Crying Alone
Bismillah.
10 September yang lalu, sebuah kejadian menyembunyikan hikmah yang menanti untuk dipetik. Kusimpan-simpan, karena jujur, aku masih belum yakin bisa merangkainya, takut-takut salah mengambil kesimpulan dan pelajaran. Tapi lebih baik memulai dan belajar mengeja, tidak apa salah. Nanti.. kita ulangi lagi merangkainya, jika diberikan kesempatan untuk mengambil lagi hikmah yang sebenarnya.
***
Aku bertanya-tanya, mengapa orang, saat sudah dewasa dan tumbuh dari tubuh kanak-kanaknya, cenderung malu untuk menangis di hadapan orang lain? Mengapa mereka memilih untuk menyembunyikan tangisnya, dan menangis sendiri?
Aku bertanya-tanya, mengapa tidak nyaman menangis di depan orang lain? Bahkan di depan orang yang seharusnya kita merasa aman dan nyaman. Apakah ingin terlihat tangguh? Atau memang, fitrah manusia dan hewan barangkali, bahwa ia tidak mau terlihat lemah? Tidak mau dikasihani. Ego?
Kenapa aku menambahkan hewan, karena aku tiba-tiba teringat, bayangan kucing kecil, yang meski tubuhnya kecil, ia melakukan hissing untuk mengintimidasi. Padahal ia tahu, bahwa ia lemah, dan reaksi itu adalah bentuk perlindungannya, saat ia bertemu dengan sosok yang bisa jadi hendak melukai dan mencelakainya. Apakah seperti itu juga, alasan, mengapa orang memilih untuk menangis sendiri? Bentuk ia melindungi dirinya sendiri?
Aku juga berpikir, tentang sisi empati. Yang ini sudah beberapa kali kutulis. Terkadang kita tidak mau berbagi sisi tidak baik-baik saja diri, bukan karena tidak percaya pada orang lain, tapi karena tidak ingin kesedihan itu menular atau merusak hari orang lain. Kita tidak ingin orang lain merasa sedih juga.
Atau bisa jadi, selain alasan-alasan di atas, barangkali rasa nyaman dan keinginan untuk menangis sendiri, ketimbang menangis di hadapan orang lain, adalah karena menangis, seharusnya menjadi waktu istimewa, agar kita kembali ingat Allah. Saat sendiri itu, kita jadi punya waktu untuk berjarak dari manusia, dan berdialog dengan diri, juga Allah. Terkadang lewat kata dan doa yang terucap lisan. Terkadang lewat gelembung pikiran yang lalu lalang, dan taut menaut di kepala. Terkadang hanya dengan bulir-bulir air yang mengalir dari mata.
***
Pernah ada masa aku mengira menangis sendiri, sembunyi itu hal yang buruk. Bertanya-tanya, apakah ini tanda aku memiliki trust issue. Bertanya-tanya, apakah tangis, juga mesti dieja dan diurai satu-satu, dibuka pada orang lain. Tapi setelah dipikir-pikir ulang, dicerna, berusaha mengambil hikmah. It's not a bad thing to cry alone. Syaratnya, asalkan kita tidak merasa sendiri saat menangis sendiri. Hati kita harus ingat, bahwa menangis sendiri kita, juga disaksikan oleh Allah. Bahwa bisa jadi, hal-hal mengecewakan, atau apapun yang membuat kita menangis, adalah bentuk kasih sayang-Nya, yang rindu ingin mendengarkan keluhan dan aduan mesra seorang hamba pada Rabb-Nya.
Adakah kita lupa, bagaimana Allah menjawab langsung pertanyaan seseorang kepada Rasulullah?
Fainni qarib. Bukan faqul inni qarib.
Lalu ingatkah lanjutannya? Kalau lupa, yuk tadabbur lagi ayat itu.. [1] dan rasakan kerinduan untuk menangis sendiri bersama-Nya. Ah... aku rindu Ramadan juga. Semoga Allah memberikan kesempatan untuk bertemu bulan Ramadan lagi. Aamiin.
Wallahua'lam.
***
Keterangan:
[1] Salah satu sumber untuk tadabbur ayat ini (2:186) https://youtu.be/EFreH2aLkjU?si=O6xb-6guzTsa25TZ&t=3122 (ada subtitle indonya)