"
"Kapan-kapan kayanya harus ketemu mba A deh hehe"


Tiga tanggapanku itu, cuma dua yang direspon. Yang kedua dan ketiga. Pertanyaanku tentang jawabannya tidak direspon. Dari situ aku tahu, aku harus belajar untuk berbaik sangka padanya. Ia mungkin menjawab sebisanya, dengan terbata, atau menjawab tidak tahu. Ia tidak mungkin menjawab asal-asalan, apalagi manambah-nambah atau mengurang-ngurangi. Buktinya, ia menyampaikan pertanyaan tidak langsung itu padaku. Seolah ia ingin memberitahuku, bahwa ia tadi kesulitan saat pertanyaan tentangku ditanyakan padanya.

***

Pekan kemarin, temanya pertanyaan tidak langsung. Dan aku ingin mencatatnya. Karena setiap kejadian, setiap pertanyaan, setiap hal yang mengenai kita, sebenarnya membawa banyak hikmah dan pelajaran. Tinggal pintar-pintar kita memaknainya, tinggal bagaimana kita jeli menganalisisnya.

Pekan kemarin.. aku belajar, bahwa manusia itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bahkan pada orang yang belum ia kenal. Atau justru seringkali pada orang yang belum ia kenal. Mungkin awalnya karena kita sering mendengar sebuah nama, kemudian kita jadi bertanya, yang mana orangnya? Ada fotonya? Kemudian saat sebuah fakta tentangnya hadir, secara otomatis, refleks, meski kita tidak benar-benar kenal, kita tetap saja penasaran dan ingin bertanya. Mengapa orang itu Z, kenapa ia memilih Y, dll dst. Dan kuriositas manusia itu, wajar. Dan kuriositas tersebut seharusnya tidak melukaimu, atau membuatmu ke-GR-an. Karena memang sekedar penasaran.

Pekan kemarin... aku belajar, bahwa bisa jadi pertanyaan tidak langsung itu menjadi pintu pembuka jalan silaturahim. Jika Allah mengizinkan untuk bertemu, mari bertukar tanya dan jawab secara langsung. Karena aku juga ingin bertanya, mengapa mba A ingin tahu tentang itu. Saat itu, jika Allah mengizinkan, mungkin aku bisa bercerita dengan tenang tentang Z, dan bagaimana hal tersebut mengubah hidupku.

Pekan ini... tema apa yang akan aku pelajari?

***

Terakhir, apa "tema" pekan-mu saat ini? Hal apa yang berulang kau temui, dan seolah mengetuk otak dan hatimu untuk belajar darinya?

Allahua'lam.

Saturday, October 5, 2019

Menengok Diary Jaman SMA

October 05, 2019 0 Comments
Bismillah.

#nostalgia #hikmah


Beberapa hari ini saya banyak memandang ke belakang, menengok file-file lama yang tersimpan, baik foto maupun dokumen. Sampai terhenti di sebuah dokumen ber-password yang merupakan diary digital jaman SMA dulu. Penasaran aku buka, sempat kesulitan cari password, setelah belasan kali gagal, akhirnya aku menemukan kata sandinya.

Oh ya, beda dengan password sosial media, blog, yang ada sistem yang membantu kalau kita lupa, dokumen microsoft word berpassword lebih kejam. Kalau ga ingat password, otomatis kita kehilangan akses membuka dokumen tersebut. Proses inget-inget password, coba sampai puluhan kali dengan kombinasi karakter angka, case sensitive membuatku sempat kepikiran, apa perlu pakai software input password dengan sekian banyak probabilitas hehe. Lega sekali aku ingat passwordnya, setelah memastikan bahwa aku tidak pernah mengutak atik tentang huruf kapital. Hanya kombinasi huruf dan angka saja. Hikmah dari cari password di memori otak, adalah segera mencatatnya di diary digital terbaru hehe.

***

Membaca sekian lembar isinya bukan hanya bentuk nostalgia, aku bisa mencerna setiap informasi dengan perspektif baru. Aku tidak hanya melihat diriku di masa lalu, tapi juga teman-teman di masa lalu. Seperti seorang kawan yang menghabiskan harinya sampai sore/magrib di sekolah, atau mengapa kawan yang lain memilih jalan curang 'demi' nilai yang lebih baik, atau tentang siswa kelas sebelah yang hampir pindah sekolah karena tidak masuk jurusan IPA. Kalau dulu aku hanya melihat personalnya, kini saat membaca kembali curhatanku, aku bisa melihat dari sudut pandang berbeda.

Orangtua yang sibuk bekerja di luar kota, anak harus bersekolah dan tinggal di rumah nenek/saudaranya. Pasti di rumah ia bosan, ada rasa kesepian, yang bisa ia 'hancurkan' dengan lebih lama berada di sekolah. Bertemu kawan-kawan yang 'senasib', yang juga memiliki orangtua yang super sibuk.

Ketika ujian tengah/akhir semester, setting tempat ujian diubah. Satu kelas dibagi menjadi dua ruangan, bertemu dan bersebelahan dengan kakak atau adik kelas. Hp mungkin dikumpulkan di depan kelas sebelum ujian dimulai. Namun peluang untuk curang selalu ada. Ada yang memilih jalan pintas ketimbang harus bersusah payah belajar dan berlatih mengerjakan soal. Ia begitu kreatif. Sehingga ide itu muncul di kepalanya. Sistemnya setiap siswa yang selesai mengerjakan soal bisa keluar kelas terlebih dahulu. Ia hanya perlu menutup lembar jawabnya. Setelah ia pergi, dengan licik ia menyuruh adik kelas untuk membalik lembar jawab teman yang duduk di depannya, yang sudah pergi karena selesai mengerjakan soal. Kemudian dengan santai ia menyalin jawabannya. Ia merasa beruntung karena duduk di belakang siswa cerdas. Baginya, toh ia tidak merugikan temannya. Baginya, jalan pintas itu lebih menyenangkan.

Orangtua yang berprofesi seorang dokter, menginginkan anaknya melanjutkan prestasinya. Tentu mereka kaget dan marah, saat tahu anaknya, yang pintar ternyata masuk penjurusan IPS. Mereka tidak terima, karena mereka tahu anaknya mampu untuk masuk jurusan IPA. Ancaman untuk pindah sekolah siap mereka layangkan pada pihak sekolah. Tapi... bagaimana kalau itu adalah keinginan anaknya yang tersembunyi? Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana mereka akhirnya berkomunikasi dan memutuskan untuk menerima hasil penjurusan tersebut. Mungkin anaknya berhasil meyakinkan orangtuanya, atau mungkin orangtuanya punya rencana lain, karena dengar kabar anak rekannya yang SMA jurusan IPS namun tetap bisa masuk kedokteran atau jurusan kuliah IPA dengan beberapa cara dan tentunya bukan usaha yang mudah.

***

Menengok diary jaman SMA membuatku melihat setiap scene di dalamnya lewat sudut pandang lain. Semakin aku tua, semakin banyak informasi, ilmu dan pengalaman yang aku punya. Hal itu mempengaruhi cara berpikirku.

Kalau dulu deretan kata di sana hanya sekedar pelampiasan emosi, dan tempat aku menyimpan memori dan informasi yang berkelebat di otak. Kini, deretan kata itu bukan sekedar apa yang ada di atas layar. Aku bisa menemukan kesimpulan baru, insight baru. Kalau dulu aku hanya mengenali teman-teman dan menuliskan mereka beserta kegiatan mereka, apa yang mereka katakan padaku, sikap mereka. Kini aku bisa melihat dan mengenali sisi serta karakter mereka. Betapa si A terkesan cuek tapi ternyata observant, atau si Y yang dalam diamnya begitu mudah jatuh hati pada orang lain.

Terakhir, tentu saja, aku banyak melihat tumbuh kembang diriku, *emangnya tanaman hehe. Bagaimana aku banyak berubah, tapi juga masih sama.

Oh ya, ada yang hampir ketinggalan. Yang paling penting padahal. Menengok diary masa SMA juga mengingatkanku, bahwa Allah selalu, dan selalu menghujaniku dengan kasih sayang dan nikmat yang tidak pernah bisa dihitung.

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.

Wednesday, September 18, 2019

Long Trip

September 18, 2019 0 Comments
Bismillah.


Jika harus berpergian, jalur mana yang kau tempuh? Yang tidak memutar, lancar dan cepat sampai

Jika harus berpergian, transportasi apa yang kau pilih? Yang nyaman dan cepat?

Jika berpergian, dan kamu tidak bisa memilih yang cepat? Yang ada hanya jalan yang memutar, dan transportasi yang lambat, apa yang bisa kau dapatkan?

Itu yang kutanyakan pada diriku, saat menemui kondisi harus merasakan 12 jam perjalanan, padahal harusnya bisa hanya 5-6 jam. Kalau boleh memilih, lebih baik di rumah saja hehe.

***

Traveling itu menyenangkan, pergi ke suatu tempat, bertemu orang yang kita kenal di sana, mengunjungi beberapa tempat. Tapi sebelum ke tempat tujuan, ada proses perjalanan. Kalau di bahasa inggris, istilahnya trip.

The word “trip” is a noun that means “the act of going to another place and returning.” 
- dari web ini 
It's a long trip. Ada lelah yang menanti, beda dengan di rumah, kita bisa duduk, berdiri, berjalan dan rebahan sesuka hati. Ada banyak keterbatasan dan hal-hal yang bisa kita keluhkan. Tapi daripada fokus di situ, bukankah lebih baik kita lihat sisi baiknya?

Maka kutanyakan pada diri, apa yang bisa kita dapatkan dari perjalanan panjang ini?

***

A long trip, means long conversation (1)

Saat itu ini pertama yang kudapatkan. Langsung saat aku bertanya pada diri, saat itu juga Ayah ngajak ngobrol, panjang.

Itu mungkin ya, salah satunya, mengapa perjalanan bisa menyebabkan kita mengenal orang lain lebih banyak. Karena mau tidak mau, kita jadi banyak berbicara dengannya, bertukar pikiran dan memori.

Kalau misal kamu berpergian sendirian, kamu jadi punya kesempatan melakukan percakapan panjang dengan orang asing. Kapan lagi coba? Kalau introvert, mungkin ga mudah memulainya. Tapi kalau kamu sebelahan sama ibu-ibu, yang naturalnya suka cerita, kamu bisa jadi pendengar dan sesekali berbicara.

Atau kalaupun bukan percakapan panjang, mungkin kau bisa melakukan ini...  mengamati orang-orang sekitar. (2)

Ini hal kedua yang aku dapatkan dari long trip. Kadang observasinya ga harus dengan menatap lekat, atau melototin. Sesekali sapu pandangan ke sekeliling, atau menajamkan telinga, menyimak percakapan kursi di belakangmu. Orang yang sibuk telepon dengan earphone, anak kecil yang main game di hp, bayi yang menangis karena mengantuk, nenek yang merapatkan jaketnya karena dingin, dll.

Biasanya, kita banyak memikirkan diri sendiri, fokus pada masalah sendiri. Mumpung perjalanan panjang, mari banyak melihat orang lain beserta keragamannya. Perbedaan usia, wajah, aksen suara, cara mereka menghabiskan waktu, dll.

Selanjutnya, kalau kamu naik transportasi yang nyaman untuk membaca.. a long trip is a perfect time for long reading session. (3)

Biasanya kalau sibuk dan ga dalam perjalanan, banyak hal yang bisa kita lakukan selain membaca, Setiap usaha untuk fokus baca, eh keinget kerjaan lain, atau notifikasi sosmed lebih menggoda untuk dibaca satu per satu.

Ga perlu bawa buku yang super tebal. Cari yang ukuran saku, baca, dan baca lagi, hingga ga sadar sudah sampai tujuan. Atau bahkan, bacaan udah habis sebelum sampai tujuan hehe.

Terakhir, perjalanan panjang mengundang inspirasi baru dan waktu untuk merenung (4 dan 5). Jika rutinitas membuat otak kita seperti terperangkap dalam sebuah kotak, perjalanan panjang adalah cara untuk keluar sejenak, dan merasakan semilir angin, menyegarkan pikiran. Ide dan inspirasi baru hadir juga lewat setiap perjalanan yang kita tempuh.

Selain berpikir ke luar, perjalanan juga waktu yang pas untuk berpikir ke dalam. Merenung, menengok ke dalam diri, berkaca, bertanya dan menemukan jawaban sendiri.

***

Minimal ada lima yang bisa kita dapatkan dari long trip. Tapi... kelimanya bisa jadi gak kita dapetin, kalau kita memilih fokus pada layar kotak hp, dan menghabiskan perjalanan dengan tidur full.

Gapapa sih, liat hp, gapapa juga tidur. Tapi sayang kan kalau cuma dapet itu?

***

Awal september kemarin, perjalanan 12 jam itu sudah lewat. Sengaja kurekam hikmahnya di sini, berharap nanti, kalau diajakin perjalanan panjang, ga nolak. Mungkin karena sudah terbiasa jadi anak rumahan ya, kadang males diajak pergi jauh hehe.

Anyway, di rumah, atau melakukan perjalanan panjang, semua akan baik-baik saja, akan menjadi bermakna, kalau hati kita selalu terpaut padaNya. Bahwa hal-hal rutinitas, tetap bisa diambil hikmahnya. Apalagi hal-hal diluar rutinitas, long trip, ada banyak hikmah yang bisa dipetik.

Last but not least. our life is also a journey right?

Allahua'lam.

Sunday, August 25, 2019

Always Better

August 25, 2019 0 Comments
Bismillah.


Bedanya di rumah sama di perantauan, surat izin berkegiatannya lebih susah keluar pas di rumah. Kalau di rantau dulu, sifatnya lebih ke laporan. "Mah, aku malem ini mabit di sini, ikut acara ini, keluar kota kondagan ikut rombongan, dll" Tapi kalau di rumah beneran minta izin, dan aku masih ga pinter ngerayu. Sering salah strategi, salah timing, dan ujung-ujungnya ditolak. Salah satunya rencana sabtu ini.

Terlepas dari soal meminta izin pada orangtua atau suami *bagi yang sudah menikah, sebenarnya hidup itu memang mayoritas tidak berjalan sesuai rencana. Banyak kejutan, seringnya yang terjadi justru di luar rencana. Tapi meski sudah tahu begitu, tetap saja, kita butuh jarak dan waktu untuk menerimanya dengan lapang dada. Karena memang dalam hidup rencana yang batal bukan sekedar satu dua agenda harian. Tapi bisa jadi justru hal yang sudah diimpikan lama, diperjuangkan penuh peluh dan tangis. Saat hasilnya tidak sesuai rencana kita sejenak beku, atau justru mendidih.

Jika bukan karena iman, dan keyakinan bahwa rencana-Nya selalu lebih baik dari rencana kita. Jika bukan karena janji-Nya yang selalu ditepati. Pasti kita akan hidup dirundung kesedihan dan kemarahan. Karena memang seringkali yang kita rencanakan tidak terlaksana. Bahkan saat kita sudah merancang rencana A, B, C, D, yang terjadi justru P, atau R.

Maka saat rencana batal, dan kita diminta untuk mengambil hikmah. Mari sejenak katakan pada diri, "in syaa Allah lebih baik, lebih baik, lebih baik." Waktu pertama mengucapkannya mungkin sulit, tapi lama-lama kalimat tersebut meresap ke hati, menebalkan keyakinan dan iman.

So next time you met another change of plan, you're gonna be sure, that His plans are always better. Not only for your dunya, but also for your akhirah.

Allahua'lam.

Saturday, August 24, 2019

Dua Kali

August 24, 2019 0 Comments
Bismillah.

Dua kali, kritikan yang sama dari salah satu orang terdekat membuatku otak dan perasaanku porak poranda. Seolah selama ini aku sudah dengan halus diingatkan, tapi aku kurang peka. Hingga akhirnya cermin itu di datangkan langsung tepat di depan wajahku. Duk. Wajahku beradu dengan cermin tersebut, kemudian aku mengaduh pelan. Di hadapanku, refleksiku juga melakukan gerakan yang sama, tanpa suara. Aku mengusap hidungku dengan tangan kanan, sosok dalam cermin juga mengusap hidungnya dengan tangan kirinya.

***


Prolognya berlebihan kah? Hehe. Aku tidak benar-benar menabrak cermin. Itu hanya deskripsi perasaanku saja, karena kritik itu hadir lagi, dari orang yang sama. Seseorang yang selalu punya tempat istimewa di hati. Kalimat yang ia sampaikan mungkin tidak sama persis tapi pesannya sama. Dan aku jadi merasa bersalah.

Disebutkan olehnya, perilaku dan tingkahku, tidak mencerminkan ilmu yang aku pelajari. Seolah sia-sia buku yang kubaca, karena aku tidak mengamalkannya. Untuk apa? Kalau hanya menjadi tumpukan, dan tidak diejawentahkan?

And it hurts. Tiba-tiba aku merasa wajahku tertutup berlapis-lapis topeng. Barangkali, selama ini begini rupaku. Orang lain mungkin tidak sadar, tapi ia, salah satu orang terdekat dalam hidupku merasakannya. Ia bertanya-tanya, kemana perginya ilmu yang kubaca dan kudengarkan?

***

Aku bungkam, menatap refleksi diri di cermin yang disajikan Allah saat itu. Cermin yang hadir bukan untuk membuatku merasa putus asa. Tapi agar aku dapat melihat dengan baik dimana aku berpijak.

Lisanku memang diam, tapi perasaan dan otakku tidak. Yang satu berusaha untuk tenang agar tidak terbawa emosi. Yang lainnya berusaha mencari cara, agar kritik tersebut menjadi pembangun dan bukan perusak diri.

Sampai kalimat-kalimat yang sudah kuhafal hadir di sisiku. Kemudian berbisik lembut,

"Sayang, kau sudah membacaku belasan kali setiap hari. Bukankah ini saatnya untuk meresapi maknaku, dan bukan sekedar merapalkannya bak mantra?"

***

Ihdinashiratal mustaqim. Tunjukkan, bimbing kami ke shirat al mustaqim. Satu-satunya jalan keselamatan dunia dan akhirat.

Shiratalladzina an'amta 'alaihim. Jalan orang-orang yang pernah Engkau beri nikmat. Rasul-Mu, Nabi-nabi-Mu serta orang-orang shalih terdahulu.

Ghairil maghdubi 'alaihim. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai. Orang-orang yang mengetahui kebenaran namun justru berbalik arah. Orang-orang yang cerdas dan berilmu, namun tidak diamalkan.

Wa ladhollin. Dan bukan jalan orang-orang yang tersesat. Orang-orang yang melangkah tanpa tahu arah. Orang-orang yang beramal tanpa ilmu.

Ya, kalimat-kalimat itu ada di Al Fathihah. Banyak yang hafal di luar kepala, sehingga lafalnya bisa meluncur begitu cepat di lisan kita, tanpa benar-benar masuk ke hati.

***

Dua kali. Dan semoga tidak perlu diulangi lagi kritik itu. Biar aku saja... Yang berusaha mengingatnya setiap kali aku berdiri dan membaca kalimat-kalimat yang diajarkan Arrahman pada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam. Biarkanku mengingatkan diri, bahwa saat meminta dibimbing di jalan yang lurus, ada kemungkinan kita berbelok ke jalur yang salah.

Semoga Allah memudahkanku mengeja makna kalimat-kalimat tersebut. Semoga Allah kokohkan langkahku agar bisa menjadi lebih baik hari per hari.

***

Terakhir, untuk seseorang yang lewat lisannya aku bisa bercermin, semoga Allah merahmati dan memberkahi hidupmu. Tetaplah seperti itu, aku butuh orang-orang dekat yang melihat sisi burukku, dan berani untuk menegurku. Karena banyak yang mengkritik untuk menjatuhkan, tapi denganmu, aku tahu, kau melakukannya karena menyayangiku.

Allahua'lam bishowab.

***

Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.

Sunday, August 4, 2019

Dua Ukhti Penghafal Quran

August 04, 2019 0 Comments
Bismillah.

#hikmah

Aku pernah berkenalan dengan dua akhawat shalihaat, yang keduanya sama-sama rampung menghafalkan quran. Yang satu, sudah kenal lama. Satu lagi belum lama kenal. Tapi ada satu hal yang berkesan dari interaksiku dengan keduanya. Mindset positif, optimis dan kalimat yang baik. 

***
"Masih tiga hari"
Begitu jawabannya, saat aku mengadukan bahwa Ramadhan tinggal tiga hari dan target banyak yang belum tercapai. Kalimat sederhana itu menunjukkan mindset posutif yang dimilikinya. Betapa ia tetap optimis dan berprasangka baik, bahwa tiga hari bukan waktu sisa. Masih tiga hari, untuk memaksimalkan ikhtiar kita memenuhi target Ramadhan. Masih tiga hari, ya kita masih punya tiga hari untuk memperbanyak amal shalih dan memohon ampunanNya. Masih tiga hari.

***
"Alhamdulilah nambah tujuh ayat, semoga pekan depan nambah"
Sama. Mindset positif yang melahirkan sikap optimis. Bahwa yang kita capai mungkin tidak sesuai target. Tapi hasil itu.. Syukuri. Semoga pekan depan karena kita bersyukur, Allah tambahkan nikmatnya. Karena kita tahu, tujuh ayat itu bukan hasil usaha kita, tapi kemudahan yang Allah berikan.

***
"Muslim seharusnya tidak mengenal stress"
Ia membagikan nasihat dari gurunya. Saat suatu siang kami berpapasan dan wajahku yang ditekuk membuatmya bertanya. Saat itu aku bertemu sebuah kerikil kecil, yang membuatku terkepung pikiran buruk. Kemudian kalimat darinya membuatku kembali bersemangat. Kalimat itu adalah pengingat bahwa seorang muslim seharusnya tidak stess, kau tahu mengapa? Karena iman di hatinya. Karena keyakinan yang seharusnya tertanam kokoh. Bahwa setiap kesulitan ada kemudahan-kemudahan yang menyertainya. Bahwa setiap beban, Allah berikan kita kekuatan untuk memikulnya. Bahwa Allah selalu menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya, bahwa rencana-Nya adalah yang terbaik untuk kita. Jika iman sudah bersemi di hati, maka kita akan bisa menjalani hidup tanpa stress atau tekanan. Ya, hidup memang pahit. Memang penuh kesukaran. Tapi lepas dari itu, kita punya Allah tempat bersandar dan meminta pertolongan.

***
"Lancar in syaa Allah"
Saat aku ragu dan mengatakan tidak tahu apakah bisa lancar atau tidak. Ia segera meyakinkanku, sekaligus berprasangka baik padaku. Lancar in syaa Allah. Ia mendoakanku lewat kalimat baik yang diucapkannya. 

***

Dari dua ukhti shalihaat tersebut aku menyadari bahwa aku perlu banyak belajar untuk positif. Mindset positif mereka, optimisme, dan kalimat baik yang mereka ucapkan memberi kesan indah di hati. Sebuah pengingat untukku. Agar mengucapkan kalimat baik, karena perkataan akan menjadi doa. Dan pikiran baik, optimisme mampu membuat kita melihat sesuatu lebih jelas dan terang. Kita bisa melihat hal-hal indah di setiap momen.

Bertemu dengan mereka juga membuatku bertanya dan menjawab sendiri. Aku bertanya darimana mindset positif itu tumbuh? Bagaimana membiasakan selalu optimis dan mengucapkan kalimat yang baik? Aku mengingat kesamaan keduanya, mereka penghafal al quran, setiap hari mereka membaca kalamNya meraih kemanisan dari firmanNya. Yang mereka dengarkan yang mereka baca adalah kalimat-kalimat terbaik, yang menyimpan makna dan hikmah yang baik juga. Mungkin... Karena itulah mereka menjadi seperti sekarang. Karena telinga mereka terjaga dari kalimat dan kata-kata negatif. Mata mereka disibukkan dengan membaca ayat-ayatNya. Maka mindset itu terbangun dan terjaga, mindset positif, sikap optimis dan kebiasaan mengucapkan kalimat yang baik.

Dari keduanya aku belajar. Untuk bisa memiliki mindset positif kita harus memfilter mata dan telinga kita. Agar yang masuk ke otak dan hati kita adalah kalimat baik yang menumbuhkan pola pikir dan perasaan positif. Agar kita tidak terbawa arus informasi yang dipenuhi hal-hal buruk dan prasangka negatif. Salah satu cara menyaringnya, adalah dengan menyibukkan diri kita dengan membaca, mendengarkan, menghafal dan mempelajari Al Quranul Karim.

Terakhir, semoga Allah menjadikan Al Quran musim semi di hati kita, cahaya di dada, dan pelipur lara. Aamiin.


Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Monday, July 22, 2019

Cuma Perantara

July 22, 2019 0 Comments
Bismillah.


Kadang, kita memang cuma perantara, cuma jalan dan bukan tujuan.

***

Ga, aku ga bahas tentang jodoh hehe. Untuk membahas tentang itu aku masih menghindari hehe.

Aku hendak membahas tentang pertolongan dari Allah. Dan bagaimana aku merasa hanya jadi perantara, jalan. Bukan orang yang memberikannya. Bukan.

***

Senin pekan kemarin (15 Juli), aku berencana ke Bandung. Niatannya memang untuk bertemu seorang ukhti, berharap dengan bertemu dengannya aku bisa membantunya. Karena memang selama ini aku cuma bisa mengamati dari jauh, berkomunikasi lewat chatting yang isinya hal-hal remeh, dan jarang membahas hal-hal yang urgen atau penting. Entah ia yang enggan terbuka, atau aku... yang begitu cuek, atau aku... yang belum bisa tegas.

Janji itu cuma berakhir janji. Aku qadarullah tidak jadi ke Bandung. Beberapa kali melobby orang tua, bercerita pada Ibu bahwa aku ke Bandung bukan untuk main. Termasuk menjelaskan mengapa aku memilih tanggal itu. Karena berangkatnya bisa bareng adik yang juga ada agenda di Bandung tgl segitu. Tapi usahaku minta izin ditolak, dengan berbagai alasan. Salah satunya, karena kemungkinan aku pulang sendirian. (*dalam hati aku berbisik, 'padahal dulu juga kadang pulang sendiri dari bandung ke purwokerto') Jadi banyak curhat ya? Hehe.

Intinya aku tidak jadi ke Bandung, tapi ukhti tersebut jadi ke Bandung tanggal 15. Aku meminta maaf padanya, karena ia harus menghabiskan hari di Bandung sendirian. Cuma bisa menemani dibalik layar hp dan membaca deretan kalimatnya di chat, menjawab dan merespon dengan kata. Bukan hadir secara langsung.

***

Siang itu (15 Juli) aku sebenarnya masih ingin berada di Bandung. Membayangkan mendengarkan ceritanya langsung. Berharap aku bisa membantunya.

Sampai akhirnya Allah menunjukkan padaku, bahwa aku cuma perantara, aku cuma jalan. Ada orang-orang lain yang dikirim Allah untuk membantu ukhti tersebut. Orang-orang yang memang lebih mampu dan lebih tepat untuk melakukannya.

"Barusan di ceramahi ama dokternya. Soal kondisiku yang lagi bingung galau arah hidup.", begitu ketiknya dalam thread chat kami.

"Tentang apa?" tanyaku, lalu ia bercerita panjang lebar.

Seketika itu aku takjub lagi pada indahnya rencana Allah. Bahwa Allah tahu, aku memang hanya boleh jadi perantara dan jalan. Saat itu, lebih baik begitu. Itu peran yang tepat untukku.

***

Ukhti itu menuliskan sebuah kisah yang ia dengar dari seorang dokter. Kisah yang menjadi nasihat lembut dalam proses perjuangan hidupnya.

Kadang kita ga tahu. Bisa jadi justru bukan dari tangan kita Allah kasih bantuannya. Kita mungkin cuma bisa usaha dan doa. Selanjutnya Allah gerakkan bantuan itu tersalur lewat tangan orang lain. Mungkin memang lebih baik hari itu aku ga jadi ke Bandung. Aku cuma diminta Allah untuk membuat janji bertemu dengan ukhti tersebut di Bandung. Aku cuma perantara, jalan, agar ukhti tersebut pergi ke Bandung hari itu. Agar ia bertemu orang-orang yang lebih tepat untuk menyerahkan bantuan dari-Nya.

Yang perlu ukhti tersebut temui di Bandung bukan aku. Karena bisa jadi, dan memang aku dalam posisi tidak mampu memberu nasihat yang lembut dan berkesan di hati.

Pun saat ukhti tersebut bertemu orang selanjutnya. Yang memberinya langkah-langkah menuju solusi permasalahannya.

Aku kembali bergumam pada diri, yang perlu ukhti tersebut temui di Bandung bukan aku. Karena memang aku tidak mampu memberikan solusi, atau menunjukkan padanya langkah-langkah menemukan solusinya.

***

Aku, mungkin cuma perantara, cuma jalan. Tapi aku tidak sedih. Aku justru senang. Karena Allah lebih tahu yang terbaik untuknya. Seperti yang pernah kutuliskan sebelumnya,

Semoga Allah melindungimu... hanya doa, doa dan doa yang bisa kupanjatkan untukmu. Karena aku yakin Allah Maha Mendengar, semoga doa singkat ini sampai padamu. Jika bukan aku yang bisa membantumu, maka Allah akan mengirimkan kepadamu orang lain yang lebih punya kemampuan untuk membantumu. Jika bukan aku yang menghiburmu, maka Allah yang akan mengirimkan kepadamu kabar gembira, entah lewat rintik hujan, biru langit, burung-burung yang terbang, atau lewat apapun untuk menghibur hatimu.

Allahua'lam.

Sunday, July 7, 2019

Can Tell No One

July 07, 2019 0 Comments
Bismillah.

foggy (Photo by Joe Green on Unsplash)

Ada hal-hal yang tidak bisa kita katakan, tidak bisa kita ceritakan pada orang lain. Mungkin itu sisi gelap yang selama ini disembunyikan. Atau justru itu hal yang sangat perlu diekspresikan, tapi lidah kita kelu, jemari kita kaku. Hal tersebut menggumpal, menendang-nendang hati dan pikiran. Hingga yang keluar hanya tangis, atau rintihan lirih, atau teriakan tanpa suara.

***

Hari ini, aku diingatkan tentang ketidakmampuan seseorang dalam bercerita. Bukan karena bisu, bukan karena tidak bisa menulis. Ada banyak pertimbangan yang membuat ia memendam cerita sendiri, sampai menumpuk-numpuk, dan karena sekarang bukan hal 'kecil', hasilnya, ia kini kesulitan mengeluarkannya.

Kemampuan seseorang untuk terbuka, mengungkapkan apa yang ia rasakan, menjelaskan apa yang ia pikirkan, adalah sesuatu yang penting. Manusia, diberi kemampuan untuk berkomunikasi. Bahkan yang bisu pun, membutuhkan cara untuk berkomunikasi. Keterkungkungan pikiran dan perasaan akan membuatnya lemah, dan kesulitan menjalani hidup. Seseorang harus bisa mengungkapkan dan menceritakan beban pikiran dan perasaannya, kalaupun tidak bisa lewat ucapan, minimal lewat tulisan. Dan sekalipun tidak ada yang mendengarkan atau membaca, minimal ia terhubung dengan yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Jika keduanya terputus. Ia tidak bisa bercerita, pun menuliskan beban pikiran dan perasaannya, jika ia tidak mau berdoa, dan mengungkapkan keresahannya meski dengan tangis pada Rabb-Nya, dan ia memilih memikulnya sendiri. Ia akan merasakan betapa lemahnya dirinya. Betapa ia hanya seorang manusia kecil. Apalagi jika ditambah was-was dari setan. Hmm..

***

Memang ada hal-hal yang ingin kita simpan sendiri. Menuliskannya saja kelu. Tapi kenyataannya, kita harus mengungkapkannya. Terutama bagi yang terbiasa menyimpan semua sendiri. Kadang harus dipaksakan.

Kemarin, aku diingatkan lagi tentang bagaimana bedanya, saat aku bergantung pada diri, sok-sokan memikul semua sendiri. Saat itu aku kepayahan, jangankan berjalan, merangkak saja rasanya tidak sanggup. Tapi setelah dipaksa untuk mengungkapkan beban pikiran dan perasaan, pada orangtua, pada teman, pada psikolog, rasanya berbeda. Memang ada hal yang sama. Bahwa masalahku, hanya bisa aku selesaikan. Bahwa hidupku, aku sendiri yang menjalaninya. Tapi dengan mengungkapkan pikiran, mengekspresikan perasaan, benang kusut yang ingin kupotong saja, kutemukan salah satu ujungnya. Dan dari satu ujung itu, aku bisa tahu cara mengurainya. Masih sulit, tapi tidak segelap saat semua kupikul sendiri.

Kemarin juga…. Aku diingatkan. Bahwa bisa jadi, ini bukan tentang orang lain. Tapi tentang diriku. Karena masih ada hal-hal yang aku pilih untuk disimpan rapat-rapat. Aku masih tidak tahu, apa aku perlu mengungkapkannya, mengekspresikannya, dan meminta pandangan orang lain, bantuan tangan orang lain? Atau… bisakah aku menyelesaikannya sendiri? Tentu saja maksudnya bukan sendiri. Tapi hanya dengan terus berusaha terhubung dengan Allah, agar hal itu hanya aku dan DIA yang tahu. Berharap Allah memberikanku kekuatan untuk menyelesaikannya sendiri. Meski sebagian hatiku ragu, meski aku kepayahan dan berulangkali jatuh.

Bisa jadi, memang begitu. Bahwa aku berada 'di sini', melihat dan mengetahui 'hal ini', bukan karena aku bisa membantu orang lain. Tapi justru sebaliknya, dari orang lain, aku bisa mengambil pelajaran dan bantuan, untuk diriku.

Jadi selanjutnya Bell.. *tiba-tiba selftalk hehe* Daripada merasa tidak bisa membantu apa-apa. Atau merasa harus menjadi orang yang berperan dan bisa membantu. Daripada perasaan dan persepsi itu. Coba ubah persepsinya. Bahwa kamu adalah pembelajar. Ada hikmah yang Allah ingin titipkan padamu lewat hal tersebut. Maka merendahlah, seperti seseorang bodoh yang belajar agar mendapatkan ilmu. Seperti itu. Karena bisa jadi, yang membutuhkan pertolongan dan bantuan bukan orang lain, tapi dirimu sendiri.

***

Terakhir, mungkin ada yang kesulitan bercerita, dan mengungkapkan isi pikiran dan hati. Mendekatlah padaNya, merendah dihadapanNya, agar ia mengajari kita lagi, caranya membaca, bicara dan menulis. Caranya bercerita dan mengungkapkan beban yang menggayuti langkah kita. Karena kita mungkin hanya bisa menangis dan tidak bisa berkata-kata, tapi Allah Tahu persis makna dibalik setiap bulir air yang jatuh, desahan nafas kecil, dan teriakan bisu dalam dada. Allah Tahu, Allah Mendengar, dan Allah Menjawabmu.

Allahua'lam.

Saturday, June 29, 2019

Siapa yang Tidak Open Mind?

June 29, 2019 0 Comments
Bismillah.
#hikmah #selftalk
-Muhasabah Diri-

Jadi, siapa yang tidak open mind?

Dua kali. Seharusnya aku merenung, memikirkannya dan mengambil hikmah. Jadi, siapa yang tidak open mind?

Allah dua kali ingin mengajarkanku, bahwa sikapku salah. Sikap skeptis itu. Sikap menjustifikasi berdasarkan stereotipe. Bukankah aku sendiri yang mencari sosok yang open mind? Mengapa prosesnya, justru aku melakukan sebaliknya?

Apa seseorang yang memegang prinsip, artinya ia seorang yang closed mind? Apa kamu ingat testimoni seorang kawan, bahwa orang-orang mungkin melihatmu sebagai sosok yang kaku, tapi mereka yang mengenal keseharianmu, bertukar pikiran denganmu akan tahu, bahwa tidak sepenuhnya begitu.

Hei diri! Begitupun orang lain. Jika ia memiliki suatu hal dan teguh akan prinsipnya, tidak selalu berarti ia tidak open mind. Pun termasuk saat ia begitu selektif memilih dari mana ia mendapatkan ilmu dan berguru, jangan samakan ia dengan stereotipe yang ekslusif dan ashobiyah. Karena saat kau berpikir begitu. Sebenarnya yang tidak open mind itu bukan mereka, bukan orang lain, tapi dirimu sendiri.

closed and chained (Photo by Jose Fontano on Unsplash)


Allahua'lam.

Thursday, June 20, 2019

It's Easier to Judge

June 20, 2019 0 Comments
Bismillah.
-Muhasabah Diri-

Photo by Bill Oxford on Unsplash

Lebih mudah menghakimi. Dan itu yang aku rasakan saat membaca baris pesan darinya*. Rasanya ingin merekomendasikan buku A, link video ceramah B, ayat C, dll. Sungguh, lebih mudah menghakimi dan merasa lebih banyak tahu.

Padahal... aku tahu persis bukan itu yang ia butuhkan. Ia lebih membutuhkan dua telinga dan dua mata yang mau mendengar dan membacanya. Mencoba mengerti perasaannya. Atau meskipun tidak mengerti minimal berusaha mengerti.

Kadang bersyukur aku sekarang jauh lebih introvert daripada dulu. Sehingga lebih mudah untuk menahan jemari dan membungkan mulut, mencerna pikiran sendiri. Sembari berusaha menjadi pendengar yang baik, meski lagi... like what i said in the title, it's easier to judge.

***
"I'm too lucky to meet you, even from X not many people can tolerate mental issue. but too ofc im afraid to lose people like you. cz Allah takes away her from my affection, while I am soo in one word with her",
Ia terbiasa curhat dalam bahasa inggris. Salah satu kebiasaannya. Itu juga salah satu hal yang membuatku lebih banyak menahan diri untuk membalas, dan memilih menyimak. Karena ia menulis bahasa inggris, aku berusaha balas pakai bahasa inggris juga, dan itu... susah hehe. lama mikir karena kosakata bahasa inggrisku miskin hehe.

Dan di akhir hari, i mean, di akhir percakapan kali ini. Kami sama-sama setuju. Apa yang ia alami, ketakutan ia akan kehilangan lagi orang yang ia percayai, adalah salah satu cara Allah agar hambaNya tidak terlalu bergantung pada manusia.

***

It's easier to judge, tapi kalau kita mau sedikit saja berusaha untuk mengerti. Kita sebenarnya juga bisa untuk berempati dan menahan diri untuk menghakimi. Kita bisa belajar, bahwa kita tidak mengalami lukanya, kita tidak tahu perjuangannya.

Untukku terutama. Jadi, meskipun lebih mudah untuk menghakimi.. Mari tetap berusaha untuk mengerti.

Allahua'lam.

***

*salah satu ukhti, one year younger than me, yang belum pernah bertemu secara fisik, namun Allah takdirkan untuk saling kenal dan bercakap-cakap di "udara".

***

PS:  Aku tidak tahu bagaimana rasanya orang yang menjadi panutan kita, yang kita percayai, tiba-tiba berbalik arah dan menjauh. Orang itu masih sama, masih orang yang baik, yang dekat dengan Allah, kita masih menghargai dan menghormatinya. Tapi luka itu hadir, seolah menjadi trauma yang membuatnya mulai mempertanyakan banyak hal.

Ada satu ayat yang terbersit hari ini, sebelumnya tidak, meski kisahnya sudah kudengar lebih dari sekali. Ayat yang membuat pedang Umar radhiyallahu anhu jatuh, dan tubuhnya lunglai. Ia mengangkat pedangnya, saat mendengar satu dua orang mengatakan kabar bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam telah wafat. Emosinya menguasai dirinya. Sampai Abu Bakar radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut,


وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌۭ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَـٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًۭٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِينَ


Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Surat Ali-Imran (3) ayat 144]

Mungkin memang terlalu jauh perbandingannya. Tapi ayat ini yang kuingat. Bagaimana agar kita beriman, berislam, tidak tergantung pada manusia. Jangan sampai hanya karena orang itu, kita jadi berbalik dari iman dan islam. Allahua'lam.





Think Out of The ...

June 20, 2019 0 Comments
Bismillah.

#banyakcurhat #hikmah #selftalk

Kadang memang harus dipepet agar bisa berpikir di luar kebiasaan, di luar box, di luar rutinitas. Seperti akhir Ramadhan kemarin. Allah menitipkan banyak hikmah dengan satu hal yang memaksaku berpikir di luar kebiasaan.

Photo by Leone Venter on Unsplash


Jujur, aku takut aku kembali lupa, dan balik lagi jadi orang yang terpaku pada rutinitas. Jadi, izinkan kutulis di sini.

***

Berawal dari kekhawatiran, ketakutan. Bahwa jika perubahan itu terjadi.  Jika aku memiliki peran baru, dan harus beranjak keluar dari zona nyaman, rumah tersayang, orang-orang yang paling aman untukku...  Aku mungkin bisa terkungkung dan tidak bisa bergerak. J

Ketakutan itu hadir, bersama ratusan prasangka dan kemungkinan-kemungkinan. Membuat aku sadar, akan nikmat yang terus mengalir di rumah. Kebebasan yang aku miliki sekarang, karena ayah, ibu, adik dan kakak yang open mind. Zona nyaman dan mendukung yang aku nikmati sekarang. Bagaimana ayah, ibu, kakak dan adikku selalu mengingatkanku pada Allah, lewat ajakan shalat berjamaah, lewat ajakan sahur bersama, lewat suara tilawah di masing-masing kamar yang terdengar sampai kamarku. Buku-buku yang aku baca, lingkaran dan forum yang aku hadiri. Kajian yang aku dengar dari hp adik, dari laptop ayah, dari radio ibu. Belajar akidah, iman dan islam tanpa pengkotak-kotakan. I'm afraid someday I'll loose it.

Selain tentang itu. Ketakutan yang hadir, bersama ratusan prasangka dan kemungkinan-kemungkinan. Juga membuatku teringat hal-hal yang pernah menjadi nyala api penggerak. Ibarat bintang-bintang yang jauh di atas, namun ingin kugapai.

Aku teringat buku, hafalan, studi di luar negri, mendaki gunung.

Aku teringat A, B, C. Things I've forgetting. Ada yang tidak sepenuhnya lupa, tapi aku biarkan jalan untuk mencapainya lambat sekali. Juga mimpi-mimpi yang kukubur dan hampir kulupakan. Karena aku seorang pengecut yang keburu berpikir tentang kemungkinan ketidakmungkinan.

Termasuk saat pertanyaan tentang pekerjaan hadir, dan aku masih sama, tidak termotivasi mencari uang untuk diri sendiri. Tapi kondisi yang memojokkan itu berhasil membuatku berpikir di luar frame biasanya. Kalau bukan untuk diri, minimal untuk orang lain. Things that may be you can do, sedikit mungkin. Meski jujur belum melangkah, baru berada di otak dan tersimpan di pikiran.

***

Sekarang memang sudah tidak 'dipepet', sudah tidak terlalu khawatir dan takut. Apalagi ketika menyadari bahwa prasangka itu cuma prasangka yang hadir dari kebiasaan buruk overthinking. bahwa sekalipun nanti aku harus berada di luar zona nyaman, Allah akan menguatkan dan memberikan yang terbaik.

Tapi meski sudah ga dipepet. Hikmahnya tidak boleh dilepas kan? Jangan sampai pikiran-pikiran di luar kebiasaan, things out of the box, akhirnya hilang, atau tercecer.

Allah menghadirkan situasi itu, mendatangkan perasaan takut dan khawatir, salah satunya agar aku bergerak lebih semangat. Allah tahu, aku tidak seharusnya melambat-lambatkan langkah, dan sering berhenti dalam jeda yang tak singkat hanya karena keterbatasan dan rutinitas yang sebenarnya tidak sibuk-sibuk banget.

Jadi... let's move. Ayo bergerak Bell. Jangan kalah sama pikiran buruk, jangan kalah sama nafsu ingin berhenti dan berleha-leha, jangan kalah oleh bisikan setan. Kamu bisa lebih baik dari ini. Kamu bisa melangkah lebih cepat. Berprogres, dan tidak banyak memberi alasan mengapa kamu baru sampai di sini. Ok?

***

Terakhir, menulislah. Menulislah untuk mengingatkan diri. Jika hal ini tidak kau tulis, mungkin kau akan kembali lupa.

Allahua'lam.

Wednesday, June 5, 2019

Sepiring Berdua

June 05, 2019 0 Comments
Bismillah.
#banyakcurhat #hikmah

Ada banyak piring dan mangkuk, mengapa harus sepiring berdua? (Photo by Brooke Lark on Unsplash)

Judulnya menipu, maaf *peace hehehe. Tulisan ini tidak akan berbicara tentang romantisme sepiring berdua. Bukan juga tentang tips, supaya tidak makan berlebihan di hari raya idul fitri, wkwkwk. Cuma tulisan refleksi saja, setelah sebulan lebih merasakan sepiring hp berdua. Hehe.

***

Qadarullah, atas kehendak Allah, aku ditakdirkan puasa dari gadget kecil yang merupakan sumber utama distraksi keseharianku. Tepatnya 24 April lalu, aku mulai merasakan pengalaman se-hp berdua. Ga seromantis kedengarannya. Pun sebenarnya, lebih pas jika disebutkan aku numpang dan pakai fasilitas hp orang.

No.hpku masih sama, iya nomer legenda itu. Terpasang di hp nokia, yang cuma bisa sms dan telpon. Padahal Ramadhan aku diharuskan bisa akses aplikasi messaging hijau tua itu, yang sempat dibatasi aksesnya oleh kominfo beberapa saat yang lalu. Jadilah sejak itu, aku numpang di hp adik. Sisanya, aku memanfaatkan laptop dan internet.~ kayanya emang aplikasi itu yang aneh. wkwkwk.

***

Ada banyak hikmah dari kejadian itu.

Pertama, Allah ingin membantuku agar tidak impulsif. Dan itu dilatih sebelum Ramadhan, biar pas Ramadhan tinggal melanjutkan habit.

Tadinya sempat mikir, offline selama Ramadhan, bener-bener off. Tapi ditelpon dua orang dari dua grup berbeda. Intinya diingatkan, jangan sampai karena keterbatasan fasilitas, kegiatan jadi terhalang. Padahal kan bisa cari jalan dan solusi lain. Akhirnya deh, memutuskan jadi benalu di hp adik.

Kedua, orang tua ikutan senang. Terutama saat aku bilang, agar tidak terburu-buru mencari pengganti. Dan meniatkan sekalian aja sampai Ramadhan selesai, dengan harapan bisa mengoptimalkan ibadah karena sumber distraksinya berkurang. Tapi... jangan tanya gimana pelaksanaannya ya? Hehe. Masih banyak kekurangan. Ga ada hp, ada laptop dan internet soalnya hehe. Jujur agak kaget juga, karena ternyata Ramadhan ini aku begitu ekstrovert. Hampir semua sosial media dan blog aktif, atau minimal update. Kecuali facebook kali ya, karena memang pindah ke akun khusus ramadhan.

Ketiga, meski awalnya ribet dan sebel. Lama-lama mulai merasa biasa. Kadang kalau sore pulang, pengennya nyita hp adik hhehe. Kan, dari jam 10-15, ga cek aplikasi messaging itu, pengen baca-baca, balesin pesan dll. Tapi.. lama-lama nyadar, ya namanya juga numpang, jadi ga boleh lupa diri hehe. Trus nyadar juga, ternyata ga cek seharian juga biasa saja. Seperti saat adik ke Pemalang, yang artinya otomatis sekitar 24 jam aku ga ada akses internet. Masih buka laptop sih hehe, baca-baca memori Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, nulis diary, dll. 

***

Hari ini, sebenarnya aku takut. Bisakah hikmah yang sudah kupelajari itu kuamalkan, meski sekarang sumber distraksinya sudah hadir kembali? Akankah bisa istiqomah untuk menjauhi distraksi dan fokus pada prioritas-prioritas hidup, yang semoga mengantar menuju jannah-Nya? Berbagai kekhawatiran hadir, termasuk pertanyaan, bisakah aku mentakbirkan asma-Nya di luar Ramadhan? Tapi khawatir saja tidak akan menyelesaikan masalah kan? Atau kalau kata ustad Salim, kekhawatiran tidak menjadikan masalah membesar, hanya diri kita saja yang mengerdil. *ada yang tahu redaksi aslinya?

Bismillah. Ramadhan sudah genap hitungannya. Mari menjalani bulan-bulan berikutnya, dengan bekal takwa yang kita dapatkan setelah berpuasa di bulan Ramadhan. Semoga kita termasuk, orang-orang yang bertambah ketakwaannya, diterima amal ibadahnya dan diampuni dosa-dosanya. Aaamiin.

Terakhir, untukku.
I ask you guys, for example, take your cellphone away, mobile devices away, because some of you are so obsess and you're so addicted, unfortunately to your devices, that you actually can't even help yourself. You're no longer in control. Which is a sad state of affairs.

You see? Allah dignified human beings, with this incredible faculty, this is an incredible gift. It does capable of amazing things 

So even if you can't give up entertainment, or video games, whatever it is. If you can't give it up, at least cut it down, significantly. So you can actually use your mind for what it was created for. Something higher. Something more.
- Nouman Ali Khan, Quran for Young Adult Day 6.2
Allahua'lam.