-muhasabah diri, opini-
Bismillah...
"Jangan engkau merasa bahwa engkau telah mengenal saudaramu dengan baik, jika engkau belum pernah melakukan safar/perjalanan bersama saudaramu tersebut, atau sebelum engkau pernah bermalam bersama saudaramu. Perjalanan panjang/safar, akan memiliki banyak hikmah dalam ukhuwah dan kehidupan. Di sini kita bisa menguji, siapa diri kita sebenarnya, dan siapa dan bagaimana saudara kita yang sebenarnya."
-Umar bin Khattab rhadiyallahu anhu-
Ijinkan aku beropini tentang perjalanan perempuan dan laki-laki yang bukan mahram.
***
Aku percaya. Begitu
percaya pada siapapun yang memilih tetap melakukan perjalanan dengan
"dia". Percaya, bahwa ia bisa menjaga batasan-batasan yang seharusnya
dijaga.
Karena memang
kunci-nya ada pada pribadi masing-masing. Jika seseorang telah meng-azamkan
diri untuk menjaga hati dan menjaga hijab-nya. Meng-azamkan diri untuk menjaga
kesuciannya. Ia akan menjaga-nya, meski keadaan/kondisi lingkungan memaksa-nya
untuk melanggar prinsipnya.
Meski mungkin satu dua celah terjadi.
Manusiawi, jika satu
dua kali ia khilaf, terbawa suasana, hingga bercanda berlebih pada si
"dia" yang bukan mahram-nya.
Manusiawi, jika satu
dua kali ia khilaf, terbawa suasana, hingga berjalan bersebelahan, mengobrol
ini itu, dengan si "dia" yang bukan mahram-nya.
***
Aku percaya. Namun
bila diizinkan berpendapat. Bukankah kita lebih baik mencegah mudharat? Saat
memilih untuk melakukan perjalanan bersama "dia". Kita tahu, akan
banyak celah-celah yang memungkinkan setan menggoda.
Atau kata M.Irawan
Shobirin dalam tulisannya.. (baca disini)
Kita lalu tahu, bahwa
dekatnya fisik dan panjangnya interaksi tak dianjurkan ketika kita berkomitmen
menjaga kesucian diri.
Dan melakukan
perjalan bersama "dia", artinya akan ada kedekatan secara fisik. Suka
atau tidak suka. Pasti ada.
Dan melakukan
perjalanan bersama "dia", artinya akan ada interaksi panjang. Suka
atau tidak suka. Pasti ada.
Belum lagi, tentang
efek setelah perjalanan itu. Kita dan si "dia" jadi lebih saling
mengenal, entah karakter, entah latar belakang, entah ciri fisik. Belum lagi,
tentang efek setelah perjalanan itu. Akan ada obrolan tentang momen, nostalgia.
Belum lagi, jika ada foto-foto bersama. Ah. Lalu tanpa sadar saling rindu momen
itu, menatap lekat, lantas memperhatikan "dia", yang seharusnya mata
kita ditundukkan atasnya. Ya, sekalipun itu foto. Bukankah kita diminta untuk
menundukkan pandangan?
Aku percaya. Begitu
percaya pada siapapun yang memilih tetap melakukan perjalanan dengan
"dia". Percaya, bahwa ia bisa menjaga batasan-batasan yang seharusnya
dijaga.
Namun, aku juga tak
bisa memungkiri. Bahwa selain penjagaan diri. Ada setan, yang tak pernah bosan
menggoda manusia. Sekali, mungkin kita lolos dari perangkap setan. Dua, tiga,
empat kali? Tidak ada yang tahu.
Yuk sama-sama
menghindari perjalanan bersama "dia". Jika tidak urgen, kira-nya
tidak usah. Bukankah Allah akan mengganti dengan lebih baik, jika kita
meninggalkan sesuatu karena-Nya?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا للهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
"Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah 'Azza wa Jalla, kecuali Allah akan menggantikannya bagimu dengan yang lebih baik bagimu" (HR Ahmad no 23074)
Allahua'lam.
*"Dia" = laki-laki atau perempuan yang bukan mahram kita, dan belum halal untuk kita.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya