Bismillah.
It's a misleading title. Just wanna warn you, in case you think this post will take on failure on love. Tapi sebenarnya tidak benar-benar misleading juga, karena memang aku ingin menyalin kutipan dari buku "Yang Belum Usai" tentang cinta dan kegagalan.
***
"...pada saat kegagalan datang, konsep self-love akan menuntun kita untuk tetap berbelas kasih pada diri sendiri (self-compassion).
Lain halnya apabila kita tidak mencintai diri kita secara utuh, tidak menerima kegagalan kita sebagai bagian dari proses hidup dan bertumbuh, atau menganggap upaya mencintai diri adalah cara kita untuk menjadi narsis, maka kita cenderung akan masuk ke dalam lubang hitam bernama penyesalan, kritik diri yang kejam, self-loathing, frustasi, insecure, self-harm, bahkan depresi."
#daribuku *Yang Belum Usai* - Pijar Psikologi, PT Elex Media Komputindo
Membaca kutipan di atas membuatku berkaca, bahwa hal tersulit dalam mencintai, adalah mencintai seseorang (termasuk diri) yang sedang atau pernah gagal. Dan sedihnya, banyak yang masuk ke lubang hitam itu, penyesalan, kritik diri yang kejam, self-loathing, frustasi, insecure... bahkan yang lebih buruk lagi, seperti yang tertera di kutipan di atas.
Dan mencintai dan menerima orang yang gagal itu, butuh waktu. Terutama, jika sebelumnya kita sudah memiliki ekspektasi tinggi terhadapnya. Pasti akan ada masa-masa kita harus memberi jarak dan menjauh sejenak, sekedar untuk menetralkan rasa kecewa dan menyiapkan diri untuk bisa menerima dan mencintai orang itu lagi. Tapi ironisnya. Kalau orang itu adalah diri kita sendiri, bagaimana bisa kita menjauh dan berjarak dengannya? Banyak yang akhirnya memilih untuk mengurung diri, menjauh dari semua orang, tidur terlalu lama, atau menenggelamkan diri dalam distraksi, dari satu game ke game lain, dari satu series/drama/film ke series/drama/film lain. Tanpa benar-benar mencerna emosi dan perasaan kecewa yang seharus diolah hingga kita menemukan makna, bahwa kegagalan ini, juga bagian dari proses diri menjadi lebih baik. Bahwa luka ini, bukan semata goresan yang membuat wajah tunduk karena malu, tapi bisa menjadi cerita, bahwa ada kisah di balik luka tersebut. Cerita yang bisa jadi menginspirasi orang lain, yang juga mengalami hal yang mirip/serupa.
***
Masih di bagian yang sama dari pembahasan self love. Aku menemukan kutipan tentang cinta sejati. Frase cinta sejati ini, sejak dulu sudah lama menjadi frase yang istimewa. Bahkan pernah kupakai sebagai judul blog ini. It was "Looking for a Genuine Love" (--ternyata salah, bukan genuine love, tapi genuine friends, maaf atas memori burukku) before transforming into (Better Word for Better Life). Jadi saat membacanya, tanganku segera meraih hp dan mengetik ulang. Mencatat sebagai pengingat bahwa,
"Konsep itu (mencintai yang sejati) meliputi penerimaan terhadap diri sendiri maupun orang lain, kesadaran untuk memahami daripada menghakimi, memaafkan daripada menyimpan dendam, melepas daripada menimbun beban, serta mengasihi daripada mengkritik tajam."
#daribuku *Yang Belum Usai* - Pijar Psikologi, PT Elex Media Komputindo
Kalau dulu aku mengira cinta sejati adalah kata benda. Kini setidaknya aku tahu, bahwa cinta adalah kata kerja. So instead looking for it outside, I should work on it from inside.
Wallahua'lam.
***
Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya