Follow Me

Saturday, February 8, 2020

Memarahi Diri

Bismillah.

#buku

Nukil Buku "Tarbiyah Ruhiyah ala Tabi'in | Asyraf Hasan Thabal"


***

Memarahi diri. Bukan marah dalam rangka membenci diri. Bukan mencaci dalam rangka merendahkan diri dan menganggap diri tidak punya arti. Bukan itu...

Tapi marah yang diniatkan untuk mendidik diri. Agar tidak lalai dan terbuai nafsu. Tapi mencaci agar diri ingat dosa, dan segera bertaubat.

"Hati yang lembut akan selalu berusaha mengoreksi setiap langkah dalam perjalanannya menuju Allah, dan akan terus mengekang nafsu. Dan adapun nafsu yang cenderung berbuat buruk enggan untuk tunduk dengan mudah. Oleh karena itu, harus selalu dicari cara untuk mendidiknya. Tidak ada pilihan lain selain harus dimarahi dan dicela kadang kala." - Asyraf Hasan Thabal, dalam buku Tarbiyah Ruhiyah ala Tabi'in

Hal lain yang harus diperhatikan adalah frekuensinya. Tidak selalu harus dimarahi. Ada kalanya kita harus melembut kepada diri. Tapi ada kalanya juga harus tegas dan marah.

Yang sering kita temui, justru kita terlalu membiarkan nafsu, dan lupa untuk mendidiknya.

"... Sementara itu, kita tidak merasa berdosa karena kita telah lalai dari mentarbiyah nafsu kita. Kita membiarkannya sehingga dia melonjak, memerintah dan melarang tanpa ada pedoman dan tidak ada yang meluruskan." - Asyraf Hasan Thabal, dalam buku Tarbiyah Ruhiyah ala Tabi'in

Diceritakan dalam buku tersebut,

Aun bin Abdillah pernah berkata, "Wahai nafsu, celaka kamu! Tidakkah kamu sadar dengan apa yang kamu perbuat? Kalau sakit kamu menyesal, tetapi kalau sehat kamu berbuat dosa. Mengapa kalau miskin kamu bersedih, sedangkan kalau kaya kamu berbuat kerusakan, kenapa? Apabila sedang bersemangat engkau zuhud, namun kenapa ketika diseru kamu malas-malasan? Aku melihatmu berhasrat sebelum mengerjakan, namun kenapa kamu tidak mengerjakan setelah hasratmu hilang? Wahai nafsu, celaka kamu! Kenapa kamu menyelisihi perintah? Kamu berkata tentang dunia dengan perkataan para ahli zuhud, namun berbuat seperti perbuatan orang yang cinta dunia, celaka kamu!"

Buku tersebut memang berisi cara yang dilakukan para tabi'in rahimahullah mendidik diri, mentarbiyah nafsu. Dan sembari membaca contoh-contoh tersebut, kadang terlintas pikiran, tapi kan... mereka generasi terbaik setelah para shahabat radhiyallahu anhum?

Saudaraku, mulai sekarang, mari kita segera bersikap kepada nafsu kita. Jangan meniru kebanyakan orang hari ini sehingga tergolong orang-orang yang dungu dan lalai terhadap pendidikan nafsu. Waspadalah, jangan sampai nafsu membisikkan kepada kita bahwa mereka, para tabi'in adalah orang-orang kuat yang tidak mampu untuk diikuti. Akan tetapi, katakan kepadanya sebagaimana perkataan Abu Muslim Al Khaulani, "Apakah para sahabat Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam mengira bahwa hanya mereka yang pantas berebut tanpa kita. Tidak demi Allah, kamu akan turut berebut bersama mereka sampai mereka tahu bahwa mereka meninggalkan para lelaki."
Terakhir, semoga kita diberikan hidayah, ilmu, dan semangat untuk mendidik dan membina nafsu. Mengerjakannya memang melelahkan dan tidak mudah, namun kita berharap semoga kelelahan itu Allah ganti dengan jannah-Nya. Seperti janji-Nya dalam surat An-Naziat.


وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,

فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ

maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).
[Surat An-Nazi'at (79) ayat 40 dan 41]

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya