Follow Me

Monday, September 30, 2019

Be the Moon

September 30, 2019 3 Comments
Bismillah.

📸 from tumblr

Jadilah seperti bulan dan menginspirasi orang-orang bahkan saat kamu jauh dari sempurna.

***


Jika kita menunggu diri kita baik, dan berhenti menulis hal-hal baik, maka kita tidak akan pernah menulis.

Jika kita menunggu diri kita baik, baru kemudian berbuat baik pada orang lain, maka kita tidak akan pernah berbuat baik.

Jadilah seperti bulan, bulan selalu memiliki sisi gelap, ia bahkan mungkin bukan bulan purnama, cuma sabit, cuma separuh, tapi kehadirannya membuat orang-orang yang memandangnya terinspirasi.

Bulan memang bukan matahari, yang bersinar terang dari inti yang menyala dengan ledakan-ledakan cahaya. Bulan hanya bak cermin, yang memantulkan cahaya dari matahari, pada bumi di malam hari. Tapi pantulan cahaya itu cukup untuk membuat orang yang memandangnya tersenyum, ia tampak indah, meski dengan ketidak sempurnaannya.

Begitupun kita, jadilah seperti bulan. Kita menulis mengajak pada kebaikan bukan berarti kita sudah baik. Namun justru karena kita ingin menjadi baik. Kita hanya menjadi jalan, meneruskan cahaya yang kita terima dari Allah, lewat kalam-Nya, lewat hikmah yang Allah titipkan dalam kehidupan kita, lewat buku-buku yang kita baca, lewat kebaikan yang diberikan orang lain pada kita. Kebaikan itu, cahaya itu bukan dari diri kita, kita hanya meneruskannya, sumbernya dari Allah.

***

Be the moon and inspire people even when you're far from full.

Cahaya hatimu mungkin kini redup, hampir-hampir padam. Tapi cahayanya masih ada, dan kamu berharap Allah tambahkan lagi cahayanya, agar kembali terang dari gelap.

Maka kita melakukan amal baik, meski diri kita hina, jauh dari baik.

Maka kita menuliskan hal-hal baik, meski ada begitu banyak kata-kata buruk yang hendak tumpah, meski rasanya.... apa yang kita tulis jauh dari gambaran diri kita.

Maka kita mengatakan hal-hal baik, atau diam. Maka kita berusaha berpikir dan berprasangka baik. Even when we're far from good.

Karena kita berharap, dengan begitu Allah melihat hati kita yang ingin menjadi baik, meski saat ini kita jauh dari baik. Kemudian Allah permudah jalan kita untuk memperbaiki diri. Kemudian Allah berikan kekuatan agar kaki kita mampu terus melangkah, meski berulangkali jatuh. Dan semoga Allah sembuhkan setiap luka yang tercipta setiap kali kita terjembab. Aamiin.

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

If You Find that You're Not

September 30, 2019 0 Comments
Bismillah.



"I hope you live a life you’re proud of. If you find that you’re not, I hope you have the strength to start all over again." - F. Scott Fitzgerald

***

Kita berharap menjalani hidup yang baik. Kita hidup dalam keluarga harmonis dan hangat. Tapi jika dapati keluarga kita tidak ideal, semoga Allah berikan kita kekuatan untuk menjadi sosok yang menjadi penyejuk hati keluarga, penjalin silaturahim jika anggota keluarga lain ada yang berselisih.

Kita berharap menjalani hidup yang baik. Pendidikan yang baik, pekerjaan yang baik, penghasilan yang cukup. Tapi jika kita dapati ada yang tidak begitu, semoga Allah beri kita kekuatan, agar memiliki jiwa yang suka mencari ilmu, dan jiwa pekerja keras dan pekerja cerdas, serta hati yang lapang dan penuh syukur.

Kita berharap menjalani hidup yang baik. Waktu yang terisi dengan kegiatan produktif. Ibadah yang istiqomah. Kita membawa manfaat bagi orang-orang sekitar. Namun jika kita dapati diri kita tidak seperti itu. Semoga Allah beri kita kekuatan untuk terus bertekad memperbaiki diri. Jika kemalasan dan ketidakproduktifan menyerang, kita berjuang untuk melawannya. Jika ibadah kita belum istiqomah, kita berulangkali bangkit untuk terus melakukannya semampu kita. Setiap kesalahan menjadi cambuk, agar kesempatan berbuat baik sekecil apapun selalu diambil.

Kita berharap memiliki hidup yang bisa kita banggakan, nanti di akhirat. Bukan sekedar kebanggaan hidup yang bersifat material. Bukan sekedar hidup yang terbungkus kepalsuan demi mengundang decak kagum orang lain. Namun jika tidak demikian, semoga kita diberi kekuatan untuk melihat mana yang lebih berarti dalam hidup kita, perspektif yang benar, prioritas yang benar. Sehingga setiap kali hati kita hampir berbelok, dari mencari ridha Allah menjadi mencari ridha selain Allah, kita diberikan kepekaan hati. Kepekaan hati yang mengantarkan kita mendengarkan lagi kalamNya, membaca lagi ayat-ayatNya, kemudian menyadari lagi, bahwa hidup yang baik, adalah hidup yang bisa kita banggakan di akhirat. Hidup yang mengantarkan kita ke surga-Nya. Hidup yang menghindarkan kita dari api neraka-Nya. Hidup yang diridhai Allah, sehingga semoga kita termasuk orang-orang yang diberi nikmat kelak berjumpa denganNya, memandang wajahNya. Aamiin.


Allahua'lam bishowab.

Friday, September 27, 2019

Waste of Talent

September 27, 2019 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

Sebuah pengingat untuk diri. Dari Quran for Young Adults Day 6. Bayyinah.tv.

***


Another comment that might be hurtful but I think it's important. Cause I personally do feel the effects on it. It's that Fir'aun, the Pharaoh was an incredibly oppressive human being. He decided that He does not want a generation of young man to raise in Egypt, you know, of the Israelites, because too many of them will create ruckus and they will stand up against the tyranny of the King. So he did it to control the population of young man. So he would kill every other year he killed all the baby boys. That was his policy. Kill all the baby boys every other year. And question arises, why not every year? Well because he still needs some population to be his future slaves. So he doesn't want to get rid all the man, but he wants to keep the population down. Because too many young man, and you might have a revolution on your hands. Right?

Nowadays, you don't actually have to kill babies every other year to keep the population of man from becoming too high. You can just keep them from ever turning into man. You can just keep them stays at kid, keep them as boys by just handing them an iPad, and an iPad mini, and, you know, PS whatever. Just when they're like 3 years old. And they'll hold on to that sucker until they're like 25. Sitting on their couch playing video games,  all day. Watching movies all day. And not getting a job, not taking from their college life seriously. They're not taking their career seriously. Not taking their religion seriously. Not taking anything in life seriously.

I'm actually seeing cases like this. Parents have come up to me, "Ustad you need to talk to our son, he's 27 years old, he stays home all day, he yells at his mother, he watches video games, he's in movies, it's all he does. He's dropped out of school. He's doing nothing with his life. This is a new phenomenon. And he's not motivated to do anything."

You don't have to kill that kind of a boy. He's not a threat to any injustice in society. He's not gonna be a contributor. He's not gonna speak out against any kind of wrong in societies. He's as good as…. He's a about as mobile as the furniture he's sitting on. You know? What a waste of talent. 

What a waste of talent. You know?

The young generation has to realize the power it possessed. And young generation also has to realize the dangerous it's in. The danger you guys are in, is because we are living in time where entertainment is so widely accessible and so infinite. There is no end. You know, life time will end, and the numbers of movies will not. Your life time will end, and the numbers of video games will not. You will never have played all of them. Never. There's still gonna be more. Which means you can spent your entire life wasted away in this. And then your life amount will meant nothing. You know? This is why being from the ulul albab is so important. 

***

Sudahkah kita paham apa yang kita miliki? Nikmat yang Allah beri? Waktu, kemampuan otak kita, fisik kita yang sehat, dll?

Sudahkah kita waspada terhadap ancaman dan godaan yang menyerang dari segala sisi?

Maukah kita menginfakkannya di jalan Allah? Untuk kebaikan diri kita sendiri?

***
Wasma'u wa athi'u wa anfiqu, and listen and obey and spend, khairan li anfusikum, all of that is good for yourself. That's good for you. Listening is good for you, this right now, what are you doing? Listening, It's good for you. But after listening, what you have to do? Obeying, that's good for you. And then, you have to spend up on it. You have youth which means you have time, spend up on your time. Your parents they have money, spend up on your money. You have talents, spend up on your talent. And all of that you would do for whose good? Your own good. Allah doesn't benefit, you benefit. 
Nouman Ali Khan, Quran For Young Adults Day 9

Allahua'lam.

PS: hasil listening sendiri, mohon koreksinya kalau ada yang salah. disarankan nonton langsung serialnya, lebih dapet feel-nya kalau dengerin langsung daripada baca.

Tuesday, September 24, 2019

Bergegas

September 24, 2019 0 Comments
Bismillah.

-Muhasabah Diri-

*selftalk

Sering lupa untuk bergegas, karena belum bisa bertumpu pada diri, masih perlu banyak diingatkan. September will end soon, so do my life. Kematian itu lebih pasti daripada kehidupan di dunia. Begitu pun hari kebangkitan. Ya bukan sekedar mati, lalu selesai. Tidak semudah itu. Akan ada hari kita ditanya, ... hmm. sampai di sini, aku ngeri untuk menulisnya. Karena menulis ini, menghadirkan tanya pada diri. "Sudahkah kamu mempersiapkan diri?"

Ayo bergegas, berlari. Bergerak, hijrah, berpindah. Menuju pada-Nya. Dari kekufuran menuju syukur. Dari ... aku bahkan ragu hendak memasangkan kata apa dengan apa. Yang jelas dari keburukan menuju kebaikan. Dari kebathilan menuju kebenaran

***

September, tapi masih belum hujan. Mari banyak berdoa, agar hujan rahmat segera hadir. Mengaliri bumi yang kering kerontang. Menghidupkan lagi hati yang pernah mati. Menyembuhkan hati yang sakit-sakitan. Serta menhijaukan, tanah yang sudah hidup.

September, angkanya tidak akan kurang dari 11 kan? Tentang kuantitas tulisan di blog ini, yang hanya naik saat Ramadhan, kemudian turun, turun, dan turun. Bulan ini akan naik kan? Imanmu juga. Akan naik lagi kan? Sulit? Itu artinya kamu belum bermujahadah. Ingin mudah? Tengok habis dimana waktu luangmu!

***



Ayo bergegas, katanya tahun ini mau menghasilkan karya?

Ayo bergegas, jangan berhenti ditempat. jangan berpanjang angan. Banyak bekerjalah, banyak berdoalah, banyak bertaubat.

Terakhir, semangat untukku dan untuk siapapun yang tanpa sengaja membaca sampai baris terakhir. Semangat!!

Bunga Ketiga

September 24, 2019 0 Comments
Bismillah.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Bunga ketiga merekah, setelah dua sebelumnya gugur tanpa sempat bertemu pasangannya. Sama seperti dua bunga sebelumnya, mekarnya tidak disangka karena kuncupnya tak tampak. Kemungkinan prosesnya malam. Karena ditemukannya selalu pagi hari.

Bunga ketiga ini, mungkin tidak seperti dua bunga sebelumnya. Karena sudah yang ketiga, sudah tidak terlalu takjub. Beda sama yang pertama dan kedua, langsung jadi objek foto karena kami baru pernah melihat rupanya. Tapi meski begitu, tiap kali memandangnya, kami selalu jadi tersenyum. Bunga berwarna putih itu merupakan salah satu tanda keindahan yang Allah tunjukkan lewat ciptaannya.

Bunga ketiga ini juga yang menggerakkan jemariku untuk menuliskannya. Aku teringat pertanyaanku dulu tentang penyebutan bunga di quran, mengapa lebih familiar, pohon yang berbuah di surga ketimbang bunga-bunga? Pertanyaan yang kemudian kujawab sendiri, karena aku teringat, bahwa tidak semua bunga menghasilkan buah. Tapi setiap yang berbuah, pasti berbunga. Dan bunga ketiga ini salah satu buktinya.

Bunga ketiga ini mekar dari pohon jantan, tidak bisa berbuah memang pohonnya. Tapi jika tanpa bunga ini, pohon betina-nya tidak bisa berbuah. Kalau sudah membahas buah, aku jadi ingat komentar adik saat melihat bunga ketiga tersebut, 'sayang ga ada pasangannya'. Melihat bunganya saja kami ikut takjub, bagaimana rasanya, bisa memetik langsung buah yang dekat di pohon-pohon jannah-Nya? Allahummadkhilna fi jannat.. Aamiin.

***

Ada yang bingung, ini Bella sedang nulis tentang apa? Hehe.

Ini sedikit tulisan tentang bunga jantan pohon kurma di depan rumah. ^^

Ada yang hafal, atau pernah baca ayat tentang pohon kurma di surga? Tulisin dikomentar ya ayatnya, atau cari di quran dan simpan dalam hatimu, sembari berdoa, semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang merasakan ampunanNya dan memasuki surgaNya. Surga yang lebih luas dari bumi dan langit.

Allahua'lam. 


"Dia Juga Banyak Galau"

September 24, 2019 0 Comments
Bismillah.


Pernah suatu hari seorang teman berkomentar, kalau ia lumayan heran saat tahu salah satu temannya ternyata suka nulis kegalauan di blognya. Aku saat itu cuma mengangguk dan memberitahunya, tentang kesimpulan yang aku dapatkan setelah lama jadi orang yang rajin jadi silent reader.

"Setiap orang punya tempat pencurahan galaunya masing-masing," kataku waktu itu. Aku banyak berteman dengan akhawat-akhawat dengan kepribadian dan karakter yang berbeda. Ada yang mudah bercerita tentang perasaannya, keresahan, dan juga beban pikirannya. Namun banyak juga yang menyimpan kegalauan dan keresahan hati dan pikirannya di tempat lain, bukan diungkapkan dan diekpresikan lewat lisan, tapi lewat tulisan. Entah itu di blog, tumblr, atau sosial media. Ada yang suka share quotes-quotes mellow dan banyak orang relate, ada yang buat caption puitis dan abstrak tiap posting di sosmednya, ada juga yang bernarasi panjang di blognya.

Buat perempuan, salah satu cara melegakan hati dan pikirannya saat sedang dilimbung galau adalah dengan berbicara. Bukan bermaksud mengeluh, tapi hanya ingin didengarkan. Mungkin ceritanya tidak tertata, dimulai dari A, loncat ke Z, trus berputar di M atau Q, seolah tidak ada poin intinya. Tapi saat ia menyuarakan apa yang ada di pikiran dan hatinya, ia sedang memberikan ruang untuknya bernafas. Saat berbicara tentang kegalauannya, beban yang mendesak pikirannya, bisa jadi ia tidak butuh ceramah, atau step-step penyelesaian masalah. Justru lewat bercerita itu, ia jadi bisa melihat semuanya lebih jelas dan terang. Kalau kata Stephen R. Covey, bukan input dari luar, tapi proses bercerita dan membuka diri memperjelas solusi yang kita cari.

"Ada saat-saat ketika transformasi menuntut nasihat yang tidak berasal dari luar. Seringkali saat orang benar-benar diberi kesempatan untuk membuka diri, mereka mengungkapkan masalah mereka dan solusinya menjadi jelas bagi mereka dalam proses keterbukaan itu." - Stephen R. Covey
Selanjutnya, apakah semua orang punya kesempatan untuk berbicara dan didengarkan? Sayangnya tidak. Bersyukurlah kalau kita masih punya teman, kakak, atau ibu yang siap mendengarkan saat kita butuh mengungkapkan kegalauan kita. Untuk yang tidak memiliki kesempatan untuk berbicara saat beban pikiran dan kegalauan meradang, biasanya penyalurannya adalah menulis. Kata yang berdesakan di hati dan otak harus dikeluarkan, maka hadirlah tulisan dan postingan galau, mungkin di blog, atau di sosmed, atau di tumblr, atau bahkan di sebuah diary.

***

Aku pernah salah menyikapi, saat membaca ekspresi galau dan buncahan beban pikiran teman di tempat khususnya. Saat itu aku reaktif, segera panik, dan menulis jawaban atau respon atas tulisannya. Tulisan itu tidak sampai padanya, tapi... lewat kejadian itu, aku mempelajari satu hal.

Saat orang mengekspresikan kegalauannya, menuturkan beban pikirannya, baik secara lisan atau tulisan, yang perlu kita lakukan bukan segera meresponnya. Tapi justru diam dan menyimaknya, diam dan membacanya, diam dan mencoba memahaminya, mencoba untuk mengerti, "oh, ternyata itu yang sedang banyak ia pikirkan, ternyata itu... yang sering membuat ia tidak segera tidur meski badannya lelah". Setelah diam, dan mulai bisa berempati, baru kemudian kita menyapanya, bertanya dengan tulus, "apa kabar?"
"Aku membaca tulisanmu, aku membaca statusmu, aku menyimak ceritamu.. aku ingin mendengar lebih jika kamu berkenan."
Atau terkadang ga perlu bahas tulisannya, cukup katakan saja kalau kita rindu hehe^^ bukan bermaksud gombal, tapi memang benar, kalau kita baca tulisan teman lama, biasanya jadi keinget masa-masa waktu masih bersamanya, jadi deh kangen.

Atau sapa, dan berceritalah terlebih dahulu tentang dirimu, apa yang akhir-akhir ini banyak kau pikirkan, dll. Ini senjata ampuh jika temanmu tipe yang sangat introvert. Kamu yang lebih ekstrovert membuka diri dulu, tunjukkan kalau kamu percaya padanya. Nanti, naturalnya ia juga akan bercerita balik. Apalagi kalau ternyata keresahan dan kegalauanmu beririsan dengan apa yang ia rasakan.

***

Terakhir, setiap orang berhak galau hehe. Oh ya, dari awal sampai akhir, penggunaan kata galau ga sesempit masalah percintaan aja ya. Namanya juga manusia, ia hidup, dan kehidupan membawa ujian. Jika ada beban yang menghimpit hatinya, atau galau yang menyesaki kepalanya, maka kemungkinan besar ia akan mengungkapkan dan mengekspresikan hal tersebut. Bisa lewat lisannya, saat ia bercerita panjang padamu, dengan suara khasnya, naik turun intonasi serta perubahan raut wajahnya. Bisa lewat tulisan atau foto-foto melankolis. Kita mungkin baru pernah membacanya, melihatnya, dan jadi bergumam, "dia juga banyak galau". Tapi sisi baru yang kau temukan itu, bukan untuk diartikan pandangan kita padanya jadi berubah ke arah lebih buruk. Tapi kita jadi belajar, bahwa setiap manusia diberi ujian masing-masing. Bahwa perempuan, bahkan juga laki-laki mungkin, juga butuh tempat untuk mengekspresikan dan mengungkapkan kegalauannya. Dan bahwa dari sekian banyak opsi tempat, yang paling menenangkan dan terpercaya adalah mengadu dan merajuk padaNya.

Allahua'lam. 


Sunday, September 22, 2019

Membaca Lembaran Buku

September 22, 2019 0 Comments
Bismillah.


Jika setiap orang adalah buku, maka saat kamu berkenalan dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, kamu sedang membaca salah satu halaman di dalamnya. Satu halaman itu tentu belum cukup untuk mengenalnya. Kadang, kita bisa membaca halaman-halaman sebelumnya, kalau ia mengizinkan. Lewat ceritanya, tulisannya. Kita juga bisa tahu sekilas halaman sebelumnya, dari orang-orang yang pernah membacanya.

Tidak semua buku menarik untuk dibaca. Ada orang-orang yang cukup satu halaman saja kita tahu. Kita tidak tertarik untuk tahu siapa dia, bagaimana masa lalunya. Ada yang membuat kita penasaran, tapi kemudian kita kecewa ketika mengetahui halaman-halaman sebelumnya. Tapi juga ada, yang membuat kita penasaran halaman selanjutnya. Bagaimana buku ini akan berlanjut dan berakhir.

Ada buku yang kita baca satu halaman di dalamnya, namun tidak kita ketahui covernya, judulnya. Orang-orang yang ditakdirkan hadir dalam hidup kita, namun kita tidak kenal namanya, profesinya. Kita hanya membaca salah satu halaman di dalamnya, saat ia membantu kita menunjukkan arah jalan. Atau orang yang berisik di dalam perpus, atau orang yang yang menyebarkan selebaran.

Jika setiap orang adalah buku, mustahil mencari orang yang membaca setiap lembaran buku kita semuanya. Orang tua kita mungkin membaca sebagian besar bagian awalnya, sejak kita masih bayi, sampai sebelum kita sibuk dengan dunia luar. Begitu pun pasangan kita, atau anak kita, atau sahabat terbaik kita. Mungkin banyak lembaran yang mereka baca, tapi lebih banyak yang tidak terbaca. Begitupun sebaliknya, kita tidak bisa membaca keseluruhan lembar buku orang lain. Kita hanya membaca sebagian kecil, diceritakan orang lain sebagian yang lain, sisanya kita hanya menerka-nerka, semoga dengan prasangka yang baik.

Tapi prasangka baik bukan hanya diperlukan saat membaca lembaran-lembaran dari buku orang lain. Kita juga butuh berprasangka baik saat membaca lembaran buku kita sendiri. Kita diminta untuk membaca dengan keyakinan yang positif. Setiap halaman di dalamnya, halaman di awal, halaman hari ini, dan halaman yang akan mendatang. Kita mungkin tidak menghafal setiap kata dan kalimat di dalamnya, ada halaman-halaman yang usang, ada halaman-halaman yang basah, ada yang kotor. Tapi kita tetap berusaha membacanya dengan keyakinan yang baik. Bahwa setiap halaman akan membawa kebaikan di akhir buku, jika.. dan hanya jika... kata dan kalimat yang tertoreh menjadi jalan kita mengenal Rabb kita, mengetahui identitas kita, dan menggerakkan kita untuk menjalani misi hidup kita.

Allahua'lam.

Thursday, September 19, 2019

Awal, Pertengahan dan Akhirnya

September 19, 2019 0 Comments
Bismillah.
-Muhasabah Diri-


Sebuah kutipan dari buku Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah.

"Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya."

***


Manusia itu pelupa, dan pintar juga pura-pura lupa. Hari-harinya tidak pernah lepas dari dosa dan kesalahan, tapi seringkali tidak segera disusul dengan taubat. Padahal setiap dosa menambah kegelapan di hatinya, dan berdampak buruk dalam hidupnya, di dunia dan akhirat.

Allah begitu sayang sama kita, begitu lembut mengingatkan kita untuk kembali dan bertaubat. Lewat hal-hal kecil yang terlihat, terdengar dan terasa. Tapi kita yang punya penglihatan, pendengaran dan hati sering juga pura-pura tidak lihat, tidak dengar dan tidak merasa. Awalnya pura-pura, lama-lama benar-benar kebas, kaku, dan mengeras. Penglihatan yang cuma bisa meraba permukaan. Pendengaran yang hanya jalan lewat. Dan hati, hati yang terkunci.

Tapi Allah masih sayang sama kita, maka kali ini diingatkan lagi, masih lembut, namun lebih jelas dari sebelumnya. Pertanyaannya, maukah kita berhenti pura-pura lupa, dan menggunakan indera dan hati kita lebih dari kemampuan permukaannya? Mengakui salah dan dosa, kemudian bertaubat. Lagi dan lagi. Terus begitu, berulang

Karena dalam taubat merupakan terminal di awal, pertengahan dan akhir perjalanan kita. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertaubat. Allahummaghfirli..

***

Terakhir, jumat mubarak^^

***

PS: Semoga bulan ini kuantitas tulisan di sini lebih baik daripada bulan-bulan sebelumnya. Mari rajin nulis di blog lagi..

Wednesday, September 18, 2019

Long Trip

September 18, 2019 0 Comments
Bismillah.


Jika harus berpergian, jalur mana yang kau tempuh? Yang tidak memutar, lancar dan cepat sampai

Jika harus berpergian, transportasi apa yang kau pilih? Yang nyaman dan cepat?

Jika berpergian, dan kamu tidak bisa memilih yang cepat? Yang ada hanya jalan yang memutar, dan transportasi yang lambat, apa yang bisa kau dapatkan?

Itu yang kutanyakan pada diriku, saat menemui kondisi harus merasakan 12 jam perjalanan, padahal harusnya bisa hanya 5-6 jam. Kalau boleh memilih, lebih baik di rumah saja hehe.

***

Traveling itu menyenangkan, pergi ke suatu tempat, bertemu orang yang kita kenal di sana, mengunjungi beberapa tempat. Tapi sebelum ke tempat tujuan, ada proses perjalanan. Kalau di bahasa inggris, istilahnya trip.

The word “trip” is a noun that means “the act of going to another place and returning.” 
- dari web ini 
It's a long trip. Ada lelah yang menanti, beda dengan di rumah, kita bisa duduk, berdiri, berjalan dan rebahan sesuka hati. Ada banyak keterbatasan dan hal-hal yang bisa kita keluhkan. Tapi daripada fokus di situ, bukankah lebih baik kita lihat sisi baiknya?

Maka kutanyakan pada diri, apa yang bisa kita dapatkan dari perjalanan panjang ini?

***

A long trip, means long conversation (1)

Saat itu ini pertama yang kudapatkan. Langsung saat aku bertanya pada diri, saat itu juga Ayah ngajak ngobrol, panjang.

Itu mungkin ya, salah satunya, mengapa perjalanan bisa menyebabkan kita mengenal orang lain lebih banyak. Karena mau tidak mau, kita jadi banyak berbicara dengannya, bertukar pikiran dan memori.

Kalau misal kamu berpergian sendirian, kamu jadi punya kesempatan melakukan percakapan panjang dengan orang asing. Kapan lagi coba? Kalau introvert, mungkin ga mudah memulainya. Tapi kalau kamu sebelahan sama ibu-ibu, yang naturalnya suka cerita, kamu bisa jadi pendengar dan sesekali berbicara.

Atau kalaupun bukan percakapan panjang, mungkin kau bisa melakukan ini...  mengamati orang-orang sekitar. (2)

Ini hal kedua yang aku dapatkan dari long trip. Kadang observasinya ga harus dengan menatap lekat, atau melototin. Sesekali sapu pandangan ke sekeliling, atau menajamkan telinga, menyimak percakapan kursi di belakangmu. Orang yang sibuk telepon dengan earphone, anak kecil yang main game di hp, bayi yang menangis karena mengantuk, nenek yang merapatkan jaketnya karena dingin, dll.

Biasanya, kita banyak memikirkan diri sendiri, fokus pada masalah sendiri. Mumpung perjalanan panjang, mari banyak melihat orang lain beserta keragamannya. Perbedaan usia, wajah, aksen suara, cara mereka menghabiskan waktu, dll.

Selanjutnya, kalau kamu naik transportasi yang nyaman untuk membaca.. a long trip is a perfect time for long reading session. (3)

Biasanya kalau sibuk dan ga dalam perjalanan, banyak hal yang bisa kita lakukan selain membaca, Setiap usaha untuk fokus baca, eh keinget kerjaan lain, atau notifikasi sosmed lebih menggoda untuk dibaca satu per satu.

Ga perlu bawa buku yang super tebal. Cari yang ukuran saku, baca, dan baca lagi, hingga ga sadar sudah sampai tujuan. Atau bahkan, bacaan udah habis sebelum sampai tujuan hehe.

Terakhir, perjalanan panjang mengundang inspirasi baru dan waktu untuk merenung (4 dan 5). Jika rutinitas membuat otak kita seperti terperangkap dalam sebuah kotak, perjalanan panjang adalah cara untuk keluar sejenak, dan merasakan semilir angin, menyegarkan pikiran. Ide dan inspirasi baru hadir juga lewat setiap perjalanan yang kita tempuh.

Selain berpikir ke luar, perjalanan juga waktu yang pas untuk berpikir ke dalam. Merenung, menengok ke dalam diri, berkaca, bertanya dan menemukan jawaban sendiri.

***

Minimal ada lima yang bisa kita dapatkan dari long trip. Tapi... kelimanya bisa jadi gak kita dapetin, kalau kita memilih fokus pada layar kotak hp, dan menghabiskan perjalanan dengan tidur full.

Gapapa sih, liat hp, gapapa juga tidur. Tapi sayang kan kalau cuma dapet itu?

***

Awal september kemarin, perjalanan 12 jam itu sudah lewat. Sengaja kurekam hikmahnya di sini, berharap nanti, kalau diajakin perjalanan panjang, ga nolak. Mungkin karena sudah terbiasa jadi anak rumahan ya, kadang males diajak pergi jauh hehe.

Anyway, di rumah, atau melakukan perjalanan panjang, semua akan baik-baik saja, akan menjadi bermakna, kalau hati kita selalu terpaut padaNya. Bahwa hal-hal rutinitas, tetap bisa diambil hikmahnya. Apalagi hal-hal diluar rutinitas, long trip, ada banyak hikmah yang bisa dipetik.

Last but not least. our life is also a journey right?

Allahua'lam.

Wednesday, September 11, 2019

Belajar Menerima Pemberian

September 11, 2019 0 Comments
Bismillah.

#buku


Belajar menerima pemberian. Itu judul heading-nya yang membuatku tergerak untuk menulis nukil buku lagi, setelah lama vakum. Cuma satu setengah lembar, tapi cukup untuk membuatku lebih memahami perempuan.

Judul bukunya, Psikologi Suami-Istri ditulis oleh DR. Thariq Kamal An-Nu'aimi. Membahas tentang perbedaan psikologis perempuan dan laki-laki. Tujuannya agar bisa menjembatani perbedaan antara suami dan istri. Contoh-contoh di dalamnya, mayoritas percakapan suami-istri. Tapi buat yang single cocok dibaca juga, untuk lebih memahami manusia, memahami diri sendiri dan orang lain. Termasuk memahami orang-orang di sekitar, baik itu ayah, ibu, adik, kakak, teman, dll.

Belajar menerima pemberian ada di Bab 4, isinya menjelaskan tentang kecenderungan perempuan untuk terus memberi dan 'takut' untuk menerima pemberian.

Langsung ke nukilan bukunya aja ya...

***

Belajar Menerima Pemberian
"... Perasaan tertolak dan diabaikan adalah perasaan yang sangat menyakitkan bagi perempuan. Karena secara tidak disadari ia merasa dirinya tidak berhak menerima pemberian dari laki-laki. Perasaan semacam ini telah ada pada perempuan semenjak ia masih kanak-kanak. Di mana ketika itu ia harus menyembunyikan perasaan, kebutuhan dan keinginannya. 
Perempuan itu lemah dan tidak kuat melawan keyakinan-keyakinan negatif yang tidak benar dan menimbulkan perasaan tidak bisa dicintai oleh orang lain. Perempuan yang ketika masih kecil pernah putus asa dan menyimpan berbagai penderitaan dan kehinaan, ketika besar akan mudah merasakan hal-hal yang menyakitkan. Yaitu perasaan tidak mungkin dicintai oleh orang lain. Ia akan menerima hal tersebut dan menjadi sulit sekali menerima hal sebaliknya. 
Perasaan yang tersembunyi pada perempuan ini secara tidak sadar telah menimbulkan perasaan takut ketika membutuhkan orang lain. Karena ia merasa tidak mungkin mendapatkan sesuatu yang diinginkan. 
Di samping itu ia menerima saja perasaan seperti itu. Di mana ia akan menghindari meminta bantuan dan pertolongan serta berusaha memahami permasalahannya sendiri tanpa perlu meminta pertolongan laki-laki ..."
- DR. Thariq Kamal An-Nu`aimi, dalam buku "Psikologi Suami-Istri" 
***

Membaca bagian itu membuatku teringat postingan sebelumnya, tentang ayah dan anak perempuannya. Dan perasaan tidak percaya diri, merasa tidak berhak disayangi dan dicintai, jika seorang perempuan belajar cinta pada sosok yang salah. Perasaan yang akan membekas lama di dirinya, hingga ia kesulitan untuk mencintai dirinya sendiri.

Membaca nukilan tersebut juga membuatku berkaca, masa-masa saat aku kesulitan meminta tolong, kesulitan untuk belajar menerima pemberian, padahal bantuan dari banyak orang ditawarkan padaku. Entah mengapa saat itu rasanya berat menerima, seolah menerima pemberian dari orang lain artinya aku merepotkan orang lain, mengganggu orang lain. Sampai seorang ibu cantik memberikanku sudut pandang lain, kalimatnya seolah menepuk pelan pundakku, "tidak mengapa menerima pemberian" dan bahwa aku boleh menerima bantuan, ya, meski aku saat itu banyak sekali bersalah.

***

Bagaimana Perempuan Belajar tentang Haknya untuk Menerima Pemberian?

"Dalam waktu yang lama perempuan mengganti perasaan tidak memiliki haknya dengan memberi perhatian dan cepat memenuhi permintaan atau tuntutan orang lain. Tabiat perempuan selalu senang memberi dengan harapan akan menjadikannya pantas menggunakan haknya untuk menerima pemberian. Setelah beberapa kali memberi maka perasaan memiliki hak menerima akan mulai muncul dan semakin besar. Di samping itu, ketika perempuan masih dalam masa memberi, maka dia juga merasa bahwa orang lain memiliki hak untuk menerima pemberiannya tersebut. Pada awalnya perempuan yang akan memberi pada pasangannya dan pada tahap selanjutnya semuanya -baik laki-laki maupun perempuan- akan mendapatkan pemberian dan cinta perempuan. 
Anak perempuan merasa mulai dan berharga ketika ia memperhatikan sikap lebih ayahnya yang membantu dan menolong ibunya. Ketika itu akan muncul perasaan pada anak tersebut bahwa ibu (perempuan) memiliki hak untuk ditolong, dengan begitu akan sangat mudah dan mungkin sekali ada orang lain yang akan mencintai dirinya. Perasaan ini berpengaruh positif pada kejiwaan dan membantu dirinya untuk menyuarakan segala keinginannya dalam kehidupan tanpa ragu,"
- DR. Thariq Kamal An-Nu`aimi, dalam buku "Psikologi Suami-Istri" 
***

Anak perempuan belajar menerima pemberian dari Ayahnya. Saat ia melihat ayahnya membantu ibunya, saat ayahnya menawarkan bantuan kepadanya setiap kali ia kesulitan waktu kecil dulu.

Ya, ia belajar dari ayahnya. Aku pun begitu, saat suatu masa aku lupa bahwa aku berhak menerima pemberian. Entah beberapa kali ayah berkunjung dari kampung halaman, mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri, bahwa ia selalu siap membantuku, asalkan aku mengizinkannya. Bahwa ia selalu memberi, tinggal apakah aku mau menerimanya. ...

Lalu bagaimana dengan yang tidak memiliki ayah? Atau punya ayah, tapi peran ayah tersebut tidak terpenuhi? Apa anak perempuan itu tidak pernah bisa belajar untuk menerima pemberian?

Aku pernah menuliskannya juga, tentang fakta bahwa tidak ada keluarga yang ideal, bahwa setiap keluarga memiliki retakan dan sisi gelap masing-masing, bahkan keluarga para nabi. Nabi Ibrahim, bagaimana keadaan ayahnya? Nabi Nuh dan Luth, bagaimana keadaan istrinya? Nabi Yusuf, bagaimana saudara-saudaranya? Dan saat Allah menuliskan takdir tersebut, pasti ada hikmahnya. Allah tidak pernah menzalimi hamba-hambaNya. Jika ada anak perempuan yang tidak bisa belajar menerima pemberian dari ayah kandungnya, ia bisa belajar dari "ayah ideologisnya", entah itu sosok guru, atau ustadz *eh, guru sama ustadz sama ya? hehe. Dari lingkungan dan sekitarnya. Atau bahkan dari sosok Rasulullah, setiap kali kita membaca kisah hidupnya, atau mendengarkan sunnah-sunnahnya. Atau dari Al Quran. Allah akan memberikan kita jalan untuk mempelajarinya.

***

Balik ke buku Psikologi Suami Istri, ada yang pernah baca? Bagian mana yang paling mengena? Apa? Bagian yang belum kubaca hehe. Masih sekian ratus lembar yang belum dibaca.

Menulis nukil buku ini, sebenarnya menggambarkan perspektifku, sudut pandangku, dan proses pemikiranku. Aku lebih banyak mengambil pelajaran psikologis perempuan, sembari belajar mengenal diri. Pelajaran tentang psikologis laki-laki tetap dibaca, dan sering membuatku mengangguk dan mulai mengerti, mengapa ayah begini, atau adik begitu.

Tentu beda cita rasanya, kalau yang membaca buku ini kakakku, yang sudah merasakan langsung betapa berbedanya laki-laki dan perempuan, suami dan istri dari segi psikologis. Aku ingat, sore itu, saat Mba Ita curhat sembari merekomendasikan agar aku segera membaca buku tersebut. Ia sengaja beli lagi, dan dikirim ke Purwokerto agar aku membacanya. Ia dulu juga memilikinya, namun banjir di Bima berhasil mengubah kertas menjadi bubur. Bukunya mungkin sudah tidak bisa dibaca, tapi pengetahuan yang tersimpan karena telah membacanya, masih terekam di otak kakakku, memandunya untuk selalu peka dan bijak mengatasi perbedaan antara ia dan suaminya.

Ada yang penasaran ga, kalau perempuan belajar menerima pemberian, sebaliknya laki-laki belajar apa? Laki-laki belajar memberi dan belajar 'melakukan' kesalahan. Masing-masing saling melengkapi. Seperti yang Allah terangkan, bahwa IA menciptakan hal berpasang-pasangan. *trus jadi pengen bahas feminisme, lgbt, dkk. Tapi nanti jadi kemana-mana bahasannya.

Kita sudahi saja nukil buku kali ini. Mohon doanya, semoga saya rajin baca buku lagi, dan rajin nulis nukil buku juga. ^^

Semangat membaca dan menulis semuanya~

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

Saturday, September 7, 2019

Ayah dan Anak Perempuannya

September 07, 2019 0 Comments
Bismillah.


Ada yang pernah baca atau dengar pepatah, bahwa ayah adalah cinta pertama anak perempuannya? Aku dulu berpikir, pepatah itu cuma pemanis buku dan film. Aku belum tahu, betapa besar peran ayah pada anak perempuannya.

***

Seorang bayi perempuan lahir, tumbuh besar, kemudian mulai belajar tentang dunia dan apa-apa yang di dalamnya, salah satunya cinta. *katanya ga mau bahas cinta bell? wkwkwk.

Bukan tentang cinta kepada Allah dan Rasulnya. Bukan cinta anak kepada orang tua. Tapi cinta perempuan kepada laki-laki, atau sebaliknya. Dan tahukah darimana sang anak belajar tentang itu? Dari ayahnya.

Dan tahukah bagaimana akibatnya, jika ia tidak belajar tentang itu?

***

Tulisan ini hadir sebenarnya karena aku melihat realita, perempuan-perempuan yang hatinya hancur karena 'cinta'. Rasa percaya dirinya hancur. Ia merasa 'rendah' hanya karena tidak ada yang melirik dan mendekatinya. Perempuan-perempuan yang kesulitan mencintai dirinya sendiri. Yang merasa tidak berharga karena merasa tidak ada yang menyayanginya, tidak ada yang mencintainya. Bukan... bukan cinta dari ibu, atau dari teman-teman. Tapi cinta dari laki-laki. Cinta dari keluarga dan teman-temannya yang berlimpah bak gajah di pelupuk mata. Ia hanya fokus, pada cinta dari laki-laki yang belum juga hadir.

Seorang anak perempuan yang merasakan kasih sayang dan cinta dari ayah, akan tahu bagaimana rasanya dicintai seorang laki-laki. Dan orang itu adalah ayahnya. Dan dari 'cinta pertama' tersebut ia belajar dan mengetahui nilai dirinya. Bahwa ia, dengan segala keunikannya, pantas dicintai dan disayangi.

***

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Allah hadirkan sosok ayah yang mengajarkan kita tentang cinta, bagaimana rasanya disayangi, dicintai, dihargai, dilindungi. Karena jika kita belajar dari laki-laki lain, mungkin yang tertinggal bukan hanya pelajarannya, tapi juga lebam dan goresan luka.

Salut juga, pada ibu-ibu yang mendidik anaknya seorang diri, single parent, namun bisa menanamkan dan mengajarkan anaknya bagaimana menjaga diri dari cinta 'semu' yang manis tapi. meracuni.

Dan juga untuk anak-anak perempuan, yang mungkin tidak tumbuh dan mendewasa dalam keluarga yang ideal. Namun tetap bisa berdiri kokoh dan menjaga hatinya, lewat keterhubungannya dengan Rabb-Nya.

Terakhir, untuk siapapun yang pernah terluka karena salah belajar tentang cinta, semoga Allah membalut lukamu dan mengobatinya. Setiap manusia pasti pernah jatuh, pernah salah. Tapi mereka yang mau bangkit dan mengambil hikmah, Allah tidak akan menyia-nyiakanmu. J

Allahumma inni as aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wa hubba kulu 'amalin yuqarribunii ilaa hubbika. Aamiin.

Allahua'lam.

***

Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.