Bismillah
#fiksi
#fiksi
Bobby dibuat kaget,
karena ibunya tiba-tiba masuk ke kamar saat ia sedang asik bermain video game
di larut malam. Biasanya, di momen seperti itu ibunya akan mulai berceramah
panjang dan menyuruh Bobby segera tidur dengan nada tinggi, namun kali ini agak
berbeda.
"Jam segini,
harusnya mendirikan shalat tahajud malah main game ga jelas. Pantes aja kamu ga
keterima kerja terus," sang Ibu kemudian berlalu dan menutup pintu kamar
anak keduanya.
Satu menit
berselang, sebuah sms membuat Bobby mengalihkan pandangannya dari layar
komputer ke layar hp. Sebuah pesan berisi harapan dan doa dari Ibu, sejenak
nafas Bobby tertahan matanya memanas. Bobby sebenarnya tahu kalau bulan sudah
memasuki bulan saat ia dilahirkan, namun malam itu ia sungguh tidak sadar kalau
itulah hari yang sama dengan hari tiga puluh tahun lalu ia dilahirkan.
Rangkaian slide
kehidupannya pun tanpa diminta otomatis terputar di otaknya, gambaran kerja
keras sang Ibu sendirian membesarkan keempat anaknya. Kakak-kakak Bobby sudah
mentas, tinggal ia seorang ragil yang kerjanya dirumah hanya menghabiskan uang
dan bermalas-malasan. Slide-slide itulah yang akhirnya membuat ia mematikan
komputernya dan berjalan perlahan menuju kamar ibunya.
Langkah Bobby
lunglai entah karena ragu atau karena rasa bersalah yang seolah tiba-tiba
berjatuhan memberati langkahnya. Ia dulu pernah menjadi anak bungsu yang manja,
namun masih bisa membuat ibu tersenyum dengan tingkah lucu. Namun sekarang ia
hanya seorang anak kecil yang terperangkap di tubuh dewasa, atau seorang dewasa
yang mentalnya masih sangat kekanak-kanakkan. Jarak kamarnya dengan kamar ibu
yang hanya beberapa langkah akhirnya berhasil dilewati, tinggal sebuah pintu
yang menghalangi ia menemui ibunya.
Sebelum tangan Bobby
berhasil mengetuk pintu kayu bercat biru muda, terdengar dering khas hp ibu.
Bobby menarik tangannya ke bawah, berdiri dalam sunyi mendengarkan suara ibu
yang terdengar makin menua dari hari ke hari. Rupanya telpon tadi dari kakak sulungnya,
yang kini berada di negara lain karena ikut suaminya. Kak Nila memang sering
menelpon ibu di waktu-waktu ini karena kak Nila tahu ibunya biasa mendirikan
shalat tahajud, dan qadarullah waktu ini adalah saat anak-anaknya sekolah.
"Bobby sehat,
sekarang alhamdulillah ia sudah rajin sholat lima waktu di masjid, sesekali
shalat dhuha dan tahajud juga. Bobby udah ga pernah main game seharian kaya
dulu. In syaa Allah sebentar lagi akan dapat kerja dan segera menikah."
Entah apa yang ada
dipikiran ibu, Bobby perlahan melangkah mundur karena kaget atas kebohongan
yang dikatakan ibunya. Ia berbalik menuju kamar pelan-pelan, berharap ibu tidak
tahu kalau ia mendengar percakapan ibu dengan kak Nila. Setelah mematikan lampu
kamarnya, ia merebahkan tubuhnya menelengkup di dipan dengan kasur empuk.
Matanya memang terpejam, namun otaknya yang masih bekerja membuat ia
berulangkali mengubah posisi tidurnya. Perasaannya tidak bisa digambarkan
dengan kata-kata, mungkin seperti ratusan orang sedang berdemo dan mendorong
gerbang tinggi di hatinya agar bisa terbuka, atau mungkin seperti duri kecil
yang masuk di jarinya namun tidak bisa dikeluarkan. Sebagian dirinya ingin
tidur dan melupakan apa yang terjadi malam itu, namun sebagian lainnya ingin
momen itu menjadi titik awal ia berubah menjadi anak yang bisa membuat ibunya
tersenyum.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya