#fiksi
Bismillah.
please come to our house |
Udara dingin makin
mengepung ayah dan anak gadisnya di Stasiun Bandung malam itu. Mereka sedang
menunggu kedatangan kereta yang akan mengantar mereka ke kampung halaman.
Mungkin orang-orang menyangka orangtua mahasiswi itu begitu protektif, karena
tidak pernah membiarkan anaknya sendirian selama perjalanan ke Bandung atau
dari Bandung. Mungkin teman-teman mahasiswi itu menyangka gadis itu ikut aliran
agama yang keras, karena tidak mau safar tanpa mahram. Tapi banyak juga yang
tidak berprasangka, mereka hanya melihat seorang anak gadis yang begitu dekat
dengan ayahnya.
Seperti biasa momen
menunggu diisi dengan obrolan panjang. Obrolan yang menanti dibagi setelah
hampir satu semester tidak bertemu. Obrolan tentang sang kakak yang sedang
berproses menuju pernikahan dengan seorang ikhwan di Pulang Nusa Tenggara.
Obrolan tentang hal-hal kecil sampai yang besar.
"Tadi siang
Ayah ketemu sama kakak tingkatmu," ucap ayah dilanjutkan dengan deskripsi
orang itu. Anaknya mengingat nama kakak itu, mahasiswa itu kenal dengan sang
Ayah karena di suatu acara kakak itu menjadi LO Ayah sang gadis. Mungkin karena
sering bertemu saat di Bandung, tanpa sengaja Ayah melontarkan pertanyaan yang
tidak disangka sang kakak tingkat. Sebuah pertanyaan sederhana,
"Kapan-kapan main ke rumah ya?"
"Mukanya
langsung berubah dan ia terdiam," lanjut Ayah. Pertanyaan tadi memang bisa
diartikan berbeda, sama seperti anggapan orang-orang tentang Ayah dan gadis
tadi.
Maksud Ayah bukan
"main ke rumah" yang artinya menuju ke pernikahan. Bukan itu maksudnya. Ucapan ajakan main ke rumah, cuma ucapan kebiasaan
ayah sebagai dosen yang mengajak mahasiswanya main ke rumah.
Kereta yang datang menghentikan obrolan mereka. Obrolan mereka memang sudah selesai, tapi sang gadis terus memikirkan hal tersebut. Berdoa dalam hati, semoga kakak itu tidak salah menangkap, dan juga segera melupakan pertanyaan ayahnya.
Kereta yang datang menghentikan obrolan mereka. Obrolan mereka memang sudah selesai, tapi sang gadis terus memikirkan hal tersebut. Berdoa dalam hati, semoga kakak itu tidak salah menangkap, dan juga segera melupakan pertanyaan ayahnya.
***
Pesannya: Kita tidak
bisa mengatur cara pandang orang lain, bagaimana mereka menangkap perkataan
kita. Yang bisa kita lakukan jika ada miskomunikasi adalah dengan komunikasi
juga. Namun tidak semua anggapan orang lain harus kita respon.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya