“Ikut makrab kan?” todong seorang teman dengan pertanyaan yang ia anggap adalah pertanyaan retoris. Tapi ia salah. Salah besar! Karena saat pertanyaan itu ditujukan kepadaku.. maka ia tak lagi retoris. Well, dengan cengiran khas-ku.. aku menjawab tidak.
“Bella.. ikut makrab kan? Hayuuk”
“Ah.. gak asik nih!”
“Oh jadi gitu? Jadi gitu?” (nada bercanda)
Dan sejuta (baca: banyak) komentar lagi yang ditujukan
padaku, saat mereka.. teman-temanku di STEI tahu perihal ketidakhadiranku di
acara makrab STEI.
How can I tell them
my reason?
I just followed what my heart said to. “Seperti feeling?”
tanya seorang sahabat yang kaget karena baru tahu hal tersebut di atas (baca:
ketidak hadiranku di makrab STEI). Aku menggeleng pelan. Bukan, bukan seperti
itu.
How can I tell them
my reason?
Biaya kah? Really? 50ribu memang bukan angka yang kecil,
apalagi itu belum termasuk ongkos transport. Tapi naif banget, masa iya hanya
sekedar masalah uang. Yang ibaratnya nih.. Kalau satu-satu anak STEI nyumbang
500 rupiah untuk aku, maka uang makrab nilainya jadi kecil (500*400 = 200rb).
How can I tell them
my reason?
Jadi kenapa? Ada acara yang lebih penting? Atau tanpa alasan
sama sekali? You just can tell them the reason, because you don’t have it at
all. Ya kan?
Hahay.. kalimat-kalimat tanya di atas, seolah menuduhku
sebagai makhluk ansos di STEI. Seolah aku hanya tak ingin bersosialisasi dengan
massa STEI. Benarkah aku se-ansos itu? Well, yang berhak menjawab pertanyaan
itu bukan aku. Tapi teman-temanku. Ask someone who know me well.. paling tidak,
yang satu kelas denganku. Apakah Isabella seorang yang anti-sosial?
How can I tell them
my reason?
Guys.. I just don’t want to left my heart behind. Tak ingin
aku menuli atau pura-pura tak mendengar.
Maka aku lebih baik dicap ansos, lebih baik aku di anggap
tak menuruti ayat “berangkatlah di saat ringan maupun berat”, lebih baik..
aku di benci dan di kucilkan anak-anak STEI. Sungguh, itu lebih baik..
ketimbang aku harus mendustakan kata hatiku. Lebih baik, ketimbang aku harus
menuli dan melukai hatiku sendiri.
Because that’s my
heart told me to
Orang-orang boleh jadi berkata.. jika kau bertanya pada
hati, jawabannya itu relatif. Tapi aku, somehow lebih meyakini hadist di bawah
ini :
“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa
yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah
apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang
memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu.” (HR Muslim).
Wallahu’alam.
Aku memang tak berada di
sana,
Tak ikut bersenandung dan
bercengkrama dengan kalian
Aku memang tak berada di
sana,
Tertawa dan bercanda, atau
bahkan menangis haru bersama kalian.
I do not care what you’re
thinking about my decision,
Dan keberadaanku di sini..
dan bukan di sana..
Ini tentang aku dan
hatiku..
Tentang ketidakrelaanku,
to left my heart behind
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya