Follow Me

Tuesday, March 11, 2025

This is not about opening up to someone...

March 11, 2025 0 Comments

Bismillah.

 

So I deliver the news, and also things that have been kicking my mind when I choose to pending that news.

 

And then I see that sentence in the reply. The sentence I put in the title box.

 

Part of me want to explain, bit I'm too tired. So here I am, I choose to write here instead.

 

***

 

Aku tahu dua hal tersebut tidak ada hubungannya. Aku hanya ingin berkeluh kesah dalam kalimat ambigu. Salahku menyatukannya dalam satu pesan, seolah dua hal tersebut berhubungan.

 

***

 

It's not about opening up to someone. Yes it's not connected. The news is the news, finished.

 

And the later part, is things that I struggle the most since a long time ago. I'm just too afraid, that after this, I will be holding that door close more tight, and make sure I don't open it for a long long time before I bottle up and really need an air to breath.

 

But I hope I don't become like that..  I hope I don't become like that..  Cause I know how healthy it is to open the door often, to let go things that's been messy inside, and unravel the the thread that I have to knit.

 

But I hope I don't become like that..  I hope I don't become like that..  Cause I know how healthy it is to open the window often, and let the fresh air bring more oxigen to the dusty and stuffy room. As if it brings more space for me to breath.

 

***

 

I know it's not about opening up to someone. But it is.

 

I just can't explain it to you how it is connected somehow.

Kehilangan

March 11, 2025 0 Comments

Bismillah.

 

Sudah lama aku tidak berkunjung membaca arsip tulisan dan cerita di sana. Jadi saat aku tidak bisa menemukannya, aku sedikit kaget. Bertanya-tanya, mengapa memilih di deactive? Bertanya-tanya, apakah hanya pindah alamat?

 

Karena tidak menemukan arsip tulisannya, aku pun mengetik nama id pemilik tulisan tersebut. Dan anehnya, tidak ada lagi. Ya, aku tidak bisa menemukan lagi. Alamat arsip tulisan tersebut, id pemiliknya, memang sama. Maka aku bertanya-tanya, apa memang ia sedang detox sosial media? It's Ramadhan.

 

Satu hari kemudian, karena rasa penasaran yang naik, aku mulai mencari sosial media orang yang dekat dengannya. Tanpa sempat bertanya, tanpa sengaja aku menemukan fakta bahwa entah sejak kapan, ia kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Allah telah memanggil sosok penting dalam hidupnya tersebut. Lalu aku dengan sifat N-ku (*mbti), mulai merangkai-rangkai imajinasi dan kemungkinan. Adakah ini berhubungan dengan hilang dan deactive-nya arsip tulisan dan akun sosial medianya?

 

Dari situ, aku mulai bertanya-tanya dan membayangkan berada di sepatunya. Bagaimana rasanya kehilangan sosok yang begitu berarti dalam hidup kita? Butuh berapa lama waktu untuk bisa menerima dan berdamai. Adakah kesedihan itu ia ekspresikan, atau ia sembunyikan hanya untuk dirinya dan orang-orang terdekatnya.

 

Rasanya baru beberapa hari aku membayangkan kehilangan dari cerita hidup orang lain. Tidak pernah aku sangka, bahwa aku juga akan merasakan kehilangan, yang berbeda, tapi... mungkin bisa disebut mirip. Bedanya, memoriku dengan sosok yang hilang ini memang hanya hitungan bulan. Dan bagi orang itu, memorinya adalah sepanjang hidupnya, sampai sosok tersebut berpulang.

 

***

 

Kehilangan ini... ujian ini, semoga menjadi jalanku untuk mendekat pada-Nya. Jujur aku takut, saat kutemukan diriku menyibukkan diri dengan distraksi ketimbang lebih banyak berdzikir atau mengingat ayat-Nya. 

 

Kehilangan ini... seharusnya aku mencoba belajar dari kisah-kisah dalam Al Quran. Bagaimana kesabaran indah yang ditunjukkan Nabi Ya'qub. Kehilangan anaknya, kesedihan yang hanya ia adukan pada Allah. Belajar dari doa Nabi Ayyub, bagaimana kehilangan yang ia rasakan bertubi-tubi, dari harta, keluarga, bahkan kesehatan, seolah hanya sentuhan tipis dan halus. Tidak pantas untuk mengkufuri nikmat yang hilang, saat kita tahu persis bahwa Allah menitipkan nikmat tersebut lebih lama, dan kita begitu kurang dalam menunjukkan rasa syukur kita.

 

Aku teringat juga betapa berat makna kalimat yang seharusnya otomatis keluar dari hati dan lisan kita setiap kali ada musibah atau ada nikmat yang hilang, hmm.. lebih tepatnya nikmat yang diambil kembali. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Bahwa apapun yang kita miliki, harta, keluarga, kesehatan, apapun, hanya titipan dari Allah. Maka jika suatu saat harus dikembalikan... meski tanpa peringatan dan aba-aba apapun, kita harus berusaha menerima dan tetap berprasangka baik pada rencana dan takdir-Nya. Prosesnya mungkin tidak semudah menulis rangkaian kalimat ini. Ada tangga-tangga yang harus didaki. Ada kerikil-kerikil yang menyakiti kaki. Ada bisikan-bisikan setan mengajak pikiran kita melayang dengan kata "andai.. kalau saja..", dll. Penyesalan yang muncul. Memori yang membawa kesedihan. Dan semua hal yang menjadikan kehilangan terasa begitu pahit. Semoga semuanya bisa terlewati dengan cara yang benar.

 

Terakhir, pertanyaan untukku. Saat shalat dan puasa tidak bisa kau lakukan, mau kau isi dengan apa malam-malam dan siang-siang Ramadhan mu? Relakah kau menenggelamkan diri dalam distraksi hanya karena ingin menghambarkan hati yang terasa sepat? Ataukah kau beranikan diri menghadap kaca, dan mulai memperbaiki diri yang begitu compang-camping dan kotor? Bukankah Ramadhan momen yang tepat untuk meminta ampunanNya? 


Allahumma innaka 'afuwuun tuhibbul afwa fa'fuanna.. Aamiin,

 

Wallahua'lam bishowab.

Tuesday, March 4, 2025

Sudahkah Membaca Al-Qur'an dengan Tadabbur dan Tafakkur?

March 04, 2025 0 Comments

Bismillah.

 

-Muhasabah Diri-

 

Sebuah pengingat pentingnya membaca Al-Qur'an dengan tadabbur dan tafakkur #daribuku Air Mata Pembaca Al-Qur'an - Muhammad Syauman Ar-Ramli, AQWAM

 

***

 


 

Ibnul Qayyim dalam Miftah Daris Sa'adah (I/187) menulis,

"Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Quran dengan tadabbur (mempelajari) dan tafakkur (memikirkan).

Membaca dengan cara seperti inilah yang akan membuahkan rasa cinta, kerinduan, rasa takut (kepada siksaan Allah), pengharapan (kepada surga), inabah, tawakal, ridha, kepasrahan, syukur, sabar, dan seluruh keadaan yang menjadi faktor hidupnya hati dan kesempurnaannya.

Membaca dengan cara seperti ini juga akan mengingatkan dari segala sifat dan perbuatan yang tercela. Sifat dan perbuatan yang dapat merusak hati dan membinasakannya. Seandainya orang-orang mengerti faedah membaca Al-Qur'an dengan tadabbur, niscaya mereka akan menyibukkan diri dengannya, tidak mempedulikan aktivitas lainnya.

Apabila ia membaca Al-Qur'an dengan tafakkur, lalu melewati ayat yang dia butuhkan untuk mengobati penyakit hatinya, pasti dia akan mengulang-ulangnya lebih dari seratus kali, meskipun dihabiskannya waktu semalaman. Membaca satu ayat dengan memikirkannya dan memahaminya lebih baik daripada membaca seluruh ayat sampai khatam tanpa mentadabburinya dan memahaminya.

Ia juga lebih bermanfaat bagi hati dan lebih bisa diharapkan menambah keimanan dan membuat pembacanya dapat mengecap manisnya Al-Qur'an. Membaca Al-Qur'an dengan tafakkur adalah pangkal sehatnya hati.


***

 

Kalau membaca quran-nya saja aku masih struggle dan butuh paksaan, gimana aku bisa membaca dengan tadabbur dan tafakkur?

 

Mulailah dari ayat-ayat yang familiar dan pendek. Kalau butuh support system, gabung dengan komunitas, entah itu komunitas quran journal, atau komunitas tadabbur quran. Siapapun bisa membaca quran dengan tadabbur dan tafakkur, Allah sudah memberi bekal otak dan akal untuk kita. Sesederhana membaca terjemah kemudian merenungi, mencari video penjelasan ayat tersebut dari ustadz/ustadzah, membaca tafsir, bertanya-tanya dari ayat ini, bagaimana mengamalkannya, apa doa yang bisa dipanjatkan, dll.

 

Mumpung bulan Ramadan, bulan diturunkannya Al Quran, mari reconnect lagi dengan Al Quran. Mulailah dengan langkah kecil, sembari berdoa semoga Allah mudahkan. Jika merasa lemah sendiri, jangan ragu untuk cari teman atau komunitas. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, everyone is doing on their own pace, and it's okay to start slow and small. Allah tidak melihat dari besar kecilnya, tapi dari ketulusan dibalik amal tersebut.

 

Mari saling mendoakan, semoga Allah memudahkan kita untuk terhubung kembali dengan Quran. Membaca lagi Al Quran, bukan sekedar membaca saja, tapi dengan tadabbur dan tafakkur. Allahummarhamna bil quran. Aamiin.

 

Wallahua'lam.

Sunday, March 2, 2025

Sudahkah Menerima Diri Kita Sepenuhnya?

March 02, 2025 0 Comments

Bismillah.

 

Nukil Buku "Yang Belum Usai | Pijar Psikologi"

 


***

 

Lanjutan dari bahasan self-awareness dan self-compassion adalah self-acceptance. Bagaimana kita bisa tahu apakah kita sudah melakukan self-acceptance? Atau kita masih perlu waktu dan usaha lebih untuk mencapai itu? Berikut ini disebutkan dalam buku tentang cara mengecek apakah kita sudah menerima diri kita.

 

Pertama, dengan berbincang dan bertanya pada diri, mencoba menjawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan terkait self-acceptance.



Tanyakan pada diri sendiri di depan cermin terkait hal-hal yang ada dalam diri kita, seperti
"Apakah aku menerima bentuk wajahku?",
"Apakah aku menerima bentuk tubuhku?",
"Apakah aku menerima kemampuan dan keahlianku?",
"Apakah aku menerima emosi-emosiku?",
"Apakah aku sudah menerima diriku yang sebenarnya?",
"Apakah aku sudah bisa menerima apa pun kekuranganku?".



Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan membantu kita dalam memahami sejauh mana penerimaan kita terhadap diri sendiri.

 

Seseorang yang telah menerima dirinya, tidak lagi mencoba memberikan alasan terhadap hadirnya kekurangan-kekurangan dalam dirinya. Seseorang yang telah menerima dirinya juga sudah tidak merasa perlu memitigasi atau mengacuhkan kekurangan tersebut.

 

Selain pertanyaan-pertanyan di atas, kita juga perlu bertanya apakah kita sudah menerima luka batin kita. Kenapa kita perlu sadar dan menerima luka batin kita? Karena seringkali, yang membuat kita belum bisa mencapai self-acceptance adalah karena luka batin menghalangi kita dalam menerima diri sendiri.

 

...penerimaan terhadap diri yang terluka, dengan merangkul luka tersebut hingga kita mampu memulihkannya dan merasa tenang apabila mengingat peristiwa yang melukai kita. Kita telah sepenuhnya menerima diri kita yang terluka, menerima peristiwa yang menyakitkan kita, menerima orang-orang yang telah menyebabkan kita terluka, dan melepas mereka semua hingga kita terbebas dari belenggu derita.

 

***

 

Selain lewat dialog jujur dengan diri sendiri. Kita juga bisa tahu kita sudah melakukan self-acceptance dengan melihat sikap/perilaku kita. Sudahkah kita melakukan ciri-ciri ini?

 

💚 Ketika kita mengalami kegagalan dan menyadari bahwa kita melakukan kesalahan. tapi tidak merasa bahwa diri kita adalah kegagalan (failure)

 

💚 Menerima apa adanya bentuk tubuh serta menyadari bahwa kita mungkin pernah mengalami gangguan makan dan menyadari kalau kita butuh memperbaiki hal tersebut.

 

💚 Menyadari bahwa kita tidak ahli di bidang A meskipun kita sangat ingin, dan menyadari kita lebih ahli di bidang B.

 

💚 Mencoba untuk mencari negative belief dan distorsi kognitif kita serta menyadarkan diri bahwa hal tersebut tidak benar.

 

💚 Tetap tenang saat kita teringat atau dihadapkan dengan memori terkait luka


***

 

Terakhir, pengingat untuk diri dan siapapun. Ketahuilah, self-acceptance adalah proses yang panjang. Jadi untuk mencapainya ada banyak anak-anak tangga yang harus kita daki. Nikmati prosesnya dan bersabarlah pada diri. Semoga nanti kita akan merasakan manisnya, saat kita bisa berhenti membenci diri dan mulai menerima diri kita sepenuhnya. Aamiin.

 

Wallahua'lam. 


***

 

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.