Pernahkah kau dengar istilah, bahwa "bukan kamu yang membaca buku, sebaliknya, justru buku itu yang sedang membacamu". Aku pernah mendengarnya, dalam sebuah video pendek, tentang momen saat kamu sedang membaca quran, tapi yang kau rasakan justru sebaliknya, seolah quran yang sedang membacamu.
***
Beberapa tahun berlalu sejak saat aku menonton video pendek dengan kutipan tersebut. Empat november lalu, aku memaknai lagi kalimat tersebut. Aku membaca sebuah buku, bukan quran, tapi kalimat di dalamnya, membuatku merasa, seolah buku tersebut sedang membacaku.
Ga cuma aku berkata dalam hati, "I can relate". Tapi aku juga menyimpulkan dalam hati, "as if it's speaking on my behalf".
Mungkin karena topiknya pas dengan apa yang kurasakan dan kualami, mungkin karena saat itu aku sedang begitu sensitif, tapi membaca kalimat-kalimat di buku itu tidak mudah. Karena bukan aku yang membaca, tapi buku itu yang membacaku.
Saat itu... aku berhenti sejenak membaca, karena melanjutkan membaca hanya akan membuatku tampak aneh. I was in a public space, and it would seems so strange if anyone noticed that I was crying.
Aku memilih menulis, berusaha meredakan emosi yang naik tanpa aba-aba. Mengekspresikannya dalam kata, adalah bentuk penyaluran emosi yang lebih baik ketimbang terus menerus menyeka wajah.
***
Seharusnya aku tidak menangis. Karena buku ini bukan buku melodrama yang penuh kisah sendu. Ini buku tentang manusia dan interaksi mereka. Bagaimana mereka berdebat dan bagaimana respon mereka terhadap perdebatan, cara menghindar yang salah. Ada empat cara salah, dan dua poin terakhir berhasil membuat air mataku luruh. Entah ini pengaruh hormon, atau karena aku merasa buku ini berbicara padaku, berbicara tentangku, juga mendengarkanku. Kalimat-kalimat di dalamnya seolah meyakinkanku bahwa 'kata-kata' tersebut mengerti aku, keadaanku, dan kesulitan yang pernah/sedang kurasakan.
Buku ini seolah menasihatiku dengan lembut: "Berhentilah berpura-pura baik-baik saja"
"Berhentilah menyerah"
"Kamu boleh menyuarakan perasaanmu, pendapatmu, ketidaksukaanmu. Kamu tidak harus selalu diam dan setuju."
"Berhentilah menyembunyikan dan menekannya. Kau berhak bersuara, mengkomunikasikannya dengan cara yang baik, dengan suara indahmu, - meski mungkin mencobanya akan menggetarkan kedua bola matamu, serta meluncurkan aliran deras di pipimu."
"Kamu cuma perlu belajar (lagi). Sedikit demi sedikit mengkomunikasikannya. Bukan selalu meredam dan menyembunyikannya."
4/11
***
Tiga hari berlalu, sekarang tanggal tujuh, aku membaca tulisan di selembar kertas tersebut dan berniat menyalinnya di blog ini. Sempat terpikir untuk membuat kisah fiksi dari sana, tapi karena bisa jadi setelah ini akan ada versi nukil bukunya, sepertinya aku ingin menuliskannya secara lugas saja. Tanpa menutupi identitas, bahwa 'aku' ditulisan itu adalah aku, bukan karakter fiksi.
Dari tulisan itu juga, aku jadi baru tahu.. bahwa ternyata karunia Allah akan kemampuan bahasa kita, efeknya begitu dasyat. Quran memang turun dalam bentuk bacaan, sesuatu yang diperdengarkan. Tapi Allah juga tahu, bahwa quran kelak akan dibukukan, dan kita membacanya, bukan cuma mendengarkannya. Dan buku, sama seperti bacaan, bisa juga memberikan efek itu. Bahwa kalimat, tata bahasa yang kita baca, bisa menghadirkan efek seolah bukan kita yang membaca, tapi sebaliknya, buku yang kita baca yang membaca kita.
Kalau dari video tersebut, ustadz Nouman menjelaskan,
fihi dzikrukum, you'll find your own mention in it. it's talking about you, it's not talking about stories of old times.
Karunia Allah akan kemampuan bahasa kita juga, yang bisa membuat kita merasa didengarkan dan dipahami, meski kita ga sedang curhat ke penulis buku. Saat aku membaca topik tertentu di buku tersebut, dan apa yang tertulis disana membantuku memahami perasaan dan kesulitanku sendiri. Saat itu aku merasa bahwa aku sedang dibaca, bahwa aku sedang didengarkan, dan juga bahwa ada yang memahamiku. It's interesting.
Itulah mengapa penting belajar bahasa arab, *loh? hehe. Kalau buku buatan manusia, kita cuma bisa relate kalau kita mengerti isinya. Begitu juga dengan Al Quran, kalau cuma baca tapi ga paham apa isinya, apa maknanya, maka akan sulit menemukan momen saat Al Quran yang membaca kita, bukan kita yang membaca quran. Terjemahan itu membantu, tapi tidak cukup. Maka mari berdoa dan berusaha, agar kita bisa mempelajari isi dan makna Al Quran, lewat mempelajari bahasanya. Step by step.
***
Terakhir, ada yang bisa tebak buku apa yang kubaca tanggal 4 November lalu? *gampang banget sebenarnya, da bacaanku masih stuck di buku itu-itu saja hehe.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya