Aku terisak dalam tangisku, saat
tiba-tiba sebuah sentuhan lembut menyentakku. “Esta?” suara kak Tania
membangunkanku. Aku terjaga dari tidurku, masih terisak, walau tanpa air mata.
“Kenapa sayang? Mimpi buruk?”, Kak Tania terlihat khawatir. Aku hanya menjawab
dengan anggukan kecil. Aku belum bisa meredakan sesenggukan tangisku saat Ka
Tania pergi mengambilkanku air putih. Mimpi tadi begitu nyata tergambar.
Penyesalan ini begitu dalam merasuk, menggedor-nggedor pintu hatiku. Kenapa kau
tinggalkan?
***
Mentari pagi tersenyum malu-malu,
mengintip dari balik awan. Sungguh cuaca yang indah bagiku, yang memang tidak
begitu suka terpapar teriknya sinar mentari. Apalagi jam 10 nanti, akan ada
foto angkatan untuk buku kenangan sekolahku. Aku menggumamkan syukur di bibir,
teringat karunia yang sudah Allah swt berikan padaku, dan sekolahku. Tidak
cukup lulus 100 %, sekolahku juga meraih peringkat pertama di provinsi jawa
tengah karena nilai rata-rata ujian nasional tertinggi pertama untuk jurusan
IPS dan tertinggi kedua untuk jurusan IPA.
Kurapikan seragam putih abu-abu ku,
bisa jadi hari ini hari terakhir seragam ini kukenakan ke SMA tercinta. Sedang
asik mematut-matut diri di depan cermin, tanpa sengaja mataku terarah ke gaun
putih tulang yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Dengan ragu, aku
mendekat.. lalu meraba detail demi detailnya. Aku menggeleng pelan. Bismillah..
kuatkan aku Ya Rabb.. dalam memegang teguh keputusan ini.
***
Bukan hal yang mudah ketika aku
harus meniti jalan yang sepi, yang jarang dilalui orang. Padahal aku terbiasa
lewat jalan tol yang mulus-mulus saja. Sekarang aku harus mengambil jalan yang lebih
terjal, yang berkerikil.. yang kebanyakan orang enggan menempuhnya. Bukan.
Bukan karena mereka tidak mau, tapi lebih banyak karena mereka tidak mau tahu.
Jarum jam tanganku masih
menunjukkan pukul 9 lebih 15 menit. Sekolahku masih sepi oleh siswa kelas 12
yang hendak berfoto bersama. Aku merutuki diriku yang memang seringkali datang
terlalu awal. Kulangkahkan kakiku ke mushola hijau yang letaknya agak terpencil
di pojok barat daya sekolahku. Aku teringat, pagi ini aku belum sholat dhuha.
Aku tersenyum sendiri, mengingat dulu.. hampir semua siswa kelas 12 mendadak
jadi rajin sholat dhuha. Termasuk aku, yang tadinya jarang sekali menginjakkan kaki
ke dalam mushola ulul albab, karena letaknya yang jauh dari kelas. Ah. Mungkin
lebih tepatnya karena aku saja yang malas, jarak ini hanya alibi.
Ditikungan menuju mushola, kurang
lebih 1 meter lagi aku harus berjalan.. sesosok yang kukenal tiba-tiba muncul.
Aku tersentak. Menghentikan langkahku. Debar ini tak menentu, saat yakin kalau
sosok itu adalah Andi. “Tidak, tidak. Stay calm, stay calm!” bisikku dalam
hati, menenangkan diriku yang hendak salah tingkah. Aku tundukkan mataku,
berpura-pura tidak melihatnya.
“Esta!” sapa Andi. Mau tak mau
aku tegakkan pandanganku. Lalu menyengir, balik memanggil namanya.
“Esta...” Andi seolah ingin
memulai percakapan. Aku belum siap.
“Sorry Ndi, aku buru-buru.. Esta
duluan ya..” potongku cepat. Kemudian berlalu meninggalkan dia yang masih
terpaku, entahlah mengapa.
***
Aku sudah menyelesaikan sholat
dhuhaku, namun entah mengapa aku enggan bergeming. Hanya duduk bersila dengan
mukena melingkupi tubuhku. Sekelebat bayangan pertemuan tak terdugaku dengan
Andi membuatku menggeleng-geleng keras.
Hm. Aku tahu ia tadi hendak
menagih jawabanku. Tapi sungguh aku belum siap menjawabnya. Aku masih ingat
sekali pintanya waktu itu.. ah, aku sendiri separuh tak percaya ia memintaku
menjadi pasangannya di malam promnite. Beruntungnya diriku, ucap teman-temanku.
Siapa yang tidak ingin menjadi pasangan prom nite seorang Andi, ketua OSIS yang
prestasinya cemerlang, wajahnya pun lumayan. Ahhhh... kuusapkan wajahku dengan
tanganku.
Tidak. Tidak. Tidak.
Kuberanikan diri mengetik 5 huruf
itu : tidak. Cepat-cepat kukirim ke nomer handpone andi di phonebook-ku. Aku
tak ingin ada hal yang menggoyahkan keputusanku. Aku tak mau meninggalkan
hatiku, seperti mimpi buruk semalam. Tidak terimakasih. Aku tidak ingin
terlambat dan menyesal.
Tak sampai lima menit, Andi
membalas pesanku. ‘Maksudnya?’. Aku tertawa dalam hati. Jelas saja Andi tidak
mengerti maksudku. Memang apa arti dari sebuah kata ‘tidak’. Lalu dengan
perasaan lebih ringan, ku jelaskan maksudku. Tak lupa kuucapkan maaf dan terima
kasih. Aku tersenyum. Aku tahu ini keputusan yang tepat.
***
“Eh, ini masuk ke anak-anak atau
dewasa Din..” terdengar suara
seorang siswi di sebelah mushola,
tepatnya di sekretariat ROHIS sekolahku. Kulihat di bagian atas pintu sekre
ROHIS yang agak terbuka. Akhwat. Sebuah papan yang menginformasikan orang luar
siapa yang sedang di dalam sekre, akhwat (perempuan) atau ikhwan (laki-laki).
Aku yang sedang menali sepatu, tertarik
untuk mengintip, ups.. seseorang menangkap bayanganku.
“Esta bukan?” tanya-nya. Akhirnya
kuberanikan diri menengok ke dalam. Kulihat empat siswi berkerudung sedang
mensortir pakaian.
“Untuk apa nih? Bakti sosial?” tanyaku asal. Mereka mengangguk.
“Boleh bantu nggak?” tanyaku
ragu.. lalu satu demi satu menjawab dengan ramah, intinya : tentu saja boleh.
Agak kagok, aku ikut dalam kesibukan mereka. Ikut tertawa, setiap kali mereka
kebingungan mengklasifikasikan baju dewasa yang modelnya memang ’kekecilan’. Aku malu sendiri, kalau ingat
aku seringkali berpikiran tidak-tidak pada mereka. Aku kira, aktivis rohis
hanya mau berteman dengan aktivis rohis.
Atau, minimal-minimalnya berteman dengan mereka yang sudah berjilbab. Maklum,
aku hanya mengenal satu orang dari mereka : Dinda. Ternyata, mereka sangat
ramah pada siapapun. Termasuk aku yang belum berjilbab.
***
“Siap! Tiga.. dua.. satu..” Klik.
Klik. Beberapa sinar flash disambut meriah oleh senyum kami. ya
“lagiii.... ” seru sebagian besar
siswa. Haha J
aku tersenyum bahagia. Beginilah
teman-teman seangkatanku -termasuk aku- kalau sudah berhadapan dengan kamera.
Foto ini, akan menjadi salah satu pengingat ketika kami sudah lulus dan
terpisah satu sama lain. Meniti jalan masing-masing. Mungkin ada beberapa yang
sama atau satu jalur, namun lebih banyak yang akan menempuh jalur yang berbeda.
Cita-cita kami bagai pelangi, tak satu warna namun tetap satu tujuannya
menghias langit biru.
Setelah asik berfoto ria, kami
lalu membuat lingkaran-lingkaran yang lebih kecil berdasarkan kelas. Dito,
ketua kelas kami membuka pembicaraan. Cowok bekulit hitam manis dan berkacamata
itu menjelaskan beberapa pengumuman terkait beberapa acara terakhir di sekolah
yang bisa kami ikuti. Ada tasyakuran yang diselenggarakan ROHIS, malam
perpisahan atau biasa dikenal dengan sebutan ‘prom nite’ yang diselenggarakan OSIS
dan acara wisuda yang diselenggarakan oleh sekolah secara resmi.
“Ada yang mau ditanyakan?” tanya
Dito sembari membetulkan letak kacamatanya. Beberapa tangan terangkat, dan satu
demi satu pertanyaan mengenai promnite dan acara wisuda mengalir. Aku hanya menyimak
dengan tenang. Sesekali mengulangi jawaban Dito karena teman-teman dibelakangku
tidak mendengar dengan jelas jawaban dari Dito.
“Oke, karena nggak ada pertanyaan
lagi. Kita sudahi ya. Makasih atas kehadirannya dan partisipasinya. Kalau ada
pertanyaan lagi tentang informasi yang tadi sms ke nomer ponselku aja ya. Sudah
punya semua kan?” tutup Dito.
“Belum” koor teman sekelas
kompak. Hanya ingin meledek Dito. Karena setiap dia bicara sesuatu di depan
kelas, dia tidak pernah lupa promosi nomer ponselnya. Dan kami pun bubar jalan
tanpa hormat.
Baru beberapa langkah aku
meninggalkan kerumunan siswa siswi angkatanku, sebersit keheranan muncul.
“Kenapa tadi nggak ada yang tanya tentang tasyakuran ya?”. Bukankah tadi kata
Dito, tiap kelas wajib memberi sumbangan dalam bentuk buku, pakai bekas, atau
uang? Kenapa tidak ada yang tanya kapan pengumpulan terakhirnya? Kenapa pula,
aku tadi tidak bertanya? Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti di otakku.
Membuatku memutuskan untuk mengambil ponsel dan menulis sebuah pesan singkat ke
Dito.
Tak tik tak tik, suara keypad
terdengar jelas. “Dimana sih?” batinku. Kupukul dahiku pelan. Ah! Aku kan tidak
pernah menyimpan nomer ponsel Dito. Aku menghela nafas pelan. Kemudian merutuki
kebodohanku.
***
“Hush!” Dinda menatap seorang
akhwat bernama Ika. Menegurnya, agar berhenti mengeluh. Ini untuk kedua
kalinya, aku membantu anak-anak ROHIS untuk mempersiapkan acara tasyakuran.
Kali ini aku sudah tidak sekaku sebelumnya. Kulihat wajah Ika yang kini
dilipat, berusaha untuk tidak meluapkan kemarahannya lewat kata-kata.
“Memangnya kalau untuk acara Prom
Nite, Ika tahu sekolah menyediakan dana berapa?” tanyaku pada Ika. Tadi dia
memang misuh-misuh mengenai dana dari
sekolah yang menurutnya sangat kecil.
“Ika sih tidak tahu secara pasti,
tapi kemarin Ika dengar dari panitia.. Prom Nite tahun ini rencananya akan
menghabiskan paling tidak 80 juta rupiah.” Jawab Ika. Lalu menegaskan kembali
kata delapan puluh juta rupiah, sampai sekali lagi.. Dinda kembali membuat Ika
terdiam dengan jurus ‘hush’-nya. Dan sekre ROHIS pun kembali lengang. Kami
kembali sibuk pada kegiatan masing-masing, ada yang menyortir pakaian,
menyortir buku-buku sampai yang menghitung uang.
Aku terpekur. Memikirkan kembali
kata-kata Ika. Miris sekali rasanya, mendengar bahwa tahun ini rencananya 80
juta rupiah akan dihambur-hamburkan secara percuma hanya dalam satu malam.
Kenapa aku baru sadar sekarang, dulu.. tak pernah sama sekali terbesit di
otakku, kalau acara promnite yang menjadi ‘hotnews’ kelas XII memiliki berbagai
sisi negatif.
Delapan puluh juta, kalau saja
uang sebanyak itu dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan pasti
jauh lebih bermanfaat. Air mataku mengambang dipelupuk mata. Ada rasa syukur
yang menggunung di benak. Terimakasih ya Allah, yang menakdirkanku untuk tanpa
sengaja berada dalam percakapan tadi.
***
“Dan
apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa
kepada Kami dalam keadaan berbaring,
duduk atau berdiri, tetapi
setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya,
dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang
melampaui batas itu memandang
baik apa yang selalu mereka kerjakan.” QS. Yunus [10] : 12
Sungguh aku telah meninggalkan hatiku,
kalau kubiarkan setelah diberi nikmat, aku justru mengingkarinya. Hatiku pasti
sudah tertinggal Ya Rabb, kalau kubiarkan aku mendekat saat sedang butuh,
kemudian diberi nikmat malah melenggang pergi menjauhiMu.
*ini sekuel kedua dari cerpen Something Left yang kata beberapa orang terlalu singkat. :) Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya