#fiksi
Bismillah.
"Ikhwan
organisasi saya nanya, alamat lengkapnya dimana?", tanya seorang akhwat di
sebuah grup koordinasi 2 organisasi. Saya yang sudah berada lebih dari 1 bulan
di sini mengerutkan dahi saya. Ada 5 ikhwan dan 2 akhwat, kenapa yang lagi-lagi
bersuara dari organisasi sebelah selalu May?
"Kenapa
ikhwannya ga tanya langsung?", akhirnya pertanyaan itu yang muncul, bukan
jawaban dari pertanyaan May.
"Harap maklum
ya Akh Fikri, da di organisasi saya mah beda. Kalau di organisasi antum,
akhawat yang pemalu, di tempat saya, ikhwannya yang pemalu, hhe"
Emotikon senyum di
jawaban May membuat saya makin heran. Dia bercanda atau bagaimana? Emang ikhwan
organisasinya tega menjadikan akhwat jadi jubir mereka? Padahal organisasi Mey
adalah organisasi yang lebih lekat dengan image
laki-laki karena memang jenis olahraga, bukan organisasi seni.
Di ruang lain May
terus mencoba menghapus air mata yang terus memaksa keluar, ia sedang berada di
tempat umum, ia tidak mau diketahui sedang menangis oleh banyak orang. Namun
bendungan kaca yang sudah menumpuk jauh-jauh hari sekitar 2 tahun yang lalu kini
luruh, tak lagi terbendung. Gadis itu tidak mampu menahannya, maka segera ia
menutup laptop dihadapannya, lalu berlalu menuju mushala akhwat. Dan tangis itu
tak lagi ditahan, airnya terus mengalir, membuat mata makin panas, menimbulkan
jejak-jejak. Namun tidak isak di sana, isak hanya muncul saat seseorang memaksa
menghentikan tangisnya, atau mencari perhatian. Tangis itu begitu sunyi, hanya
air yang turun dan turun lagi dari mata, menuju dagu dan membasahi khimarnya.
Sedangkan bibir gadis itu terbungkam, di otaknya segala macam momen berseliweran, menambah sendu hatinya.
Di tempat berbeda,
seorang ikhwan mengklik nama grup kemudian segera berpindah ke grup lain. Hanya
bermaksud untuk menghilangkan notif yang menumpuk, tidak sama sekali melihat
apalagi membaca apa yang sedang didiskusikan di grup itu. Baginya ini sudah selesai,
saya sudah bukan lagi bagian organisasi ini.
Dan ikhwan lainnya
lagi, jarinya begitu ingin mengetikkan beberapa kalimat, namun otot motoriknya
tiba-tiba seolah beku. Ia seolah bisa melihat akhwat di ujung sana menangis,
namun seperti kebanyakan ikhwan lain jika melihat seorang akhwat menangis, ia tiba-tiba
tidak bisa melakukan apa-apa. Ia terdiam sejenak membaca lagi sebuah deretan
nomer yang ia tahu siapa pemiliknya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan agar akhwat yang selalu menjadi repot mengerjakan ini itu di
organisasinya berhenti menangis. 'Berhentilah menangis', ia membisik pelan
dalam hati, bisikan yang tak pernah sampai di telinga May.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya