Follow Me

Monday, September 27, 2021

Max Havelaar; Sebelum Agustus Berakhir (2)

Bismillah.


Lanjutan dari Sebelum Agustus Berakhir.


sumber gambar

Sebelum tahun ini, aku cuek aja, ya lempeng aja kalau Agustus. Tapi tahun ini berbeda. Ada dua cara aku merayakan hari kemerdekaan kita.


Cara kedua, membaca buku Max Havelaar. Berawal dari ajakan membaca buku bertema kemerdekaan dari komunitas baca The Lady Book (@the.ladybook).



Trus aku teringat pertemuan sebelumnya di theladybook ada yang sharing tentang buku Max Havelaar, dan pas aku cari di iPusnas, ada dong bukunya. Akhirnya kuputuskan untuk membaca itu, 11 Agustus 2021.


Dan tahukah hal terbaik dari baca buku Max Havelaar di iPusnas? Ternyata format ebooknya sama seperti buku Boleh Dogn Salah! Jadi format yang satu ini (buka di aplikasi iPusnas di hape yaa, kalau di desktop error soalnya), memudahkan kita untuk copas tulisan dari buku. Jadi deh, aku punya setumpuk kutipan dari Max Havelaar.


Oh ya, beruntung juga, aku bacanya setelah terlebih dulu dikasih preview bukunya di sharing theladybook, dan itu membantuku untuk tetap membaca sampai sekarang. Aku lagi baca bab 15 (24/51). *I'm a slow reader, mohon maklum ya hehe.


***


Berikut, aku tuliskan pengalamanku baca buku Max Havelaar ya, meski belum beres. Lumayan panjang. Ada beberapa kutipan juga dari buku Max Havelaar.


Bersabar dalam Membaca Max Havelaar


"Max Havelaar abadi, bukan karena seni atau bakat kesastraannya, melainkan karena tujuan yang diperjuangkannya." - pendahuluan buku Max Havelaar - Multatuli, Penerbit Qanita


Ini kutipan pertama yang aku simpen dari buku Max Havelaar. Kutipan ini menurutku penting, karena ini bisa buat kita bersabar dalam baca bukunya. Karena memang gaya kepenulisannya cukup berbeda dengan novel pada umumnya. Seolah ada beberapa narator berbeda yang menjelaskan karakter/tokoh di buku. Esensi keberadaan buku ini, adalah di after effect-nya. Lewat buku ini, masyarakat belanda dan negara lain di Eropa jadi tahu gambaran yang sebenarnya terjadi di Hindia Belanda (Indonesia pra-kemerdekaan). Karena buku ini juga, pemerintah Belanda akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk memberikan beasiswa pendidikan buat orang Indonesia. Dan ini juga jadi pendukung munculnya tokoh-tokoh penggerak kemerdekaan.


Selain pendahuluan, aku juga udah dapet sedikit sharing dari agenda theladybook di pekan sebelumnya. Jadi gak terlalu kaget saat baca awal-awal novel yang menceritakan tentang Makelar Kopi yang menjadi sponsor utama novel ini. Jadi tokoh Max Havelaar baru diceritakan di bab 5. Saat membaca bab awal, jujur rasanya kaya liat behind the scene novel ini dibuat. Kerasa banget juga berasa disodorin PPL di depan muka, karena diulang-ulang beberapa kali nama makelar kopi lengkap dengan alamatnya.


Melihat dari Kacamata Orang Belanda


Membaca Max Havelaar kurang lebih membuat kita sadar sudut pandang orang belanda saat pra-kemerdekaan. Kalau di tulisan sebelumnya, Ustadz Salim A. Fillah meminta kita untuk mengubah persepsi bahwa kita 350 tahun memperjuangkan kemerdekaan. Sebaliknya Max Havelaar menunjukkan sudut pandang baru. Aku jadi paham bahwa orang belanda umum, hanya tahu, Hindia Belanda itu semacam negara bagian, negara yang mau tunduk dalam pemerintahan Ratu Belanda. Jadi monopoli rempah-rempah, kopi, dan hasil bumi lain, itu menurut kaca mata mereka hanya merupakan cara pemerintah mengatur sumber daya negara. *trus aku jadi ngebayangin daerah di indonesia yang hasil sumber dayanya dikelola oleh pemerintah. Semacam itu.


Bahkan penulis juga menunjukkan bahwa orang belanda yang ditempatkan di pemerintahan hindia belanda (gubernur, residen, dll) diwajibkan untuk bersumpah bakal ngejaga keadilan untuk rakyat. Miris gak sih bacanya? Bener-bener beda persepsi. Makanya wajar, setelah buku ini terbit, mereka baru sadar bahwa ada begitu banyak ketidakadilan yang terjadi di Hindia Belanda (baca: Indonesia).


Secara alami, orang Jawa adalah petani; tanah tempat mereka dilahirkan, yang memberikan hasil berlimpah dengan sedikit tenaga, memikat mereka dan, yang terutama, mereka membaktikan seluruh hati serta jiwa mereka untuk menggarap sawah, dan dalam hal ini, mereka sangat pandai. Mereka dibesarkan di tengah sawah, gagah, dan tipar; semasa kecil, mereka menemani ayah mereka ke sawah, dan di sana mereka membantu pekerjaan ayah mereka dengan membajak dan mencangkul, membangun bendungan dan saluran untuk mengairi sawah; mereka menghitung usia berdasarkan panenan; memperkirakan waktu berdasarkan warna dedaunan di sawah. Mereka merasa nyaman berada di antara teman-teman yang memotong padi bersama mereka; mereka memilih istri di antara gadis-gadis desa yang setiap malam menumbuk padi sambil menyanyi gembira. Kepemilikan beberapa ekor kerbau untuk membajak sawah adalah cita-cita mereka. Penggarapan padi di Jawa bisa disamakan dengan pemanenan anggur di sepanjang Sungai Rhine dan di selatan Prancis.


Namun, kemudian datanglah orang-orang asing dari Barat yang mengangkat diri mereka sebagai pemilik tanah. Mereka ingin mendapat keuntungan dari kesuburan tanah itu, dan memerintahkan orang pribumi untuk menyisihkan sebagian waktu dan tenaga mereka untuk menggarap tanaman-tanaman lain yang bisa menghasilkan keuntungan lebih tinggi di pasar-pasar Eropa.

 

- Multatuli, dalam buku Max Havelaar 


Satire (Kritik Halus)


Beberapa kali, baik pendahuluan juga di dalam buku, ditekankan bahwa gambaran di buku Max Havelaar itu satire. Kritik halus. Cara penulisannya beneran halus. Agak sulit sih jelasinnya, mungkin lebih enak kalau baca langsung.

Bencana kelaparan? Bencana kelaparan di Jawa yang kaya dan subur?”—Ya, pembaca, beberapa tahun silam ada distrik-distrik yang kehilangan penduduk akibat kelaparan; para ibu menjual anak mereka untuk mendapat makanan, para ibu menyantap anak mereka sendiri.

Namun, kemudian negara penguasa ikut campur. Di ruang-ruang parlemen Belanda diutarakan keluhan-keluhan, lalu gubernur yang menjabat harus memberi perintah bahwa “perpanjangan dari apa yang disebut sebagai pasar Eropa tidak boleh lagi digenjot sampai mengakibatkan bencana kelaparan”.

“Oh! Parlemen yang baik hati!”

Kalimat ini kutulis dengan penuh kepahitan—menurutmu siapa yang bisa menjelaskan hal-hal semacam itu tanpa disertai kepahitan?

Termasuk saat menyindir salah satu jendral Belanda di Mandailang Natal, Sumatera Barat. *jujur aku masih penasaran dan kepikiran akan nasib Upik Keteh. Pas baca potongan scene-nya, nggak bisa nggak ngebayangin poin of view Upik Keteh. Hmm...

Karya Fiksi


Jujur, pas baca ini, aku banyak bertanya-tanya, bagian mana yang nyata, dan mana yang fiksi. Sempat bertanya-tanya pula apakah Max Havelaar/Multatuli pernah mengenal Islam? Terutama saat membaca pidatonya di hadapan perangkat pemerintah saat baru dilantik jadi residen di kabupaten Lebak.


Saya tahu penduduk kalian miskin, dan karenanya saya bergembira dengan sepenuh jiwa.

Karena saya tahu, Tuhan mencintai orang miskin, dan Dia melimpahkan kekayaan kepada mereka yang hendak diujinya. Tapi kepada orang miskin, Dia mengutus semua orang yang menyampaikan firman-Nya, sehingga mereka bisa bangkit di tengah penderitaan mereka.

Bukankah Dia mencurahkan hujan ketika batangbatang padi hendak melayu, dan menurunkan embun dalam kelopak bunga yang kehausan?
- Max Havelaar

 

Tapi setelah aku googling, trus baca wikipedia tentang penulis Max Havelaar, aku kembali diingatkan kalau ini karya fiksi. Memang benar, ada fakta-fakta yang kejadian nyata yang dituliskan dalam novel ini. Tapi tokoh di dalamnya, bagaimana penulis menggambarkan Max, iya, Max tokoh fiksi. Tokoh max mungkin sedikit banyak menggambarkan pengalaman kehidupan Multatuli. Tapi tetap saja, Max tidak bisa menggambarkan utuh tentang Multatuli.


Aku pas baca novel ini banyak mikir, mungkinkah Max Havelaar menemui momen-momen untuk mengenal islam dan mendapat hidayah? Iya pernah menjabat di Padang, bertemu dan bersinggungan dengan "pemberontak", yang tentunya beragama islam. Karena salah satu yang mendorong seseorang untuk berjuang dan melawan ketidakadilan penjajahan belanda adalah iman dan islam.


Kemudian pertanyaanku seolah terjawab lewat baca wikipedia. Nyatanya meski kesempatan itu hadir, tapi setan juga terus bekerja keras kan? Di wiki dituliskan bagaimana Multatuli jatuh di perjudian. Sejak itu aku mulai berusaha objektif menilai Max, meski di bukunya berkali-kali ditunjukkan kelebihan dan kelebihan dan kelebihan. Ya, tunjukin kelemahannya juga sih, tapi gak sebanyak kelebihannya.

Ya, hidayah itu gak sampai, Multatuli tidak beriman pada Allah. Tapi kerja kerasnya, dan tulisannya dikenang sampai sekarang, sebagai bentuk kasih sayang Allah. Untuk mereka yang tidak beriman, balasan kebaikan akan dibayar lunas di dunia. Entah dalam bentuk popolaritas, seperti Mother Teresa, atau seperti buku-buku terbit jaman dulu yang sampai sekarang masih bisa dibaca.

Berbeda sama orang beriman, balasannya ada dua, di dunia dan akhirat. Itulah kenapa penting untuk tetap menulis sembari membersihkan hati. Semoga tetap ikhlas dan menjaga keimanan di hati. Aamiin *maaf ya, kalau jadi ngelantur ke topik ini.

***

Penutup. Agustus memang sudah berakhir, momen kemerdekaan memang udah lewat. Tapi bukan berarti mentang-mentang udah lewat bulannya, kita jadi gak belajar tentang sejarah kemerdekaan kita. Karena gak ada ruginya mempelajari sejarah bangsa, karena mengenal sejarah bangsa, sejarah isla itu sama pentingnya seperti belajar mengenal diri. Semakin kuat kita mengenal identitas kita, mengenal sejarah dan mengambil pelajaran darinya, semakin kuat juga semangat kita untuk memiliki visi yang lebih besar. Karena harusnya, visi kita gak cuma dalam lingkup diri sendiri, tapi lebih besar lagi. Lebih besar lagi. Gak berhenti cuma saat kita mati. Tapi kita ingin punya dampak lebih luas, bahkan saat kita sudah habis jatah hidupnya di dunia. Kenapa? Karena kita mengharapkan kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak.

Untukku, dan untuk siapapun... yuk belajar sejarah. Pelan-pelan. Baca buku, atau dengerin podcast, atau ikut webinar. Pilih yang cocok. Straighten your intention, then take a little step. Bismillah. Semoga Allah mudahkan.

Wallahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.






No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya