Kelopak mata Pita masih belum terasa berat, ia melirik angka 00.41 di lockscreen handphonenya. Kepalanya terasa pening, matanya merah karena sudah satu jam dikuras airnya. Ia akhirnya memutuskan mengirim pesan,
"Beberapa hari kemarin aku sudah ga pernah cemas.... Aku kira sudah sembuh, tapi entah kenapa malam ini kumat lagi... Padahal aku udah ga terlalu kagum sama orang itu."
Centang satu. Ia menghela nafas pendek.
***
Aysha baru menyalakan internet di hpnya pukul 9 pagi, dan ratusan notifikasi masuk satu persatu.
"Terus gimana? Bisa tidur? Ya cemas kan ga selalu karena orang itu. Lebih sering karena kekhawatiran kita akan masa depan. Atau karena bayang-bayang masa lalu"Pesan itu memang dikirim pada Pita, sahabat karibnya sejak SMP. Tapi menulisnya, seolah ia sedang bicara tentang dirinya sendiri. Malam kemarin ia belum tidur sampai jam 3 dini hari. Ada banyak yang perlu dipikirkan, dan banyak yang perlu dikerjakan, tapi ia justru memilih tenggelam dalam angan-angan palsu.
Tidak sampai semenit, balasan dari Pita bertubi menderingkan nada pendek notifikasi pesan masuk. Aysha tidak langsung membacanya karena ia sedang menyelusuri satu demi satu baris dari beberapa grup yang juga memerlukan respon darinya.
***
Pita sedang duduk di tempat kerjanya, dibalik sebuah loket. Pagi ini sepi, baru ada dua orang ibu dan tiga anak-anak. Pekerjaannya selalu diisi dengan jeda menunggu membuatnya selalu menundukkan kepala dan menatap layar kecil yang menyala. Terkadang membaca ribuan baris komentar di sosial media, tak jarang pula menonton video-video yang sering terjeda oleh iklan. Kali ini, ia mengetik sambat hatinya.
Tentang kosan lamanya, yang atapnya bolong dan bocor. Keputusan cepat untuk pindah, meski ia sudah melunasi sewa bulan depan. Hatinya yang merasa sepi. Kontrak pekerjaan yang hampir habis. Pertanyaan mau kemana dan ngapain setelah kontrak kerjanya habis. Uang tabungan yang hampir habis karena digilas sifat impulsifnya setiap kali membuka aplikasi toko online. Keinginannya untuk segera menikah dan jodoh yang rasanya tidak mungkin segera datang. Belum masa lalunya yang gelap dan menyesakkan. Sifat keras dan kasar orangtuanya yang membuat ia selalu merasa kerdil. Pengalaman penolakan dan ditinggal pergi kekasih yang membuat ia mempertanyakan harga dirinya. Kesempatan yang ia buang karena sering merasa emosional. Usaha yang ditempuh berkali-kali namun belum juga mengantarkan ke tujuan.
"Aysha... apa ada jalan keluar atas semua hal yang aku alami? Buntu. Aku merasa berada di lorong gelap dan buntu."Pita merasa ada sedikit ruang kosong untuk bernafas di otaknya. Akhirnya, setelah semalam ia tidak bisa tidur karena kecemasan yang meradang. Ia tahu, Aysha mungkin bosan dengan keluhan yang hampir setiap hari ia luncurkan. Tapi bisa apa? Pita membutuhkan ruang untuk bernafas, ia harus mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Tapi saat ini, hanya ada Aysha.
Dua rombongan dari sekolah membuat Pita sibuk memasukan data, menghitung, menerima uang, dan menyerahkan tiket. Kedua ujung bibirnya ia tarik ke atas, tapi matanya kosong, pertanda bahwa itu hanya senyum formalitas. Tuntutan pekerjaan.
***
"Jalan keluar ada. Cuma kita belum nemu. Makanya harus usaha buat nemu. Usaha dan doa."Aysha benci harus selalu berada di posisi memberikan kalimat positif. Ia sebenarnya ingin ikut sambat juga. Ia ingin mengeluh juga. Ia ingin menceritakan kecemasannya juga. Tapi jemarinya tertahan. Bukan karena Aysha ingin terlihat lebih baik, tapi justru karena Aysha takut akan terbawa arus hitam yang dulu pernah menenggelamkannya. Ia pernah merasakan pahitnya hidup yang tiap hari diisi pikiran negatif, prasangka buruk dan menyalahkan semua hal. Ia pernah tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Mudah untuk jatuh kembali. Tapi ia ingin mendaki jalan yang sukar.
Membaca pesan-pesan dari Pita selalu membuatnya bercermin. Melihat Pita membuat Aysha lebih jelas melihat dirinya. Setiap kalimat positif, klise, dan klasik, sebenarnya ditujukan untuk dirinya.
Terkadang bahkan, kata-kata Pita juga merupakan suara kecil yang juga memenuhi pikiran Aysha. Seperti respon Pita siang itu,
"Hmmm. Kadang pengen berhenti berjuang...udah sampai sini aja..."
***
Pita membuka pintu kamar kosan barunya. Dua kardus masih belum dibuka. Ia menyalakan kipas angin kecil, lalu berbaring di lantai beralaskan tikar tipis. Tangan dan matanya kembali disibukkan memandang dan menyentuh layar hp. Pesan terakhirnya pada Aysha belum direspon. Mungkin besok, atau tengah malam.
Kelopak mata pita terasa berat, meminta hak tidur kemarin yang belum terpenuhi. Telinganya masih menangkap suara notifikasi pesan masuk, tapi kantuknya membuat ia mengabaikannya.
Pita membuka pintu kamar kosan barunya. Dua kardus masih belum dibuka. Ia menyalakan kipas angin kecil, lalu berbaring di lantai beralaskan tikar tipis. Tangan dan matanya kembali disibukkan memandang dan menyentuh layar hp. Pesan terakhirnya pada Aysha belum direspon. Mungkin besok, atau tengah malam.
Kelopak mata pita terasa berat, meminta hak tidur kemarin yang belum terpenuhi. Telinganya masih menangkap suara notifikasi pesan masuk, tapi kantuknya membuat ia mengabaikannya.
"Pita pengen pulang dan istirahat ya? Btw, foto profil barunya cantik. Wallpaper kamar baru?"
"Bukan berhenti berjuang, kamu mungkin cuma butuh waktu istirahat. Bukan istirahat diam tanpa aktivitas."
"Ibarat lari maraton, kadang kita butuh waktu buat ambil nafas, berhenti sebentar, baru kemudian bisa lari lagi. Semacam itu"
The End.
***
PS: Yang ingin kutulis bukan fiksi. Hanya dialog tanpa nama, yang terkadang tidak cukup merangkum konteks. Perlu ada kalimat penjelasnya. Yang ingin kutulis bukan fiksi, dan latar belakang cerita, tokoh atau plot. Bukan. Hanya kata-kata yang....
***
PS: Yang ingin kutulis bukan fiksi. Hanya dialog tanpa nama, yang terkadang tidak cukup merangkum konteks. Perlu ada kalimat penjelasnya. Yang ingin kutulis bukan fiksi, dan latar belakang cerita, tokoh atau plot. Bukan. Hanya kata-kata yang....
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya