Follow Me

Saturday, September 4, 2021

Stabil

Bismillah.

#fiksi

Dialog Dol dan Hanel.

Dol : Aku iri.


Hanel: Pada siapa?


Dol : Pada dua manusia yang bercakap-cakap suatu pagi. Mereka memiliki kaki, mereka bergerak, dan mereka mengatakan mereka stabil. Sedangkan aku... aku sebongkah batu, diam, seharusnya bisa stabil, tapi mengapa rasanya aku selalu jatuh, berkali-kali. Berputar dan jatuh di melewati lereng gunung. Atau dipindahkan tangan-tangan manusia. Atau ditendang --ah, yang ini aku belum merasakannya sebenarnya.


Hanel: Tidak perlu kau iri pada manusia. Bibir dan lidah mereka yang mengatakan mereka stabil. Kenyataannya, hati mereka juga bergejolak, kaki mereka memang berusaha untuk bergerak agar stabil, tapi bukan berarti mereka tidak pernah jatuh. Mereka sama sepertimu, lagian bukankah kamu juga manusia?


Dol: Ya, manusia memang bisa berbohong. Kadang lisannya tidak selaras dengan hatinya. Tapi aku tetap saja iri pada dua manusia yang bercakap-cakap ba'da suatu shubuh. Aku mengenal mereka, mereka bukan seperti kebanyakan manusia yang mudah berbohong. Mereka dua orang yang jujur. Maka saat mereka bilang, mereka stabil, mereka tidak berbohong. Hati mereka memang tetap bergejolak, tapi mereka tahu cara untuk tetap stabil. Mereka memang sesekali tersandung, kehilangan keseimbangan, tapi kemudian mereka menggerakan tangan dan tubuh mereka agar mereka tidak benar-benar jatuh. Aku iri, aku harap aku bukan sebongkah batu.


Hanel: Berhentilah berfilosi. Kau bukan sebongkah batu. Kau juga manusia, kau... bisa belajar menjadi seperti dua manusia yang kau iri padanya itu.


Dol: Kau tahu mengapa aku mengasosiakan diriku sebagai sebuah batu?


Hanel: Karena kau merasa hatimu mengeras?


Dol: (diam, mengiyakan)


Hanel: Kau tahu mengapa hati manusia mengeras? Kau tahu, mengapa kau merasa tak pernah stabil?


Dol: (diam, menunggu Hanel menjawab pertanyaan tersebut untuknya)


Hanel: Kau tahu jawabannya, kenapa memilih diam? Ayolah, coba jawab. Barangkali itu bisa melembutkan hatimu lagi.


Dol: Aku diam karena aku sebongkah batu. Dan batu tidak berbicara (tertawa kecil, pahit)


Dol: (memandang Hanel dengan mata memohon) Maukah kau menjawabnya untukku? Menurutmu, mengapa hatiku mengeras bagai batu? Mengapa aku tak pernah merasa stabil dan selalu fluktuatif?


Hanel: (tersenyum, mengalah) Baiklah.


Hanel: Hati manusia mengeras karena dosa. Karena tiap dosa meninggalkan bekas, menutupi tiap permukaan beningnya. Lalu hati menjadi keruh, setiap sisinya tertutup kerak dosa. Berlapis, lapis. Bertumpuk, tumpuk. Lalu tanpa kau -- maksudku kita. Lalu tanpa kita sadari, kita menjelma sebongkah batu.


Hanel: Yang kedua, (jawaban pertanyaan mengapa meski batu selalu merasa tak pernah stabil).... karena tidak menutup pintu abu-abu, tidak berjingkat dari semak-semak berasap. Karena yang seharusnya murni, dicampur dengan tanah (dirt), atau bahkan racun.


Dol: (mudur, berbalik, hendak pergi)


Hanel: Aku belum selesai.


Dol: (berhenti)


Hanel: Tapi Dol, kau tahu kan? Kau tahu bahwa sebongkah batu yang begitu keras, tetap berharga di mata-Nya? Kau ingat kan, meski sekeras batu, ada batu-batu yang baik. Kau tahu kan?


Dol: (masih di posisi saling membelakangi dengan Hanel, mengangguk)


Hanel: Kali ini, bisakah kau yang beritahu aku tentang itu? Tentang batu-batu tersebut?


Dol: (dengan suara bergetar membaca ayatNya)


ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ ۗ وَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاۤءُ ۗوَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan."

 

Hanel: Benar Dol, jangan lupakan ayat itu... terutama bagian akhirnya. Wamallahu bighofilin 'amma ta'malun. Dan dari kalimat ini, semoga tumbuh cinta, harap dan takut di hati kita. Hati, yang pada masa hidupnya, pernah sekali atau berkali-kali memasuki masa menjelma seperti batu, atau bahkan lebih keras lagi.


The End.


***


Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya