Follow Me

Tuesday, September 24, 2019

"Dia Juga Banyak Galau"

Bismillah.


Pernah suatu hari seorang teman berkomentar, kalau ia lumayan heran saat tahu salah satu temannya ternyata suka nulis kegalauan di blognya. Aku saat itu cuma mengangguk dan memberitahunya, tentang kesimpulan yang aku dapatkan setelah lama jadi orang yang rajin jadi silent reader.

"Setiap orang punya tempat pencurahan galaunya masing-masing," kataku waktu itu. Aku banyak berteman dengan akhawat-akhawat dengan kepribadian dan karakter yang berbeda. Ada yang mudah bercerita tentang perasaannya, keresahan, dan juga beban pikirannya. Namun banyak juga yang menyimpan kegalauan dan keresahan hati dan pikirannya di tempat lain, bukan diungkapkan dan diekpresikan lewat lisan, tapi lewat tulisan. Entah itu di blog, tumblr, atau sosial media. Ada yang suka share quotes-quotes mellow dan banyak orang relate, ada yang buat caption puitis dan abstrak tiap posting di sosmednya, ada juga yang bernarasi panjang di blognya.

Buat perempuan, salah satu cara melegakan hati dan pikirannya saat sedang dilimbung galau adalah dengan berbicara. Bukan bermaksud mengeluh, tapi hanya ingin didengarkan. Mungkin ceritanya tidak tertata, dimulai dari A, loncat ke Z, trus berputar di M atau Q, seolah tidak ada poin intinya. Tapi saat ia menyuarakan apa yang ada di pikiran dan hatinya, ia sedang memberikan ruang untuknya bernafas. Saat berbicara tentang kegalauannya, beban yang mendesak pikirannya, bisa jadi ia tidak butuh ceramah, atau step-step penyelesaian masalah. Justru lewat bercerita itu, ia jadi bisa melihat semuanya lebih jelas dan terang. Kalau kata Stephen R. Covey, bukan input dari luar, tapi proses bercerita dan membuka diri memperjelas solusi yang kita cari.

"Ada saat-saat ketika transformasi menuntut nasihat yang tidak berasal dari luar. Seringkali saat orang benar-benar diberi kesempatan untuk membuka diri, mereka mengungkapkan masalah mereka dan solusinya menjadi jelas bagi mereka dalam proses keterbukaan itu." - Stephen R. Covey
Selanjutnya, apakah semua orang punya kesempatan untuk berbicara dan didengarkan? Sayangnya tidak. Bersyukurlah kalau kita masih punya teman, kakak, atau ibu yang siap mendengarkan saat kita butuh mengungkapkan kegalauan kita. Untuk yang tidak memiliki kesempatan untuk berbicara saat beban pikiran dan kegalauan meradang, biasanya penyalurannya adalah menulis. Kata yang berdesakan di hati dan otak harus dikeluarkan, maka hadirlah tulisan dan postingan galau, mungkin di blog, atau di sosmed, atau di tumblr, atau bahkan di sebuah diary.

***

Aku pernah salah menyikapi, saat membaca ekspresi galau dan buncahan beban pikiran teman di tempat khususnya. Saat itu aku reaktif, segera panik, dan menulis jawaban atau respon atas tulisannya. Tulisan itu tidak sampai padanya, tapi... lewat kejadian itu, aku mempelajari satu hal.

Saat orang mengekspresikan kegalauannya, menuturkan beban pikirannya, baik secara lisan atau tulisan, yang perlu kita lakukan bukan segera meresponnya. Tapi justru diam dan menyimaknya, diam dan membacanya, diam dan mencoba memahaminya, mencoba untuk mengerti, "oh, ternyata itu yang sedang banyak ia pikirkan, ternyata itu... yang sering membuat ia tidak segera tidur meski badannya lelah". Setelah diam, dan mulai bisa berempati, baru kemudian kita menyapanya, bertanya dengan tulus, "apa kabar?"
"Aku membaca tulisanmu, aku membaca statusmu, aku menyimak ceritamu.. aku ingin mendengar lebih jika kamu berkenan."
Atau terkadang ga perlu bahas tulisannya, cukup katakan saja kalau kita rindu hehe^^ bukan bermaksud gombal, tapi memang benar, kalau kita baca tulisan teman lama, biasanya jadi keinget masa-masa waktu masih bersamanya, jadi deh kangen.

Atau sapa, dan berceritalah terlebih dahulu tentang dirimu, apa yang akhir-akhir ini banyak kau pikirkan, dll. Ini senjata ampuh jika temanmu tipe yang sangat introvert. Kamu yang lebih ekstrovert membuka diri dulu, tunjukkan kalau kamu percaya padanya. Nanti, naturalnya ia juga akan bercerita balik. Apalagi kalau ternyata keresahan dan kegalauanmu beririsan dengan apa yang ia rasakan.

***

Terakhir, setiap orang berhak galau hehe. Oh ya, dari awal sampai akhir, penggunaan kata galau ga sesempit masalah percintaan aja ya. Namanya juga manusia, ia hidup, dan kehidupan membawa ujian. Jika ada beban yang menghimpit hatinya, atau galau yang menyesaki kepalanya, maka kemungkinan besar ia akan mengungkapkan dan mengekspresikan hal tersebut. Bisa lewat lisannya, saat ia bercerita panjang padamu, dengan suara khasnya, naik turun intonasi serta perubahan raut wajahnya. Bisa lewat tulisan atau foto-foto melankolis. Kita mungkin baru pernah membacanya, melihatnya, dan jadi bergumam, "dia juga banyak galau". Tapi sisi baru yang kau temukan itu, bukan untuk diartikan pandangan kita padanya jadi berubah ke arah lebih buruk. Tapi kita jadi belajar, bahwa setiap manusia diberi ujian masing-masing. Bahwa perempuan, bahkan juga laki-laki mungkin, juga butuh tempat untuk mengekspresikan dan mengungkapkan kegalauannya. Dan bahwa dari sekian banyak opsi tempat, yang paling menenangkan dan terpercaya adalah mengadu dan merajuk padaNya.

Allahua'lam. 


No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya