#fiksi
cermin spion (📷 from unsplash) |
Lama rasanya, tidak duduk di bangku depan, sebelah kusir *eh sebelah supir. Perjalanan yang memakan waktu 2 jam antara dua kota, membuatku banyak melihat spion, berkaca. Dan sembari berkaca, tanpa sadar aku banyak memuji diri. Cantik, cantik, cantik. Aku melihat wajahku di spion, tersenyum sembari membatin, bahwa aku sering lupa, kalau aku cantik. Wajah yang tidak berhias bedak, bibir tanpa pewarna lipstik, kulit wajah sedikit mengkilap karena udara yang panas dan keringat, namun wajah itu... cantik.
Di pangkuanku, Melody, putriku tidur pulas. Kepalanya bersandar ke tangan kiriku, rambutnya yang ikal berantakan. Kaki kecilnya sedikit menyentuh tempat minum yang terletak diantara kursi supir dan kursiku.
Perjalanan berlansung tanpa percakapan dengan supir, juga tanpa cuapan nyaring Melody. Perjalanan yang tidak sunyi, karena terdengar jelas suara mesin, angin yang masuk ke jendela mobil tak ber AC, juga suara motor, mobil, truk dan kendaraan lain yang lewat. Perjalanan yang membuatku bercakap dengan diri sendiri.
"Cantik, itu yang kuucapkan pada diri saat berulang kulihat refleksi diri di cermin spion mobil yang membawaku ke Purbalingga. Aku tersenyum sendiri melihat betapa Allah menciptakan keunikan wajahku. Alis, mata, hidung, bibir, serta lesung pipit kecil di pipi kiriku."
"Tapi tahukah, bahwa ada yang setiap berkaca, yang terucap bukan cantik, melainkan makian, jelek, buruk rupa, gembrot, kerempeng, apapun itu. Kata-kata negatif yang membuat orang tersebut makin muram pias wajahnya."
"Aku pernah seperti itu, meski bukan tentang fisik. Tapi tentang kemampuan otakku. Aku ingat dengan jelas, betapa sering kuucapkan kata 'bodoh' pada diriku. Tak ada pemakluman, semua kesalahan, besar maupun kecil, seolah menjadi pengingat, betapa diri ini... bodoh."
"Sampai ia hadir, mengingatkanku, bahwa ucapan bisa menjadi doa. Bahwa aku tidak boleh merendahkan diriku sendiri, meski kata tersebut hanya kuucapkan pada diri, dalam sepi, atau dalam tulisan di buku diary. Ia mengingatkanku, bahwa seorang yang bodoh bisa belajar, berusaha dan berdoa, sembari berbaik sangka, bahwa Allah akan mencerdaskan kita, supaya kita tidak mengulang kebodohan yang sama. Berbaik sangka, bahwa Allah mencintai hambaNya, yang mau belajar."
Mataku tiba-tiba panas, memori tentangnya masih lekat. Aku bisa membayangkan dengan jelas suaranya, raut wajahnya saat memanggilku.
Mobil yang membawaku ke Purbalingga mampir sejenak di pom bensin. Melody terbangun sejenak, minta minum. Dua teguk, kemudian ia melanjutkan tidurnya. Kemarin malam ia tidak mau tidur, asik "membantu" packing, karena hari ini kami akan pindah.
***
Bapak supir yang mengantar kami pindah rumah benar-benar seorang yang pendiam. Ia hanya bersuara saat memastikan identitasku, kemudian ia fokus bekerja mengangkut barang ke mobil. Bertanya memastikan tidak ada yang tertinggal saat hendak berangkat. Dan ini, bertanya barangkali aku hendak ke toilet. Saat aku menggeleng, ia kemudian sigap melanjutkan menyetir. Sesekali ia menyeruput tumblr berisi kopi panas yang terletak diantara kursi kami. Selain itu, tidak ada percakapan.
Aku kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. Mengenang Ayah Melody, dan kalimat yang pernah diucapkan kepadaku.
"Senja harus selalu ingat ini ya..." ucapnya suatu sore, saat tanpa sengaja ia memergokiku menangis karena merasa inferior.
"Allah tidak menilai manusia dari cantik, jelek, pintar atau bodoh. Allah melihat manusia dari ketakwaannya."
"Usir pikiran buruk yang mengusik hati, tutup telinga dan mata, dari orang-orang yang menggiring kita berpikir bahwa yang lebih bahagia itu orang yang cantik, pintar, kaya, dan lain-lain. Fokus pada Quran, yang memberitahu kita berita gembira, bahwa Allah melihat ketakwaan kita."
Sore itu aku menangis sembari memberitahunya kehadiran janin Melody di rahimku. Bahwa perasaan inferior itu menyergap saja, membuatku merasa tidak siap menjadi ibu, aku masih bodoh, masih sangat bodoh. Dan kalimatnya berhasil membuatku tenang.
Atau pagi sebelum berangkat kerja, tiba-tiba ia mengatakan, "Jangan bergantung padaku ya. Jangan bersandar padaku. Jangan juga berharap padaku. Bergantung, bersandar dan berharaplah hanya kepada Allah. Aku cuma manusia biasa."
***
"Sudah sampai Bu," suara Pak Supir membuatku kembali ke realita.
Pak Supir turun, siap bekerja menurunkan barang-barang kami.
Eyang Kakung Melody, Ayahku, membantuku menggendong Melody yang masih tertidur. Aku turun, menengok barangkali ada mainan, atau sepatu Melody yang tertinggal di mobil. Tidak ada.
"Alhamdulillah" bisikku kecil. Kulanjutkan dengan membaca Bismilah.
Mulai detik ini, aku akan menjalani hari-hari baru. Aku harus lebih banyak mengucapkan kata-kata positif pada diri. Aku harus lebih tangguh dan lebih tegar dari diriku yang lalu. Karena sekarang tugas ayah dan ibu kupanggul sendiri. Tanpa Ayah Melody, tanpa Mas Fajar.
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya