Ukhuwah Ini
Isabella Kirei
September 26, 2011
0 Comments
Pernah ada masa-masa dalam ukhuwah ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghias langit, menyuburkan bumi,
dan melukis pelangi
namun tak sadar, hakikatnya kita saling meniadai
di satu titik lalu sejenak kita berhenti, menyadari
mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan diatas iman
bahkan saling nasehat pun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api
Kini saatnya kembali pada iman yang menerangi hati
pada amal shalih yang menjulang bercabang-cabang
pada akhlak yang manis, lembut, dan wangi
hingga ukhuwah kita menggabungkan huruf-huruf menjadi kata
yang dengannya kebenaran terbaca dan bercahaya
(Pernah Ada Masa-masa - Salim A Fillah)
Puisi di atas, sedikit banyak cocok untuk keadaanku kali ini. Ehem. Ini tentang ukhuwah.. dengan ia yang berada jauh di sana.
Aku tidak tahu sejak kapan jarak yang terbentang terasa lebih jauh, gersang dan menyakitkan. Tidak sadar.. betapa kami sudah lost contact. Entah aku yang mendiamkannya atau dia yang mendiamkanku. Atau bisa juga, kami memang saling membisu.
Ingin kunyanyikan sebaris lirik lagu Sheila On 7,
'hilangkah dari ingatanmu? di hari kita saling berbagi'..
sudah lupakah? sehingga dengan mudahnya kau bilang lebih baik jarak ini tetap seperti ini. Tetap lebar, gersang nan berduri.
'dan, bukan maksudku,.. bukan inginku, melukaimu
sadar kah kau di sini kupun terluka..
melupakanmu.. menepikanmu..
maafkan aku..'
Maaf. Sekali lagi maaf. Maaf kalau kiranya banyak luka yang sudah ku toreh di hatimu.
Maaf. Sekali lagi maaf. Kalau nyala api yang kutawarkan bukan menerangi gelap, namun malah membakar dan menghanguskan.
Maaf. Sungguh tidak ada maksud hati untuk melukai. Kalaupun ada ego di sini, maka maafkan aku. Aku saja yang tak pandai menyampaikan nasihat.
Kalaupun aku terlalu memaksa.. itu karena aku mencintaimu karena Allah.
Aku tak ingin kau berpaling dari jalanNya.
kalau itu yang membuat jarak ini terus melebar, beritahu aku. Aku tak peka tentang ini.
Aku mungkin akan bungkam saja. Bukankah tugasku hanya mengingatkan, selanjutnya semua menjadi urusanmu?
kalau memang itu masalahnya. Aku siap kok.. untuk menunggu. Memperhatikan proses demi proses perubahanmu.
aku ingat.. ingat dengan sangat jelas.
saat itu,
saat yang menjadi latar belakang kedekatan kita, ukhuwah kita...
kau berkata : (kurang lebih begini)
"Aku cape Bel, mereka ingin aku berubah.. tapi mereka nggak mau tau prosesnya. mereka cuma mau tau aku berubah. tanpa mau membantuku untuk berubah."
kau tahu? saat itu aku menjawab dalam hati, "aku akan buktikan.. ada kok, yang tidak hanya ingin melihat hasil, tapi juga mengamati proses, menerima proses."
Adakah aku sudah menerima proses? Tell me..
Maka aku belum bisa memenuhi jawabanku atas pertanyaanmu kalau sekarang aku justru menyakitimu dengan cara yang sama dengan mereka.
sekali lagi.. ingin kubacakan padamu :
Pernah ada masa-masa dalam ukhuwah ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghias langit, menyuburkan bumi,
dan melukis pelangi
namun tak sadar, hakikatnya kita saling meniadai
(benarkah sekarang kita sedang saling meniadai?)
di satu titik lalu sejenak kita berhenti, menyadari
mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan diatas iman
bahkan saling nasehat pun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api
(ahh.. mungkin iya, aku habis dimakan api tanpa pernah menerangi)
Kini saatnya kembali pada iman yang menerangi hati
pada amal shalih yang menjulang bercabang-cabang
pada akhlak yang manis, lembut, dan wangi
hingga ukhuwah kita menggabungkan huruf-huruf menjadi kata
yang dengannya kebenaran terbaca dan bercahaya
Pertanyaannya, maukah kita kembali pada iman yang menerangi hati?
pada amal shalih? pada akhlak manis nan lembut dan wangi?
hingga ukhuwah ini kembali tegak dan tak lagi pincang?
bukankah menjalin silaturahim adalah kewajiban?