#fiksi
"Hebat kamu!", aku menengok kebelakang. Kukira ia bicara padaku ternyata ia berbicara kepada orang yang duduk dibelakangku, membelakangiku.
"You act like nothing happened. Do you think it's cool? To hide the emotion you feel? Or, maybe because you really don't feel anything?"
Suaranya tidak sekeras saat berkata "hebat kamu", tapi aku masih bisa menangkapnya. Ia menggunakan majas ironi. Hebat yang ia maksud, sebenarnya bukan pujian. Aku membayangkan menjadi sosok yang duduk dibelakangku. Ia mungkin malu, kesal, karena orang itu "menyerang"nya di tempat umum. Jika sekarang bukan jam sepi pengunjung, pasti semua orang menengokkan kepala ke arahnya. Tapi sekarang pukul 5.20, kantin sudah hampir tutup. Aku dan sosok dibelakangku adalah pembeli terakhir. Ia memesan nasi goreng terakhir, sedangkan aku hanya memesan jus mangga untuk teman bekal nasiku.
Ia meletakkan sendok dan garpunya. Suara keduanya menyentuh piring terdengar jelas. Lalu sunyi. Akupun berhenti mengunyah makananku. Sepertinya aku harus pergi sebelum situasinya makin kikuk.
Aku tutup tempat makanku. Buru-buru kuhabiskan jus mangga di gelas. Saat aku memasukkan bekalku ke tas, sosok di belakangku membuka suara.
"It's like a bad habit. I don't know how to express it. I even doubt myself, do I have an ounce of guilt?"
"Terus mau lari? Lagi?" tanyanya, intonasi dan volume suaranya naik lagi. Aku tidak bisa bergerak. Otakku berpikir, apa aku perlu pura-pura invisible?
"Bukan lari, aku cuma butuh waktu. Sendiri." ucapnya pelan.
"Fine," lalu suara langkah terdengar menjauh. Di pintu dapur, petugas kantin terlihat risau menunggu kami. Aku berdiri, mengambil gelas jus yang sudah kosong dan meletakannya di meja piring dan gelas kotor. Sosok yang duduk di belakangku kulihat mengambil lagi piring dan sendoknya, menghabiskan nasi goreng yang tersisa. Kalau dari belakang, ia benar-benar terlihat seperti orang yang tidak mengalami percakapan tadi.
Kalau aku menjadi ia, mungkin aku menundukkan kepalaku, atau berusaha menahan air mataku. Atau segera pergi ke kamar mandi, untuk cuci muka agar jejak tangis tak berbekas.
Aku segera bergerak pergi saat kulihat ia berkemas dan hendak menuju meja piring dan gelas kotor. Aku menunduk, enggan berpapasan mata dengannya. Apalagi ia mungkin sadar bahwa aku ikut mendengar percakapannya tadi.
Suara dering hp membuatku panik, aku ambil bermaksud untuk menghentikn bunyinya. Tapi rasa panik membuatku justru menjatuhkannya. Aku terpaku, dari ketinggian tas ke lantai, kemungkinan layar proteksinya retak. Deringnya masih berbunyi, aku ambil dan melihat nama ibu. Aku reject teleponnya, aku pikir lebih baik segera pergi, baru kemudian menelepon balik di tempat dan situasi yang lebih nyaman. Tapi sebuah suara membuatku berhenti, "Bukumu tertinggal,"
Aku berbalik badan, masih menunduk, aku fokus melihat tangannya menyodorkan buku bersambul biru.
"Terima... kasih" ucapku terbata, sekilas kulihat wajahnya tersenyum. Aku berbalik dan bergegas pergi. Pikiranku terus teringat wajahnya, sembari bertanya-tanya, "apa ini mimpi?"
Wajah orang itu... wajahku.
The End.
***
PS: Lagi, tulisan fiksi ga jelas wkwkwk. Sebenarnya hanya ingin menggarisbawahi, pentingnya mengekspresikan perasaan. Kemarin pertemuan ffb, salah satu insightnya adalah mengekspresikan perasaan. Jika sedih, menangislah. Jika senang tersenyum dan tertawalah. Jika marah, tunjukkan kalau kamu marah, tapi bukan berarti lepas kendali. Jika takut, jika lelah, jika tidak baik-baik saja, ekspresikan. Jangan ditutupi. Tapi jangan pula diumbar atau dilebih-lebihkan. Allahua'lam.
Suaranya tidak sekeras saat berkata "hebat kamu", tapi aku masih bisa menangkapnya. Ia menggunakan majas ironi. Hebat yang ia maksud, sebenarnya bukan pujian. Aku membayangkan menjadi sosok yang duduk dibelakangku. Ia mungkin malu, kesal, karena orang itu "menyerang"nya di tempat umum. Jika sekarang bukan jam sepi pengunjung, pasti semua orang menengokkan kepala ke arahnya. Tapi sekarang pukul 5.20, kantin sudah hampir tutup. Aku dan sosok dibelakangku adalah pembeli terakhir. Ia memesan nasi goreng terakhir, sedangkan aku hanya memesan jus mangga untuk teman bekal nasiku.
Ia meletakkan sendok dan garpunya. Suara keduanya menyentuh piring terdengar jelas. Lalu sunyi. Akupun berhenti mengunyah makananku. Sepertinya aku harus pergi sebelum situasinya makin kikuk.
Aku tutup tempat makanku. Buru-buru kuhabiskan jus mangga di gelas. Saat aku memasukkan bekalku ke tas, sosok di belakangku membuka suara.
"It's like a bad habit. I don't know how to express it. I even doubt myself, do I have an ounce of guilt?"
"Terus mau lari? Lagi?" tanyanya, intonasi dan volume suaranya naik lagi. Aku tidak bisa bergerak. Otakku berpikir, apa aku perlu pura-pura invisible?
"Bukan lari, aku cuma butuh waktu. Sendiri." ucapnya pelan.
"Fine," lalu suara langkah terdengar menjauh. Di pintu dapur, petugas kantin terlihat risau menunggu kami. Aku berdiri, mengambil gelas jus yang sudah kosong dan meletakannya di meja piring dan gelas kotor. Sosok yang duduk di belakangku kulihat mengambil lagi piring dan sendoknya, menghabiskan nasi goreng yang tersisa. Kalau dari belakang, ia benar-benar terlihat seperti orang yang tidak mengalami percakapan tadi.
Kalau aku menjadi ia, mungkin aku menundukkan kepalaku, atau berusaha menahan air mataku. Atau segera pergi ke kamar mandi, untuk cuci muka agar jejak tangis tak berbekas.
Aku segera bergerak pergi saat kulihat ia berkemas dan hendak menuju meja piring dan gelas kotor. Aku menunduk, enggan berpapasan mata dengannya. Apalagi ia mungkin sadar bahwa aku ikut mendengar percakapannya tadi.
Suara dering hp membuatku panik, aku ambil bermaksud untuk menghentikn bunyinya. Tapi rasa panik membuatku justru menjatuhkannya. Aku terpaku, dari ketinggian tas ke lantai, kemungkinan layar proteksinya retak. Deringnya masih berbunyi, aku ambil dan melihat nama ibu. Aku reject teleponnya, aku pikir lebih baik segera pergi, baru kemudian menelepon balik di tempat dan situasi yang lebih nyaman. Tapi sebuah suara membuatku berhenti, "Bukumu tertinggal,"
Aku berbalik badan, masih menunduk, aku fokus melihat tangannya menyodorkan buku bersambul biru.
"Terima... kasih" ucapku terbata, sekilas kulihat wajahnya tersenyum. Aku berbalik dan bergegas pergi. Pikiranku terus teringat wajahnya, sembari bertanya-tanya, "apa ini mimpi?"
Wajah orang itu... wajahku.
mask |
The End.
***
PS: Lagi, tulisan fiksi ga jelas wkwkwk. Sebenarnya hanya ingin menggarisbawahi, pentingnya mengekspresikan perasaan. Kemarin pertemuan ffb, salah satu insightnya adalah mengekspresikan perasaan. Jika sedih, menangislah. Jika senang tersenyum dan tertawalah. Jika marah, tunjukkan kalau kamu marah, tapi bukan berarti lepas kendali. Jika takut, jika lelah, jika tidak baik-baik saja, ekspresikan. Jangan ditutupi. Tapi jangan pula diumbar atau dilebih-lebihkan. Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya