Satu, dua, tiga hari. Pesan yang kukirim tidak juga berbalas.
Sebelum mengirimnya pun, aku sudah memikirkan kemungkinan tanpa respon tersebut. Aku membayangkan diriku di posisinya. Misalkan aku menulis di blog ini bahwa aku memiliki masalah X, kemudian tiba-tiba ada yang menghubungiku dan memberiku saran bagaimana cara memecahkan permasalahan tersebut. Jika orang yang memberiku saran adalah orang yang pernah dekat denganku, aku akan merasa senang dan merasa tersentuh karena ia membaca tulisanku dan peduli padaku. Tapi aku mungkin juga merasa tersinggung, dan segera menolak sarannya. Aku mungkin dengan sensi memberitahu orang tersebut, bahwa aku menulis di blog ini untuk diriku sendiri. Aku tidak berharap perhatian dari orang lain. Ada kemungkinan juga aku akan merasa berterima kasih tapi menolak sarannya. Thanks but no thanks.
Tapi seminggu kemudian ia menjawabnya. Katanya, pesanku tenggelam dari pesan-pesan lainnya. Membaca responnya membuatku tersenyum. Aku bertanya, "Bagaimana perasannya? Sudah baikan?" Pertanyaan itu dulu pernah kudapatkan dengan redaksi berbeda, "Gimana perasaannya? Legaan atau cemas?" I learn from that question. Daripada tanya apa kabar, dan mendapatkan jawaban 'baik' formalitas. Lebih baik bertanya lebih spesifik.
Ia bercerita bahwa ia punya blog private lain tempat ia biasa menuliskan semua pemikirannya. Tapi hari itu ia ingin menulis di blog itu. Karena menulis di blog private-nya, artinya ia akan membaca tulisan-tulisan lama di blog tersebut.
I can relate to her. Aku teringat hari ketika aku benci menulis diary di dokumen My Blog.docx yang telah diproteksi password. Diary digitalku yang berisi begitu banyak kenegatifan saat aku menghilang dari peredaran. Aku teringat saat aku memutuskan untuk membuat dokumen baru. It is less depressing that way.
Aku bertanya tentang satu dua hal, sebelum akhirnya aku kehilangan energi untuk melintasi garis lagi. Aku seolah mundur dan bingung bagaimana agar percakapannya bisa berlanjut tanpa perasaan bahwa aku terlalu banyak menginterogasi. Kalau pertanyaannya cuma dari satu pihak, tentu berat. Apalagi aku bukan tipe yang bisa sering bertanya. Aku tidak tahu topik apa yang perlu dibahas.
Sampai hari ini, aku belum bertanya lagi. Tapi nanti... kalau aku sedang fase 'extrovert' aku akan memulai lagi percakapannya. Karena toh aku sudah melewati tangga pertama. Dan aku pikir, bukan hanya ia yang butuh teman bicara, aku juga membutuhkan teman bicara. Begitu sih yang dijelaskan di hasil TM, aku menikmati terhubung dengan orang-orang. Aku banyak mendapatkan inspirasi menulis lewat interaksi dengan orang lain.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya