Follow Me

Thursday, May 7, 2015

Da di Sini Mah Beda


#fiksi

Bismillah.

"Ikhwan organisasi saya nanya, alamat lengkapnya dimana?", tanya seorang akhwat di sebuah grup koordinasi 2 organisasi. Saya yang sudah berada lebih dari 1 bulan di sini mengerutkan dahi saya. Ada 5 ikhwan dan 2 akhwat, kenapa yang lagi-lagi bersuara dari organisasi sebelah selalu May?

"Kenapa ikhwannya ga tanya langsung?", akhirnya pertanyaan itu yang muncul, bukan jawaban dari pertanyaan May.

"Harap maklum ya Akh Fikri, da di organisasi saya mah beda. Kalau di organisasi antum, akhawat yang pemalu, di tempat saya, ikhwannya yang pemalu, hhe"

Emotikon senyum di jawaban May membuat saya makin heran. Dia bercanda atau bagaimana? Emang ikhwan organisasinya tega menjadikan akhwat jadi jubir mereka? Padahal organisasi Mey adalah organisasi yang lebih lekat dengan image laki-laki karena memang jenis olahraga, bukan organisasi seni.
"Untuk alamat lokasi, nanti saya kabari lagi ya. Saya juga belum tahu secara rinci," jawab saya pada pertanyaan May pagi itu. Kerut di dahi saya sudah hilang, namun tiba-tiba kepala saya pening. Hei ikhwan! Saya malu mendengar jawaban May, apa memang sudah tidak ada "jiwa ikhwan" dalam diri kalian? Yang ingin melindungi akhwat. Yang membuat mereka merasa nyaman mengerjakan sesuatu di balik layar. Yang menjaga agar akhawat tidak perlu melakukan hal-hal berat, termasuk membiarkan mereka menghubungi satu pihak dan pihak lain. Atau yang menjaga agar urusan bolak-balik bertemu dengan pembina organisasi sendirian dilakukan mereka bukan akhawat. Atau yang... Setidaknya menjawab dan bukan hanya menjadi silent reader.

Di ruang lain May terus mencoba menghapus air mata yang terus memaksa keluar, ia sedang berada di tempat umum, ia tidak mau diketahui sedang menangis oleh banyak orang. Namun bendungan kaca yang sudah menumpuk jauh-jauh hari sekitar 2 tahun yang lalu kini luruh, tak lagi terbendung. Gadis itu tidak mampu menahannya, maka segera ia menutup laptop dihadapannya, lalu berlalu menuju mushala akhwat. Dan tangis itu tak lagi ditahan, airnya terus mengalir, membuat mata makin panas, menimbulkan jejak-jejak. Namun tidak isak di sana, isak hanya muncul saat seseorang memaksa menghentikan tangisnya, atau mencari perhatian. Tangis itu begitu sunyi, hanya air yang turun dan turun lagi dari mata, menuju dagu dan membasahi khimarnya. Sedangkan bibir gadis itu terbungkam, di otaknya segala macam momen  berseliweran, menambah sendu hatinya.

Di tempat berbeda, seorang ikhwan mengklik nama grup kemudian segera berpindah ke grup lain. Hanya bermaksud untuk menghilangkan notif yang menumpuk, tidak sama sekali melihat apalagi membaca apa yang sedang didiskusikan di grup itu. Baginya ini sudah selesai, saya sudah bukan lagi bagian organisasi ini.

Dan ikhwan lainnya lagi, jarinya begitu ingin mengetikkan beberapa kalimat, namun otot motoriknya tiba-tiba seolah beku. Ia seolah bisa melihat akhwat di ujung sana menangis, namun seperti kebanyakan ikhwan lain jika melihat seorang akhwat menangis, ia tiba-tiba tidak bisa melakukan apa-apa. Ia terdiam sejenak membaca lagi sebuah deretan nomer yang ia tahu siapa pemiliknya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dilakukan agar akhwat yang selalu menjadi repot mengerjakan ini itu di organisasinya berhenti menangis. 'Berhentilah menangis', ia membisik pelan dalam hati, bisikan yang tak pernah sampai di telinga May.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya