Follow Me

Monday, May 14, 2012

Lelaki Tua Itu


Lelaki tua itu, menaiki angkot dengan susah payah. Tangannya meraba-raba udara. Saat ia temukan leher sopir angkot, segera ia serahkan uang ongkosnya. Ia ingin pergi ke stasiun, seorang Ibu di luar angkot berpesan agar sopir angkot mengantarnya sampai ke stasiun.

Lelaki tua itu. Kini ia duduk di sebelahku. Ya, tepat di sebelah kananku. Dan aku, aku tak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikannya. Rambutnya yang sudah berwarna putih keabuan, tongkatnya, topi yang diikatkan di kepalanya, dan badannya yang bungkuk, menimbulkan perasaan tak bernama di sini (baca: di hati). Iba kah? Miris kah?

Lelaki tua itu. Ia duduk merapat ke jok sopir angkot, seolah tak ingin orang lain terganggu akan keberadaannya. Nafasnya pelan dan halus, ia tenang sekali dalam duduknya. Dan aku pun bertanya pada diri, ‘Apakah yang sedang ia pikirkan?’. Bukankah dunia ini, selalu sama di matanya? Gelap.
Lelaki tua itu, mengingatkanku pada satu kutipan dari buku Salim A. Fillah, kurang lebih isinya begini:

“Jika seorang buta bertanya padamu, seperti apa matahari itu? Maka apa jawabmu? Matahari? Bukankah kita sama-sama merasakan kehangatannya..”

 
Lelaki tua yang matanya buta itu. Mengingatkanku.. tentang nikmat melihat yang sering kudustakan. Seperti kata temanku, “Tahukah? Saat tangan kita, atau gigi kita yang sakit.. Kita mungkin hanya tidak bisa melakukan beberapa hal saja. Tetapi, saat mata kita yang sakit? Bisa apa kita?”. Ya, saat mata ini sakit, hanya ada sedikit hal bisa kita lakukan.

Maka Maha Suci dan Maha Besar Allah.. J Ia telah memberi kita mata, yang memudahkan kita melihat. Sekalipun ia mengambil cahaya dari mata kita (baca: buta), maka Ia akan menajamkan indra kita yang lain. Seperti lelaki tua tadi. Bisa jadi matanya tak lagi dapat menangkap cahaya, tak dapat melihat. Tapi, ia pasti dapat mendengar lebih jelas suara-suara lirih yang kita tidak kita dengar. Tidak hanya syaraf di telinganya saja yang menajam, tapi juga syaraf peindra di hidung dan ujung-ujung jarinya.

Lelaki tua itu. Kembali aku melihatnya. Kali ini bukan di angkot, dan tak lagi duduk di sampingku. Aku melihatnya terjongkok di depan sebuah rumah di jalan yang biasa aku lalui. Sekilas aku melihatnya terhuyung ke depan dan hampir jatuh. Tidak, ia tidak jatuh. Terlihat ia membetulkan posisinya, masih terjongkok. Kiranya ia tadi mengantuk dan hampir jatuh tertidur. “Lelahkan ia?” tanyaku, lagi-lagi hanya dalam hati. “Ya, ia pasti lelah.. tapi tak ada dipan untuk tidur atau rumah untuk berteduh.”

Lelaki tua itu. Aku tak bisa tidak memperhatikannya. Rambutnya yang sudah berwarna putih keabuan, topi yang diikatkan di kepalanya, dan badannya yang bungkuk menimbulkan perasaan tak bernama di sini (baca: di hati). Iba kah? Miris kah?

Lelaki tua itu. Akankah aku bertemu denganmu, lagi?

2 comments:

  1. T.T merinding bel.
    bingung juga,yang tek rasain iba atau miris.
    hmm nice post bel.inspiratif :)

    ReplyDelete

ditunggu komentarnya