#fiksi
Tirai bergradasi biru putih itu selalu menarik mataku setiap melewati rumah kecil di belokan terakhir, sebelum masuk ke gang kecil tempat kosanku berada.
Bukan rumah mewah dan besar. Tapi desain rumah kecil itu menarik. Dindingnya putih tulang, pintunya berwarna biru gelap, seperti warna langit sebelum masuk waktu shubuh. Dan disebelahnya terdapat kaca besar, persis seperti jendela kaca tak berpintu yang biasa ada di sebuah cafe, atau seperti tempat untuk display sebuah toko. Tapi jendela itu tertutup tirai gradasi biru-putih. Bagian atasnya seperti warna biru langit saat siang terik, semakin muda, hingga menjadi putih. Mirip seperti langit, yang tertutup awan sebagiannya.
Pernah suatu hari aku melihat seorang Ibu separuh baya dan seorang anak perempuan seusia SD masuk ke rumah tersebut. Satu kali, bulan Ramadhan dua tahun yang lalu saat aku sibuk Ospek Jurusan. Tapi setelah itu, aku tidak pernah lagi melihat ada yang masuk/keluar dari rumah itu. Gerbang kayu setinggi pinggang dikelilingi rantai besi kecil, dan sebuah gembok silver besar.
Tapi meski terlihat tidak berpenghuni, tirai bergradasi biru-putih itu selalu tampak sama. Dua tahun, tapi warnanya tidak memudar, pun tidak terlihat berdebu. Kacanya pun begitu. Tidak mengkilap seolah ada yang membersihkannya dengan air, dan sabun yang wangi, tapi masih cukup jelas untukku melihat tirai biru tersebut.
***
Ahad pagi sekitar jam 6, aku biasa jalan-jalan menikmati keramaian CFD di jalan utama kota. Seperti biasa aku berhenti beberapa detik untuk memperhatikan rumah kecil tersebut. Aku heran saat melihat tirainya sudah berganti. Kini jendela kaca itu tertutup oleh tirai berwarna coklat tua.
"Permisi," ucap seseorang membuatku sadar, aku berdiri di tengah jalan.
Seorang perempuan lebih muda dariku. Ia memakai jaket coklat, dan membawa sebuah koper, besar. Ia membuka gerbang pintu rumah itu dengan mudah. Aku baru menyadari gerbangnya sudah tidak dirantai dan digembok. Ia berhenti di depan pintu kayu berwarna langit shubuh, terlihat sibuk mengobrak abrik tas ransel kecilnya, seolah mencari kunci.
Kuberanikan diri untuk mendekat dan bertanya, "Ada yang bisa dibantu?" Ia menoleh ke arahku dengan pandangan curiga. Aku kemudian bercerita, panjang lebar, kosanku di ujung gang belokan sebelah rumah ini.
Ia mengabaikanku, terlihat panik, karena tidak juga menemukan kuncinya.
"Mungkin di jaketmu," ucapku, masih tidak menyerah. Aku sama seperti kebanyakan orang, tidak suka diabaikan. Tetapi kuriositasku terhadap tirai bergradasi biru-putih membuatku bertingkah begini.
"Ah, benar," ucapnya, suaranya nyaring tidak serendah nada saat ia mengucapkan permisi tadi.
Ia menganggukkan kepala sembari mengucapkan terima kasih. Ia dengan lembut mengusirku, lewat kalimatnya.
"Maaf, saya baru menempuh perjalanan jauh, agak letih."
Aku tersenyum pahit, perlahan membalikkan badan. Sepertinya aku salah waktu dan salah orang, mungkin ia pun tidak tahu jendela kaca itu biasa tertutup tirai bergradasi biru putih.
Kututup gerbang kayunya, kemudian menatap tirai coklat yang nampak lebih muda warnanya karena cahaya yang menembus pori-pori antarbenangnya.
***
Rumah kecil bertirai biru-putih coklat
Setelah mengunci pintu dari dalam, ia terbatuk pelan. Debu tebal menyambutnya. Di dinding, di lantai, dan di kain-kain penutup perabotan. Sarang laba-laba menghias setiap sudut ruangan. Ia membuka salah satu kain hang menutup kursi dan duduk di sana. Memandangi lampu dan langit-langit. Kemudian membuka tas ranselnya mencari masker. Ia berjalan menuju tirai coklat tua, satu-satunya yang terlihat baru dan bersih.
Satu pekan yang lalu sebuah paket tiba di rumahnya. Kotak kardus berisi kunci, sebuah foto, dan selembar surat.
"Rumah itu milikmu, dibangun untukmu. Hanya saja kuncinya dititipkan padaku selama dua tahun. Aku dan anakku tidak tinggal di sana meski hanya sehari. Saat kuterima kunci ini, aku hanya masuk untuk meninggalkan rumah itu. Setiap bulan kubersihkan luarnya, kuganti tirainya yang sama persis. Warna kesukaanmu, biru dan putih. Kini giliranmu, untuk membersihkan dalam rumahnya."
Saat menerima paket itu luapan emosi marah, sedih, sekaligus perasaan bersalah membuat ia ingin berteriak. Namun bibirnya bungkam, dan teriakannya keluar dalam bentuk bulir-bulir air. Tiga kemudian ia akhirnya memilih mengunjungi rumah itu. Rumah yang kini ia duduk di dalamnya. Percuma luarnya sangat cantik, jika dalamnya begitu kotor dan berdebu, udara pengap dan membuat dadanya sesak. Tirainya sengaja ia ganti menjadi warna coklat tua, malam, saat jalanan depan rumah sepi. Tirai biru putihnya? Tersimpan rapi dalam kerdus yang akan ia kirim ke perempuan itu dan anaknya besok. Senin, saat kantor jasa pengiriman paket buka.
Ia menghela nafas pelan, dibalik masker hitamnya. Akan butuh tenaga dan waktu yang cukup banyak, untuk membersihkan dalam rumah ini. Karena sungguh percuma, rumah yang cantik di luar, namun buruk rupa dalamnya.
The End.
***
PS: Ceritanya aneh, seperti tanpa plot yang jelas. Tapi semoga pesannya sampai. Tentang yang terlihat dan tersembunyi, yang di luar dan di dalam, kontras yang tidak boleh dibiarkan.
Kalau kata sebuah buku, percuma memiliki istana yang indah dan megah luarnya, namun di dalamnya justru hanya berisi sampah.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya