Follow Me

Sunday, November 5, 2023

Slow Snail

Bismillah.
 
#fiksi 

 

"Untuk karakter kepengurusan tahun ini, silahkan pilih satu hewan per orang ya.. Ditunggu max 21.00 WIB"


Pesan terkirim, dalam hitungan detik, mulai muncul nama-nama hewan populer. Kucing, penguin, panda. Beberapa orang sempat berebut, bertanya padaku apa boleh satu hewan yang sama, kan bisa dibedakan warnanya. Aku jawab tidak dulu. Nanti kalau benar-benar tidak ada pilihan, baru boleh hewan yang sama.


(pilihan yang ada saat ini: kucing, penguin, panda, kupu-kupu, jerapah, ikan paus, bintang laut, burung rajawali, kunang-kunang, singa)


***


20.00 WIB, masih ada 2 orang yang belum menuliskan pilihan karakter hewan. Ya, siapa lagi kalau bukan orang itu. Dia sejak tahun kemarin memang terkenal sebagai silent reader di grup ini. Baginya, cukup ia menunjukkan eksistensinya dengan melaksanakan program kerja. Sisanya, ia lebih banyak diam dan mengangguk setuju. Agak sedikit aneh, karena aku pernah dengar sedikit histori hidupnya. Dia dulu begitu vokal, dan hampir selalu aktif dalam setiap diskusi, di ruang maya maupun nyata. Tapi entah sejak kapan, ia berubah. Begitu, kesaksian salah seorang teman divisinya, saat aku bertanya apakah ia kira-kira bisa amanah untuk melanjutkan kepengurusan di tahun ini.


Sebenarnya, aku bisa saja menunggu sampai jam 21.00 WIB, tapi saat melihat keterangan bahwa ia bahkan sedang online dan menyimak pesan terakhir yang kukirim di grup, jemariku tidak bisa diam. Kumention nomernya, bertanya jawaban. Dan benar, dalam hitungan detik, ia segera membalas. Singkat padat, tanpa babibu. Satu kata. Hewan yang tidak kusangka akan ia pilih. Siput.

 

sumber gambar

 

"Why?" tanyaku di grup. Seketika, aku menyesal telah bertanya. Apalagi saat ia bertanya balik, "emang harus pakai alasan?"


Ingin rasanya membuat excuse, tapi benar pertanyaannya, sejak awal, aku tidak pernah penasaran dengan alasan orang lain memilih hewan tertentu. Tapi pilihannya, sungguh tidak mencerminkan dirinya. Ia jauh dari image siput yang terkenal lambat. Lagi pula, bukankah lebih lucu kura-kura ketimbang siput?


Saat aku sibuk dengan pikiranku, beberapa yang lain mencoba mencairkan suasana di grup. Mereka bilang, karena siput suka sembunyi di cangkangnya, mirip dengannya. Juga.. karena siput menyukai hujan. Membaca tanggapan yang lain, ia membalas dengan emotikon senyum jaman dulu, titik dua, dan kurung tutup. Eh, tidak, terbalik. Ia mengetik kurung buka, kemudian titik dua. (:


***


Sudah sekitar 5 karakter hewan yang kugambar, aku berdiri sejenak dan meregangkan tangan, memegang dagu dan kepala melemaskan otot leher. Gelas kopiku sudah kosong, menanti untuk di refill. Tapi teringat waktu yang sudah malam, aku akhirnya memilih botol air putih dan menegaknya. Kubuka hp, membuka notifikasi, membaca sekilas beberapa grup dan pesan yang masuk. Pertanyaan yang sama masih melekat di benak. Tentang pilihannya, mengapa siput? Apa mungkin ia menuliskan alasannya di blognya?


Lalu tanpa sadar, secara otomatis, aku membuka browser di laptop dan mengetik alamat yang sudah kuhafal. Cukup satu kata "Pluvia" lalu auto complete browserku melengkapi alamatnya berdasarkan histori web yang pernah kukunjungi. Aku tersenyum, saat menemukan bahwa tebakanku benar. Ia hampir selalu begitu, hemat kata di grup, tapi diam-diam bernarasi di blognya.

 

***


Why is it Snail? by Pluvia Lover

 

Karena aku lambat, sesederhana itu alasannya. Karena untuk membaca buku 100 halaman, aku membutuhkan waktu lebih dari 100 hari. Terkadang bahkan mungkin 1 tahun pun tidak cukup.

 

Karena aku lambat, sesederhana itu alasannya. Meski jelas aku memiliki niat untuk memperbaiki diri. Tapi progresnya mendekati nol. Jangankan orang lain, aku sendiri heran dan hampir berputus asa. Aku lihat rintangan demi rintangan, yang ternyata kubuat sendiri. Aku tahu jalan lurusnya, tapi aku memilih jalan memutar. Lebih sering memilih bersembunyi dan diam di dalam cangkang, padahal kunci dari kesuksesan adalah konsistensi.

 

Aku bak siput, lambat, lagi tenggelam dalam distraksi yang kuletakkan sendiri di dalam cangkangku.

 

PS: No, it's not a self loath. It's a self reflection, as I supposed learn from my lack and mistake.

 

PPS: And thank you, for the question. Both of them. The animal representation, and the why. I wonder, how about you? Which animal and why?


***


Membaca tulisannya membuatku sadar, bahwa aku juga belum mengumumkan pilihan hewan untukku. Tiba-tiba aku kesal, karena tidak ada yang menyadari itu di grup. Kemudian aku tersenyum sendiri, ah, ada, satu orang. Ya, meski dia memilih diam dan tidak bertanya di grup.


Membaca tulisannya membuat jemariku gatal untuk berkomentar. Berbeda dengannya yang memilih menjadi silent reader. Aku, sejak dulu, selalu menjadi noisy reader. A commentator.


Setelah menyetting komentar menjadi anonim, kuketik beberapa kalimat.


"Menurutku kamu bukan bak siput. Lebih mirip kelinci, yang sering jatuh di lubangnya sendiri. Semua orang tahu kelinci itu cepat, tapi tidak banyak yang tahu keberadaannya saat ia bersembunyi dalam lubang kelinci. Entah terjatuh, bersembunyi, atau sedang mengisi energi untuk melompat-lompat lagi."


Jemariku mengambang di atas keyboard. Ingin rasanya menjawab juga pilihan hewan dan alasannya. Tapi kutahan, dan kucukupkan kalimat tadi. Satu klik, publish. Kemudian tertulis bahwa komentar akan muncul setelah moderasi.


Aku beralih ke grup, kemudian protes, kenapa tidak ada yang bertanya pilihanku. Tapi kemudian mengadakan tebak-tebakan dadakan, yang benar hadiahnya boleh merebut hewan pilihan orang lain. Setelah puas berkoar di grup, yang sepi karena jam segini pasti banyak yang tidur, aku beralih lagi ke aplikasi gambar, melihat hasil ilustrasi yang sudah kubuat.


'Satu lagi,' batinku, 'Habis ini tidur'. Lalu goresan demi goresan membentuk sketsa kelinci. Hewan populer yang sebenarnya tidak terpilih dan tidak perlu digambar.


The End.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya