Thursday, October 27, 2022
Wednesday, October 26, 2022
Keterangan:
[1] Tulisan ini diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.
[2] Ini merupakan bagian dari serial kutipan buku yang kulaporkan untuk program 66 hari baca buku @menjadi.arketipe 1 Februari - 7 April 2022
Tulisan lainnya bisa dibaca di #66haribacabukuTuesday, October 25, 2022
Suppress Emotion
Bismillah.
Barusan googling frase ini, cuma ingin memastikan apakah spellingnya benar atau tidak. Kemudian menemukan kalau arti dan bahasan dari frase ini begitu berat. Sedangkan yang akan aku bahas di sini cuma hal kecil, yang kutemukan hikmahnya dalam keseharianku.
***
Pernahkah kamu menekan emosimu? Menekannya begitu keras supaya tidak muncul di permukaan. Pura-pura baik-baik saja, padahal ada emosi lain yang begejolak di dalam. Tidak disalurkan ke manapun, tidak diceritakan, pun tidak pula diekspresikan. Jangankan lewat bisikan saat bersujud, kau mengabaikannya, menekannya, lagi dan lagi berharap itu bisa memusnahkan emosi tersebut. Tapi ternyata kamu salah, pilihan untuk menekan emosi, bukan pilihan yang bijak.
I just found out about it, somedays ago in my daily life. Oh ya, menekan emosi disini beda sama menahan amarah ya. Meski memang ada emosi marah di situ, tapi ini beda. Ada berbagai emosi lain juga, entah itu sedih, kesal, cape, dll. Awalnya tidak ada niatan ditekan, atau disembunyikan. Aku cuma tidak ingin ada pihak yang merasa tidak nyaman jika emosi tersebut tampak. Awalnya aku pikir, aku bisa menetralkannya sendiri tanpa berurusan dengan orang lain. Tapi karena kesibukan rutinitas, aku lupa untuk menyalurkan emosi yang sudah ditekan tersebut. Tidak lewat tulisan, tidak pula lewat olahraga, atau hal lain.
Time is ticking, and that emotion turn into a ball. Tidak sampai jadi bom, tapi aku mulai merasa tidak nyaman akan keberadaannya. Feels like my body is filled with negative energy. Saat itulah aku mencoba mengurainya, aku tidak mau ini menjadi bom dan meledak saat aku tidak siap. Maka aku mengurainya di kepala, mencoba mencari hikmah dari hal tersebut.
Beberapa hal yang ingin kucatat dari hasil pencarian hikmah itu adalah, sebuah refleksi, betapa aku butuh latihan komunikasi.
I mean, it's really start ftom a small thing. Tapi hal kecil itu, ditumpuk dan bertambah dengan emosi lain (mostly tiredness), membuatnya jadi hal besar. Rasanya ingin mengambil jalan pintas hahaha. No I won't, cause I already know how fool I am to take that kind of solution way back in the past, with a different case. Jadi, rencananya akhir Oktober ini mau berusaha mengkomunikasikannya. Masih ada 5-6 hari. Aku gak boleh terus begini kan? Hanya karena kebiasaan tidak menampakkan emosi dan memendam semua sendiri. Semoga lancar dan aku bisa memilih diksi yang tepat.
Hikmah kedua. Mari menulis lagi. Sungguh aku tidak mau terlalu banyak "mengeluh" dengan excuse ingin mengekspresikan emosi. Lebih aman menuliskannya, di sini... jika ada hikmah yang bisa ditemukan. Atau di tempat lain, jika kurasa isinya hanya hal-hal privasi.
Yang terakhir, mari perbanyak doa. Terutama doa di saat semua orang tidur. Agar kita bebas menangis tanpa perlu malu atau takut ketahuan orang lain. Semoga kita tidak lupa, bahwa emosi yang kita rasakan diciptakan Allah dengan tujuan tertentu. I think I read it from another blog, dari blog penulis dan psikolog. I'll put the link here. (Baca tulisan Fitri Ariyanti atau baca artikel blogwalking versiku setelah membaca tulisan itu)
Sekian. Bye 5!
Wallahua'lam.