Follow Me

Tuesday, March 28, 2023

Can't Call to Quit

Bismillah.

*warning* personal, abstrak, I'll be glad if you read another post instead

***

November-Januari kesempatan untuk bersuara dan menyatakan untuk mundur sudah ada. Tapi bibirku bungkam, dan aku seperti tidak bisa cari momen untuk mengatakan apa yang beberapa bulan mengganggu hati. Lalu Januari itu, akhirnya orang lain yang maju dan mengutarakan keinginan untuk mundur itu. Saat itu yang muncul pertama perasaan lega, karena aku tidak harus bersuara sendiri. Tapi aku tahu, perasaan lega itu menyembunyikan perasaan lain.

Sebelum orang lain yang maju dan "mewakili suara"ku, aku sebenarnya sudah berkali-kali bertanya pada diri. Mengapa begitu sulit untuk mengucapkannya? Juga sempat berpikir untuk menuliskannya melalui surat, karena aku tahu aku lebih nyaman menulis ketimbang angkat suara. Aku bertanya-tanya, apa karena aku memang masih ragu, sehingga sulit untuk berbicara. Atau aku memang tidak mau bicara, karena sesuatu yang lain.

Sesuatu yang lain. Tentang itu, aku tidak bisa untuk tidak menyangkut pautkannya. Bagiku sama. Satu keyword. Quit, berhenti. Skenarionya sama, aku sudah bertekad, tapi aku tidak mau bersuara. Padahal untuk berhenti yang satu ini, dan juga banyak hal lain, harus ada komunikasi. Tidak bisa berhenti sendiri, lalu pergi dan menghilang, layaknya what people called this day as ghosting. *why changing language though? Wkwkwk.

Intinya, ternyata, setelah sesuatu yang lain itu, ada memori yang melekat, sehingga bagiku, tidak akan mudah untuk berhenti lagi, dari hal-hal selanjutnya yang meski berbeda, tetap saja akan tampak sama, jika syarat untuk berhentinya mengharuskan aku bersuara. Pilihanku masih sama, memilih bersembunyi dibalik shield, what's the Indonesian word for this? Tameng, no, it's a bad choice of diksi. *here I am talking to myself again instead of making a good writing.

I still choose to use a shield. I still walk behind that shield. A different shield this time.

I'll feel guilty once in a while because of my cowardness, but this is me, my weakness. I am still me, who feel comfort behind the curtain, behind the shield. Glad, Allah always give me a strong shield to protect myself. Oh yeah, of course I don't depend on the shield, cause they're just His creation. I depend to Allah only. Hasbunallah wa ni'mal wakil. Semoga itu selalu tertanam di hati. Inna ma'iya rabbi sayahdin.

Wallahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya