Dua kali, kritikan yang sama dari salah satu orang terdekat membuatku otak dan perasaanku porak poranda. Seolah selama ini aku sudah dengan halus diingatkan, tapi aku kurang peka. Hingga akhirnya cermin itu di datangkan langsung tepat di depan wajahku. Duk. Wajahku beradu dengan cermin tersebut, kemudian aku mengaduh pelan. Di hadapanku, refleksiku juga melakukan gerakan yang sama, tanpa suara. Aku mengusap hidungku dengan tangan kanan, sosok dalam cermin juga mengusap hidungnya dengan tangan kirinya.
***
Prolognya berlebihan kah? Hehe. Aku tidak benar-benar menabrak cermin. Itu hanya deskripsi perasaanku saja, karena kritik itu hadir lagi, dari orang yang sama. Seseorang yang selalu punya tempat istimewa di hati. Kalimat yang ia sampaikan mungkin tidak sama persis tapi pesannya sama. Dan aku jadi merasa bersalah.
Disebutkan olehnya, perilaku dan tingkahku, tidak mencerminkan ilmu yang aku pelajari. Seolah sia-sia buku yang kubaca, karena aku tidak mengamalkannya. Untuk apa? Kalau hanya menjadi tumpukan, dan tidak diejawentahkan?
And it hurts. Tiba-tiba aku merasa wajahku tertutup berlapis-lapis topeng. Barangkali, selama ini begini rupaku. Orang lain mungkin tidak sadar, tapi ia, salah satu orang terdekat dalam hidupku merasakannya. Ia bertanya-tanya, kemana perginya ilmu yang kubaca dan kudengarkan?
***
Aku bungkam, menatap refleksi diri di cermin yang disajikan Allah saat itu. Cermin yang hadir bukan untuk membuatku merasa putus asa. Tapi agar aku dapat melihat dengan baik dimana aku berpijak.
Lisanku memang diam, tapi perasaan dan otakku tidak. Yang satu berusaha untuk tenang agar tidak terbawa emosi. Yang lainnya berusaha mencari cara, agar kritik tersebut menjadi pembangun dan bukan perusak diri.
Sampai kalimat-kalimat yang sudah kuhafal hadir di sisiku. Kemudian berbisik lembut,
"Sayang, kau sudah membacaku belasan kali setiap hari. Bukankah ini saatnya untuk meresapi maknaku, dan bukan sekedar merapalkannya bak mantra?"
Ihdinashiratal mustaqim. Tunjukkan, bimbing kami ke shirat al mustaqim. Satu-satunya jalan keselamatan dunia dan akhirat.
Shiratalladzina an'amta 'alaihim. Jalan orang-orang yang pernah Engkau beri nikmat. Rasul-Mu, Nabi-nabi-Mu serta orang-orang shalih terdahulu.
Ghairil maghdubi 'alaihim. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai. Orang-orang yang mengetahui kebenaran namun justru berbalik arah. Orang-orang yang cerdas dan berilmu, namun tidak diamalkan.
Wa ladhollin. Dan bukan jalan orang-orang yang tersesat. Orang-orang yang melangkah tanpa tahu arah. Orang-orang yang beramal tanpa ilmu.
Ya, kalimat-kalimat itu ada di Al Fathihah. Banyak yang hafal di luar kepala, sehingga lafalnya bisa meluncur begitu cepat di lisan kita, tanpa benar-benar masuk ke hati.
***
Dua kali. Dan semoga tidak perlu diulangi lagi kritik itu. Biar aku saja... Yang berusaha mengingatnya setiap kali aku berdiri dan membaca kalimat-kalimat yang diajarkan Arrahman pada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam. Biarkanku mengingatkan diri, bahwa saat meminta dibimbing di jalan yang lurus, ada kemungkinan kita berbelok ke jalur yang salah.
Semoga Allah memudahkanku mengeja makna kalimat-kalimat tersebut. Semoga Allah kokohkan langkahku agar bisa menjadi lebih baik hari per hari.
***
Terakhir, untuk seseorang yang lewat lisannya aku bisa bercermin, semoga Allah merahmati dan memberkahi hidupmu. Tetaplah seperti itu, aku butuh orang-orang dekat yang melihat sisi burukku, dan berani untuk menegurku. Karena banyak yang mengkritik untuk menjatuhkan, tapi denganmu, aku tahu, kau melakukannya karena menyayangiku.
Allahua'lam bishowab.
***
Tulisan ini diikutkan dalam gerakan #Sabtulis (Sabtu Menulis). Gerakan membangun habit menulis, minimal sepekan sekali setiap hari sabtu. Membahasakan gagasan, rinai hati, kisah, puisi, dan apapun yang bisa dieja dalam kata.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya