Akhir pekan kemarin aku bersilaturahim dengan beberapa teman SMA. Salah satunya bercerita padaku, bahwa ia sering mendapatkan pengingat jejak memori dari facebook yang isinya merupakan tulisanku yang menge-tag akun facebooknya. Katanya, hampir tiap pekan ada.
Aku tersenyum mendengar ceritanya. Kemudian menanggapi bagaimana dulu aku termasuk orang yang begitu aktif di sosial media. Di benakku, aku bersyukur akan jejak memori baik yang membekas tersebut.
Sepulang dari pertemuan tersebut aku bertanya-tanya, apakah facebook memories bisa mengingatkan kita tulisan orang lain yang mengetag kita? Karena setahuku, aku cuma sering mendapat jejak memori status yang aku buat sendiri.
seperti ini misalnya, jejak memori 2011, oleh-oleh tugas pra-DP2Q1 Mata' Salman |
Selain pertanyaan terntang itu, aku juga jadi berpikir, bahwa kita seringkali lupa bahwa setiap yang kita tulis di sosial media, blog, bahkan komentar yang kita tulis, meninggalkan jejak. Semua itu tercatat dan akan kembali pada diri kita sendiri. Sebuah pengingat agar selalu hati-hati dalam berbicara, menulis dan mengetik.
Allahua'lam.
***
Keterangan:
Screenshoot jejak memori 2011, kutipan dari buku Pemuda Peka Zaman. Baca resume-nya di sini.
***
Keterangan:
Screenshoot jejak memori 2011, kutipan dari buku Pemuda Peka Zaman. Baca resume-nya di sini.
***
Epilog: percakapan yang memicu tulisan ini
"Berarti sekarang ga aktif sosmed Bell?"
"Aktif kok, cuma jarang post aja. Whatsapp juga sering online, cuma availability-nya ga dimunculin aja. Jadi ga ketahuan kalau online apa ga."
"Masih nulis?"
"Masih, blog masih aktif."
"Berarti punya dunianya sendiri ya Bell.."
Aku tersenyum. Ia kemudian mengaku hampir tiap pekan liat Facebook Memories berupa postingan tag-tagan dariku. Dan bahwa hal kecil itu yang mengingatkannya padaku.
Aku kemudian berucap, "Iya sih, dulu emang aku aktif banget sering posting, dll." Aku berhenti di kalimat tersebut. Ia menimpali menyetujui pernyataanku.
Kemudian hening.
Aku seolah membaca ekspresinya, "Kenapa sekarang bisa berubah?"
Aku pun sebenarnya merasa kalimatku menggantung. Aku bisa saja melanjutkan dan bercerita mengapa sekarang aku memilih menghindari sosial media, mengapa aku kini cuma menjadi pengguna pasif. Tapi aku memilih tutup mulut.
Bisa jadi, pertanyaan itu hanya ilusi pikiranku. Ia tidak memiliki pertanyaan itu. Aku saja, yang berpikir dan bertanya sendiri.
Aku tidak bisa memungkiri sebagian hatiku ingin menjelaskan, sedang sebagian yang lain ingin menyembunyikannya. Tapi hari itu, yang menang adalah yang kedua.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya