Lelaki tua itu, menaiki angkot dengan susah payah. Tangannya
meraba-raba udara. Saat ia temukan leher sopir angkot, segera ia serahkan uang
ongkosnya. Ia ingin pergi ke stasiun, seorang Ibu di luar angkot berpesan agar
sopir angkot mengantarnya sampai ke stasiun.
Lelaki tua itu. Kini ia duduk di sebelahku. Ya, tepat di
sebelah kananku. Dan aku, aku tak bisa menahan diri untuk tidak
memperhatikannya. Rambutnya yang sudah berwarna putih keabuan, tongkatnya, topi
yang diikatkan di kepalanya, dan badannya yang bungkuk, menimbulkan perasaan
tak bernama di sini (baca: di hati). Iba kah? Miris kah?
Lelaki tua itu. Ia duduk merapat ke jok sopir angkot, seolah
tak ingin orang lain terganggu akan keberadaannya. Nafasnya pelan dan halus, ia
tenang sekali dalam duduknya. Dan aku pun bertanya pada diri, ‘Apakah yang
sedang ia pikirkan?’. Bukankah dunia ini, selalu sama di matanya? Gelap.
Lelaki tua itu, mengingatkanku pada satu kutipan dari buku
Salim A. Fillah, kurang lebih isinya begini:
“Jika seorang buta bertanya
padamu, seperti apa matahari itu? Maka apa jawabmu? Matahari? Bukankah kita
sama-sama merasakan kehangatannya..”
Lelaki tua yang matanya buta itu. Mengingatkanku.. tentang
nikmat melihat yang sering kudustakan. Seperti kata temanku, “Tahukah? Saat
tangan kita, atau gigi kita yang sakit.. Kita mungkin hanya tidak bisa
melakukan beberapa hal saja. Tetapi, saat mata kita yang sakit? Bisa apa
kita?”. Ya, saat mata ini sakit, hanya ada sedikit hal bisa kita lakukan.
Maka Maha Suci dan Maha Besar Allah.. J Ia telah memberi kita
mata, yang memudahkan kita melihat. Sekalipun ia mengambil cahaya dari mata
kita (baca: buta), maka Ia akan menajamkan indra kita yang lain. Seperti lelaki
tua tadi. Bisa jadi matanya tak lagi dapat menangkap cahaya, tak dapat melihat.
Tapi, ia pasti dapat mendengar lebih jelas suara-suara lirih yang kita tidak
kita dengar. Tidak hanya syaraf di telinganya saja yang menajam, tapi juga
syaraf peindra di hidung dan ujung-ujung jarinya.
Lelaki tua itu. Kembali aku melihatnya. Kali ini bukan di
angkot, dan tak lagi duduk di sampingku. Aku melihatnya terjongkok di depan
sebuah rumah di jalan yang biasa aku lalui. Sekilas aku melihatnya terhuyung ke
depan dan hampir jatuh. Tidak, ia tidak jatuh. Terlihat ia membetulkan posisinya,
masih terjongkok. Kiranya ia tadi mengantuk dan hampir jatuh tertidur.
“Lelahkan ia?” tanyaku, lagi-lagi hanya dalam hati. “Ya, ia pasti lelah.. tapi
tak ada dipan untuk tidur atau rumah untuk berteduh.”
Lelaki tua itu. Aku tak bisa tidak memperhatikannya.
Rambutnya yang sudah berwarna putih keabuan, topi yang diikatkan di kepalanya,
dan badannya yang bungkuk menimbulkan perasaan tak bernama di sini (baca: di
hati). Iba kah? Miris kah?
Lelaki tua itu. Akankah aku bertemu denganmu, lagi?
T.T merinding bel.
ReplyDeletebingung juga,yang tek rasain iba atau miris.
hmm nice post bel.inspiratif :)
Makasih atieng :)
ReplyDelete