Follow Me

Friday, January 20, 2012

Something Left II


Aku terisak dalam tangisku, saat tiba-tiba sebuah sentuhan lembut menyentakku. “Esta?” suara kak Tania membangunkanku. Aku terjaga dari tidurku, masih terisak, walau tanpa air mata. “Kenapa sayang? Mimpi buruk?”, Kak Tania terlihat khawatir. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil. Aku belum bisa meredakan sesenggukan tangisku saat Ka Tania pergi mengambilkanku air putih. Mimpi tadi begitu nyata tergambar. Penyesalan ini begitu dalam merasuk, menggedor-nggedor pintu hatiku. Kenapa kau tinggalkan?
***
Mentari pagi tersenyum malu-malu, mengintip dari balik awan. Sungguh cuaca yang indah bagiku, yang memang tidak begitu suka terpapar teriknya sinar mentari. Apalagi jam 10 nanti, akan ada foto angkatan untuk buku kenangan sekolahku. Aku menggumamkan syukur di bibir, teringat karunia yang sudah Allah swt berikan padaku, dan sekolahku. Tidak cukup lulus 100 %, sekolahku juga meraih peringkat pertama di provinsi jawa tengah karena nilai rata-rata ujian nasional tertinggi pertama untuk jurusan IPS dan tertinggi kedua untuk jurusan IPA.
Kurapikan seragam putih abu-abu ku, bisa jadi hari ini hari terakhir seragam ini kukenakan ke SMA tercinta. Sedang asik mematut-matut diri di depan cermin, tanpa sengaja mataku terarah ke gaun putih tulang yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Dengan ragu, aku mendekat.. lalu meraba detail demi detailnya. Aku menggeleng pelan. Bismillah.. kuatkan aku Ya Rabb.. dalam memegang teguh keputusan ini.
***
Bukan hal yang mudah ketika aku harus meniti jalan yang sepi, yang jarang dilalui orang. Padahal aku terbiasa lewat jalan tol yang mulus-mulus saja. Sekarang aku harus mengambil jalan yang lebih terjal, yang berkerikil.. yang kebanyakan orang enggan menempuhnya. Bukan. Bukan karena mereka tidak mau, tapi lebih banyak karena mereka tidak mau tahu.
Jarum jam tanganku masih menunjukkan pukul 9 lebih 15 menit. Sekolahku masih sepi oleh siswa kelas 12 yang hendak berfoto bersama. Aku merutuki diriku yang memang seringkali datang terlalu awal. Kulangkahkan kakiku ke mushola hijau yang letaknya agak terpencil di pojok barat daya sekolahku. Aku teringat, pagi ini aku belum sholat dhuha. Aku tersenyum sendiri, mengingat dulu.. hampir semua siswa kelas 12 mendadak jadi rajin sholat dhuha. Termasuk aku, yang tadinya jarang sekali menginjakkan kaki ke dalam mushola ulul albab, karena letaknya yang jauh dari kelas. Ah. Mungkin lebih tepatnya karena aku saja yang malas, jarak ini hanya alibi.
Ditikungan menuju mushola, kurang lebih 1 meter lagi aku harus berjalan.. sesosok yang kukenal tiba-tiba muncul. Aku tersentak. Menghentikan langkahku. Debar ini tak menentu, saat yakin kalau sosok itu adalah Andi. “Tidak, tidak. Stay calm, stay calm!” bisikku dalam hati, menenangkan diriku yang hendak salah tingkah. Aku tundukkan mataku, berpura-pura tidak melihatnya.
“Esta!” sapa Andi. Mau tak mau aku tegakkan pandanganku. Lalu menyengir, balik memanggil namanya.
“Esta...” Andi seolah ingin memulai percakapan. Aku belum siap.
“Sorry Ndi, aku buru-buru.. Esta duluan ya..” potongku cepat. Kemudian berlalu meninggalkan dia yang masih terpaku, entahlah mengapa.
***
Aku sudah menyelesaikan sholat dhuhaku, namun entah mengapa aku enggan bergeming. Hanya duduk bersila dengan mukena melingkupi tubuhku. Sekelebat bayangan pertemuan tak terdugaku dengan Andi membuatku menggeleng-geleng keras.
Hm. Aku tahu ia tadi hendak menagih jawabanku. Tapi sungguh aku belum siap menjawabnya. Aku masih ingat sekali pintanya waktu itu.. ah, aku sendiri separuh tak percaya ia memintaku menjadi pasangannya di malam promnite. Beruntungnya diriku, ucap teman-temanku. Siapa yang tidak ingin menjadi pasangan prom nite seorang Andi, ketua OSIS yang prestasinya cemerlang, wajahnya pun lumayan. Ahhhh... kuusapkan wajahku dengan tanganku.
Tidak. Tidak. Tidak.
Kuberanikan diri mengetik 5 huruf itu : tidak. Cepat-cepat kukirim ke nomer handpone andi di phonebook-ku. Aku tak ingin ada hal yang menggoyahkan keputusanku. Aku tak mau meninggalkan hatiku, seperti mimpi buruk semalam. Tidak terimakasih. Aku tidak ingin terlambat dan menyesal.
Tak sampai lima menit, Andi membalas pesanku. ‘Maksudnya?’. Aku tertawa dalam hati. Jelas saja Andi tidak mengerti maksudku. Memang apa arti dari sebuah kata ‘tidak’. Lalu dengan perasaan lebih ringan, ku jelaskan maksudku. Tak lupa kuucapkan maaf dan terima kasih. Aku tersenyum. Aku tahu ini keputusan yang tepat.
***
“Eh, ini masuk ke anak-anak atau dewasa Din..” terdengar  suara seorang  siswi di sebelah mushola, tepatnya di sekretariat ROHIS sekolahku. Kulihat di bagian atas pintu sekre ROHIS yang agak terbuka. Akhwat. Sebuah papan yang menginformasikan orang luar siapa yang sedang di dalam sekre, akhwat (perempuan) atau ikhwan (laki-laki). Aku yang sedang menali sepatu, tertarik  untuk mengintip, ups.. seseorang menangkap  bayanganku.
“Esta bukan?” tanya-nya. Akhirnya kuberanikan diri menengok ke dalam. Kulihat empat siswi berkerudung sedang mensortir pakaian.
“Untuk apa nih? Bakti  sosial?” tanyaku asal. Mereka mengangguk.
“Boleh bantu nggak?” tanyaku ragu.. lalu satu demi satu menjawab dengan ramah, intinya : tentu saja boleh. Agak kagok, aku ikut dalam kesibukan mereka. Ikut tertawa, setiap kali mereka kebingungan mengklasifikasikan baju dewasa yang modelnya memang  ’kekecilan’. Aku malu sendiri, kalau ingat aku seringkali berpikiran tidak-tidak pada mereka. Aku kira, aktivis rohis hanya mau berteman dengan  aktivis rohis. Atau, minimal-minimalnya berteman dengan mereka yang sudah berjilbab. Maklum, aku hanya mengenal satu orang dari mereka : Dinda. Ternyata, mereka sangat ramah pada siapapun. Termasuk aku yang belum berjilbab.
***
“Siap! Tiga.. dua.. satu..” Klik. Klik. Beberapa sinar flash disambut meriah oleh senyum kami. ya
“lagiii.... ” seru sebagian besar siswa. Haha J aku tersenyum bahagia.  Beginilah teman-teman seangkatanku -termasuk aku- kalau sudah berhadapan dengan kamera. Foto ini, akan menjadi salah satu pengingat ketika kami sudah lulus dan terpisah satu sama lain. Meniti jalan masing-masing. Mungkin ada beberapa yang sama atau satu jalur, namun lebih banyak yang akan menempuh jalur yang berbeda. Cita-cita kami bagai pelangi, tak satu warna namun tetap satu tujuannya menghias langit biru.
Setelah asik berfoto ria, kami lalu membuat lingkaran-lingkaran yang lebih kecil berdasarkan kelas. Dito, ketua kelas kami membuka pembicaraan. Cowok bekulit hitam manis dan berkacamata itu menjelaskan beberapa pengumuman terkait beberapa acara terakhir di sekolah yang bisa kami ikuti. Ada tasyakuran yang diselenggarakan ROHIS, malam perpisahan atau biasa dikenal dengan sebutan ‘prom nite’ yang diselenggarakan OSIS dan acara wisuda yang diselenggarakan oleh sekolah secara resmi.
“Ada yang mau ditanyakan?” tanya Dito sembari membetulkan letak kacamatanya. Beberapa tangan terangkat, dan satu demi satu pertanyaan mengenai promnite dan acara wisuda mengalir. Aku hanya menyimak dengan tenang. Sesekali mengulangi jawaban Dito karena teman-teman dibelakangku tidak mendengar dengan jelas jawaban dari Dito.
“Oke, karena nggak ada pertanyaan lagi. Kita sudahi ya. Makasih atas kehadirannya dan partisipasinya. Kalau ada pertanyaan lagi tentang informasi yang tadi sms ke nomer ponselku aja ya. Sudah punya semua kan?” tutup Dito.
“Belum” koor teman sekelas kompak. Hanya ingin meledek Dito. Karena setiap dia bicara sesuatu di depan kelas, dia tidak pernah lupa promosi nomer ponselnya. Dan kami pun bubar jalan tanpa hormat.
Baru beberapa langkah aku meninggalkan kerumunan siswa siswi angkatanku, sebersit keheranan muncul. “Kenapa tadi nggak ada yang tanya tentang tasyakuran ya?”. Bukankah tadi kata Dito, tiap kelas wajib memberi sumbangan dalam bentuk buku, pakai bekas, atau uang? Kenapa tidak ada yang tanya kapan pengumpulan terakhirnya? Kenapa pula, aku tadi tidak bertanya? Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti di otakku. Membuatku memutuskan untuk mengambil ponsel dan menulis sebuah pesan singkat ke Dito.
Tak tik tak tik, suara keypad terdengar jelas. “Dimana sih?” batinku. Kupukul dahiku pelan. Ah! Aku kan tidak pernah menyimpan nomer ponsel Dito. Aku menghela nafas pelan. Kemudian merutuki kebodohanku.
***
“Hush!” Dinda menatap seorang akhwat bernama Ika. Menegurnya, agar berhenti mengeluh. Ini untuk kedua kalinya, aku membantu anak-anak ROHIS untuk mempersiapkan acara tasyakuran. Kali ini aku sudah tidak sekaku sebelumnya. Kulihat wajah Ika yang kini dilipat, berusaha untuk tidak meluapkan kemarahannya lewat kata-kata.
“Memangnya kalau untuk acara Prom Nite, Ika tahu sekolah menyediakan dana berapa?” tanyaku pada Ika. Tadi dia memang misuh-misuh mengenai dana dari sekolah yang menurutnya sangat kecil.
“Ika sih tidak tahu secara pasti, tapi kemarin Ika dengar dari panitia.. Prom Nite tahun ini rencananya akan menghabiskan paling tidak 80 juta rupiah.” Jawab Ika. Lalu menegaskan kembali kata delapan puluh juta rupiah, sampai sekali lagi.. Dinda kembali membuat Ika terdiam dengan jurus ‘hush’-nya. Dan sekre ROHIS pun kembali lengang. Kami kembali sibuk pada kegiatan masing-masing, ada yang menyortir pakaian, menyortir buku-buku sampai yang menghitung uang.
Aku terpekur. Memikirkan kembali kata-kata Ika. Miris sekali rasanya, mendengar bahwa tahun ini rencananya 80 juta rupiah akan dihambur-hamburkan secara percuma hanya dalam satu malam. Kenapa aku baru sadar sekarang, dulu.. tak pernah sama sekali terbesit di otakku, kalau acara promnite yang menjadi ‘hotnews’ kelas XII memiliki berbagai sisi negatif.
Delapan puluh juta, kalau saja uang sebanyak itu dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan pasti jauh lebih bermanfaat. Air mataku mengambang dipelupuk mata. Ada rasa syukur yang menggunung di benak. Terimakasih ya Allah, yang menakdirkanku untuk tanpa sengaja berada dalam percakapan tadi.
***
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” QS. Yunus [10] : 12
Sungguh aku telah meninggalkan hatiku, kalau kubiarkan setelah diberi nikmat, aku justru mengingkarinya. Hatiku pasti sudah tertinggal Ya Rabb, kalau kubiarkan aku mendekat saat sedang butuh, kemudian diberi nikmat malah melenggang pergi menjauhiMu.


*ini sekuel kedua dari cerpen Something Left yang kata beberapa orang terlalu singkat. :) Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya