Follow Me

Tuesday, March 11, 2025

Kehilangan

Bismillah.

 

Sudah lama aku tidak berkunjung membaca arsip tulisan dan cerita di sana. Jadi saat aku tidak bisa menemukannya, aku sedikit kaget. Bertanya-tanya, mengapa memilih di deactive? Bertanya-tanya, apakah hanya pindah alamat?

 

Karena tidak menemukan arsip tulisannya, aku pun mengetik nama id pemilik tulisan tersebut. Dan anehnya, tidak ada lagi. Ya, aku tidak bisa menemukan lagi. Alamat arsip tulisan tersebut, id pemiliknya, memang sama. Maka aku bertanya-tanya, apa memang ia sedang detox sosial media? It's Ramadhan.

 

Satu hari kemudian, karena rasa penasaran yang naik, aku mulai mencari sosial media orang yang dekat dengannya. Tanpa sempat bertanya, tanpa sengaja aku menemukan fakta bahwa entah sejak kapan, ia kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Allah telah memanggil sosok penting dalam hidupnya tersebut. Lalu aku dengan sifat N-ku (*mbti), mulai merangkai-rangkai imajinasi dan kemungkinan. Adakah ini berhubungan dengan hilang dan deactive-nya arsip tulisan dan akun sosial medianya?

 

Dari situ, aku mulai bertanya-tanya dan membayangkan berada di sepatunya. Bagaimana rasanya kehilangan sosok yang begitu berarti dalam hidup kita? Butuh berapa lama waktu untuk bisa menerima dan berdamai. Adakah kesedihan itu ia ekspresikan, atau ia sembunyikan hanya untuk dirinya dan orang-orang terdekatnya.

 

Rasanya baru beberapa hari aku membayangkan kehilangan dari cerita hidup orang lain. Tidak pernah aku sangka, bahwa aku juga akan merasakan kehilangan, yang berbeda, tapi... mungkin bisa disebut mirip. Bedanya, memoriku dengan sosok yang hilang ini memang hanya hitungan bulan. Dan bagi orang itu, memorinya adalah sepanjang hidupnya, sampai sosok tersebut berpulang.

 

***

 

Kehilangan ini... ujian ini, semoga menjadi jalanku untuk mendekat pada-Nya. Jujur aku takut, saat kutemukan diriku menyibukkan diri dengan distraksi ketimbang lebih banyak berdzikir atau mengingat ayat-Nya. 

 

Kehilangan ini... seharusnya aku mencoba belajar dari kisah-kisah dalam Al Quran. Bagaimana kesabaran indah yang ditunjukkan Nabi Ya'qub. Kehilangan anaknya, kesedihan yang hanya ia adukan pada Allah. Belajar dari doa Nabi Ayyub, bagaimana kehilangan yang ia rasakan bertubi-tubi, dari harta, keluarga, bahkan kesehatan, seolah hanya sentuhan tipis dan halus. Tidak pantas untuk mengkufuri nikmat yang hilang, saat kita tahu persis bahwa Allah menitipkan nikmat tersebut lebih lama, dan kita begitu kurang dalam menunjukkan rasa syukur kita.

 

Aku teringat juga betapa berat makna kalimat yang seharusnya otomatis keluar dari hati dan lisan kita setiap kali ada musibah atau ada nikmat yang hilang, hmm.. lebih tepatnya nikmat yang diambil kembali. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Bahwa apapun yang kita miliki, harta, keluarga, kesehatan, apapun, hanya titipan dari Allah. Maka jika suatu saat harus dikembalikan... meski tanpa peringatan dan aba-aba apapun, kita harus berusaha menerima dan tetap berprasangka baik pada rencana dan takdir-Nya. Prosesnya mungkin tidak semudah menulis rangkaian kalimat ini. Ada tangga-tangga yang harus didaki. Ada kerikil-kerikil yang menyakiti kaki. Ada bisikan-bisikan setan mengajak pikiran kita melayang dengan kata "andai.. kalau saja..", dll. Penyesalan yang muncul. Memori yang membawa kesedihan. Dan semua hal yang menjadikan kehilangan terasa begitu pahit. Semoga semuanya bisa terlewati dengan cara yang benar.

 

Terakhir, pertanyaan untukku. Saat shalat dan puasa tidak bisa kau lakukan, mau kau isi dengan apa malam-malam dan siang-siang Ramadhan mu? Relakah kau menenggelamkan diri dalam distraksi hanya karena ingin menghambarkan hati yang terasa sepat? Ataukah kau beranikan diri menghadap kaca, dan mulai memperbaiki diri yang begitu compang-camping dan kotor? Bukankah Ramadhan momen yang tepat untuk meminta ampunanNya? 


Allahumma innaka 'afuwuun tuhibbul afwa fa'fuanna.. Aamiin,

 

Wallahua'lam bishowab.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya