Follow Me

Sunday, March 1, 2020

Crossing The Line

Bismillah.



Sebenarnya aku sudah membaca tulisannya berkali-kali, setiap ia menulis di blog bernuansa hijau tersebut. Tentang salju pertama yang ia lihat, tentang rasa suka yang hanya satu arah. Aku membaca tulisannya, bahwa ia merindukan ibunya saat lemah berbaring di atas kasur karena sakit. Aku membaca tulisannya, tentang kesepian yang semakin terasa menusuk. Aku cuma membaca dan berharap yang terbaik untuknya dalam hati. I'm a silent reader.

Tapi.... beberapa postingan terakhirnya entah mengapa membuatku makin khawatir. Tulisannya kubaca sebagai sebuah tanda, bahwa ia butuh teman bicara. Ragu, aku bertanya-tanya, apa aku perlu keluar dari zona silent reader? Apa aku perlu meninggalkan sebuah komentar? Memberitahunya, bahwa ada yang membaca tulisannya? Tapi bagaimana jika ia malah jadi tidak nyaman, tidak suka, dan justru memilih tidak menulis sama sekali? Padahal menulis adalah hal baik untuk kondisinya saat ini.

Hari itu, aku beranikan diri untuk melangkah mendekati garis. Aku menuliskan sebuah komentar. Bertanya, apakah ada cara agar bisa terhubung dan berkomunikasi? Komentar tersebut masuk ke waiting list, menunggu moderasi, bahkan mungkin tidak akan pernah di moderasi. Sembari menunggu juga, aku beranikan diri mencari grup yang mungkin bisa memberitahuku, kemana aku harus menghubunginya.

Ternyata mudah untuk menemukan nomernya. Kode negara yang berbeda. Ada dua, yang satu foto profilnya menunjukkan pemiliknya. Satu lagi foto profilnya berisi sebuah logo perusahaan. Kukirim sebuah pesan pada nomer dengan pp logo perusahaan, bertanya, apakah benar ini nomer hpnya. Satu hari kemudian ia membalas, benar. Alhamdulillah ketakutanku salah nomer sudah terhapus. Kami bertukar sapa basa-basi. Kuberitahu aku membaca tulisan di blognya dan terlintas pikiran untuk mengirim pesan padanya. Tapi aku masih di luar garis, aku tidak membahas atau bertanya tentang isi tulisannya. Aku hanya ingin ia tahu, bahwa ada yang membaca blognya. Hanya itu.

Aku pikir, itu saja cukup. Aku pikir, aku tidak akan melewati garis. Tapi sebuah tulisan lain diunggahnya. Dan setelah membacanya aku tidak bisa berdiam diri. Mungkin... mungkin, sekedar tahu ada yang membacanya tidak cukup. Mungkin ia benar-benar butuh teman yang bisa mendengarkannya. Maka kucoba menghubungi teman yang dulu dekat dengannya. Aku tidak memberitahukan tentang isi tulisan tersebut. Aku berpura-pura bertanya nomer hpnya, padahal aku sudah memilikinya bahkan sudah pernah bertukar chat dengannya.

"Masih keep contact sama dia?", tanyaku

"Iya, masih keep contact kok", jawab teman satu kosannya dulu.

Seharusnya itu jawaban itu membuatku lega. Tapi ternyata aku... entah terlalu terbawa emosi memilih untuk melewati garis. Aku tahu, kesannya seperti ikut campur. Tapi, hanya dengan itu aku bisa menenangkan diriku.

Kukirim padanya beberapa baris pesan, tentang tulisan terakhir yang ia unggah, tentang aku yang pernah menghilang dari peredaran, dan bagaimana aku bisa membaik. Tentang pentingnya menulis dan bercerita, saat begitu banyak hal memenuhi pikiran dan dada.

I crossed the line. I'm not a silent reader anymore.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya