[sekilas tentang cerpen ini]
Sebuah cerpen yang dulu aku buat. Tepatnya saat duduk di kelas 3 SMP. Tema saat itu adalah tentang budaya daerah, dan guruku menyarankan untuk menulis tentang Begalan. Apa itu begalan? Yuk disimak :)
Selamat membaca.
-------
Aroma segar teh hangat sedikit menyegarkan pikiranku yang sedari tadi
dipenuhi bermacam-macam hal. Secangkir teh buatan mboke memang paling TOP.
Karena itu cukup meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Lelah yang kurasa
kini sedikit terhapus. Maklum... banyak sekali yang harus kupersiapkan
menjelang pernikahanku. Baru mempersiapkan kedatangan keluarga Mas Yudi dalam
rangka lamaran saja sudah repot begini. Apalagi nanti, saat hari yang
ditentukan telah tiba.
Aku menguap lebar, tak lupa kututupi dengan sebelah tanganku. Ternyata hari
sudah larut malam. Waktu seolah berjalan lebih cepat dari biasanya.
“Bu, Dewi tidur duluan ya.. sudah ngantuk.” pamitku pada ibu yang masih tak
berkutat dari buku catatan dan kalkulator di tangannya. Ibu memandangku
sejenak.
“Ya wis nganah! Kowe aja nganti kekeselen, mengko yen mriyang kabeh
digawe repot.”[1] Jawab ibuku yang masih sibuk menuliskan angka-angka ke
kalkulator.
“Inggih, bu!”[2] kuiyakan nasihat ibu seraya beranjak dari ruang
keluarga. Kulangkahkan kakiku ke kamar yang letaknya tak jauh dari ruang
keluarga. Sesampainya, langsung kurebahkan tubuhku ke kasur. Kurapal satu
mantra yang selalu bisa membuatku tertidur. ‘Bismika allahumma ahya wa
bismika ammut..’
***
“Dewi!!! Aja kesuwen, ayo!! Mengko ora keduman!!”[3] panggil ibu.
Jam sudah menunjukkan pukul lima lebih sedikit. Dengan tergesa-gesa kupakai
jilbabku. Pasalnya aku sudah harus siap ke pasar dengan ibu. Kami akan membeli
bahan-bahan untuk masakan menyambut kedatangan keluarga Mas Yudi. Kemarin ibu
sudah membuat daftar bahan-bahan yang akan disulap ibu dan mboke menjadi
beberapa masakan yang lezat.
Suasana di pasar ternyata sudah ramai. Rupanya jam segini sudah ada
transaksi jual beli di Pasar. Maklum, aku jarang ke pasar. Apalagi sepagi ini.
Biasanya Ibu dan Mboke yang berbelanja di pasar. Sedangkan aku hanya
bantu-bantu masak di rumah. Namun, berhubung aku akan segera menikah. Ibu
mengajariku untuk terbiasa berbelanja pagi di pasar. Biasa.. orang tua.
Padahal aku sudah mampu membelikan kulkas untuk kebutuhan masak-memasak.
Maksudnya agar ibu tak perlu ke pasar sepagi ini, karena sisa belanjaan kemarin
masih segar dan dapat dipakai kembali. Namun bukan Ibu namanya kalau tak keras
kepala. Ia tak mau menuruti kemauanku, dengan alasan-alasannya. Katanya,
sayuran di Pasar lebih segar karena baru dipetik, dan berbagai alasan lain. Aku
cuma mengangguk pasrah saat usahaku untuk meringankan pekerjaan ibu tak dapat
berjalan lancar.
“Eh, Bu Anton. Mborong ya..” sapa seorang ibu separuhbaya pada kami. Ibuku
membalas sapaannya. Aku hanya dapat bersalaman dan tersenyum padanya.
Selebihnya aku hanya menjadi pendengar yang baik.
“Putrine sing badhe nikah nggih?”[4]
tanya Bu Tati
“Nggih bu, niki Dewi putri kula sing nomor setunggal.”[5] Jawab ibuku.
“Rencanane kapan arep nikah Bu? Undang-undang lho..”[6]
“Mengko panjenengan mriksani undangane bae Bu.”[7]
“Oh.. ya wis lah, tak tunggu wae. Arep wonten begalan mbok? Wah..
siap-siap rayahan rejeki ya Bu..” [8]
Ibuku tersenyum dan menyudahi percakapan, karena kami masih harus membeli
beberapa bahan lagi. Aku terdiam sejenak, ‘Begalan??’. Keningku berkerut. (bersambung)
***
[1] Ya sudah, kamu jangan terlalu lelah.. nanti kalau sakit semua dibuat repot[2] Iya Bu
[3] Dewi! Jangan kelamaan! Ayo, nanti tidak kebagian
[4] Putrinya yang mau menikah ya?
[5] Iya Bu, ini Dewi putri saya yang pertama
[6] Rencananya kapan mau menikah Bu?
[7] Nanti, lihat di undangannya saja Bu
[8] Oh, yaudah, saya tunggu saja. Mau ada begalan kan? Wah.. siap-siap rebutan rezeki ya Bu
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya