#fiksi
Bismillah.
Aku tidak pernah
merasa sekhawatir seperti sore itu. Aku belum memiliki anak, namun hari itu aku
seolah seorang induk yang kebingungan mencari anaknya. Kinan, bocah bisu itu
tiba-tiba menghilang saat aku dan teman-teman sedang riweh mengatur anak-anak lain berbaris. Tidak ada yang menyadari
ia tidak ada di sana, bahkan ketika jepretan kamera mengabadikan jajaran
mahasiswa dan anak-anak panti.
Suasana mulai rusuh
saat Ibu Pengurus Panti menelpon salah satu temanku, dan memberitahukan satu
hal penting yang terlupakan.
"Kinan phobia
difoto, tolong pastikan kinan ada teman yang menemani. Dia biasa menghilang
saat sesi foto."
sumber gambar dari sini |
Dan kami semua panik
karena tidak menemukan kinan di barisan anak-anak panti. Kami berada di bukit
Moko, tempat ini begitu luas, kami takut terjadi sesuatu yang buruk pada kinan.
Dua belas orang terbagi menjadi empat kelompok pencarian. Dan tiga orang tetap
di lokasi menjaga anak-anak dan memberi kabar siapa tahu Kinan ke sini lagi.
Sudah satu jam
lebih, sinyal hp yang putus nyambung membuat masing-masing tim tidak dapat
berkomunikasi dengan lancar. Dua kelompok yang bertugas mencari sudah kembali
dengan tangan kosong, sedangkan satu kelompok lagi masih belum kembali.
Aku yang saat itu
menjadi PJ Keberangkatan dan Kepulangan menjadi panik. Aku bertugas memastikan
semua yang berangkat, bisa pulang full team. Dan juga harus memastikan tidak
ada yang tertinggal di lokasi wisata.
"Aku nyusul
mereka deh, kalian jaga di sini" ucapku panik, melangkah menuju arah
kelompok yang tak kunjung hadir. Beberapa orang menahanku, tapi aku yang keras
kepala tidak menghiraukan mereka. Baru 15 menit berlajan cepat, aku sudah
menemukannya, bukan menemukan kinan. Hanya menemukan 3 orang berjalan lunglai
kelelahan. Langkahku terhenti, mataku mulai memanas.
"Sudahlah Ri,
sudah 1 jam lebih kami mencari, dan memang kami tidak menemukannya." ucap
Fandi setengah berteriak. Ia mencoba melunakkan keras kepalaku yang ngotot
masih ingin mencari sendiri.
"Tapi Kinan
bisu.. Kalian tahu kan Kinan bisu? Bagaimana dia bisa berteriak meminta tolong?
Bagaimana kalau ia juga sedang ketakutan? Menunggu seorang kakak
menemukannya?"
Suaraku bergetar,
kini bulir-bulir air hangat berjatuhan membasahi khimar hitamku.
***
Kinan berjalan
pelan, ia menunduk tak berani menatap anak-anak lain yang sedang membicarakan
namanya. Aku yang berada dua meter dibelakangnya segera berlari dan memeluknya.
Kinan masih diam, tidak melepaskan pelukanku dan membiarkan tangisku membasahi
jaket hijau miliknya.
Aku baru sadar ada
belasan mata yang memandangi kami, aku segera menghapus tangis, dan melepas
pelukanku. Aku tersenyum pada kinan yang masih menundukkan kepalanya. Aku
sentuh dagu Kinan, memperhatikan secara jelas ekspresi wajahnya, ia menyesal.
'Kamu membuat Ka
Riri khawatir,' ucapku dengan bahasa isyarat yang baru kupelajari dua tahun
terakhir.
'Maafin Kinan, Ka'
ia menggerakkan tangannya pelan membuat senyumku makin lebar.
'Kinan ga perlu
minta maaf. Ka Riri yang minta maaf,'
Percakapan sunyi itu
seolah bernada, membuat anak-anak lain mendekat dan ikut memeluk Kinan dan aku
bergantian.
Aku dan Kinan tidak
tahu, saat itu ada seorang mahasiswa yang ingin mengabadikan momen itu, namun
ia urung. Ia tidak jadi mengambil gambar karena teringat, Kinan dan Riri
memiliki hal serupa tapi tak sama. Kinan yang phobia jika akan difoto, dan Riri
yang selalu menolak jika ada sesi foto bersama cowok meski cuma satu orang dan
meski tidak berdua.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya