Follow Me

Thursday, January 30, 2020

Lokalisasi Emosi

January 30, 2020 0 Comments
Bismillah.

#fiksi



Perempuan itu... seringnya tiba-tiba saja sedih, ingin marah, ingin nangis. Emosinya naik, entah karena sebab apa. Kadang jadi bingung sendiri. Aku pun begitu. Seperti sore ini saat aku memutuskan untuk menulis ini.

Tiba-tiba merasa sedih. Tiba-tiba merasa emosi. Ingin marah tapi tahu tidak pada tempatnya. Ingin menangis, tapi malu.. nanti ditanya-tanya. Ingin bicara, tapi lidahku tertahan. Entah tertahan barisan gigi atau dua bibir. Yang jelas tidak ada kata yang keluar lewat nada. Tapi emosi yang ditekan itu tidak baik kan? Maka aku memutuskan menulis ini. Kemudian membuka telinga lebih lebar, pada suara adzan magrib yang bersautan, juga derai air hujan yang dari siang tadi menghias Bogor. 

Satu dua titik air lain jatuh. Sebentar saja, tidak ada bekas. Segelas teh panas yang kemanisan. Aku kemudian bertanya pada diri, apakah semuanya, selesai? Apa perasaan sedih yang tadi hadir tanpa undangan, dan emosi yang naik dan mendorongku untuk menuliskan ini, selesai?

Lalu aku teringat sebuah frase dari sebuah kelas, "lokalisasi emosi". Aku lupa kapan, dan siapa. Tapi intinya, lokalisasi emosi adalah tentang bagaimana sikap kita saat emosi melambung dan minta untuk dilampiaskan. Katanya,... kata sang guru, baiknya kita lokalisasi dulu emosi kita. Kita petakan, sebenarnya kita sedih karena apa? Kenapa kita ingin marah? Apa penyebabnya? Keadaan tidak ideal apa yang membuat emosi tersebut lahir. Dan bagaimana idealnya. Dari situ, kita jadi tidak asal melampiaskan emosi.

Manusia itu bukan robot, ia memiliki emosi yang naik turun. Emosi yang harus disalurkan dan bukannya dilemparkan atau dikubur. Manusia yang bijak tidak sembarangan melampiaskan emosinya, pun tidak menguburnya dan membiarkannya menjadi penyakit. Manusia yang bijak mengambil jeda saat emosi naik dan 'hendak' menguasainya. Kemudian jeda tersebut, ia gunakan untuk melokalisasinya. Setelah itu, ia menyalurkannya. Ia tidak diam beribu bahasa. Jika sedih ia menangis. Tapi ia tahu alasan ia menangis. Jika marah pada orang lain, ia tidak membentak, tapi ia mampu mengkomunikasikan kemarahannya. Bahwa ia tidak suka jika seperti ini, bahwa ia merasa tidak rela diperlakukan seperti itu.

***

Perempuan yang sedari tadi duduk di depan laptopnya beranjak dengan segelas teh. Ia berjalan ke luar kamar menuju meja makan untuk mengisi gelasnya dengan tambahan air panas. Adik perempuannya yang sedang makan brownies bertanya,

"Mau makan nasi terlebih dulu, atau magrib dulu?"

Hari itu mereka puasa membayar hutang Ramadhan yang belum lunas. Sang kakak tidak menjawab, ia berlalu menuju kamar dan duduk kembali di depan laptopnya. Menyelesaikan tulisannya dengan paragraf penutup.

***

Dan kesedihan ini, amarah yang menyesak ini, dan emosi yang mengetuk lapisan kaca di mataku... aku harus melokaliasasikannya. Agar kehadirannya tidak sekedar dieja dalam kata, atau dibenamkan dalam tangis, agar ada tindak lanjut yang bisa dilakukan. Jika yang membuat kita emosi, sedih dan marah adalah sebuah 'masalah', maka ia sebenarnya sedang menanti kita untuk diselesaikan.

Terakhir, untukku... it's okay to cry.

***
The End.

Sunday, January 26, 2020

Undangan Untukmu

January 26, 2020 0 Comments
Bismillah.

#matrikulasinakid #nakindonesia


Alhamdulillah, udah sampai ke materi ke 4 matrikulasi NAK Indonesia. It means I'm already half way. Semoga Allah berikan hidayah dan kekuatan untuk melanjutkan sampai akhir program. Aamiin.

Materi keempat temanya tentang ayat dakwah, QS An Nahl ayat 125.


Seperti biasa, ustadz Nouman membahas ayat kata per kata. Dari kata ud'u yang berarti undangan (invitation). Oh ya, ud'u itu satu akar kata sama dakwah, artinya inti dakwah itu bukan ceramah, dan tentu bukan juga debat. Inti utama dakwah adalah sebuah undangan.

Ada yang pernah kirim undangan? Biasanya kita kirim undangan ke siapa? Ke musuh? Tentu bukan ya. Undangan biasa dikirimkan untuk orang terdekat, teman kita, keluarga kita, dan orang-orang yang kita cintai. Selain itu, kita juga tidak mengundang orang saat kita marah. Ada sikap ramah dan senang hati saat kita mengundang seseorang, sikap bahwa kita mengharapkan kehadirannya. Begitu pula sikap yang harus kita miliki dalam berdakwah.


ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [Surat An-Nahl (16) ayat 125]

Kata/frase berikutnya, ila sabili rabbik, merupakan hal kedua yang harus kita perhatikan dalam dakwah. Dakwah itu bukan undangan biasa, melainkan undangan istimewa. Kenapa? Karena biasanya, kalau undangan itu, kita nyantumin lokasi tujuan, sedangkan dakwah, yang disebutkan bukan destinasi, tapi sabili rabbik, jalan Tuhanmu.

Bedanya apa sih? Pertama, kalau misal mengundang teman ke rumah kita, trus telat hadir, kita marah kan? Kenapa? Karena ia tidak sampai ke rumah kita. Tapi kalau undangannya ke jalan, dan jalan itu panjang, maka setiap yang berada di sana, baik itu yang baru selangkah, maupun yang udah ratusan kilometer, semuanya 'memenuhi undangan'. Kalau kata ustadz Nouman semuanya sukses.

Dan tahukah, bahwa Allah mendeskripsikan agama ini, islam, sebagai sebuah jalan?


Selain tentang setiap orang yang berada di jalan dianggap sukses, ada konsekuensi lain yang harus kita perhatikan atas undangan istimewa ini. Kalau kita ke jalan, akan banyak yang lewat, mulai dari mobil, sepeda, bis, sampai pejalan kaki. Kecepatan masing-masing berbeda kan? Artinya, Allah mengetahui dan memahami bahwa setiap manusia memiliki speed yang berbeda-beda. Dan Allah menghargai masing-masing orang yang berjalan mendekat pada-Nya, bahkan yang berjuang untuk bergerak satu demi satu senti setiap harinya.

Jika Allah begitu, maka bagaimana dengan kita? Kita juga seharusnya tidak memaksakan orang lain untuk berubah menjadi 'sempurna' dalam satu malam, hanya karena kita merasa sudah memberikan 'undangan' (baca: dakwah) pada mereka.

Yang perlu kita lakukan adalah bersabar, dan terus menerus mengingatkan serta tidak menyerah. Jika pun ada kata-kata yang masuk ke hati mereka, dan mereka berubah menjadi lebih baik, dan menyusuri jalan islam, kita perlu ingat. Bahwa bukan kata-kata kita yang mengubah mereka, tetapi Allah yang mengubah mereka.

Allah lah yang menanamkan 'biji', satu dari pengingat-pengingat yang pernah kita sampaikan, dalam hatinya. Dan Allah juga yang menentukan kapan biji tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi pohon iman, yang kelak akan berbuah amal.

Masalah Dakwah Kita


Ada beberapa hal yang harus kita ubah dalam dakwah kita. Karena seringkali hal-hal ini memutus harapan orang-orang. Banyak yang merasa tidak akan mungkin masuk surga karena cara dan sikap kita yang salah dalam berdakwah.

Pertama, sikap menghakimi, dan meminta proses perubahan yang kilat

Kedua, packaging dakwah bahwa untuk masuk surga dibutuhkan begitu banyak ilmu, fiqih, aqidah, bahasa arab, tafsir, baca kitab-kitab para ulama, hadir atau nonton kajian, mencatat, dan setelah itu semua, mungkin, mungkin kita bisa masuk surga.

Kita lupa, bahwa Al Quran memberitahu kita kisah pemuda al kahfi, yang sadar bahwa ada Rabb semesta. Mereka bahkan tidak tahu cara shalat, mereka hanya berdoa meminta petunjuk dan rahmat. Dan kisah pemuda tersebut dipelajari oleh ulama tafsir. Hal ini menunjukkan bahwa, sebenarnya yang memperumit islam adalah diri kita sendiri. Ekspektasi kita  terlalu banyak dan mengintimidasi, sehingga banyak yang memilih untuk menjauh pada islam.

Ketiga, persepsi yang salah, bahwa hanya orang-orang terbaik yang bisa masuk surga.

Padahal di surat Al Lail, Allah berfirman, la yashlaha illal ashqa. Tidak akan masuk neraka kecuali orang-orang yang terburuk.

Dengan ayat tersebut Allah seolah 'menutup' pintu neraka, karena hanya orang-orang yang sangat sangat terburuk yang masuk neraka. Dengan ayat itu juga, Allah membuka lebar harapan kita, bahwa mereka yang tidak termasuk golongan terburuk, Allah izinkan masuk surga. Subhanallah. Maha suci Allah. Kalimat undangan-Nya begitu indah. Namun kita yang salah sikap dan salah cara saat menyerahkan 'surat undangan' tersebut.

Keempat, terlalu mudah memberi label haram, padahal kaidah fiqih yang benar, sesuatu itu dihukumi halal, sampai terbukti keharamannya.

Hal ini harus diwaspadai, karena saat seseorang merasa sudah 'tenggelam' dalam hal-hal yang haram, ia kan mudah berputus asa dan akhirnya memilih untuk tetap dalam kegelapan, meski ia tahu bahwa iman itu cahaya.

Kelima, yang ini agak sulit nulisnya hehe. Jadi silahkan cek di sini ya penjelasannya. Tentang makna dari sincere / ketulusan / ikhlas.

Keenam, saat Allah marah pada hamba-Nya, bukan berarti kita berhak untuk ikut marah.

Ustadz Nouman mencontohkan tentang oranng tua dan anak-anaknya. Misalkan anak pertama melakukan kesalahan, kemudian ayahnya marah. Apa itu berarti adiknya, berhak untuk ikutan marah? Tidak kan? Ini juga berlaku kalau yang salah adalah sang adik. Saat Ibu marah pada adik karena kesalahannya, sang kakak tidak berhak ikutan marah-marah. Begitu pula kita menyikapi ayat-ayat yang menunjukkan kemarahan Allah.

***

Setiap muslim disarankan untuk berdakwah, mengundang orang lain kepada islam, menyampaikan meski hanya satu ayat. Tapi ada hal-hal yang harus kita perhatikan dalam berdakwah. Agar jangan sampai yang kita lakukan justru malah membuat orang-orang menjauh dari islam.

Semoga Allah memberikan kita kebijakan dalam berdakwah. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang tidak merugi, yang beriman, beramal shaleh, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran. Aamiin.

Allahua'lam.

Saturday, January 25, 2020

Batu Kerikil Pertama

January 25, 2020 0 Comments
Bismillah.

Kau berjalan, kemudian tanpa menginjaknya, kerikil pertama, kemudian badanmu kehilangan keseimbangan. Pertanyaannya, akankah kau jatuh? Atau kau bisa menjaga keseimbangan dan melanjutkan langkah?

Dan terlepas dari jadi jatuh atau tidak, apa kau memilih untuk membiarkan kerikil tersebut di tengah jalan, atau kau menyingkirkannya? Atau kau malah menendangnya, menjadikannya objek sepak kakimu.

Batu kerikil pertama hadir, kombinasi internal dan eksternal? Maksudnya? Abaikan saja, aku hanya sedang ingin mengabstrak. Tentang malam yang makin larut dan perasaan yang menghambat diri untuk mengerjakan tugas.

Esok, jika diizinkan hidup, semoga aku menemukan diriku dapat menjaga keseimbangan paska bertemu batu kerikil pertama. Tapi jika pun harus terjatuh, semoga tidak terluka, sakit memang, tapi segera bangkit.

Dalam kehidupan, ada banyak batu yang kita temui di jalannya. Kerikil itu cuma batu kecil. Beda cerita jika yang kita temui batu besar yang membutuhkan alat dan tenaga untuk menyingkirkannya. Jika kerikil bisa membuat tersandung, batu besar punya peran yang berbeda. Tapi aku tidak sedang bicara tentang batu besar kan? Aku bicara tentang kerikil pertama.

***

Let's end this post with a good quotes I found about pebble.

Allahua'lam.

Thursday, January 23, 2020

Jawabannya Ada di Buku

January 23, 2020 0 Comments
Bismillah.

Ada yang pernah ujian open book? Apa jawaban soal-soal ujian open book ada di buku? Biasanya, justru saat ujian open book, jawabannya tidak ada di buku. Kesel gak sih? Hehe.

Tahun 2019, kuantitas baca saya berkurang jika dibandingkan dengan tahun 2018. Sebenarnya karena ga dicatat, jadi gatahu turunnya berapa. Tapi saya yakin bahwa kuantitasnya berkurang karena indikator lain, seperti jumlah tulisan di blog ini yang menurun juga, cara saya menghabiskan waktu luang. Malu mengakuinya, but I read less book in 2019,

Tapi, meski kuantitasnya berkurang, alhamdulillah masih membaca. Dan dari membaca itu, aku menemukan beberapa jawaban 'pertanyaanku' di buku.

Mengenal Diri Lewat Buku Psikologi Suami-Istri


Aku pikir, baca buku ini bakal banyak yang ga relate. Judulnya begitu, dan aku belum memasuki peran itu. Tapi aku, justru dapet banyak jawaban dari buku itu.

Jawaban tentang perasaanku, yang begitu sering naik turun, bak gelombang laut. Dulu stress sendiri, heran sama diri sendiri, kok bisa sih, perasaan baru kemarin merasa baik-baik saja, kok tiba-tiba merasa jatuh lagi? 

Ternyata memang fitrahnya begitu. Tinggal gimana kita mengisi waktu saat jatuh agar bisa segera naik lagi.


Juga pertanyaan lama, kenapa rasanya sulit untuk meminta bantuan, dan menerima pemberian? AKu pikir hanya aku, aku aneh sekali. Kenapa rasanya berat untuk menerima pemberian. Apakah aku terlalu sombong? Begitu dulu aku berpikir. Dan buku tersebut menjawab pertanyaanku, ternyata bukan cuma aku, kebanyakan perempuan memang terbiasa memberi namun lupa caranya menerima pemberian. Bahkan mungkin kita (baca: perempuan) harus belajar menerima pemberian.


Termasuk juga tentang kenapa, aku begitu cepat emosi bahkan sebelum perbedaan pendapat dikomunikasikan dengan keluarga (ayah, ibu, kakak, adik). Karena ternyata, sebelum-sebelumnya aku selalu menghindari perdebatan dengan cara yang salah berpura-pura atau menyerah. Akibatnya, jadi numpuk gitu. Perasaan seolah-olah gak ada yang mau mendengarkan pendapatku yang seringnya berbeda. Padahal mah... sebenarnya mereka mau mendengarkan, aku saja, yang lebih sering menahan diri, kemudian berpura-pura atau menyerah. 


Selain mengenal diri, aku juga jadi banyak mengenal orang lain. Terutama dengan mengaitkan apa yang aku baca dan apa yang aku lihat/ingat di kehidupan nyata.

Jawaban Tentang Memarahi Diri

Dulu, aku berpikir, aku salah terlalu sering memarahi diri. Kadang caranya ga baik, seperti sengaja ga makan meski ga puasa. *jangan ditiru. Ini menurutku ga sehat. Terutama bagiku, yang pernah membenci diri, yang pernah sangat sangat gak suka sama diri sendiri.

Aku tahu, teorinya, bahwa orang yang membenci diri, harus menerima diri, harus lunak pada diri, jangan terlalu keras. Tapi aku kesel sama diri sendiri, yang ketika dibaikin justru malah bikin masalah dan membuat kebencian itu muncul lagi.

Sampai pernah aku bertanya pada teman, dan jawabannya memuaskan diriku. At least, aku jadi punya cara memarahi diri yang tidak mendzalimi diri.


Aku pikir, jawabannya sudah final. Tapi setelah baca bagian awal buku Tarbiyah Ruhiyah Ala Tabi'in, aku jadi dapet insight baru, semacam jawaban yang lebih tepat. Bahwa ternyata boleh aja memarahi diri, asalkan, niatnya untuk mendidik nafsu. Contoh dari para tabi'in justru terlihat lebih 'ekstrim'. Kita mungkin ga bisa kalau niru persis. Tapi harusnya sih tetep bisa niru dengan modifikasi. Agar (nafsu) diri, ada dalam kendali kita. Bukan sebaliknya, nafsu kita yang mengendalikan diri.

Baca juga: Memarahi Diri

The Book of Answers

Ada yang pernah beli book of question? Buku yang isinya hanya pertanyaan?

Menulis ini aku jadi ingat sebuah buku, yang di dalamnya berisi banyak jawaban atas setiap permasalahan dalam hidup kita. Jawabannya tidak selalu detail dan exact, sama seperti saat kita ujian open book. Petunjuk untuk dapetin jawabannya yang ada di sana. Kalau kita benar-benar membacanya, mempelajarinya, in syaa Allah soal-soal ujian hidup kita yang 'open book' bisa kita kerjakan dengan lancar. Ada yang tahu buku apa ini? Al Quranul Karim

Having difficult problems in life?

Mungkin kita terlalu banyak mencari jawaban di buku lain, hingga lupa bahwa Al Quran bukan cuma 'bacaan' yang dilafalkan namun tidak dipahami. 

Kalau kita mau berusaha sedikit saja mendekat pada Al Quran, membacanya, mempelajarinya,  merenung serta memikirkan ayat-ayatNya, sungguh Allah akan menunjukkan pada kita jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sulit di hidup kita.

Karena IA bukan cuma sekali mengingatkan kita, bahwa IA menjadikan Al Quran itu mudah, maka adakah yang mau mengambil pelajaran?


وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran,
maka adakah orang yang mengambil pelajaran? [Surat Al-Qamar (54) ayat 17]

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Monday, January 20, 2020

Buku: Jejak Hidup

January 20, 2020 0 Comments
Bismillah.


Setahun yang lalu, tepatnya bulan Februari 2019 aku menghadiri bedah buku tersebut. Sebuah novel karangan Septyani Probowati yang terinspirasi dari kisah nyata penulis dalam menghadapi kanker payudara stadium 4.

Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan novel, sudah lama tidak membaca, tapi karena yang mengadakan adalah Komunitas Buka Buku, pun moderatornya adalah Pak Nass, mentor menulisku dulu waktu ikutan program menulis Kompilasi, akhirnya aku putuskan untuk datang.

Saat acara bedah buku, aku baru mengetahui bahwa penulis novel tersebut satu almamater denganku, sama-sama pernah sekolah di SMA 1 Purwokerto. Aku ingat betul saat sesi pertanyaan aku menyerahkan kertas berisi pertanyaan. Mba Septy membaca namaku dan menyaranku untuk beli novelnya, karena tokoh utama novel tersebut ternyata bernama Bela, entah pakai double L atau bukan. Menghadiri bedah buku tersebut, banyak memberikan inspirasi untukku agar tidak berhenti bermimpi menerbitkan buku. Karena beliau bercerita tentang keinginan dan waktu terwujudnya impian memiliki buku sendiri.

***

Waktu berlalu, sampai suatu hari aku membaca di facebook-nya Pak Nass tentang berita duka dari Mba Septy. Beliau berpulang ke haribaan-Nya. Pak Nass bercerita di postingan tersebut tentang royalti novel yang 100% disumbangkan untuk Rumah Pembelajaran Qur'an Bale Cahaya, diserahkan langsung oleh Mba Septy pada Pak Nass yang mengelola Bale Cahaya.

Aku terpekur, karena sebelumnya, aku pikir novel itu adalah buah perjuangan yang sudah selesai. Aku pikir kankernya sudah sembuh. Aku sama sekali tidak sadar bahwa ia mengidap kanker saat mengisi bedah buku. Senyumnya, suaranya yang nyaring, sama sekali tidak menampakkan bahwa hidupnya adalah inspirasi utama novel tersebut. Seolah judul novel tersebut menjelma dalam dirinya, bahwa ia sudah menemukan mindfulness, ia menerima dan berdamai dengan keadaannya. Ia menyiapkan diri yang terbaik dengan meninggalkan jejak hidup berupa buku, dan amal yang bisa terus mengalir jika kelak ia harus pergi.

***

Aku harus menulis ini, begitu ucapku dalam hati. Bulan berlalu, dan akhirnya tulisan ini lahir.

Kita mungkin sudah hafal quotes-quotes motivasi menulis yang terkenal. Tentang tulisan yang memperpanjang umur, dll. Tapi tentu rasanya berbeda, kalau kita menyaksikan sendiri hal tersebut dari dekat. Seperti novel Mindfulness yang menjadi jejak hidup Septyani Probowati. Kalau aku tidak hadir di bedah bukunya, tidak mendengar langsung penjelasannya tentang novel tersebut, kalau.. aku tidak membaca berita kepulangannya, mungkin semua seolah cuma teori. Tapi novel tersebut dan penulisnya, seolah Allah hadirkan dalam hidupku agar aku kembali mengingat niat awalku menulis. Juga, agar aku tidak berhenti di zona nyaman ini.

It might be still a long way, but make sure you make a step every day. Langkah kecil tak mengapa, pelan tak mengapa. Asal jangan sering-sering lupa dan terdistraksi.

It might be still a long way, but make sure you make a step every day. Turunkan ekspektasi, tidak ada karya pertama yang baik. Tapi dari yang pertama itu, kita bisa belajar banyak.

Untukku, dan untuk siapa pun yang juga bermimpi ingin menjadikan buku sebagai jejak hidup: semangat!

S e m a n g a t ! Mari menulis~

Sunday, January 19, 2020

Menemukan Kembali Al Fatihah

January 19, 2020 0 Comments
Bismillah.
#matrikulasinakid #nakindonesia

Berapa kali membaca al fatihah? Begitu sering. Namun tidak banyak dari kita yang benar-benar memaknai kata perkatanya. Materi matrikulasi ketiga ini mengajak kita untuk menemukan kembali Al Fathihah, mengeja dan mengagumi keindahannya.


Surat Pertama (yang Turun)

Banyak dari kita tahu bahwa Al Fatihah adalah surat pertama Al Quran, surat pembuka. Tapi tahukah bahwa surat pertama yang turun (full) adalah Al Fatihah? Iqra, adalah ayat pertama yang turun. Tapi tidak semua ayat-ayat Al 'Alaq turun. Sedangkan Al Fatihah adalal surat yang pertama kali turun secara komplit, dari awal sampai akhir.

Ada perbedaan pendapat tentang ayat pertama dari Al Fatihah, apakah dari 'bismillah' atau dari 'alhamdulillah'. Tapi fokus materi ini bukan tentang itu. Ustadz Nouman akan mengajak kita menemukan kembali al fatihah mulai dari alhamdulillahi rabbil 'alamin. Bukan cuma tentang apa yang Allah katakan, tapi juga bagaimana cara Allah mengatakannya, serta opsi cara lain untuk mengatakan hal tersebut.

Mengapa Alhamdulillah?

1. Dari segi makna

Segala puji bagi Allah, begitu mayoritas kita menerjemahkan Alhamdulillah. Ada juga yang menerjemahkannya dengan 'thanks to Allah'. Dalam bahasa arab, pujian (praise) bisa diwakili oleh kata ''madhu dan terima kasih (gratitude) bisa diwakili oleh kata "syukru". Bagaimana dengan kata 'hamd' yang dipakai dalam frase alhamdulillah? Hamd mewakili keduanya, pujian dan syukur. Dan dua hal ini adalah hal yang berbeda.

Sekarang apa perbedaan pujian dan rasa terimakasih?

Kapan kita memuji sesuatu? Saat kita melihat atau merasa bahwa sesuatu/seseorang hebat, indah, menarik. Sedangkan terima kasih kita ucapkan jika seseorang membantu kita, atau mereka melakukan sesuatu untuk kita. Keduanya bisa dilakukan secara terpisah.

Kalau memuji tanpa berterima kasih, ibarat saat kita lihat bayi imut, atau mobil yang keren. Kita memuji, "ih unyuu..", "wah mewah mobilnya", tapi kita tidak berterima kasih pada bayi atau mobil tersebut.

Kalau berterima kasih tanpa memuji? Ada beberapa contoh di Quran. Pertama tentang Firaun yang membesarkan Nabi Musa. Firaun juga berhak dapat kata terima kasih, atas apa yang ia lakukan (merawat dan membesarkan Musa 'alaihi salam), tapi Firaun tidak pantas untuk dipuji. Perbuatannya menjajah bani israil, membunuh bayi laki-laki dan kedzaliman lain bukti bahwa ia sama sekali tidak pantas dipuji.

Contoh kedua, di surat Luqman, Allah menyebutkan agar kita tidak menuruti perintah orangtua untuk menyekutukan-Nya. Orangtua yang memaksa kita berbuat syirik memang tidak berhak mendapat pujian. Tapi lihat di ayat sebelumnya? Allah memerintahkan kita berterimakasih pada orang tua.


وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍۢ وَفِصَـٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. [Surat Luqman (31) ayat 14]

Dari contoh-contoh itu, kita bisa tahu bahwa pujian dan rasa terima kasih adalah dua hal yang berbeda dan biasa digunakan secara terpisah.

Lalu bagaimana sikap kita pada Allah? Alhamdulillah adalah bukti bahwa kita seharusnya memuji sekaligus berterima kasih pada Allah.

Allah tidak menggunakan kata madhu dan syukr, tetapi Allah memilih diksi hamd satu kata yang bisa mewakili keduanya. Kalimat sederhana tapi tepat sasaran lebih baik daripada kalimat kompleks dan rumit.

Selain itu madhu dapat mencakup pujian palsu yang tidak tulus, sedangkan syukr merupakan sebuah reaksi yang dilakukan ketika orang tersebut sadar. Alhamdulillah hanya bermakna pujian dan syukur yang tulus dan tidak bersifat reaksi.

Juga, saat kita menyatukan dua kata dengan kata 'dan', orang bisa berhenti dan memilih salah satunya saja. Sedangkan frase "alhamdulillah" meniadakan pilihan tersebut, kita tidak bisa memilih salah satunya. Saat kita memuji Allah, maka kita juga berterima kasih padaNya. Begitu pula sebaliknya, kita berterimakasih pada Allah sekaligus memuji-Nya.

Sikap ini yang perlu dijaga oleh seorang muslim, sikap positif selalu memuji dan berterimakasih pada Allah. Seringkali kita mengucapkan alhamdulillah, namun sikap atau raut wajah kita menunjukkan sebaliknya. Saat terjebak macet misalnya. Kita mengucapkan alhamdulillah lalu mendesah nafas berat. Padahal seharusnya saat kita mengucapkan, "alhamdulillah macet", kita seharusnya yakin bahwa ada hikmah yang Allah titipkan dari macet tersebut. Dan bahwa kita terjebak macet artinya Allah memberikan kita nikmat memiliki kendaraan, atau nikmat bisa keluar rumah karena kita sehat dan tidak berbaring di rumah sakit.

2. Infomatif dan ekspresif

Ada yang familiar dengan frase "innal hamdalillah", biasanya sering diucapkan khatib. Inna artinya sesungguhnya, penekanan. Kalau sekilas, kita mungkin mengira innal hamdalillah lebih powerful ketimbang alhamdulillah. Tapi kalau kita lebih teliti, ternyata alhamdulillah lebih baik. Kenapa?

Karena innal hamdalillah, sifatnya hanya informatif. Memberitahu bahwa sesungguhnya pujian dan syukur hanya milik Allah. Selesai.

Sedangkan alhamdulillah mencakup informatif dan ekspresif. Alhamdulillah bisa bersifat informatif, karena saat orang lain mendengarnya, ia jadi teringat akan pujian dan rasa terima kasih kepada Allah. Namun juga bersifat ekspresif saat kita mengucapkannya sendiri. Saat kita seharian haus karena puasa, kemudian meminum setegak air, alhamdulillah. Kita mengekspresikan rasa puji dan syukur dengan kata alhamdulillah, bukan untuk menginformasikan orang lain. Tapi untuk menyalurkan rasa terimakasih dan pujian pada-Nya.

3. Tetap dan Tidak Membutuhkan Subjek

Selain frase "innal hamdalillah", ada lagi nih frase yang bisa kita dengar di ceramah/khutbah, "nahmaduhu wa nasta'inuhu". Bedanya apa? Bedanya hamd di alhamdulillah adalah kata benda (noun/ism) sedangkan di frase nahmaduhu adalah kata kerja (verb/fi'il).

Mengapa Allah memilih kata benda bukan kata kerja?

Pertama karena kata kerja terkait dengan waktu, kalau di bahasa inggris kita mengenal past tense verb, present verb, future verb, atau bisa juga disebut v1, v2, v3. Maka kata kerja terkait dengan waktu, saat mengucapkan nahmadullah, kita memuji dan bersyukur pada Allah saat ini, tapi bisa jadi kemarin dan besok kita tidak begitu. Sedangkan saat kita mengucapkan alhamdulillah, artinya pujian dan rasa bersyukur sepanjang waktu, tidak terikat kemarin, hari ini atau esok.

Kedua, kata kerja membutuhkan subjek. Tidak bisa tidak. Sedangkan Allah tidak membutuhkan siapapun. Meski manusia, atau dari malaikat, atau dari gunung dan burung-burung yang berterbangan, tidak memuji dan bersyukur pada Allah, semua itu tidak menghilangkan fakta bahwa milik Allah pujian dan syukur. Alhamdulillah.

Ketiga, bahkan jika kita menggunakan kata kerja perintah, ihmadullah, itu akan membuka opsi bahwa kita bisa memilih tidak melakukannya. Karena itu, pilihan menggunakan bentuk kata benda termasuk salah satu yang harus kita ingat saat kita mendengarkan atau membaca 'alhamdulillah'.
Allah did not talk about praise in a way that depend on us, he didn't put the ball in our court. He said, whether you do it or not, who cares? It's still there. Alhamdulillah is still there. It's still there forever, it will be there forever. Human beings will come and go, generations will come and go, this world will come and go, the hamd of Allah will still be there. It's a matter of fact. - Nouman Ali Khan

3. Mengapa bukan Lillahilhamd?

Gak akan saya jelasin di sini, karena panjang. Tapi teasernya gini, ada dua jenis kalimat, kalimat biasa, sama kalimat di luar kebiasaan. Susunan yang tidak biasa berarti 'hanya', penafikan terhadap yang lain. Dari sini, kita jadi bisa tahu, kenapa al fathihah yang kita baca tiap shalat dimulai dengan alhamdulillah. Dan juga kenapa bunyi lafal takbir setiap idul fitri/idul adha "Allahuakbar walillahilhamd". (Klik di sini untuk nonton penjelasannya.)

Perkenalan Pertama dengan-Mu

Kalau di sebelumnya kita baru bahas sepenggal awal frase alhamdulillah (alhamd), sekarang kita ke bagian akhir (lillah).

Al Fatihah, surat pembuka, artinya yang pertama kita baca dari Quran. Ini sesi perkenalan pertama. Kalau kenalan sama orang, apa yang pertama kita ucapkan? Halo, perkenalkan saya seorang blogger. Nope. Urutannya tidak begitu. Kita menyebutkan nama kita, baru kemudian peran/profesi kita, baru kemudian sedikit tentang sifat kita.

Begitulah Allah mengenalkan kita kepada-Nya. Allah memulai dengan menyebutkan nama-Nya.  Baru kemudian Allah memberitahu peran pertama yang harus kita ingat mengenai diri-Nya.

Selain tentang urutan perkenalan, kata Allah juga dipilih karena kita tidak hanya memuji dan bersyukur akan salah satu saja sifatnya. Kita tidak hanya memuji dan bersyukur karena Allah karena Arrahman atau Alghoffur, atau Alhakim. Tidak. Kita memuji dan bersyukur kepada Allah bukan hanya pada sebagian sifat dan asma-Nya.

Lanjut ke sesi perkenalan ya. Jadi kita sudah kenal nama nih. Kemudian Allah menyebutkan satu kata penting yang harus kita ingat mengenai-Nya. Bahwa Allah adalah rabbil 'alamin. Kata "rabb" di sini mencakup banyak makna:

  • al-malik (the owner, pemilik), artinya kita adalah milik-Nya, we're His property
  • al-murobbi (someone who ensures the growth), Allah tidak hanya memiliki kita kemudian membiarkan kita, tapi IA peduli, merawat dan mengurus kita, memastikan kita agar 'tumbuh' menjadi lebih baik.
  • al mun'in (the one who give gift), Allah ga cuma memiliki dan merawat kita, tapi juga memberikan kita hadiah, meski kita tidak melakukan apa pun yang membuat kita berhak mendapatkan hadiah tersebut. Our eyes, our hands, oxygen we breath.
  • al qayyim (the one who makes sure it stays together), ga cuma tiga hal di atas. Allah juga memastikan agar kita tidak hancur berkeping-keping. Karena tanpa 'perawatan dan pengawasannya', kita dengan hancur dan 'selesai', bahkan satu detik pun, kita tidak bisa hidup tanpa Allah Al Qayyim. (the blood circulation, our hearts that's beating, etc)
  • as sayyid (someone who has full authority), orang yang memiliki tapi tidak punya wewenang penuh tidak bisa disebut rabb. Seperti orang punya tanah, tapi ga bisa bebas bangun apapun, karena harus sesuai dengan peraturan tata kota.


Would it be the same?

Izinkan kututup resume kali ini dengan sebuah pertanyaan refleksi. Setelah ini... setelah kita menemukan kembali (rediscovering) alfatihah, baru sebuah frase pembukanya memang, baru alhamdulillah, tapi dari sini, apakah akan sama? Apakah akan sama rasanya saat kita mengucapkan alhamdulillah. Apakah kita masih akan melafalkannya di bibir, tanpa memasukkannya ke hati di setiap takbir shalat kita? Apakah kita bisa menghidupkan semangat positif yang dibawa satu frase istimewa yang Allah pilih sebagai perkenalan-Nya tersebut?

Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, serta amalan yang diterima. Aamiin.

Allahua'lam.

Saturday, January 18, 2020

Not Addicted But Impulsive

January 18, 2020 0 Comments
Bismillah.

#random #gakpenting

*warning* selftalk, another random and abstract post.


Seperti yang tertulis di judul, sementara, itu kesimpulan yang aku temukan. What I'm not and what I am.

Yang pertama baik, harus dijaga.

Yang kedua buruk, harus dijaga juga. I mean... I need to keep myself from being impulsive.

That's it. Selamat mengenali diri Bel.. Selamat berjuang, selalu aware, waspada, juga ingat.

It's getting closer to Ramadhan, let's prepare yourself while praying that Allah will give you chance to meet him again.

Allahua'lam.

***

PS: 'him' refer to month Ramadhan. Agak aneh kalau kalimatnya "...while praying that Allah will give you chance to meet it again"

Btw, kalau bulan (month) di bahasa arab itu muannats atau mudzakkar? Kalau bulan-moon (qamar) kan muannast, bener ga?

*tanya ke siapa bell?
#tanya ke tembok hehe

Tidak Bisa Maju Sendiri

January 18, 2020 0 Comments
Bismillah.

*warning* this will be an abstract post.


Malam itu aku tidak hadir on time saat diskusi tentang keputusan maju atau mundur. Aku baru membaca pertanyaan tersebut keesokan harinya.

Dua orang yang ditanya sebelumku memutuskan untuk mundur. Pagi itu, aku menjawab tanpa ragu, bahwa aku maju. Aku, masih mau lanjut.

Tinggal satu orang lagi, jika ia memilih maju, maka keputusannya tidak harus berhenti. Karena kerja tim bisa dilakukan minimal oleh dua orang.

Satu pekan berlalu. Belum ada kepastian meski aku sudah bertanya beberapa kali. Satu pekan lagi. Ia tidak segera menjawab, tapi justru berbicara tentang hal lain. Aku saat itu sudah tidak bertanya lagi, aku pikir, kalau ia sudah bulat, ia pasti akan memberitahu semua.

Selama menunggu kesimpulan akhirnya aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Jika kendaraan ini hendak maju, maka yang tersisa bisa mendorong pelan hingga menemukan pom bensin terdekat. Ah, mungkin sebenarnya bukan kehabisan bensin. Hanya salah satu bannya bocor dan butuh ditembel. Mungkin kami bisa meminta bantuan orang luar untuk ikut mendorongnya, atau bertanya dimana letak tukang tambal ban terdekat.

Selama menunggu jawaban akhirnya, aku berharap yang terbaik. Aku membayangkan harus melakukan lebih banyak hal, karena dua orang yang mundur. Tapi aku percaya aku bisa mengisi kursi kosong itu sementara, sembari mencari 'pengganti' yang mau ikut berjalan maju bersama.

Tapi aku juga tahu, bahwa aku harus bersiap atas kemungkinan buruknya.

Maka saat alasan itu dipaparkannya, sebagai pembuka sebelum akhirnya memutuskan untuk mundur, aku cuma meninggalkan jejak dua huruf. Pertanda aku mengerti.

"ok"

***

Kalau boleh jujur... Sampai detik ini aku masih menyayangkannya.

Aku ingin egois dan berkata, "Bolehkan aku maju sendiri?"

"It might be uneffective, I know, but I want to make it work even with my little effort"

Aku ingin lancang dan berkata, "can you just give me the authority to run it alone?"

Tapi pikiran-pikiran itu cuma bisa kubungkam dalam kepala. Meski tak berhasil, makanya sekarang keluar dalam bentuk tulisan abstrak.

I wish no one knows the real meaning of this abstract post. I hope none of 'them' read it.

***

Gelap makin pekat, hujan belum juga menyapa tempatku berpijak.

Kuakhiri tulisan ini dengan sebuah kesimpulan dan doa.

Kesimpulannya:

Aku untuk satu hal ini, dan juga beberapa hal lain dalam hidup, tidak bisa maju sendiri. Seperti roda becak yang terhubung, jika dua memilih untuk mundur, maka yang satu tidak bisa memaksa maju. Karena begitulah cara kerjanya.

Kuakhiri tulisan ini dengan sebuah kesimpulan dan doa.

Doa, semoga kelak ketiga roda tersebut suatu saat bersinergi lagi untuk maju bersama. Semoga pemberhentian ini hanya sebuah rehat.

Allahua'lam.

***

PS: Does anyone notice I write this using "The Magic of Rain" account?

Wednesday, January 15, 2020

SOS - Save Our Soul

January 15, 2020 0 Comments
Bismillah.
#buku

SOS, sebuah kode dan 'teriakan' untuk meminta bantuan.


Kemarin-kemarin, saat sedang cari buku baru buat jadi penghuni tetap tas, aku menemukan buku dengan judul SOS. Covernya berwarna biru, dengan ilustrasi seseorang yang menangis dan mengangkat tangan, meneriakkan "SOS" di pulau tak berpenghuni. Pulau kecil, satu orang, lautan dan langit. Bagian belakang buku terdapat tiga awan putih dengan tulisan berwarna merah.

"Hari gini, jiwa manusia kian gersang. Banyak orang kehilangan identitas dirinya. Meski kita punya pedoman yang jelas (baca: Al Qur'an), masih banyak juga yang tetap nggak "ngeh" dengan kesejatian dirinya. Kita dikelilingi oleh gemerlapnya lampu, tapi nggak bisa melihat sedikitpun."
"Kita tersesat di hutan beton!" 
"Kita kehilangan mata hati!"

Sampai di sini, ada yang tahu aku lagi bahas buku apa?

***

pic from goodreads

Buku lawas, terbitan 2007, seri ketiga dari Jangan Jadi Bebek, penulisnya O. Solihin. Buku yang diterbitkan oleh Gema Insani ini memang merupakan seri buku kado remaja, artinya cara pengemasan dan isinya ditujukan untuk remaja. Aku yang sudah bukan remaja, awalnya ragu untuk membaca kembali buku tersebut. Tapi teringat mimpi ingin nulis buku untuk remaja, akhirnya aku masukkan buku tersebut ke tas.

Setelah baca bab pertama di buku ini, aku tergerak untuk menulis ini. Judul buku ini mengingatkan kondisi nyata yang sedang terjadi. Banyak dari kita yang tidak menyadari, bahwa generasi muda, anak-anak dan remaja saat ini sebenarnya begitu sering mengirimi kita kode SOS. Mereka meminta untuk diselamatkan dari gilasan 'kekejaman dunia'. They just grow up, and they need our hand to help them passing through the storm. Banyak yang salah mengenali diri, karena memang tidak ada yang memberitahu, tidak ada yang menuntun kemana mereka harus melangkah. Akhirnya mereka menyimpulkan sendiri dari tontonan dan seliweran informasi yang mereka konsumsi sehari-hari via internet. Bahwa hidup adalah untuk mengejar kesenangan.

Bagian pertama buku ini diberi tajuk "Inilah Kita", isinya tentang kondisi realita yang terjadi. Ada enam tulisan, yang pertama tentang "Ketika Groupies Memburu Bintang". Groupies itu ternyata nama lain dari fanclub. Baca tulisan pertama, membuatku sadar, wah ternyata dari dulu juga ada fenomena fanclub. Diceritakan tentang apa saja yang biasa dilakukan seorang 'fans', mulai dari koleksi album, foto, sampai ngikutin 'idola' dari satu tempat ke tempat, termasuk hal-hal ekstrim seperti mengancam untuk menikah juga menawarkan seks. Does this kind of thing still happening? I'm afraid it does. Tulisan ini juga memaparkan fakta yang sekarang banyak kita tahu. Bahwa menjadi selebriti itu ga cuma dapat 'kesenangan', tapi dibaliknya ada juga banyak memakan ketenangan hidup (they suffered anxiety).
"Kini menjadi bintang malah bikin was-was. Nggak tenang, bahkan bisa jadi nggak bahagia. Was-was khawatir ada fans yang nekat masuk ke wilayah paling pribadi. Rasa was-was dan nggak bahagia memang bikin repot, bahkan bikin nyawa melayang."
Tulisan kedua, masih dari bab pertama berjudul "Mencipta Bintang Hiburan". Dibuka dengan sorotan fenomena saat buku tersebut ditulis, maraknya program televisi pencarian bintang hiburan (AFI, Indonesian Idol, KDI, Ajang Boyband, dll). Tulisan ini membuka realita tentang 'cita-cita' kebanyakan remaja untuk menjadi 'bintang'. Kenapa ini bisa terjadi? Karena itu yang mereka tonton sehari-hari. Yang sering mereka lihat dan dengar adalah kehidupan artis, entah itu penyanyi, aktor, pelawak, youtuber, maka semua itu lama-lama membuat mereka ingin meniru langkah tersebut. "Aku juga ingin seperti itu."
"Ajang pemilihan calon bintang yang digelar di beberapa televisi swasta ini, memang menarik minat calon peserta, khususnya remaja. Maklumlah, siapa sih yang nggak ingin jadi tajir dan terkenal? Gelagat seperti ini bukan kabar bagus, sobat. Soalnya teman-teman remaja bakalan terdidik menjadi manusia yang cuma bisa dan boleh menikmati kebahagiaan yang bersifat duniawi semata."
..
"Jadi tajir dan terkenal emang enak. Mau apa-apa gampang. Hari gini semua juga jadi gampang kalo duit ada. Orang top di mana-mana dielu-elukan. Hebat banget deh! Tapi tau nggak sobat, semua itu adalah kebahagiaan semu alias sementara aja. Padahal dengan kekayaan dan ketenaran, kita akan terdidik menjadi orang yang terbiasa serba enak. Kalo suatu saat harus jatuh, pasti sakit banget tuh. Tapi sayangnya jika kita dilambungkan oleh uang dan ketenaran. biasanya kita keenakan. Dan lagi yang namanya keinginan (nafsu) kalo terus diturutin akan menjadi-jadi alias berlipat-lipat. So be careful, Guys!

Sampai di sini, aku jadi mikir, ada gak ya yang nulis esensi tulisan di buku ini, tapi dalam pengemasan dan informasi yang terkini. Karena sebenernya, fenomenanya kayak gak berubah, masih terjadi. Tapi buku ini bisa nggak nyambung buat remaja sekarang karena contoh-contoh di dalamnya memang udah gak up to date. Semoga buku-buku bergizi untuk remaja masih ada ya, ga harus buku juga sih, bisa dalam bentuk lain, konten-konten ramah remaja yang baik baik itu di youtube, ig, atau yang lain.

Membaca buku ini saya jadi salut oleh penulis O. Solihin yang masih konsisten menulis untuk remaja. Tulisannya bisa di baca di blog-nya https://osolihin.wordpress.com/

***

Terakhir, untukku terutama. Apa yang bisa kau lakukan saat mendengar SOS dari anak-anak dan remaja di sekitarmu? SOS itu mungkin tidak mereka teriakan dengan keras, juga tidak nampak di wajah mereka. Tapi jiwa mereka mengirimkan sinyalnya. Apa peranmu? Cukupkah kita sibuk dengan urusan sendiri, dan melupakan generasi setelah kita? Bibit-bibit yang kelak akan tumbuh menjadi pohon, berbunga juga berbuah. Will we leave them to grow alone?

Allahua'lam.

Saturday, January 11, 2020

3 Cerita yang (Tidak) Sama

January 11, 2020 0 Comments
Bismillah.


Tiga cerita dari tiga orang berbeda, sekilas semuanya seolah sama, berbicara tentang kesendirian dan keinginan untuk segera 'pindah kelas'. Tapi ketiganya, bukan cerita yang sama. Cara mereka menyampaikannya, sudut pandang masing-masing, juga aura vibe yang menyertainya, berbeda. Tidak sama.

Tiga cerita hadir, dari tiga orang yang berbeda. Yang pertama berisi banyak pertanyaan, dan keluhan. Emosi negatif yang dibawa kata dan kalimat dalam cerita tersebut sering membuatku ikut pening. Sesekali, aku beri jeda agar tidak selalu segera merespon, karena menjaga agar tidak sampai terbawa emosi negatif tersebut, berusaha tetap netral namun tetap berempati.

Tiga cerita hadir, dari tiga orang yang berbeda. Yang kedua tanpa pertanyaan, dan dengan solusi. Kalau cerita lain biasanya meminta respon, kali ini bentuknya lebih mirip monolog yang membutuhkan pembaca. Muatannya menetralkan cerita pertama. Aku yang membaca jadi ikut tersenyum karena senang, ia mengizinkanku merasakan juga manisnya kesimpulan yang ia ambil dari kegundahan yang pernah dan masih sedang ia alami.

Tiga cerita hadir, dari tiga orang yang berbeda. Yang ketiga singkat padat dan tanpa basa-basi. Mungkin lebih tepat disebut sebagai pernyataan dan pertanyaan daripada cerita, saking pendeknya. Aku pun menjawab dengan singkat, sembari dalam hati berharap, semoga jawaban singkat tersebut bisa membantu. meski sedikit.

***

Aku termasuk orang yang jarang dicurhatin, tapi kadang dalam 'diam'-ku ada yang mau membuka suara dan menyapaku, kemudian bercerita. Dan uniknya, seringkali yang bercerita bukan cuma satu orang, kadang dua, atau seperti kali ini tiga orang. Topiknya pun seringkali serupa. Membuatku bertanya-tanya, apa pesan yang ingin Allah ajarkan padaku, dengan hadirnya cerita tersebut? Sikap apa yang baiknya kulakukan, agar bisa menjadi pendengar pembaca yang baik? *curhatnya via chat soalnya hehe

Aku termasuk orang yang jarang dicurhatin, maka setiap cerita yang kudengar dan kubaca menjadi istimewa di mataku. Karena aku tahu, bahwa tidak semua orang mudah bercerita. Banyak yang memendam dan mengubur ceritanya sendiri, membiarkan tumpukan emosi meninggi dan menyesaki otak dan dada.

Aku termasuk orang yang jarang dicurhatin, maka setiap cerita yang kudengar dan kubaca menjadi istimewa di mataku. Terima kasih telah bercerita, meski aku masih 'terbata' untuk mendengar/membacanya.

Terakhir, semoga setiap cerita menemukan 'akhir' yang indah, meski sebelum ke sana harus bertemu mendaki klimaks dan menuruni anti klimaks. Semoga setiap cerita, mengantarkan kita pada Rabb yang menuliskan garis hidup kita dengan skenario terbaik. Semoga setiap cerita mengajarkan kita bagaimana agar selalu berbaik sangka pada-Nya.


Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.

Thursday, January 9, 2020

Menguntai Mutiara dari Surat Cinta-Nya

January 09, 2020 2 Comments
Bismillah.
#matrikulasinakid #nakindonesia

PDKT yang Buruk


Materi kedua matrikulasi diambil dari video berjudul Mukjizat Bahasa Quran, atau mungkin ada yang lebih familiar dengan judul bahasa inggrisnya Final Miracle.


Video ini dibuka dengan sebuah problem, bahwa saat ini banyak muslim yang terjebak dalam debat dengan non muslim membahas tentang Quran sebagai mukjizat terakhir. Bagaimana Quran bukan buatan manusia, bukti-bukti yang kita dapatkan di dalamnya, juga termasuk tantangan untuk membuat ayat atau surat untuk menandinginya.

Mungkin niat awalnya baik, ingin dakwah, ingin meneruskan cahaya Islam, namun kita seringkali lupa, bahwa dalam debat tidak ada yang benar-benar mendengarkan untuk mengerti. Debat ibarat ring pertarungan, dan hanya ada dua kemungkinan, menang, atau kalah. Siapapun yang masuk ke dalamnya, akan fokus bagaimana mengalahkan lawan, bagaimana dapat memukul argumen lawan, dan membuatnya KO.

Jika kita ingin membagikan kepada orang lain tentang mukjizat quran, maka kita harus ingat, bahwa tiap percakapan yang berujung pada debat adalah cara PDKT (pendekatan) yang buruk.

Ustadz Nouman menekankan tentang debat, "That's not a good approach with anybody. This is not the approach of the Quran."

Menyajikan Puzzle Mukjizat Al Quran

Ibarat menikmati fine dining, ada makanan pembuka sebelum ke menu utama. Kali ini makanan pembukanya ga cuma satu. Yang pertama terkait problem pendekatan perdebatan mengenai mukjizat Quran, nah yang kedua juga gak kalah 'manis'.

Ustadz Nouman menjelaskan bahwa mutiara-mutiara yang akan beliau sajikan terbatas pada pemahaman beliau. Jadi cuma mutiara-mutiara kecil. Jika ada yang tidak setuju terhadap penjelasan beliau, bukan berarti otomatis, "Berarti Al Quran bukan mukjizat terakhir dong?" Nope, bukan begitu.

All I can say is, to the best of what I can appreciate, "This is what I love about the Quran". "This is what makes it beautiful to me". You may see it and you may not see it.
Because my understanding is not the reason that Quran is a miracle. The Quran is a miracle for reasons beyond my understanding. It is powerful beyond what I know and what I don't know. - Nouman Ali Khan

Muslim Juga Perlu Tahu?

Bukankah seorang muslim sudah beriman, sudah percaya bahwa Al Quran bukan buku karangan Muhammad (shalallahu 'alaihi wasalam)? Trus kenapa perlu bahas mukjizat Quran (lagi)?

Jawabannya, karena hati kita. Otak dan pikiran kita sudah mengetahui bahwa Al Quran adalah mukjizat, bahwa Quran adalah kalamullah.

Tapi saat kita mempelajari mukjizat Al Quran, saat kita menyelami kedalaman 'lautan' kalamullah, dan menemukan mutiara-mutiara di dalamnya. Hati kita akan puas, hati kita akan tenang, hati kita akan merasa mantap.


قَالَ بَلَىٰ وَلَـٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى 

....Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya,
akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)....
[Surat Al-Baqarah (2) ayat 260]

Orang-orang yang mendengar kisah Nabi Musa membelah lautan merah (dengan izin Allah), dan orang-orang yang melihat langsung mukjizat terbelahnya lautan merah, merasakan langsung berjalan menyebrangi lautan merah tanpa jembatan, ada perbedaan perasaan antara keduanya.

Al Quran adalah firman Allah, bacaan yang dijaga Allah hingga akhir zaman. Al Quran didesain untuk itu, agar setiap orang bisa menyelaminya, dan merasakan keindahan mutiara yang ditemukan di dalamnya. Itulah mengapa bahkan kita, muslim, tetap harus mempelajari mukjizat Al Quran.

***

Miracle vs I'jaz


Ada perbedaan yang jelas antara keajaiban dengan mu'jizat. Kalau miracle itu membuat kita takjub, wow, hebat, keren! I'jaz (mu'jizat) lebih dari itu. Diambil dari kata 'ajaz yang berarti to be on your knees, bertekuk lutut, ga bisa berdiri. I'jaz artinya sesuatu yang membuat tidak mampu. Mu'jiz pihak yang membuat 'tidak mampu'.

Kalau kita ketemu miracle, kita bisa berkata, "wow". Saat kita melihat mu'jizat, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Overpowered. Ustadz Nouman menggambarkannya bak seseorang yang menyebrang trus ga sadar, ada mobil dengan kecepatan tinggi mendekat, klakson berbunyi, jaraknya sudah begitu dekat, satu detik sebelum orang itu tertabrak dan tubuhnya terpelanting, satu detik itu, seperti itu. Overpowered, incapable.

Ustadz Nouman pertama kali belajar quran untuk mengetahui pesan, petunjuk, ilmu yang ada di dalamnya. Sampai beliau nemu lecture berbahasa arab tentang I'jazul Quran oleh Tarikh Suidan. Dari situ beliau jadi sadar pentingnya kita untuk mengetahui hal tersebut, dan mulai mempelajarinya.

Dan dari pembelajaran beliau, di video matrikulasi kali ini ada beberapa yang beliau sajikan, terutama dari mu'jizat quran dari sudut pandang linguistik. Saya ga akan nulisin penjelasa contoh-contohnya di sini, tapi ini listnya: (klik di tulisan ber-highlight pink untuk dengerin langsung penjelasannya)


Seperti dalam bahasa inggris, tidak semua kata jamak tinggal nambahin 's' atau 'es', untuk car, jamaknya memang cars, untuk box jamaknya memang boxes, tapi untuk mouse apakah jamaknya mouses? Bukan. Mice. Dalam bahasa arab, lebih unik lagi, satu kata tunggal bisa memiliki beberapa kata jamak. Ustadz Nouman menjelaskan dua contoh Allah menggunakan kata jamak yang berbeda, konteksnya, serta bagaimana hal itu make sense dan membuat beliau takjub akan Al Quran. (reminder: klik  di tulisan ber-highlight pink untuk penjelasannya.)

Tentang mengapa Nabi Isa 'alaihi salam tidak pernah memanggil Bani Israil dengan 'sapaan' "Ya Kaumku" seperti halnya Nabi Musa 'alaihi salam? Padahal keduanya sama-sama berasal dari bani israil (keturunan Nabi Ya'qub).
Di akhir ayat Al Quran, kita sering menemukan kombinasi dua asmaul husna, tapi di Al Jumu'ah ada empat? Bagaimana kaitan empat asmaul husna tersebut dengan ayat-ayat selanjutnya? 

Ayat kursi terdiri dari 9 kalimat, yang urutanya saling berkaitan. Explained better by chart.

diambil dari sini

Kata Ustadz, ini bukan miracle, tapi beauty. Barangkali ada yang tanya, di Quran bagaimana gambaran surga? Daripada menjawab tentang sungai, mari jawab dan ceritakan tentang minuman-minuman di surga. Bagaimana Allah membahas minuman di surga? Dan bagaimana kita dapat menganalogikannya dengan pesta yang orang-orang biasa lakukan sekarang.

***

Tentang Urutan dan 'Keteraturan' 


Dari contoh-contoh di atas, kita jadi paham bahwa salah satu bentuk mu'jizat Al Quran adalah urutan dan 'keteraturan' di dalamnya. Mudah untuk menghasilkan karya tulis yang runut dan memiliki keteraturan/komposisi tertentu. Karena sesuatu yang ditulis bisa diedit. Berbeda dengan ucapan.

Bayangkan berbicara tentang pergantian malam dan siang, di awal percakapan kita mungkin menyebut malam baru kemudian siang, tapi di bagian tertentu kita menyebut siang dahulu baru kemudian malam. Dan itu tidak memiliki arti/makna lebih dalam, hanya ketidaksengajaan saja. Tapi dalam Al Quran tidak begitu, karena Al Quran turun dalam bentuk bacaan (qara'a), bukan buku (kataba). Urutan dan keteraturan tersebut membuat kita takjub berkali-kali. Contoh mukjizat di surat Al Jumu'ah, atau di Ayat Kursi, atau palindrom di ayat "robbuka fa kabbir".


(mengapa di satu ayat yang dikunci terlebih dahulu hati,
tapi di ayat lain pendengaran yang dikunci terlebih dahulu)


Setiap kali kita menemukannya sendiri, atau mendengar penjelasan mengenai mu'jizat Al Quran, maka hati kita akan makin puas dan tenang. Kita dapat merasakan langsung bahwa Al Quran benar-benar mu'jizat dari Allah, bukan sekedar doktrin yang sering kita dengar dari orang tua dan masyarakat. Semoga dengan mempelajari mukjizat Al Quran kualitas ibadah kita, terutama shalat kita juga akan meningkat.



Semoga Allah menjadikan Al Quran sebagai musim semi bagi hati kita, cahaya di dada kita, pelipur kesedihan serta penghapus kegelisahan kita. Aamiin.

Allahua'lam.

Wednesday, January 8, 2020

Ekspektasi Dibalik Sebuah Tanya

January 08, 2020 0 Comments
Bismillah.
#fiksi



Ia melangkah memasuki kamarnya, kemudian menutup pelan pintunya. Digerakkannya pelan gerendel yang berada di atas pegangan pintu, memindahkannya ke posisi kunci. Kakinya pelan menyeret tubuhnya untuk duduk di dipan kecil berukuran 2x1 meter. Ia mendesah nafas pelan, sembari mendengarkan rintik hujan di luar sana. Hujan malam itu tidak cukup deras untuk meredam tangis yang hendak pecah, ia akhirnya memilih menyalakan kipas angin, kemudian kembali berselimut diatas tempat tidurnya, menumpahkan emosi dan sesak di dada yang sedari tadi ia tahan.

Otaknya mengulang-ulang diskusi sore itu dengan ayahnya. Diskusi yang menyenangkan seperti biasanya. Sampai sebuah pertanyaan dilayangkan padanya. Pertanyaan retoris, yang seharusnya cukup dijawab dengan kata ya.

"Bukankah begitu seharusnya kita belajar Al Quran? Tidak cuma membaca, tapi juga mengetahui artinya, menelaah tafsirnya, dan yang terpenting... mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari."

Entah ia yang terlalu overthinking, tapi di telinganya, pertanyaan itu bukan sekedar pertanyaan. Ada ekspektasi di balik pertanyaan itu. Ada tuntutan, ada desakan dan tekanan. Maka ia tidak segera menyetujuinya, ia justru berdalih.

"Idealnya memang begitu, tapi setiap orang punya jalan hijrahnya masing-masing. Ada tahapannya, ada step-stepnya. Ada yang baru bisa membiasakan membaca setiap hari, ada yang baru bisa sekedar menghafal tanpa mengerti artinya."
Ayahnya yang sudah sering berdiskusi dengannya tahu betul, bahwa fakta tersebut disajikan sebagai pembenaran, sebagai alasan yang membuat anaknya berada di zona nyaman, meski tahu bagaimana idealnya berinteraksi dengan quran. Satu dua argumen berhadapan, hingga akhirnya ia yang kalah dan mengakui. Benar, memang benar begitu, seharusnya bukan cuma membaca, bukan cuma menghafal, tapi juga mencari tahu arti dan maknanya, menelaah tafsirnya, dan yang lebih penting lagi, mengamalkannya.

Diskusi berakhir, dan ia kembali ke kamar dengan mata yang terasa panas, dan dada yang terasa sesak.

***

Suara adzan magrib membangunkannya, matanya yang lelah setelah menangis terbawa kantuk, dan ia tertidur sekitar lima menit. Kepalanya sedikit sakit, senada dengan kondisi hatinya yang masih merasa pilu.

Sore itu ia memilih berselimut dingin hujan dan dingin terpaan kipas angin, dan tangis yang luruh itu... mungkin karena rasa bersalahnya atas dosa yang menggunung. Atau karena berat beban ekspektasi orangtuanya padanya. Pertanyaan ayahnya tadi sore, seolah menekannya, mendesak dan memojokkannya.

Kemana perginya ayat-ayat yang kau baca dan hafalkan?
Kemana perginya ayat-ayat yang kau pelajari? 

Pertanyaan itu, dan ekspektasi dibaliknya, seolah menikam dirinya berkali-kali. Karena ia pernah menghancurkan ekspektasi orangtuanya sekali, membuat mereka kecewa dan terluka. Maka saat ia melihat ekspektasi baru di mata, ucapan, dan di gerak dan tindak laku kedua orangtuanya, ia seolah diserang ketakutan yang begitu raksasa. Ia tahu rasa sakitnya mengecewakan orang-orang yang begitu disayanginya. Ia tahu kesalahan dan dosanya karena telah mengecewakan mereka. Maka sungguh, ia tidak ingin mengulanginya lagi.

Dan ketika ekpektasi itu hadir, dan pertanyaan itu didengarnya, pundaknya seolah menerima beban yang begitu berat.

Ia tahu posisi dirinya, ia tahu kewajiban dirinya. Ia juga ingin begitu, betapa indah jika ayat yang kita baca, kita pelajari, bisa dengan mudah menjelma dalam amal. Tapi kenyataannya tidak semudah itu... Seperti ulat yang ingin segera bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dalam waktu semalam, ia hanya seekor ulat, masih ada banyak fase dan tantangan yang membentang untuk menjadi seindah kupu-kupu.

Adzan magrib selesai bersamaan dengan basuhan terakhir di kaki kirinya. Ia mengangkat tangannya, membisikkan doa pelan. Sebulir air hangat turun bersamaan dengan air sisa wudhu. Hatinya memohon pada Zat yang mampu mendengar isi hati setiap makhluk-Nya, semoga ia diselamatkan dari api neraka, semoga ia bukan termasuk orang-orang munafik, dan semoga... ia mampu menjadi seorang anak yang menyejukkan mata kedua orangtuanya, bukan sebaliknya.

The End.

Monday, January 6, 2020

Fungsi Cermin

January 06, 2020 0 Comments
Bismillah.


Bagiku, keberadaannya bagaikan fungsi cermin. Aku dibantu melihat apa yang tadinya tidak bisa kulihat.

Di cermin tersebut, aku melihat sosok yang mirip diriku di masa lalu. Aku tidak sepenuhnya mengenalinya. Tapi aku dapat melihat awan gelap kekhawatiran melingkupinya, sama seperti diriku di masa lalu. Wajahnya sesekali gelap, di lain waktu pias. Aku tidak sepenuhnya mengerti, tapi aku bisa berkata aku mungkin pernah mengecap rasanya. Rasa teriris setiap kali lintasan prasangka buruk lalu lalang di otak. Rasa takut yang membuat dada sesak dan desakan air di kelopak mata, setiap kali harus 'menunggu'. Perasaan lemah dan tak berdaya, tersesat namun seolah semua jalan sama, bertanya-tanya, mampukah kembali pulang?

Bagiku, keberadaannya bagaikan fungsi cermin. Aku dibantu melihat apa yang tadinya tidak bisa kulihat.

Di cermin itu, kulihat gerak-geriknya. Ia hendak berjalan maju, namun kepalanya terus menengok ke belakang. Akibatnya ia tersandung batu, menabrak tiang, menginjak duri, dan jatuh di selokan berlumpur. Tubuhnya memang masih berjalan maju, tapi otak dan hatinya terpaut di masa lalu. Melihat sosok itu, aku jadi bertanya-tanya, bagaimana dengan diri?

Bagiku, keberadaannya bagaikan fungsi cermin. Aku dibantu melihat apa yang tadinya tidak bisa kulihat.

Hari ini, dan beberapa hari sebelumnya, aku ingin sekali meninggalkan keberadaannya. Cermin itu, seolah menebar negative vibes, membuatku ikut tenggelam dalam kisah 'kelam'-nya. Aku kini lelah memperhatikannya, aku kini lelah melihat gerak-geriknya. Aku ingin menutup mata dan pergi jauh, aku ingin egois dan berhenti berempati. Aku juga manusia, aku lelah.

Tapi... Allah mengingatkanku lagi, bahwa keberadaannya bagiku bagaikan fungsi cermin. Ya, seperti cermin yang tidak sepanjang hari kita pandangi, hanya sesekali. Seperti itu juga keberadaannya. Karena bukan cermin yang membutuhkan manusia, manusia yang butuh cermin. Sesekali saja, untuk berkaca. Jangan berdiri seharian di depannya. Sesekali saja.

Maka setelah sejenak aku menenangkan diri, kemudian kembali mengamati sosok dalam cermin tersebut. Aku bersyukur, karena keberadaannya membuatku melihat apa yang tadinya tidak bisa kulihat. Seperti fungsi cermin yang membuatku bisa melihat sebuah jerawat di ujung hidungku. Seperti itu juga, keberadaannya membuatku melihat sebuah kesalahan yang harus kuperbaiki, atau sebuah dosa yang harus segera kutaubati.

Allahua'lam.

Saturday, January 4, 2020

Bye (2019) Hi (2020)

January 04, 2020 2 Comments
Bismillah.


Evaluasi 2019 dan resolusi 2020? Sounds familiar, isn't it? Topik yang memang banyak ditulis siapa saja, baik di blog maupun sosial media, bahkan juga didiskusikan tatap muka di akhir atau awal abad 2020.

2020, angka yang bagus ya? Menulis ini, mengingatkanku akan Doraemon, komik jepang yang terkenal. Sebagai penanda sebuah resolusi juga, bahwa kelak di abad ke 22 akan ada mesin waktu yang mengirim robot kucing ke masa lalu. Iya, masih 2020, masih abad 20, tapi angka dua yang berulang, dan doraemon, mengingatkanku bahwa memiliki visi, membuat resolusi, semua itu harus kita lakukan. Menulisnya tidak wajib, tapi memilikinya, dan menerapkannya itu penting agar hidup tidak merugi. Begitu pula evaluasi, sebagaimana doraemon dikirim ke masa lalu, kita, tanpa harus kembali ke masa lalu, bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Asal kita mau mengevaluasinya, merefleksikannya, dan belajar darinya.

Selain karena hal tersebut, aku menulis ini, karena sudah lebih dua tahun saya mengenal gerakan @sabtulis, dan tulisan ini untuk sabtulis.

Sedikit Catatan 2018 + 2019

*warning* bener-bener personal, better skip this one!

Akhir tahun 2018, saya juga buat tulisan evaluasi, isinya singkat, bukan dalam bentuk narasi. Pencapaian dan yang perlu diperbaiki. Tersimpan di draft, dan memang tidak berniat dipublikasi. Tapi untuk hari ini, saya share sebagiannya.

sabtulis, salah satu cerita 2018-ku
Sekarang sedikit catatan 2019

- nelurin 2 e-book, satu kompilasi tulisan fiksi dari blog, satu lagi ikutan projeknya @sendysaga
- jadi panitia PYC, tes lagi kemampuan public speaking
- kuantitas nulis sabtulis turun, tapi kontribusi di tim superb sabtulis ok
- jadi tim MFA yang kedua kalinya, dan ini membuka pintu kontribusi lain meski kecil
- terhubung lagi dengan temen SMA
- dapet temen yang sering ngajakin olahraga
- FFB selesai, meski tidak maksimal menjadi peserta

Hal yang harus dilakukan ke depannya:

- copas tahun 2018
- menerapkan pelajaran dari FFB
- memutus rantai gajah, membuka kesempatan kolaborasi, aktif dan inisiatif di komunitas
- kirim draft ke penerbit, publish at least one small book.
- kelola blog yang sudah dibuat, rutin diisi. medium, newleaf, daribuku, betterword+ig  
- more and more istighfar
- rutinin lagi baca buku, small but consistent, tiap hari harusnya

Bye Masa Lalu, Hi Hari Ini

Menulis evaluasi dan resolusi artinya kita mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu dan menyapa hari ini.

Dengan menulis evaluasi, kita sebenarnya sedang menerima yang telah berlalu, semua, dari yang baik-baik, sampai yang sedikit menyakitkan. Dengan evaluasi kita seolah berbincang dengan diri dan masa lalu kita, tugasmu sudah selesai, aku belajar banyak darimu. Kini kamu tidak perlu menjadi pemberat langkahku. Catatanmu masih ada, dan aku juga bisa melihat ulang, dengan otoritasku. Karena bukan masa lalu yang memiliki-ku, tapi aku yang memiliki masa lalu. Tinta takdir-Nya sudah mengering, dan aku percaya, Allah menuliskan itu agar aku menjadi pribadi yang lebih baik, hamba yang semakin sadar akan peranannya. Allah menuliskan semua itu agar aku menjadi hamba yang sadar tempatnya berdiri, bahwa dunia ini tempat bekerja, dan akhirat tempat menuai. Bahwa dunia ini tempat singgah, dan akhirat tujuan pulang. Semoga Allah menjaga kita dari api neraka, dan memasukkan kita ke jannah-Nya. Aamiin.

Menulis evaluasi dan resolusi artinya kita mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu dan menyapa hari ini.

Dengan menulis resolusi, kita sebenarnya sedang bangun dan sadar, bersiap bekerja hari ini. Bukan mengalir mengikuti arus tapi berjalan dengan rencana dan tujuan yang jelas. Agar tangga-tangga yang kelak kita naiki tidak menjadi sia. Agar kita tidak terbuai distraksi, dan sekedar menjalani rutinitas. Menulis resolusi artinya kita optimis bahwa hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Catatan ini adalah bentuk pengingat, bahwa manusia sering lupa.

Terakhir, sudahkah menulis evaluasi 2019 dan resolusi 2020? It might be a little be late, but it's better than not doing it, right? Jika belum, sempatkan waktumu untuk menuliskannya, tidak harus di blog/sosial media, cukup di buku jurnal harianmu, atau di sebuah kertas yang kemudian ditempel di kamarmu. Semangaat ! Semoga Allah melingkupi hari-harimu dengan keberkahan. Aamiin.

***

Keterangan: Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.

Thursday, January 2, 2020

Adab Sebelum Ilmu

January 02, 2020 1 Comments
Bismillah.

#matrikulasinakid #nakindonesia

Prolog *boleh banget di skip

Akhir tahun kemarin, di grup NAKID 1 ada pengumuman program matrikulasi? Apa itu? Intinya program untuk meresume lecture ustadz Nouman dan diskusi terkait konten di dalamnya. Selama 7 pekan, satu pekan satu materi.

Nah karena saya sudah lama ga nulis resume dari video ustadz Nouman, ditambah ingin memulai tahun 2020 dengan kegiatan produktif, saya ikutan agenda tersebut. Mohon doanya ya semoga saya bisa dapet ilmu dan menjadi muslimah yang lebih baik. Semoga saya bisa aktif berpartisipasi sampai akhir program.

Materi perdana diambil dari video durasi 7 menit, judulnya "Intelectual Hummility". Link-nya di sini dari channel FQE. Saya sebenarnya sudah pernah menonton video ini, beberapa tahun yang lalu, bukan versi kartun, dari channel Quran Weekly, ini linknya. disitu Ystadz Nouman masih muda hehe. 

Dulu, karena video ini, saya jadi banyak istighfar dan ngerasa jleb. Sekarang nonton lagi jadi maluu.. mengingat masa lalu saat pertama kali belajar islam dan belum paham bagaimana adab penuntut ilmu. Karena penjelasan dari video tersebut, saya juga "menurunkan" banyak tulisan dari blog ini, terutama yang di dalamnya saya cantumkan hadist. Opini tentang kenapa sih baiknya perempuan ga safar sendirian,  kenapa sih perempuan, terutama akhawat (yang paham ilmu agama) ga boleh pulang malem? Saya dulu termasuk yang vokal dan mengutarakan opini lewat tulisan, apalagi dulu banyak tuntutan pulang malem. Baik itu urusan osjur, unit (ukm), pemira, dll. Sembari beropini saya seringkali mencantumkan hadits tentang shalat perempuan yang lebih baik di rumah, tanpa benar-benar paham konteks hadits tersebut.

Sampai saya bertemu video ini. Jleb, sakit, tapi saya jadi kebangun dan sadar, bahwa saya harus hati-hati. Hati-hati, agar tidak sembarangan berbicara tentang hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam, dan juga hati-hati akan semut hitam kecil, diatas batu hitam, ditengah malam yang gelap gulita.

Intellectual Humility - Rendah Hati dalam Berilmu


Ustadz Nouman memulai lecture (kajian) ini dengan membaca bagian akhir dari ayat 76 surat Yusuf.

وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌۭ

"...dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui."
[Surat Yusuf (12) ayat 76]

Ayat tersebut senada dengan pepatah yang sudah kita hafal, bahwa di atas langit ada langit. Hal yang harus kita resapi agar tidak pernah merasa tinggi hati tentang apapun, termasuk tentang keilmuan kita.

Mudah bagi manusia untuk menjadi sombong karena keilmuan yang ia miliki. Gelar sarjana, master, doktor, Phd, bisa membuat kita memandang rendah orang lain. Bagaimana dengan ilmu agamar? Misalkan, kita sudah membaca kitab A, mendengarkan kajian B, serta tafsir surat C. Apakah ada setitik arogansi di hati, saat kita berinteraksi dengan orang lain? Apakah dengan ilmu tersebut, kita mencari-cari forum debat, untuk membuktikan pada orang-orang bahwa "kalian salah" dan "saya benar", bahwa "kalian tidak tahu apa-apa" dan "saya lebih berilmu"? Na'udzubillah, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang seperti itu.

Ustadz Nouman mengingatkan kita, bahwa ilmu agama seharusnya mengajarkan kita tentang kerendahan hati. Bahwa setiap kita mempelajari hal baru, kita jadi paham betapa kita begitu bodoh dan belum tahu banyak hal. Sikap rendah hati ini harus selalu kita jaga. Bahkan ketika kita tahu bahwa orang lain salah, kita tidak dalam posisi berhak atau berwenang memberikan fatwa tentang hal tersebut.

Ini juga terkait bagaimana sikap kita pada ulama artau ustadz yang memiliki kesalahan. Kita tidak memiliki ilmu untuk mengarahkan telunjuk jari kita terhadap kesalahan mereka. Kita tidak tahu posisi mereka di mata Allah. Barangkali, Allah sudah mengampuni kesalahan mereka.

Sikap rendah hati dalam berilmu ini juga seharusnya tercermin dari sikap kita terhadap hadits. Jangan sampai kita menggunakan sabda Rasulullah sebagai 'amunisi' kita untuk berdebat. Ada banyak hal yang harus diketahui untuk menyimpulkan suatu hadits, situasi yang melatarbelakangi-nya, ijma' dari para sahabat, dll. Sekedar membaca terjemahannya saja tidak cukup membuat kita tahu isinya. Bahkan Imam Asy syafi'i mengingatkan kita betapa pentingnya belajar nahwu, dalam menuntut ilmu agama, agar jangan sampai jatuh, termasuk orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah. Pesan tersebut disampaikan kepada orang-orang arab, pertanyaannya, dimana posisi kita?

Kita harus sering mengecek hati kita, jangan sampai ada rasa sombong yang menjangkiti. Rasa sombong, mungkin keberadaannya seperti semut hitam, di atas batu hitam, dimalam yang gelap gulita. Orang lain mungkin tidak mengetahuinya, tapi Allah tahu. Allah melihatnya. Allah mengetahui apa yang ada di hati kita.


Kita harus sering menelisik langkah kita, agar jangan sampai kita masuk ke perangkap setan. Kita mengira kita sedang mendakwahkan islam, menyebarkan kebenaran, amar ma'ruf nahi mungkar. Tapi setan sebenarnya sedang menanamkan penyakit tinggi hati, tanpa kita sadari.

Adab Sebelum Ilmu


Mendengarkan lagi lecture tersebut mengingatkan saya pentingnya adab sebelum ilmu. Di era informasi sekarang, mudah untuk mendapatkan ilmu. Kalau dulu seseorang harus berjalan ratusan mil, untuk bisa mendapatkan satu hadits, atau harus mempunyai buku shahih bukhari, sekarang dengan satu klik, kita bisa mencari hadits. Ada banyak aplikasi yang bisa di download untuk menunjang proses belajar kita. Namun dengan kecepatan tersebut, kita seringkali tidak tahu atau lupa adab dalam menuntut ilmu. Kita tidak tahu, bagaimana seharusnya adab kita kepada guru, ustadz dan ulama. Kita lupa bagaimana perjuangan para ulama terdahulu agar ilmu bisa sampai ke generasi sekarang. Malam-malam mereka *rahimahumullah terjaga dengan temaram api untuk membaca, menghafal dan menulis kitab. Kita lupa hal tersebut, sehingga setitik yang kita tahu membuat kita terbang mengikuti angan-angan yang dibisikkan setan.

Perkataan Orang-orang Salaf, dan Perkataan Kita


Dalam buku Tarbiyah Ruhiyah ala Tabi'in disebutkan,

Ketika Hamdun bin Ahmad ditanya, "Mengapa perkataan orang-orang salaf lebih bermanfaat dari perkataan kita?" 
Beliau menjawab, "Karena mereka berkata untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa, dan mengharap ridha Allah, sedang kita berkata untuk kemuliaan diri sendiri, mencari dunia, dan mengharap ridha makhluk."


Materi pertama matrikulasi NAK Indonesia ini mungkin sengaja dipilih, agar selama proses matrikulasi, peserta selalu ingat bagaimana seharusnya menjadi seorang penuntut ilmu. Serta bagaimana agar tugas membuat resume dikerjakan dengan niat yang lurus, karena jika ada sombong dan ria di hati, sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Semoga Allah menjaga hati kita dari berbagai penyakit mematikan (sombong, ria, dll). Dan kalaupun hati kita sudah sakit, semoga Allah berikan obat dan menyembuhkannya. Karena bahkan hati yang mati, Allah mampu menghidupkannya, seperti bumi yang mati, kemudian Allah hidupkan kembali dengan datangnya hujan. Ya Muqallibal Qulub, tsabbit qalbi 'ala dinik. Aamiin.

Allahua'lam.