Follow Me

Monday, February 28, 2022

Why? Cause We're Just Too Different

Bismillah.

#fiksi

***

Dua orang yang berjalan bersama di jalan besar dan lurus. Bersama mungkin pilihan kata yang tidak pas. Dua orang itu menempuh jalan yang sama, searah. Bersebelahan. Terkadang yang satu mendahului yang lain. Tapi hanya satu atau dua langkah. Tidak terlalu jauh. Sampai akhirnya, salah satunya berhenti tiba-tiba. Ia berhenti kemudian berbicara dengan suara keras.

"Let's part away!"

Mendengar itu, yang satunya ikut menghentikan langkah. Ia berbalik arah, mungkin hendak memastikan bahwa kalimat itu ditujukan untuknya.

"Let's part away..."

Kali ini dengan suara lebih lirih. Entah apakah kalimat itu pemberitahuan atau permohonan.

Selanjutnya, mereka sama-sama terdiam. Masih berhadapan dan saling memandang. Mungkin ada percakapan di sana. Tapi bukan dengan lisan. Bahasa mata dan ekspresi wajah mungkin, atau telepati.

Entah berapa lama waktu berlalu, sampai pertanyaan itu hadir.

"Why? Because we're just too different?"

Lalu hening kembali. Waktu belalu lagi, entah berapa lama. Dan karena bosan mengamati diam mereka, aku mulai membuat percakapan imaji antara dua orang tersebut.

***

"Karena aku memilih topeng indah, sedang kau memilih yang buruk rupa."

"Karena aku memilih menyimpan jelaga, sedang kau memilih menyimpan emas."

"Karena aku menyukai siang hadir, sedang kau menyukai malam hari."

***

Aku belum selesai mengisi percakapan imaji, saat dengan mata berkaca-kaca, salah satunya berjalan mundur. Satu, dua, mungkin hanya tiga atau empat, atau lima langkah. Tapi jarak mereka kini makin jelas. Hingga tak bisa lagi kusebut mereka dua orang yang berjalan bersama.

Kali ini waktunya singkat. Saat yang di depan berbalik, kemudian berjalan lagi, menyusuri jalan besar dan lurus ini.

Yang dibelakang, yang tadi mengucapkan kalimat perpisahan, masih terdiam lama, berdiri memandangi punggung yang pergi. Saat sudah begitu jauh. Baru kemudian ia menjatuhkan diri, terduduk dan menelungkupkan tangannya di wajah.

Aku menghampirinya. Menepuk dua kali pundaknya. Bukan, bukan tepukan untuk mengalihkan perhatiannya. Tepukan hiburan.

Dua tepukan itu, kemudian berlanjut menjadi percakapan panjang dan lebar. Kini aku tahu kalimat-kalimat apa yang harus dimasukkan saat dua orang itu terdiam dan saling bertukar pandangan dan 'telepati'.

***

Two sides of coins are different, but they're one. Sebenarnya perbedaan tidak selalu memisahkan. Itu yang kupahami.

Maka saat kulihat kedua orang itu kembali melanjutkan perjalanan mereka, di jalan lurus dan besar ini, aku tahu mereka akan bertemu lagi. Mungkin bertukar sedikit kata dan banyak hening lagi. Ada yang tidak bisa mereka hindari. Jalan ini hanya satu, dan tujuannya sama.

Jika saat ini tidak berjalan bersama. Mungkin nanti bertemu di titik akhir jalan. Ini harapanku, sebagai penulis yang menyukai happy ending.

Tapi aku juga tidak bisa memungkiri. Bahwa bisa jadi keduanya tidak bertemu, jika di pertengahan, salah satunya memilih meninggalkan jalan ini, jalan besar dan lurus ini. Tapi semoga bukan ini yang terjadi. Karena aku melihat keduanya memiliki persamaan, meski di mata keduanya mereka berbeda.

The End.


No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya