Bismillah.
#fiksi
Kalau ingin mendapatkan sesuatu kamu harus berkorban. Berkorban tenaga, pikiran, uang, waktu, dll. Minimal kamu harus bergerak. Dan saat kamu bergerak, artinya kamu harus berpindah. Dan saat kamu berpindah, artinya ada yang harus kamu tinggalkan.
***
Seseorang membuka pintu kamar, tanpa ketukan. Engsel pintunya sudah agak rusak, sehingga saat dibuka, suara gesekan antara daun pintunya dengan lantai berderu. Butuh tenaga lebih untuk membuka pintu tersebut, pintu itu, persis seperti pemiliknya.
Pemilik kamar hanya menolehkan wajah ke arah pintu, sedikit menengadah, karena ia sedang duduk di lantai, di hadapan meja lipat pendek berisi laptop dengan casing biru metalic.
"Bulan ini udah belanja?" ucap pendorong pintu. Pemilik kamar diam sejenak, bola matanya bergerak keatas tanda ia sedang menggali memorinya. Kemudian ia menggeleng pelan.
Mendapatkan jawaban yang diharapkan, ia menaikan satu kepalan tangan dan berkata "yes".
"Habis ashar belanja bareng yak,"
Tanpa menunggu jawaban pemilik kamar, ia melambaikan tangan dan menutup kembali pintu, bunyi adu antara kayu dan lantai mengakhiri percakapan mereka.
***
"Pengen beli laptop baru, tapi ga ada uang", ucapnya sambil mendorong troli belanjaan. Ia berhenti di depan deretan snack, mata dan jarinya berputar-putar, ingin membeli begitu banyak makanan manis, asin, gurih dan lezat di hadapannya.
"Jajannya, di cut, biar bisa nabung buat beli laptop," ujar sosok yang tadi diajak belanja bulanan sepihak. Ia merebut troli dari tangannya, mendorongnya menjauh dari koridor snack, berbelok menuju koridor sebelahnya. Terpaksa ia mengambil asal jajanan di depannya, kemudian mengejar troli.
Puk, suara kecil snack masuk ke troli belanjaan, diikuti dengan desahan nafas pendek, karena sepertinya ia belum mengerti.
"Hidup itu penuh pengorbanan." ucapnya dengan nada serius, kali ini ia menatap temannya lembut.
"Ada harga yang dibayar kalau kamu ingin mendapatkan sesuatu." tambahnya. Yang diceramahin merengek pelan, bahwa ia hanya beli satu jenis snack, dan itu harganya tidak sampai dua puluh ribu.
"Anak-anak orang yang terlanjur kaya ga kenal filosofi hidup penuh pengorbanan, mereka cuma terima jadi, begitu mudah hamburkan uang, bersenang-senang tanpa tahu arti kesulitan", bicara pengorbanan itu klise. Tapi kapan lagi ngobrolin hal-hal begini, kalau bukan pas belanja bulanan sama penghuni tertua di kosannya?
"That's stereotype," ucapnya pendek. Ia pernah mengenal anak orang terlanjur kaya yang justru terlalu dini mengenal arti kesulitan. Bagaimana tidak tahu arti kesulitan, karena mereka setiap hari rindu ingin bermain dengan ayah, rindu ingin digendong ibu, tapi yang mereka temui wajah buru-buru berangkat kerja, atau wajah sudah lelah dan memaksa agar mereka lekas tidur.
"Oke, ga semua begitu, tapi ada kan yang begitu. Hidup penuh pengobanan? Orangtua mereka yang berkorban, mereka cuma tinggal seneng-seneng."
Kali ini bukan jawaban pendek, tapi sikutan yang ia dapat. Yang menyikutnya melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada yang merasa terganggu, kemudian memasang mimik wajah marah, seolah mengingatkan agar volume suara dikecilkan.
Percakapan tersebut menggantung, mereka memilih untuk fokus ke daftar belanjaan bulanan masing-masing.
***
Di antrian kasir, ia akhirnya bersuara lagi.
"Hidup itu butuh pengorbanan. Termasuk orang yang mengira tidak melakukan pengorbanan apa-apa. Ada yang mengorbankan visi hidupnya, untuk kesenangan sesaat. Ada yang mengorbankan masa mudanya, untuk masa tua yang penuh penyesalan."
Yang diajak bicara tidak mendengarkan, telinganya tertutup earphone, ia menunggu sembari menonton video-video pendek di timeline sosial media.
Mengetahui tidak ada yang mendengarkan. Ia itu mendorong maju troli, mengikuti alur antrian, sembari berbicara sendiri dalam hatinya.
'Aku juga seharusnya melakukan pengorbanan, kalau aku benar-benar ingin mendapatkan hal tersebut.'
The End.
***
Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya