Perempuan berkebaya biru itu memandangiku dengan ekspresi heran, seolah masih tak percaya aku ada di hadapannya. Dia berulang mengucapkan kalimat yang sama, bahwa sudah lama sekali ia tidak bertemu dan berkomunikasi denganku.
Kami duduk sembari meminum air dingin yang dihidangkan. Dengan suara riang ia bercerita padaku, bahwa selama 'aku menghilang' dan tidak ada kabar, ia mendengar banyak rumor tentangku. Kuturunkan pelan gelas di tangan kananku. Hatiku berdegub sembari kuberanikan diri bertanya padanya,
"Rumor tentang apa?"
Sejenak hening, seolah ia tidak menyangka aku akan frontal bertanya seperti itu. Kemudian ia menjawab ringan, mungkin memilih salah satu rumor paling 'ringan' yang tidak akan menyakitiku.
"Kalau kamu udah menikah,"
Aku tersenyum tipis, telintas di otakku fakta lain yang bukan rumor tentangku kandidat alasan utama aku memilih diam dan 'hilang' di luar peredaran orang lain. Tapi pikiran tersebut kutepis, sembari aku bercanda mengenai rumor semisal yang pernah teman dekatku tanyakan padaku.
"Shelli juga pernah chat ke aku, katanya dia kira aku udah menikah dan diboyong suami ke luar negri," kali ini senyumku pahit. Karena memori tersebut mengingatkanku, bahwa ada yang memilih bertanya langsung, cross-check ketimbang memperbincangkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya tentangku.
Perempuan berkebaya biru itu tertawa kecil. Di sebelahnya, seseorang yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi. Ia diam saja mendengar percakapan kami, seolah ia tahu betul, bahwa bukan hanya rumor itu yang beredar tentangku. Bahkan bukan rumor, tapi fakta yang sengaja tidak berani ia tanyakan karena ingin menjaga hatiku.
***
Malam sudah gelap saat aku memasuki pintu rumah yang terbuka. Ayah sedang membaca di ruang tamu, membiarkan semilir angin malam masuk sembari menungguku pulang. Kuucapkan salam, menutup pintu, bertukar satu dua pertanyaan dan jawaban, kemudian masuk ke kamar.
Percakapan mengenai rumor terlintas di otakku, aku segera menuju rak buku kecil, dan mencari sebuah novel. "Ketemu," ucapku pelan. Halaman 134. Novel tersebut kubiarkan terbuka, buku selanjutnya yang kuambil adalah jurnal harian bersampul ungu. Kutulis tanggal, dan percakapanku dengan perempuan berkebaya biru. Kemudian kusalin percakapan dari novel terbuka tadi.
Aku mengganti pena yang kupakai dengan pena lain bertinta biru. Kemudian melanjutkan menulis lagi.
Aku sepertinya sudah jauh lebih baik daripada dua tahun lalu. Awalnya pertanyaan tertentu sakit jika didengar, menjawabnya apa lagi. Kemudian beberapa saat kemudian, tidak ada yang bertanya justru pahit rasanya, karena aku mengira tidak ada yang mau mencari tahu kebenaran dan memilih mempercayai rumor. Tapi sekarang, apapun itu... aku bisa melihatnya dengan kacamata jernih.
Pada yang bertanya, aku bisa menjawab tanpa ada rasa getir di hati. Pada yang tidak bertanya, aku berterima kasih, karena bisa jadi mereka tidak ingin membuka luka lama meski mereka sebenarnya penasaran (seperti kutipan dari novel di atas). Juga pada yang tidak peduli, aku pun juga tidak peduli. Setiap orang sibuk dengan hidupnya masing-masing. Ada yang memang hobi membuat rumor, menyebarkan berita-berita aneh. Ada yang menyampaikan fakta, agar tidak banyak hati yang berprasangka. Ada berputar di antara keduanya, kemudian berhenti di sana. Ada yang mengerutkan kening, tidak percaya, dan bertanya untuk klarifikasi. Ada juga yang menutup telinga dan meninggalkan percakapan tidak berfaidah itu. Begitulah hidup, hidup sosial. Kalau kita menghabiskan waktu untuk berkutat di sana, kita akan banyak terluka, oleh lidah dan jari jemari yang memakai topeng.
Aku... sepertinya sudah lebih dewasa dalam hal ini. Dan aku harap, aku juga semakin dewasa dalam hal-hal lain, agar hidupku tidak stuck dan kembali berjalan lagi dengan ritme yang tepat.
Sudah malam, waktunya istirahat.
The End.
Kami duduk sembari meminum air dingin yang dihidangkan. Dengan suara riang ia bercerita padaku, bahwa selama 'aku menghilang' dan tidak ada kabar, ia mendengar banyak rumor tentangku. Kuturunkan pelan gelas di tangan kananku. Hatiku berdegub sembari kuberanikan diri bertanya padanya,
"Rumor tentang apa?"
Sejenak hening, seolah ia tidak menyangka aku akan frontal bertanya seperti itu. Kemudian ia menjawab ringan, mungkin memilih salah satu rumor paling 'ringan' yang tidak akan menyakitiku.
"Kalau kamu udah menikah,"
Aku tersenyum tipis, telintas di otakku fakta lain yang bukan rumor tentangku kandidat alasan utama aku memilih diam dan 'hilang' di luar peredaran orang lain. Tapi pikiran tersebut kutepis, sembari aku bercanda mengenai rumor semisal yang pernah teman dekatku tanyakan padaku.
"Shelli juga pernah chat ke aku, katanya dia kira aku udah menikah dan diboyong suami ke luar negri," kali ini senyumku pahit. Karena memori tersebut mengingatkanku, bahwa ada yang memilih bertanya langsung, cross-check ketimbang memperbincangkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya tentangku.
Perempuan berkebaya biru itu tertawa kecil. Di sebelahnya, seseorang yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi. Ia diam saja mendengar percakapan kami, seolah ia tahu betul, bahwa bukan hanya rumor itu yang beredar tentangku. Bahkan bukan rumor, tapi fakta yang sengaja tidak berani ia tanyakan karena ingin menjaga hatiku.
***
Malam sudah gelap saat aku memasuki pintu rumah yang terbuka. Ayah sedang membaca di ruang tamu, membiarkan semilir angin malam masuk sembari menungguku pulang. Kuucapkan salam, menutup pintu, bertukar satu dua pertanyaan dan jawaban, kemudian masuk ke kamar.
Percakapan mengenai rumor terlintas di otakku, aku segera menuju rak buku kecil, dan mencari sebuah novel. "Ketemu," ucapku pelan. Halaman 134. Novel tersebut kubiarkan terbuka, buku selanjutnya yang kuambil adalah jurnal harian bersampul ungu. Kutulis tanggal, dan percakapanku dengan perempuan berkebaya biru. Kemudian kusalin percakapan dari novel terbuka tadi.
"Can I... ask you something? Why aren't you asking me anything... about my hand. You must be curious"
"Because I'm sure, you had to answer that question millions of times."
"People asking, "What happened? What made you become like that?"'
"It may be just a simple question for the people who ask, but it'll be painful for the person who needs to answered it every time."
Aku mengganti pena yang kupakai dengan pena lain bertinta biru. Kemudian melanjutkan menulis lagi.
Aku sepertinya sudah jauh lebih baik daripada dua tahun lalu. Awalnya pertanyaan tertentu sakit jika didengar, menjawabnya apa lagi. Kemudian beberapa saat kemudian, tidak ada yang bertanya justru pahit rasanya, karena aku mengira tidak ada yang mau mencari tahu kebenaran dan memilih mempercayai rumor. Tapi sekarang, apapun itu... aku bisa melihatnya dengan kacamata jernih.
Pada yang bertanya, aku bisa menjawab tanpa ada rasa getir di hati. Pada yang tidak bertanya, aku berterima kasih, karena bisa jadi mereka tidak ingin membuka luka lama meski mereka sebenarnya penasaran (seperti kutipan dari novel di atas). Juga pada yang tidak peduli, aku pun juga tidak peduli. Setiap orang sibuk dengan hidupnya masing-masing. Ada yang memang hobi membuat rumor, menyebarkan berita-berita aneh. Ada yang menyampaikan fakta, agar tidak banyak hati yang berprasangka. Ada berputar di antara keduanya, kemudian berhenti di sana. Ada yang mengerutkan kening, tidak percaya, dan bertanya untuk klarifikasi. Ada juga yang menutup telinga dan meninggalkan percakapan tidak berfaidah itu. Begitulah hidup, hidup sosial. Kalau kita menghabiskan waktu untuk berkutat di sana, kita akan banyak terluka, oleh lidah dan jari jemari yang memakai topeng.
Aku... sepertinya sudah lebih dewasa dalam hal ini. Dan aku harap, aku juga semakin dewasa dalam hal-hal lain, agar hidupku tidak stuck dan kembali berjalan lagi dengan ritme yang tepat.
Sudah malam, waktunya istirahat.
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya