Follow Me

Monday, June 8, 2015

Phobia Kamera


#fiksi

Bismillah.

Aku tidak pernah merasa sekhawatir seperti sore itu. Aku belum memiliki anak, namun hari itu aku seolah seorang induk yang kebingungan mencari anaknya. Kinan, bocah bisu itu tiba-tiba menghilang saat aku dan teman-teman sedang riweh mengatur anak-anak lain berbaris. Tidak ada yang menyadari ia tidak ada di sana, bahkan ketika jepretan kamera mengabadikan jajaran mahasiswa dan anak-anak panti.

Suasana mulai rusuh saat Ibu Pengurus Panti menelpon salah satu temanku, dan memberitahukan satu hal penting yang terlupakan.

"Kinan phobia difoto, tolong pastikan kinan ada teman yang menemani. Dia biasa menghilang saat sesi foto."

sumber gambar dari sini
Dan kami semua panik karena tidak menemukan kinan di barisan anak-anak panti. Kami berada di bukit Moko, tempat ini begitu luas, kami takut terjadi sesuatu yang buruk pada kinan. Dua belas orang terbagi menjadi empat kelompok pencarian. Dan tiga orang tetap di lokasi menjaga anak-anak dan memberi kabar siapa tahu Kinan ke sini lagi.


Sudah satu jam lebih, sinyal hp yang putus nyambung membuat masing-masing tim tidak dapat berkomunikasi dengan lancar. Dua kelompok yang bertugas mencari sudah kembali dengan tangan kosong, sedangkan satu kelompok lagi masih belum kembali.

Aku yang saat itu menjadi PJ Keberangkatan dan Kepulangan menjadi panik. Aku bertugas memastikan semua yang berangkat, bisa pulang full team. Dan juga harus memastikan tidak ada yang tertinggal di lokasi wisata.

"Aku nyusul mereka deh, kalian jaga di sini" ucapku panik, melangkah menuju arah kelompok yang tak kunjung hadir. Beberapa orang menahanku, tapi aku yang keras kepala tidak menghiraukan mereka. Baru 15 menit berlajan cepat, aku sudah menemukannya, bukan menemukan kinan. Hanya menemukan 3 orang berjalan lunglai kelelahan. Langkahku terhenti, mataku mulai memanas.

"Sudahlah Ri, sudah 1 jam lebih kami mencari, dan memang kami tidak menemukannya." ucap Fandi setengah berteriak. Ia mencoba melunakkan keras kepalaku yang ngotot masih ingin mencari sendiri.

"Tapi Kinan bisu.. Kalian tahu kan Kinan bisu? Bagaimana dia bisa berteriak meminta tolong? Bagaimana kalau ia juga sedang ketakutan? Menunggu seorang kakak menemukannya?"

Suaraku bergetar, kini bulir-bulir air hangat berjatuhan membasahi khimar hitamku.

***

Kinan berjalan pelan, ia menunduk tak berani menatap anak-anak lain yang sedang membicarakan namanya. Aku yang berada dua meter dibelakangnya segera berlari dan memeluknya. Kinan masih diam, tidak melepaskan pelukanku dan membiarkan tangisku membasahi jaket hijau miliknya.

Aku baru sadar ada belasan mata yang memandangi kami, aku segera menghapus tangis, dan melepas pelukanku. Aku tersenyum pada kinan yang masih menundukkan kepalanya. Aku sentuh dagu Kinan, memperhatikan secara jelas ekspresi wajahnya, ia menyesal.

'Kamu membuat Ka Riri khawatir,' ucapku dengan bahasa isyarat yang baru kupelajari dua tahun terakhir.

'Maafin Kinan, Ka' ia menggerakkan tangannya pelan membuat senyumku makin lebar.

'Kinan ga perlu minta maaf. Ka Riri yang minta maaf,'

Percakapan sunyi itu seolah bernada, membuat anak-anak lain mendekat dan ikut memeluk Kinan dan aku bergantian.

Aku dan Kinan tidak tahu, saat itu ada seorang mahasiswa yang ingin mengabadikan momen itu, namun ia urung. Ia tidak jadi mengambil gambar karena teringat, Kinan dan Riri memiliki hal serupa tapi tak sama. Kinan yang phobia jika akan difoto, dan Riri yang selalu menolak jika ada sesi foto bersama cowok meski cuma satu orang dan meski tidak berdua.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya