Bismillah.
*warning* another selftalk
Aku pernah ditanya, "Kamu di teater, apa peranmu? Pilih 2 jawaban." Aku lupa sebenarnya ada berapa pilihan, yang kuingat cuma dua, dua yang kupilih. Pertama penulis skrip, yang kedua sutradara. Oh, sekarang aku ingat haha, *the magic of memory, Alhamdulillah Allah karuaniakan kita otak yang berkali-kali lipat lebih canggih dari mesin pencari google. haha. Anyway, dua pilihan lainnya adalah aktor pemain, dan penonton.
Selesai agenda tanya jawab itu, aku sempat dijelaskan singkat, bahwa pertanyaan psikologi itu untuk mengetahui peran yang pas untukmu di sebuah acara/organisasi. Apakah menjadi orang yang di depan layar, atau di balik layar. Sayangnya, aku gak sempat tanya detail tiap pilihan. Mungkin kalau ada yang penasaran bisa googling haha.
Aku bukan mau menulis tentang itu. Aku mau nulis tentang ketidaknyamananku saat peran yang kukira ada di balik layar, ternyata mengharuskanku berada di depan layar meski cuma sebentar. Tetap saja, somehow, in someway, it hurts me.
Entah mengapa, sejak dulu, aku selalu lebih nyaman berada di balik layar, atau kalau dulu aku menyebutnya dengan frase "di balik hijab". Aku ingin bekerja tanpa perhatian banyak orang. Aku bisa maju ke depan, tapi aku ingin "shalat di shaf terakhir". Aku bisa bersuara lantang, tapi aku ingin lebih banyak diam dan bekerja dengan tangan. Spotlight hampir selalu melukaiku, in some weird way that I cannot exactly define it.
Dulu, aku selalu menangis, kemudian mengadu dan protes. Beberapa orang mungkin terluka, karena aku jadi sering menyalahkan orang lain yang kuanggap menjadi sebab yang memaksaku "keluar dari hijab", "maju ke depan layar". Ini sudah berulang terjadi jauh sebelum "negara api menyerang", sebelum aku "menghilang dari peredaran".
Kemudian saat itu (things that I still regret everytime I think about it) terjadi. Aku semakin ingin tersembunyi, semakin ingin menjadi penduduk tetap di balik layar. Somehow, frase di salah satu surat Maryam pas banget buatku. Aku pernah, dan mungkin masih memiliki keinginan untuk nasyan mansiya (menjadi terlupakan dan dilupakan).
Baca juga: [MFA2021] Ingin Dilupakan dan Terlupakan – Isabella Kirei
Maka saat hatiku sedang tidak baik-baik saja, dan aku diminta untuk membuka sedikit layar, dan maju ke depan.... jawabanku adalah, aku ingin menolaknya. Meski akhirnya aku seolah ditepuk dikit di punggung, dan sedikit tersandung, aku maju ke depan layar. Sebentar memang, tapi tetap saja, it hurts me somehow.
Lalu aku jadi mempertimbangkan ulang, barangkali aku salah saat buru-buru mengiyakan mengambil peran. Hanya karena satu orang memilih mundur. Aku harusnya berhenti sejenak dan istikharah dulu. Tapi karena qadarullah amanah sudah di tangan, aku cuma harus jalani peranku kan? Ayo perbaiki diri bell. Mendekat lagi ke Allah, semoga dengan itu, urusanmu dengan manusia jadi lebih mudah. Semoga tidak sekedar menjadi lilin di depan layar.
***
Anggap saja ini yang terakhir, sebelum kamu memilih untuk menetap lagi di balik layar, tapi bukan untuk bernyaman di zona gelap.
Teaternya hendak dimulai. Kamu, semangat! Jangan kalah sama diri!
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya