Follow Me

Wednesday, September 11, 2019

Belajar Menerima Pemberian

Bismillah.

#buku


Belajar menerima pemberian. Itu judul heading-nya yang membuatku tergerak untuk menulis nukil buku lagi, setelah lama vakum. Cuma satu setengah lembar, tapi cukup untuk membuatku lebih memahami perempuan.

Judul bukunya, Psikologi Suami-Istri ditulis oleh DR. Thariq Kamal An-Nu'aimi. Membahas tentang perbedaan psikologis perempuan dan laki-laki. Tujuannya agar bisa menjembatani perbedaan antara suami dan istri. Contoh-contoh di dalamnya, mayoritas percakapan suami-istri. Tapi buat yang single cocok dibaca juga, untuk lebih memahami manusia, memahami diri sendiri dan orang lain. Termasuk memahami orang-orang di sekitar, baik itu ayah, ibu, adik, kakak, teman, dll.

Belajar menerima pemberian ada di Bab 4, isinya menjelaskan tentang kecenderungan perempuan untuk terus memberi dan 'takut' untuk menerima pemberian.

Langsung ke nukilan bukunya aja ya...

***

Belajar Menerima Pemberian
"... Perasaan tertolak dan diabaikan adalah perasaan yang sangat menyakitkan bagi perempuan. Karena secara tidak disadari ia merasa dirinya tidak berhak menerima pemberian dari laki-laki. Perasaan semacam ini telah ada pada perempuan semenjak ia masih kanak-kanak. Di mana ketika itu ia harus menyembunyikan perasaan, kebutuhan dan keinginannya. 
Perempuan itu lemah dan tidak kuat melawan keyakinan-keyakinan negatif yang tidak benar dan menimbulkan perasaan tidak bisa dicintai oleh orang lain. Perempuan yang ketika masih kecil pernah putus asa dan menyimpan berbagai penderitaan dan kehinaan, ketika besar akan mudah merasakan hal-hal yang menyakitkan. Yaitu perasaan tidak mungkin dicintai oleh orang lain. Ia akan menerima hal tersebut dan menjadi sulit sekali menerima hal sebaliknya. 
Perasaan yang tersembunyi pada perempuan ini secara tidak sadar telah menimbulkan perasaan takut ketika membutuhkan orang lain. Karena ia merasa tidak mungkin mendapatkan sesuatu yang diinginkan. 
Di samping itu ia menerima saja perasaan seperti itu. Di mana ia akan menghindari meminta bantuan dan pertolongan serta berusaha memahami permasalahannya sendiri tanpa perlu meminta pertolongan laki-laki ..."
- DR. Thariq Kamal An-Nu`aimi, dalam buku "Psikologi Suami-Istri" 
***

Membaca bagian itu membuatku teringat postingan sebelumnya, tentang ayah dan anak perempuannya. Dan perasaan tidak percaya diri, merasa tidak berhak disayangi dan dicintai, jika seorang perempuan belajar cinta pada sosok yang salah. Perasaan yang akan membekas lama di dirinya, hingga ia kesulitan untuk mencintai dirinya sendiri.

Membaca nukilan tersebut juga membuatku berkaca, masa-masa saat aku kesulitan meminta tolong, kesulitan untuk belajar menerima pemberian, padahal bantuan dari banyak orang ditawarkan padaku. Entah mengapa saat itu rasanya berat menerima, seolah menerima pemberian dari orang lain artinya aku merepotkan orang lain, mengganggu orang lain. Sampai seorang ibu cantik memberikanku sudut pandang lain, kalimatnya seolah menepuk pelan pundakku, "tidak mengapa menerima pemberian" dan bahwa aku boleh menerima bantuan, ya, meski aku saat itu banyak sekali bersalah.

***

Bagaimana Perempuan Belajar tentang Haknya untuk Menerima Pemberian?

"Dalam waktu yang lama perempuan mengganti perasaan tidak memiliki haknya dengan memberi perhatian dan cepat memenuhi permintaan atau tuntutan orang lain. Tabiat perempuan selalu senang memberi dengan harapan akan menjadikannya pantas menggunakan haknya untuk menerima pemberian. Setelah beberapa kali memberi maka perasaan memiliki hak menerima akan mulai muncul dan semakin besar. Di samping itu, ketika perempuan masih dalam masa memberi, maka dia juga merasa bahwa orang lain memiliki hak untuk menerima pemberiannya tersebut. Pada awalnya perempuan yang akan memberi pada pasangannya dan pada tahap selanjutnya semuanya -baik laki-laki maupun perempuan- akan mendapatkan pemberian dan cinta perempuan. 
Anak perempuan merasa mulai dan berharga ketika ia memperhatikan sikap lebih ayahnya yang membantu dan menolong ibunya. Ketika itu akan muncul perasaan pada anak tersebut bahwa ibu (perempuan) memiliki hak untuk ditolong, dengan begitu akan sangat mudah dan mungkin sekali ada orang lain yang akan mencintai dirinya. Perasaan ini berpengaruh positif pada kejiwaan dan membantu dirinya untuk menyuarakan segala keinginannya dalam kehidupan tanpa ragu,"
- DR. Thariq Kamal An-Nu`aimi, dalam buku "Psikologi Suami-Istri" 
***

Anak perempuan belajar menerima pemberian dari Ayahnya. Saat ia melihat ayahnya membantu ibunya, saat ayahnya menawarkan bantuan kepadanya setiap kali ia kesulitan waktu kecil dulu.

Ya, ia belajar dari ayahnya. Aku pun begitu, saat suatu masa aku lupa bahwa aku berhak menerima pemberian. Entah beberapa kali ayah berkunjung dari kampung halaman, mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri, bahwa ia selalu siap membantuku, asalkan aku mengizinkannya. Bahwa ia selalu memberi, tinggal apakah aku mau menerimanya. ...

Lalu bagaimana dengan yang tidak memiliki ayah? Atau punya ayah, tapi peran ayah tersebut tidak terpenuhi? Apa anak perempuan itu tidak pernah bisa belajar untuk menerima pemberian?

Aku pernah menuliskannya juga, tentang fakta bahwa tidak ada keluarga yang ideal, bahwa setiap keluarga memiliki retakan dan sisi gelap masing-masing, bahkan keluarga para nabi. Nabi Ibrahim, bagaimana keadaan ayahnya? Nabi Nuh dan Luth, bagaimana keadaan istrinya? Nabi Yusuf, bagaimana saudara-saudaranya? Dan saat Allah menuliskan takdir tersebut, pasti ada hikmahnya. Allah tidak pernah menzalimi hamba-hambaNya. Jika ada anak perempuan yang tidak bisa belajar menerima pemberian dari ayah kandungnya, ia bisa belajar dari "ayah ideologisnya", entah itu sosok guru, atau ustadz *eh, guru sama ustadz sama ya? hehe. Dari lingkungan dan sekitarnya. Atau bahkan dari sosok Rasulullah, setiap kali kita membaca kisah hidupnya, atau mendengarkan sunnah-sunnahnya. Atau dari Al Quran. Allah akan memberikan kita jalan untuk mempelajarinya.

***

Balik ke buku Psikologi Suami Istri, ada yang pernah baca? Bagian mana yang paling mengena? Apa? Bagian yang belum kubaca hehe. Masih sekian ratus lembar yang belum dibaca.

Menulis nukil buku ini, sebenarnya menggambarkan perspektifku, sudut pandangku, dan proses pemikiranku. Aku lebih banyak mengambil pelajaran psikologis perempuan, sembari belajar mengenal diri. Pelajaran tentang psikologis laki-laki tetap dibaca, dan sering membuatku mengangguk dan mulai mengerti, mengapa ayah begini, atau adik begitu.

Tentu beda cita rasanya, kalau yang membaca buku ini kakakku, yang sudah merasakan langsung betapa berbedanya laki-laki dan perempuan, suami dan istri dari segi psikologis. Aku ingat, sore itu, saat Mba Ita curhat sembari merekomendasikan agar aku segera membaca buku tersebut. Ia sengaja beli lagi, dan dikirim ke Purwokerto agar aku membacanya. Ia dulu juga memilikinya, namun banjir di Bima berhasil mengubah kertas menjadi bubur. Bukunya mungkin sudah tidak bisa dibaca, tapi pengetahuan yang tersimpan karena telah membacanya, masih terekam di otak kakakku, memandunya untuk selalu peka dan bijak mengatasi perbedaan antara ia dan suaminya.

Ada yang penasaran ga, kalau perempuan belajar menerima pemberian, sebaliknya laki-laki belajar apa? Laki-laki belajar memberi dan belajar 'melakukan' kesalahan. Masing-masing saling melengkapi. Seperti yang Allah terangkan, bahwa IA menciptakan hal berpasang-pasangan. *trus jadi pengen bahas feminisme, lgbt, dkk. Tapi nanti jadi kemana-mana bahasannya.

Kita sudahi saja nukil buku kali ini. Mohon doanya, semoga saya rajin baca buku lagi, dan rajin nulis nukil buku juga. ^^

Semangat membaca dan menulis semuanya~

Allahua'lam.

***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya