Follow Me

Sunday, September 13, 2020

Alergi pada Kritik

Bismillah.


Pernahkah kamu bertemu dengan seseorang yang alergi terhadap kritik? Egonya begitu tinggi, sehingga setiap masukan, saran, dan tentu saja kritik membuat ia menyerang balik. Reaksi pertama yang muncul adalah amarah.

***

Pernahkah kamu bertemu dengan seseorang yang alergi terhadap kritik?

Ada merasa pertanyaan di atas salah? Hehe. Pertanyaan itu membuat kita mencari-cari, siapa orang yang pernah kita temui, yang alergi terhadap kritik. Padahal dalam hidup, jika kita bicara tentang sebuah kesalahan, fenomena alergi kritik misal, yang pertama harus kita lakukan adalah melihat ke dalam dan bukan keluar.

Mari kita ubah pertanyaannya,

Pernahkah merasa alergi pada kritik?

Apa gejala yang kita rasakan? Pusing, panas dingin, gatal, dan ingin meledak?

Aku pernah bertanya-tanya, yang manakah sebenarnya reaksi normal kita terhadap kritik? Apakah normal untuk kita merasa benci pada kritik? Apakah normal kita merasa alergi dan memilih menghindari kritik?

Atau reaksi normal kita terhadap kritik adalah netral, kita bisa mendengarkan dengan tenang, asalkan kritik yang diberikan orang lain membangun dan benar. Bukan atas dasar kebencian dan emosi. Karena kalau kritik disampaikan dengan cara yang keras/kasar, serta ditempat umum, seolah untuk mempermalukan diri kita, wajar jika kita tidak suka dan jadi kebawa emosi. Bahkan cuma orang-orang tertentu saja yang bisa tetap tenang jika dihadapkan situasi sulit tersebut.

***

Pernahkah merasa alergi pada kritik?

Aku pernah, masih sering mungkin. Biasanya alergi terhadap kritik itu 'kambuh' saat aku mengedepankan ego, mengedepankan emosi dan tidak mengedepankan rasio. Karena kalau kita bisa menurunkan ego kita, penyakit alergi kritik tidak akan menyerang. Kenapa? Karena kita tahu, bahwa setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda, nilai dan prinsip yang kita pegang pun berbeda. Dari perbedaan itu, kritikan mungkin muncul. Kedua, saat kita lebih mengedepankan rasio, mau meletakkan emosi di belakang, kita akan bisa menerima kritikan sebagai bentuk kepedulian orang lain pada kita. Karena yang tidak peduli akan membiarkan saja.

Bagaimana dengan kritikan yang tak berlandaskan? Terutama sekarang zaman orang bersembunyi dibalik id, yang menebar kritik pedas hanya untuk melampiaskan energi negatif dalam dirinya pada orang lain. Masih sama sebenarnya, saat kita mengedepankan rasio, kita tidak akan alergi, karena kita bisa membedakan, mana kritikan yang perlu disimak dan dipikirkan, dan mana kritikan yang perlu diabaikan.

Jika merasa diri alergi pada kritik, obat apa yang harus diminum?

Karena alergi terhadap kritik ada kaitannya dengan ego, maka yang harus kita lakukan adalah mengelola ego kita. Bagaimana agar ego kita tidak tinggi menjulang dan justru menghalangi kita untuk bertumbuh. Orang yang merasa benar sendiri, tidak akan bisa melihat dengan jelas kelemahan/kesalahannya, sehingga ia tidak bisa bertumbuh. Maka kita harus belajar mengelola ego, merendahkannya. Caranya dengan belajar itu sendiri. Belajar dengan adab. Belajar yang disertai kerendahan hati. Saat kita belajar, wawasan kita akan terbuka, kita akan paham bahwa ilmu kita dibandingkan ilmu-Nya, adalah seumpama jari kita dicelupkan di samudra luas, kita angkat jari kita, air yang tersisa di jari tersebut adalah ilmu kita, sedangkan air yang mengisi samudra, bahkan lebih dari itu adalah ilmuNya.

Selain mengelola ego, kita juga harus mengelola emosi kita. Bagaimana agar tidak baper saat sebuah kritik diberikan pada kita. Entah kritik tersebut dikirim via pos, lewat lisan langsung, atau dengan cara melempar surat kaleng ke rumah kita. Bagaimana saat emosi hendak menguasai, kepala terasa panas, lisan rasanya ingin balas menyerang, jemari juga, tapi kita berusaha menahan diri, mengambil jarak dan waktu untuk mundur. Agar bisa menjadi tenang dan mendahulukan rasio. Agar tidak serta merta kita menangkis kritik, yang sebenarnya hadir untuk kebaikan diri.

***

Oh ya, tulisan ini terinspirasi dari diskusi pekanan di grup wa NAK Indonesia. Senin kemarin, Mba W menyajikan resume video iniSaat agenda diskusinya aku ga ikut nimbrung. Baru nonton ulang videonya beberapa hari kemarin. Meski video lama, pernah nulis beberapa insight juga di blog (tulisan ini dan itu). Tapi karena nonton lagi, ada aja insight baru yang bisa diambil. Kali ini tentang alergi terhadap kritik.

Setan salah satu asal katanya adalah syaatah, artinya ia berasal dari api, atau bisa diartikan terbakar. Dan salah satu tipu daya setan adalah kita mudah terbawa emosi. Kita menjustifikasi kesalahan kita dengan cara marah setiap kali seseorang mengoreksi/mengkritik kita.

One of the meaning of the word syaithan, syathoh, is halaka wahtaraq. Actually ihtaraq wa halak, which means, he got set on fire, literally, to be set on fire. It is used as a figurative speech in Arabic for loosing one's temper. So you justify your misbehavior by loosing your temper and storming out of the conversations, and you still do what you do.

...you hide, you justify your misbehavior by just acting all tough, so nobody can correct you. Anybody tries to give advice, you're always (get angry).

...this is syaitan. That's syaitan, when you're incapable of taking advice. Incapable of being corrected. Just.. you get flared up. You just get flared up 
- Nouman Ali Khan

 

Semoga kita bukan termasuk orang yang alergi terhadap kritik ya. Kalaupun sesekali kita mendapati diri kita alergi pada kritik, jangan ragu untuk memohon perlindungan kepadaNya, ucapkan a'udzubillahi minasy syaithanirrajim. Jangan lupa juga untuk 'meminum obatnya'.

Allahua'lam.


***

Keterangan: Tulisan ini juga diikutkan dalam komunitas #1m1c (Satu Minggu Satu Cerita). Berbagi satu cerita, satu minggu.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya