Iba, empati,
dan simpati. Ijinkan aku sedikit membedakan ketiga kata tadi menurut
pengetahuanku. Iba.. adalah salah satu bentuk empati, iba adalah rasa kasihan
yang terbersit di hati. Sedangkan empati, adalah perasaan berkesan kepada
seseorang bentuknya tidak selalu dalam bentuk iba. Dan jika empati hanya
sekilas saja melintas di hati, maka simpati ia tidak sebentar saja memasuki
ruang hati. Jejaknya lebih tegas.
Agaknya,
semenjak hari itu. Aku jadi tersadar sendiri. Bahwa ada perbedaan mendasar
antara iba, empati dan simpati, yang barangkali jarang kita sadari. Bukan tidak
sadar dari kata-katanya (I know it’s rather difficult untuk membedakan ketiga
kata di atas), tapi dari keseharian kita (how people behave to us).
“Kasian
banget sih, belum laku.. ” adalah sebuah ungkapan iba atau empati atau juga
simpati, tapi bisa juga ia tak berarti apapun, atau bahkan ia merupakan cemooh.
Oke, lupakan persepsi terakhir (baca: persepsi bahwa kalimat tadi adalah cemooh).
Tidak terlalu adil rasanya jika aku hanya mengikuti prasangka burukku terhadap
si pemilik dialog.
I’m not
talking about that dialogue.. itu hanya example. Yang ingin kubahas adalah,
betapa tidak mudah untuk kita membedakan sikap seseorang terhadap kita.. ia
iba, empati atau simpati pada kita?
Tak ada manusia
yang tahu apa yang ada di hati orang lain. Karena pada dasarnya, tampak atau
tidaknya perasaan orang lain itu adalah mutlak kontrol mereka. Kita bisa
menyembunyikannya dari orang lain sesuka hati kita. (Terlepas dari, ada orang
yang lihai menyembunyikan perasaannya dan ada orang sulit menyembunyikan
perasaannya).
Tak ada manusia
yang tahu, apakah iba, empati dan simpati yang ditunjukkan orang-orang kepada
kita, benar-benar dari hati mereka. Ataukah hanya sebuah penghias bibir dan laku
mereka. Tak sampai masuk ke hati, hanya basa-basi, formalitas, atau apapun
sebutannya.
Bukan, aku
tidak hendak membuat tulisan ini untuk memprovokasi agar kita selalu curiga
pada orang lain. Bukan itu. Tapi untuk cerminan diri kita, bagaimana dengan
kita? Apakah senyum, iba, empati dan simpati yang kita bagi sudah tulus dari
hati kita?
Lebih lagi,
jika kita bertanya pada diri.. sudahkah sholat kita, puasa kita, tilawah kita..
ditujukan kepada Allah? Apakah mereka (sholat, puasa, tilawah, sedekah, dll)
bukan kita lakukan sekedar ucap dibibir? Bukan sekedar penghias laku? Demi terkesan
alim di mata manusia?
Orang-orang
mungkin tidak tahu apa yang ada di hati kita, tapi Allah Maha Tahu.
“dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67] : 13-14)
Naudzubillah..
Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang berbangga diri, melakukan ibadah
demi mengharap selain Allah. Ya Rahiim., jaga lah hati kami dari ujub diri dan
penyakit-penyakit hati lain yang membuat hati ini lemah. Sesungguhnya
Engkau-lah yang Maha Membolak-balik hati manusia. Wallahu 'Alam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya