Bukan tepuk tangan yang diharapkannya. Bukan juga pujian dari orang lain. Ia hanya butuh dihargai kerja kerasnya, bahwa apa yang ia lalui berarti. Lewat pelukan, atau kata-kata lembut.
***
Seseorang pernah mengirimkan pesan padaku,.. "hi assalamualaikum," dari pesan itu ia bercerita padaku kegundahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang sering berputar di kepalanya. Tentang jodoh yang belum juga datang. Kami membahas tentang Nabi Zakaria dan sikapnya dalam berdoa, tidak pernah kecewa. Beda dengan kita yang mudah lelah dan terburu-buru. Sampai sebuah insight kami dapatkan, di Quran, tidak pernah dibahas penantian jodoh. Yang ada tentang menanti buah hati. Hal itu membuatku sadar, bahwa penantian para single belum ada apa-apanya, ketimbang penantian yang sudah menikah namun belum dikaruniakan anak.
Kemudian setelah membahas itu, ia melanjutkan curahan hatinya. Tentang rasa kecewanya, karena merasa tidak dihargai, tidak diapresiasi. Bukan tepuk tangan yang diharapkannya. Bukan juga pujian dari orang lain. Ia hanya butuh dihargai kerja kerasnya, bahwa apa yang ia lalui berarti. Lewat pelukan, atau kata-kata lembut dari keluarga.
Saat itu, aku membayangkan berada di posisinya... aku paham perempuan membutuhkan itu, perasaan diapresiasi, disayang, dilindungi, bahwa yang ia lakukan berarti.
Dari situ aku mulai menyimpulkan, bahwa yang membuat ia bertanya-tanya tentang hadirnya jodoh, bukan karena jodoh itu sendiri. Tapi karena kebutuhan untuk dihargai dan diapresiasi. Ia
Honestly... saat itu ada urgensi untuk memberitahunya, bahwa tidak baik berharap pada manusia yang kehadirannya saja masih belum pasti. Tapi Allah menahan jemariku, Allah gerakkan perasaanku untuk membayangkan menjadi dirinya. Maka kutuliskan dua huruf, kemudian doa.
"TT Semoga Allah segera kirim sosok yang bisa nemenin kamu dan ngapresiasi semua kerja kerasmu. Aku speechless.. ga bisa bilang apa-apa lagi, kecuali doa"
I think, Allah wants to comfort her through my fingers.
Ia perempuan, manusia, wajar jika ia sesekali merasa seperti itu. Manusia bisa lelah, bisa kesepian, juga butuh untuk diapresiasi dan dihargai.
Ia bercerita padaku tentang tanggapan orang-orang saat ia bercerita tentang hal tersebut. Mereka terlalu cepat memberikan kalimat, seolah ia sosok yang cuma bisa mengeluh dan komplain, seolah ia tidak pernah mensyukuri nikmatNya.
"Makasih Bell... Setidaknya kamu menerima komplain aku. Kadang aku sering komplain hal-hal ini ke orang-orang, tapi mereka bilang aku ga bersyukur, aku mengeluh doang, aku komplain terus, dll. Padahal aku cuma butuh understanding dari orang, kalau yang aku rasain itu boleh, itu gapapa, dan aku ga harus benci ke diri aku. Bahwa itu wajar, dan hanya butuh bersabar sedikit lagi."
Mataku ikut panas membaca kalimat-kalimatnya. Ia benar, bahwa apa yang ia rasakan itu manusiawi. Keinginan untuk diapresiasi dan dihargai. Hanya saja aku, dan beberapa orang sering terburu-buru memberi nasihat, padahal ia ingin didengarkan, ia ingin dimengerti.
Bukan tepuk tangan yang ia minta. Ia hanya butuh sedikit apresiasi, sedikit waktu untuk didengar. Ia sudah tahu... bahwa ia hanya perlu sedikit lagi bersabar. Kita tidak perlu menjabarkan ayat atau hadits, ia sudah tahu.. Hanya saja ia manusia biasa yang terkadang lelah, dan butuh telinga yang siap mendengarkannya.
***
Aku bersyukur saat itu Allah menahan jemariku, karena aku tahu betul diriku. Aku masih jauh dari standar pendengar yang baik. Aku lebih sering buru-buru menasihati, tanpa memberi ruang untuk berusaha mengerti. Aku masih belajar...
Sapaan dan curahan hatinya, juga mengingatkanku untuk mengapresiasi orang-orang terdekat kita. Dengan sikap, tindakan, juga kalimat lembut. Keluarga terutama. Ibu, Ayah, kakak, adik... Kalau yang sudah menikah, kepada suami atau istri, juga anak.
Setiap dari mereka manusia, yang butuh dihargai dan diapresiasi perjuangannya, kerja kerasnya...
Allahua'lam.
***
PS: Hutang menulis tematik "Apresiasi" Sabtulis bulan Februari 2019.
Mataku ikut panas membaca kalimat-kalimatnya. Ia benar, bahwa apa yang ia rasakan itu manusiawi. Keinginan untuk diapresiasi dan dihargai. Hanya saja aku, dan beberapa orang sering terburu-buru memberi nasihat, padahal ia ingin didengarkan, ia ingin dimengerti.
Bukan tepuk tangan yang ia minta. Ia hanya butuh sedikit apresiasi, sedikit waktu untuk didengar. Ia sudah tahu... bahwa ia hanya perlu sedikit lagi bersabar. Kita tidak perlu menjabarkan ayat atau hadits, ia sudah tahu.. Hanya saja ia manusia biasa yang terkadang lelah, dan butuh telinga yang siap mendengarkannya.
***
Aku bersyukur saat itu Allah menahan jemariku, karena aku tahu betul diriku. Aku masih jauh dari standar pendengar yang baik. Aku lebih sering buru-buru menasihati, tanpa memberi ruang untuk berusaha mengerti. Aku masih belajar...
Sapaan dan curahan hatinya, juga mengingatkanku untuk mengapresiasi orang-orang terdekat kita. Dengan sikap, tindakan, juga kalimat lembut. Keluarga terutama. Ibu, Ayah, kakak, adik... Kalau yang sudah menikah, kepada suami atau istri, juga anak.
Setiap dari mereka manusia, yang butuh dihargai dan diapresiasi perjuangannya, kerja kerasnya...
Allahua'lam.
***
PS: Hutang menulis tematik "Apresiasi" Sabtulis bulan Februari 2019.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya