Bismillahirrahmanirrahiim :)
Hari itu, aku seperti kehilangan ide bagaimana ekspresi kehilangan yang pas untukku.
Baru kemarin, ya sepertinya baru kemarin aku kehilangan buku catatan biruku. Baru kemarin rasanya aku ingin menangis mengetahui ia tak dapat kutemukan ditempat yang kujangkau. Baru kemarin, aku rela shubuh-shubuh menerobos sunyi menuju mushola GKU Timur demi memenuhi egoku. Baru kemarin, aku menggerutu betapa aku ceroboh dan betapa aku bodoh, entah lupa atau memang sengaja, buku itu memang tak beridentitas, walau separuh lebih halamannya sudah penuh sesak oleh tinta.
Hari itu, kembali kutemukan arti kehilangan, merengut senyum.. walau tak tahu pasti harus kuganti senyum ini dengan apa. Aku kehilangan handphone-ku, handphone pertama ku, dan segala hal yang ada di sana. Foto-fotonya, sms-smsnya, note-notenya, reminder dan agenda di kalendernya, aplikasi-aplikasinya, semuanya. Raib begitu saja, tak dapat lagi ku kejar, ia pergi tanpa meninggalkan jejak. Dan aku, tak tahu harus berekspresi apa pada dunia.
Kurang lebih seperti itu, gambaran kejadian lampau yang membuatku berpikir dan mencoba menuangkan gagasan ini di sini. Sebuah kehilangan membuat kita untuk menentukan dua pilihan besar, yang pertama meratapinya.. yang kedua mengikhlaskannya.
Pilihan pertama, akan menggiring kita pada perasaan yang menyesak dada. Iya, memang benar, rasanya tidak enak kehilangan sesuatu, entah itu barang maupun orang yang kita rasa milik kita. Apalagi kalau kita sudah kadung (baca: terlanjur) sayang dan merasa nyaman olehnya. Maka setelah kehilangan, akan hadir penyesalan terus-menerus, menyalahkan sesuatu atau diri sendiri. Meratapi, yang muncul selanjutnya adalah kata-kata 'andai saja', 'coba kalau', dan conditional sentence lainnya.
Sedangkan pilihan kedua, kita mengikhlaskannya. Merelakan ia pergi, karena toh memang tak ada di dunia ini yang benar-benar milik kita. Mengikhlaskan sesuatu yang hilang berarti, kita tidak kembali mengungkit-ungkit kejadian horrible itu, tidak menyalahkan keadaan ataupun diri sendiri. Bukan berarti kita tidak sedih. Adalah hal yang wajar kita merasa sedih ketika kehilangan sesuatu yang kita pikir milik kita. Tapi pilihan kedua ini, berarti kita rela terhadap ketetapan Allah. Kita pasrah, karena Allah-lah pemilikNya.
Ayo.. kita belajar ikhlas. merelakan sesuatu yang hilang dari sisi kita, agar hati kita lebih lapang dan bukan sesak karena terus mengingat-ingatnya. Aku pun masih belajar. Ayo.. kita harus yakin, ada banyak hikmah yang kita petik dari kejadian tersebut.
*I wrote that article above on 8th of October 2011. It's the matter of loosing my cellphone. Well I have my new one, with the old cellphone number still. About loosing something, I surprised that my blue note came back to me. No, I didn't leave it in GKU Timur. It was left in Salman. And, someone picked and saved it for me. Thank you :)
Upgrade Your Life in Silence
-
“BAGAIMANA CARA HIDUP KITA TENANG ? Tidak perlu menyimpan nomor whatsapp
orang2 toxic, tidak peduli itu keluarga atau saudara. Tidak perlu menonton
story w...
1 week ago
ilang bel? hape?
ReplyDeleteaku uda 3kali bel, haha ikhlas aja ikhlas :D
iye.. ilang :) udah lama juga. hehe Oke.oke
ReplyDelete