Follow Me

Monday, August 26, 2024

Kebencian, Memaafkan dan Berbaiksangka pada Takdir-Nya

Bismillah.

 


Seorang sahabat bercerita, tentang rasa benci yang sering menghantui malam-malamnya. Saat itu aku menjawab,

 

Mungkin ada luka di masa lalu yang belum sembuh. Makanya jadi benci banget. Biasanya kalau orang luka, karena siapapun. Kalau itu gak diungkapin, gak diekspresikan, cuma dipendam aja. Itu bisa jadi "bom waktu".

 

Ibarat sayur pare nih. Emang sih pahit. Tapi kalau saat itu langsung dimakan, ya udah selesai. Habis. Tapi kalau dibiarin aja, disimpen lama-lama, itu bisa jadi lebih buruk. Jadi jamuran/basi, bau, beracun. Nah perasaan manusia juga gitu. Entah sedih, marah, luka dll.. kalau pas kejadian bisa kita ungkapin, atau minimal kita ekspresiin lewat nangis sampai plong. Itu ya udah selesai. Tapi kalau misal dipendem. Nanti pasti 10 tahun, atau berapa tahun kemudian. Perasaan itu akan meledak. Dampak buruknya jadi lebih besar. Dan biasanya jadi bentuk kemarahan.

 

Kemudian ia menjawab, memberi tangkapan layar jawaban dari quora, yang menyebutkan bahwa membenci itu salah. Aku membacanya sekilas. Paham bahwa jawaban di quora tersebut memang benar. Tapi aku juga tahu, bagaimana rasanya merasakan sesuatu yang kita tahu itu salah. Bagaimana itu membuat seseorang bisa menjadi begitu membenci dirinya sendiri. Dan aku tahu, membenci diri itu salah, dan sakit, jauh lebih menyakitkan daripada membenci orang lain. Aku, tidak mau ia terlalu cepat membenci dirinya, hanya karena ada luka lama, yang membuat ia membenci orang lain.


Maka aku melanjutkan 'ceramah'-ku, berharap saat ia membacanya, ia merasa lebih baik.

 

Idealnya emang gitu. Jangan dibenci. Tapi kan setiap orang beda.

 

Ada keluarga yang punya harta terbatas. Tapi mungkin ortunya dua-duanya ekspresif. Tetep nunjukin kasih sayang/dukungan. Sering minta maaf ke anak karena gak bisa ngasih banyak dukungan finansial dll.



Itu efeknya beda. Sama keluarga yang finansialnya terbatas. Orangtua gak ekspresif dan lebih milih diem, karena nggak pengen kesedihannya dilihat anak. Trus sibuk cari uang, sampai lupa bahwa sibuknya itu karena bentuk sayang mereka ke anak. Itu pasti beda hasilnya.

 

Kasus yang kedua, ada kemungkinan anaknya merasa tidak dicintai oleh orangtuanya. Ada kemungkinan saat dewasa, karena kebenciannya pada kondisi finansial yang terbatas, membuat ia jadi membenci orangtuanya. Dan sebagaimana Islam mengajarkan kita untuk berlaku baik dan ihsan pada orangtua, bagaimana perasaan seorang anak, yang menyadari, bahwa ia membenci orangtuanya? Tanpa tahu bahwa perasaan benci tersebut sebenarnya bukan karena ia membenci orangtua? Tapi karena ia merasa tidak dicintai?

 

Aku melanjutkan rantai nasihatku,


Tapi saat kita dewasa, idealnya memang kita belajar untuk menerima dan melihat dari sudut pandang orangtua. Tapi balik lagi, kita gak bisa ngelakuin itu kalau kita sendiri belum bisa berdamai dengan diri sendiri.
 

Kalau kita udah tenang dan menerima kondisi diri. Baru, kemudian kita bisa empati dan menempatkan diri kita di sepatu ortu. Baru, habis itu jatuh bangun belajar ngerti dan belajar maafin ortu. Karena sama seperti kita yang nggak sempurna. Orangtua kita juga gak sempurna. Sama seperti kita fitrahnya yg sayang ke ortu, tapi kemudian yg keluar bentuknya malah jadi marah dll. Ortu juga gitu ke kita.

Kamu harus bisa maafin diri kamu dulu, baru kemudian maafin orangtuamu.
 

Kemudian, kujelaskan padanya pelajaran yang aku dapat selama dulu, bagaimana aku bisa bangkit setelah tergelincir di jurang dan menjadi begitu benci dan sulit untuk memaafkan diri sendiri.

Dan untuk maafin diri kita. Kita harus percaya lagi bahwa Allah menakdirkan yang terbaik untuk kita. Bahwa meski semua hal yang sekarang kita alami kesannya buruk.... Sebenarnya saat ini pun, Allah sedang menghalangi kejadian yang jauh lebih buruk untuk menimpa kita.

Ibaratnya, bisa jadi kita harusnya ketindihan rumah, tapi karena kasih sayang Allah kita cuma ketindihan tangga. Kalau ketindihan rumah, kita bisa mati. Sedangkan kalau tangga, paling kita sakit, berobat ke dokter bisa sembuh. Karena Allah tahu kita mampu.

Jadi, meski orang lain mungkin nggak ditakdirkan ketiban tangga, itu mungkin karena orang lain gak punya kemampuan itu. Sedangkan kita. Allah tahu, kita kalau ketimpa tangga. Berdarah luka, sakit, nangis. Allah tahu kita bisa tetep nyingkirin tangga yang menimpa kita. Allah tahu setelah kita nangis karena sakit, Allah tahu kita bisa inisiatif ke dokter buat nyembuhin luka.

 

Karena kalau kita mau nengok ulang hidup kita, dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Kita akan tahu bahwa kasih sayang Allah ke kita begitu besar.

 

Ada anak-anak lain yang lahir dari keluarga dengan finansial terbatas. Dan mereka gak bisa sama sekali keluar dari lingkaran itu. Putus sekolah. Tinggal di jalanan. Ketemu lingkungan yang buruk. Kemudian masuk ke dunia gelap.

 

Sedangkan kita. Allah pilih kita punya kemampuan otak bisa sekolah, pinter. Dapat kesempatan sekolah, dapat beasiswa. Dapat kesempatan merantau di Bandung. Kuliah.

Kalimat selanjutnya, aku terangkan beberapa poin-poin di kehidupannya yang aku tahu. Kusebutkan juga poin-poin di kehidupanku sebagai pembanding. Lalu kulanjutkan kalimatku,


Takdirmu, takdirku, beda. Tapi itu yang terbaik dari Allah untuk kita.

 

Nah.. masa depan gimana?

Takdir yang tadi aku omongin itu yang udah kejadian.

Masa depan juga gitu. Allah rencanakan yang terbaik buat kita. Tapi ada syaratnya. Syaratnya apa? Ya, harus beriman dan berprasangka baik pada rencana Allah.


Karena gimana bisa kita punya masa depan yang baik,

Kalau misal kita dikasih batu berlian. Iya batunya belum diasah. Masih ketutup debu. Kalau kita percaya dan asah, nanti baru keliatan cling bagusnya.

 

Tapi kalau kita berburuk sangka sama Allah. Batu itu kita apakan? Kita buang ke tempat sampah. Kita malah milih masuk ke gua, buat nambang sendiri. Susah payah sendiri. Dan nggak pasti dapat berlian juga.

 

Karena apa? Karena kita milih untuk bersandar dengan diri kita. Diri kita yang lemah. Karena kita milih mengiyakan persepsi prasangka buruk dan bayangan ketakutan yang dibisikkan setan ke kita tiap hari. Na'uzubillahi min dzalik.

 

Jadi, sebelum hal-hal buruk itu terjadi. Tugas kita cuma satu: berusaha memperbaiki diri dan keyakinan kita ke Allah tiap hari. Dengan nggak lelah minta petunjuk ke Allah. Jatuh bangun berusaha memperbaiki prasangka baik ke Allah.

 

Nanti... Nanti . Setelah semua perjuangan itu, Allah akan kasih lihat... Bahwa takdir yang terjadi di masa depan nanti jauh lebih baik dari apa yang kita bayangkan.

 

Nanti kita bakal ngerasain juga. Bagaimana yang tadinya kita insecure, nyalahin keadaan, selalu merasa menjadi victim. Bisa berubah jadi optimis lagi. Berubah jadi lebih percaya diri.

 

Yang tadinya benci diri jadi belajar mencintai diri. Yang tadinya benci sama ortu, jadi belajar memaafkan ortu.

 

Dan prosesnya memang panjang. Gak instan. Tapi kita tahu, setiap kali kita merasa pengen nyerah. Kita tahu kita cuma perlu curhat ke Allah dan minta bantuan Allah.

 

Sekian hehe, maaf panjang.


***


Sama seperti bagaimana pesan itu berakhir. Kututup juga tulisan ini dengan kata sekian, dan maaf panjang V ^^


Wallahua'lam bishowab.


***

 

PS: read V as posing two finger with right hand, and ^^ as a closed eye smile. And yes, I'd rather use letter and character as emoji/emoticon. And yes I am old. *I'll hide this as it is so not important.

 

Keterangan : Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya